Studi fenomenologi mengenai pengalaman narapidana kategori residivis.

(1)

STUDI FENOMENOLOGI MENGENAI PENGALAMAN NARAPIDANA KATEGORI RESIDIVIS

Olga Sancaya Dyah Permatasari ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika pengalaman dan pola pengalaman serupa. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode analisis fenomenologi interpretatif. Informan pada penelitian ini adalah narapidana laki-laki dengan kategori residivis berjumlah 4 orang yang menjalani masa hukumannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan. Pengumpulan data menggunakan model wawancara semi-terstruktur. Hasil yang didapatkan adalah pengalaman yang kurang menyenangkan, pendidikan rendah, pergaulan yang salah, kehidupan hedonis, lingkungan yang kurang sehat, kebutuhan hidup, labelling dan stereotip menjadi sebab yang melatarbelakangi keseluruh informan terus melakukan kejahatan repetitif serta dtemukan pola-pola serupa dan faktor lain yang bersifat laten.


(2)

PHENOMENOLOGICAL STUDY ABOUT EXPERIENCE REPEATED OFFENDER

Olga Sancaya Dyah Permatasari ABSTRACT

The purpose of this study was to determined the reason that caused prisoners repeated offender category continuosly repeating their crimes through the analysis of their experiences in living. The main question that asked was how an experience could reveal the causes that became the prisoner’s reason to continuosly repeating their crimes ? The type of this research was qualitative interpretative phenomenology analysis (IPA) method. The informant of this study were male prisoners that have been arrested and served their sentences in Correctional Institution Class II B Cebongan. The data was collected by informal interview method which the interview depends on the interviewer and on the spontanity in interviewing the informants to have the natural data. The results showed that unpleasant experiences, low education, bad association, hedonist life, bad society, needs, labelling, and stereotype, became the caused of the reason for informant to did their repetitive crimes repeated.


(3)

i

STUDI FENOMENOLOGI MENGENAI PENGALAMAN

NARAPIDANA KATEGORI RESIDIVIS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Olga Sancaya Dyah Permatasari 119114132

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Karena itu, saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan. Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan tuhan jerih payahmu tidak sia-sia -

Korintus 15:58

Eagle Always Flies HighOlga

Semesta mencintai orang-orang yang tangguh dan setia dalam setiap perjuangan Dr.

Y. B. Cahya Widiyanto,

M. Si.


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini menjadi bagian dari tugas yang diberikan oleh Allah Bapa di surga Yang Maha Pengasih dan Maha Baik

dan sebagai bentuk dedikasiku kepada ilmu psikologi serta kepedulianku terhadap dunia kriminal

Keluarga ku tersayang

Papa dan Mama yang tidak pernah bosan untuk mengingatkanku Mbak Dita

Dosen Pembimbingku yang luarbiasa Dr. Y. B Cahya Widiyanto, M. Si.

Kawan-kawanku yang tak pernah lekang oleh waktu dan setia mendorongku untuk berjuang

Willa, Tammy, Linda, Mas Indra, Mas Aconk, Mas Andi, dan kawan-kawan lain yang tidak dapat kusebutkan satu persatu

Seorang yang terkasih yang telah berjasa membantuku menyelesaikan tugas ini (K)


(8)

(9)

vii

STUDI FENOMENOLOGI MENGENAI PENGALAMAN NARAPIDANA KATEGORI RESIDIVIS

Olga Sancaya Dyah Permatasari ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika pengalaman dan pola pengalaman serupa. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode analisis fenomenologi interpretatif. Informan pada penelitian ini adalah narapidana laki-laki dengan kategori residivis berjumlah 4 orang yang menjalani masa hukumannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan. Pengumpulan data menggunakan model wawancara semi-terstruktur. Hasil yang didapatkan adalah pengalaman yang kurang menyenangkan, pendidikan rendah, pergaulan yang salah, kehidupan hedonis, lingkungan yang kurang sehat, kebutuhan hidup, labelling dan stereotip menjadi sebab yang melatarbelakangi keseluruh informan terus melakukan kejahatan repetitif serta dtemukan pola-pola serupa dan faktor lain yang bersifat laten.


