Correctional Psychology TINJAUAN PUSTAKA
52
koreksional. Dalam konteks ini, rehabilitasi mengacu pada program yang barangkali harus meningkatkan kemungkinan bahwa narapidana tidak
mengulang kesalahan lagi setelah bebas dari penjara. Dalam berbagai kasus, narapidana telah meminta pengadilan untuk memberikan hak-hak
konstitusional mereka untuk berpartisipasi dalam program penyalahgunaan obat, program pelatihan kerja, program pendidikan dan program untuk pelaku
kekerasan termasuk program-program yang lain Bartol, 2004. Palmer dan Palmer dalam Bartol, 2004 mengatakan bahwa sistem pemasyarakatan tidak
bisa dioperasikan sedemikian rupa sehingga menghambat kemampuan narapidana untuk mencoba merehabilitasi mereka sendiri atau sederhananya
untuk menghindari kemunduran secara fisik, mental atau sosial. Prinsip utamanya adalah narapidana tidak memiliki hak konstitusional untuk
berpartisipasi dalam program tertentu dan pejabat Lembaga Pemasyarakatan diberikan keleluasaan untuk menentukan siapa yang akan dilibatkan dan
ditugaskan dalam program-program rehabilitasi Bartol, 2004. Kehidupan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang cenderung melebihi
kapasitas over capacity berimplikasi pada ketersediaan fasilitas yang menjadi terbatas bahkan dapat dikatakan menjadi kurang memadai, meliputi
makanan, kondisi ruangan atau kamar sel, fasilitas kesehatan, penerangan, dan sebagainya. Kondisi seperti ini mendorong munculnya perasaan senasib dan
sepenanggungan sehingga lambat laun mulai tertanam identitas kolektif dalam diri narapidana. Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi yang berfungsi
sebagai pengasingan atau isolasi sosial tidak lagi dirasakan sebagai
53
pengasingan yang mengisolasi dari kehidupan sosial. Para narapidana mulai merasakan kelonggaran ketika mereka bersosialisasi dengan sesama
narapidana lain. Lembaga Pemasyarakatan tidak melakukan resosialisasi pola kelakuan melainkan telah menanamkan identitas kolektif baru dalam diri para
narapidana Pujileksono, 2010. Resosialisasi sebagaimana yang dimaksud adalah suatu proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga
Pemasyarakatan dan masyarakat, dan ke dalam proses interaksi di mana termasuk mengubah system nilai-nilai yang dimiliki narapidana sehingga
narapidana akan dapat dengan baik dan efektif mereadaptasikan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Romli, 1982.
Dengan munculnya identitas kolektif baru dalam diri para narapidana, lembaga pemasyarakatan telah gagal merehabilitasi pola kelakuan narapidana
sehingga memunculkan narapidana kambuhan atau semakin banyaknya kualitas dan jaringan kriminalitas mereka Pujileksono, 2010. Munculnya
identitas kolektif baru dalam diri para narapidana dalam proses sosialisasi di dalam tembok penjara ini oleh Romli 1982 disebut dengan prisonisasi.
Romli 1982 mendefinisikan prisonisasi sebagai suatu proses interaksi untuk menjadi lebih kriminil daripada sebelumnya seseorang masuk ke dalam
penjara. Implikasi negatif dari prisonisasi berakar pada suatu kenyataan di mana system sosial narapidana sangat mendukung dan melindungi narapidana
yang sangat mendalami pola-pola tingkah laku kriminal dan sebaliknya akan sangat tidak mendukung bahkan menindas atau mengancam narapidana yang
masih menunjukkan loyalitasnya pada dunia non-kriminal. Apapun yang
54
menjadi penyebab dari pendalaman sifat-sifat kriminal pada diri seorang narapidana selama di dalam penjara, secara serius akan menghambat usaha
resosialisasi narapidana. Persoalan inti dalam proses resosialisasi ini adalah mengubah tingkah laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan
nilai-nilai yang dianut masyarakat bebas pada umumnya. Akan tetapi, semakin rumitnya masalah prisonisasi, maka akan semakin sulit proses resosialisasi
yang sedang dan akan dilaksanakan Romli, 1982. Banyak narapidana yang meninggalkan penjara tanpa memiliki
tabungan, tidak ada tunjangan langsung bagi mereka dan sedikitnya prospek lapangan pekerjaan Petersilia, 2001. Permasalahan yang muncul setelah
narapidana bebas dan kembali ke masyarakat adalah meskipun masyarakat secara jelas memiliki peranan yang sangat berarti, namun dari pihak
masyarakat sendiri cenderung untuk menolak kehadiran narapidana ditengah- tengah mereka. Dengan kata lain, masyarakat sangat kurang menaruh minat
terhadap proses kembalinya seorang mantan narapidana di lingkungannya Romli, 1982.
Kebanyakan dari mereka pada akhirnya tinggal bersama keluarga atau teman sampai mereka menemukan pekerjaan, dapat
mengumpulkan uang dan menemukan tempat tinggal mereka sendiri. Mencari pekerjaan kerapkali menjadi persoalan serius bagi mantan narapidana yang
memiliki sedikit keterampilan kerja dan sedikit pengalaman kerja Seiter dan Kadela, 2003. Stigmatisasi yang diberlakukan kepada mantan narapidana
meningkatkan keengganan para pemilik usaha untuk mempekerjakan mantan narapidana Petersilia, 2001. Eksperimen yang dilakukan oleh Buikhuisen
55
dan Dijksterhuis dalam Petersilia, 2001 menunjukkan bahwa pengusaha kurang merespon secara positif mantan narapidana yang melamar pekerjaan
dibandingkan dengan pelamar lain yang tidak mencantumkan keterangan sebagai mantan narapidana. Selain itu, survey yang dilakukan oleh Holzer
dalam Petersilia, 2011 melaporkan bahwa para pengusaha akan lebih mungkin untuk mempekerjakan pelamar yang memiliki sedikit pengalaman
daripada mempekerjakan mantan narapidana. Usia mereka ketika dibebaskan, sedikitnya lapangan pekerjaan dan latar belakang kriminal mereka
menyebabkan masalah bagi mantan narapidana untuk mencari pekerjaan. Hal ini menyebabkan banyak mantan barapidana kembali melakukan tindakan
kriminal setelah dibebaskan Seiter dan Kadela, 2003. Apabila mantan narapidana diberikan kesempatan, maka banyak mantan narapidana memilih
untuk berpartisipasi dalam program yang ditujukan untuk transisi yang lebih baik ke dalam masyarakat. Ketika tersedia pekerjaan atau layanan yang
diberikan kepada mantan narapidana, mereka mau dan memilih untuk berpartisipasi dalam pekerjaan atau kesempatan pendidikan Morani et al,
2011.