(10)

viii

PHENOMENOLOGICAL STUDY ABOUT EXPERIENCE REPEATED OFFENDER

Olga Sancaya Dyah Permatasari ABSTRACT

The purpose of this study was to determined the reason that caused prisoners repeated offender category continuosly repeating their crimes through the analysis of their experiences in living. The main question that asked was how an experience could reveal the

causes that became the prisoner’s reason to continuosly repeating their crimes ? The type of this research was qualitative interpretative phenomenology analysis (IPA) method. The informant of this study were male prisoners that have been arrested and served their sentences in Correctional Institution Class II B Cebongan. The data was collected by informal interview method which the interview depends on the interviewer and on the spontanity in interviewing the informants to have the natural data. The results showed that unpleasant experiences, low education, bad association, hedonist life, bad society, needs, labelling, and stereotype, became the caused of the reason for informant to did their repetitive crimes repeated.

Keywords: repeated offender, experiences, repetitive crime


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kebaikan, pertolongan dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Studi Fenomenologi Mengenai Pengalaman Narapidana Kategori Residivis” dengan baik. Sebuah karya tidak akan lengkap tanpa adanya kontribusi dari orang-orang di sekitar penulis, bahwa sebuah keberhasilan penelitian ini juga didukung oleh banyak hal. Banyak pihak yang mendukung dan juga memberikan bantuan dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. T.Priyo Widianto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto M.Si. selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Dr.Yohannes Babtista Cahya Widiyanto S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu mendukung, memberikan banyak pengetahuan, dan nilai-nilai dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Tjipto Susana, M. Si selaku Dosen yang memberikan banyak saran dalam penelitian dan merekomendasikan penulis kepada seseorang yang luarbiasa untuk membimbing penelitian.

5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan banyak sekali ilmu kepada penulis.


(13)

xi

6. Seluruh karyawan/staff Fakultas Psikologi: Mas Muji, Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gi dan student staff lainnya atas bantuan dan fasilitas yang disediakan.

7. Kedua orangtua penulis yang selalu memberikan kesadaran dan semangat dan terkadang ketegangan karena selalu diburu-buru untuk segera menyelesaikan skripsi. Aku sayang kalian.

8. Ibu Widya selaku Kepala bagian di Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Ham atas bantuan dan dukungannya selama proses penyelesaian skripsi. 9. Kakakku yang cuek, terima kasih kiriman oleh-oleh botol stainless steel yang

berjasa menemamiku penulis berperang melawan rasa haus ketika menyelesaikan skripsi dan juga dukungan moralnya.

10. Tanpa adanya informan maka skripsi ini tidak akan pernah selesai. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada 4 informanku, kisah pengalaman kalian sungguh berkesan dan atas pengalaman teman-teman informan, ilmu pengetahuan di dunia kriminal semakin bertambah.

11. Sahabat-Sahabat penulis yang selalu menyertai dengan memberikn banyak motivasi, nasihat, dan candaan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai pada waktunya. Aku sayang kalian: Tammy, Linda, Wila, Mas Aconk, Mas Andi, Mas Indra, dan Kang Ageng.

12. Teman-temanku yang luarbiasa terima kasih untuk seluruh dinamika yang sudah kita lakukan bersama sehingga penulis semakin memiliki banyak ide, semangat, dan juga kebahagiaan : Anton, Boncel, Ghea, Adhigor, Netty, Hargie, Mbak Ari, Dara, dan Ocha.


(14)

xii

13. Teman-teman psikologi 2011 yang sulit didefiniskan, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena ini saya bersemangat untuk segera menyelesaikan skripsi dan memberikan banyak cerita dan kenangan yang tidak akan pernah peneliti lupakan.

14. Teman, sahabat, kerabat, dan orang-orang yang mungkin tidak bisa saya sebutkan satu persatu, saya ucapkan banyak terimakasih.

Yogyakarta, 22 Juni 2016 Olga Sancaya Dyah Permtasari


(15)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing... ii

Halaman Pengesahan... iii

Halaman Motto ... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak... vii

Abstract ... viii

Lembar Persetujuan Publikasi ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xii

Daftar Gambar ... xvii

Daftar Lampiran ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ...1

B. Pertanyaan Peneitian ... 9

C. Tujuan Penelitian ...10

D. Manfaat Hasil Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Pengalaman ... 12

B. Pemaknaan ... 14


(16)

xiv

D. Residivis ... 18

E. Kejahatan ... 21

1. Pengertian Kejahatan ... 21

a. Pengertian secara praktis ... 21

b. Pengertian secara yuridis ... 22

2. Kejahatan dilihat dari segi sosiologis ... 22

3. Kejahatan dilihat dari segi psikologis ... 23

4. Penjelasan kejahatan dilakukan oleh laki-laki ... 24

5. Penjelasan psikologis atas kejahatan ... 26

6. Faktor-faktor yang meyebabkan timbulnya kejahatan ... 27

F. Pengalaman Kejahatan ... 30

G. Lemabaga Pemasyarakatan ... 31

1. Fungsi ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian ... 34

B. Fokus Penelitian ... 35

C. Informan Penelitian ... 35

D. Metode Pengumpulan Data ... 36

E. Pedoman Wawancara ... 38

F. Metode Analisis Data ... 39

G. Prosedur Analisis Data ... 39

H. Kualitas Penelitian ... 37


(17)

xv

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan ... 43

B. Profil Informan Penelitian ... 45

C. Hasil Analisis ... 46

1. Informan I (Inisial V, 22) ... 46

2. Informan II (Inisial S, 39) ... 51

3. Informan III (Inisial B, 37) ... 59

4. Informan IV (Inisial R, 24) ... 74

D. Dinamika Pengalaman ... 84

1. Informan I (22) ... 84

2. Informan II (39) ... 85

3. Informan III (37) ... 88

4. Informan IV (24) ... 92

E. Pola Pengalaman ... 96

A. Pengalaman serupa yang membentuk pola ... 96

1. Pengalaman kurang menyenangkan ... 96

a. Perceraian kedua orang tua ... 96

b. Tidak diasuh oleh orang tua ... 97

c. Yatim Piatu ... 98

d. Perlakuan tidak adil ... 100

2. Pendidikan rendah ... 100

3. Pergaulan yang salah ... 101

4. Ketergantungan memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan aksi kejahatan ... 102


(18)

xvi

5. Mendapakan labelling bernilai positif ... 103

B. Pengalaman sebagai penguat untuk melakukan kejahatan berulang... 104

1. Kehidupan hedonis menimbulkan adiksi dan keputusan reaktif... 104

2. Lingkungan yang tidak sehat ... 105

3. Labelling bernilai negatif berupa stereotip... 106

F. Kesimpulan dinamika dan pola pengalaman... 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Kelemahan penelitian ... 122

C. Saran ... 123

1. Bagi pemerintah ...123

2. Bagi kelaurga dan lembaga pendidikan ...123

3. Bagi masyarakat ...124

4. Bagi jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI ... 124

5. Bagi peneliti yang selanjutnya ... 124

6. Bagi informan ... 125


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara ... 38 Tabel 2. Identitas Informan ... 45 Tabel 3. Pelaksanaan Wawancara ... 46


(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema informan I ... 107

Gambar 2. Skema informan II ... 108

Gambar 3. Skema informan III ... 109


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Verbatim ... 130 Lampiran 2. Contoh Master Table ... 223 Lampiran 3. Informed Consent ... 250


(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus kejahatan bukan lagi sesuatu yang asing di telinga seringkali kita banyak mendengar dari media bahwa dari hari ke hari kasus kejahatan semakin meningkat, selain itu banyak orang-orang yang sudah keluar kemudian masuk kembali ke dalam lembaga pemasyarakatan. Mereka kembali melakukan aksi kejahatan beberapa saat setelah dibebaskan dari hukuman pidana penjara. Tindak kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang-orang baru saja, seringkali mantan narapidana juga banyak yang melakukan tindak kejahatan berulang.

Narapidana dengan kategori residivis merupakan, seseorang yang melakukan tindakan kejahatan ulang dalam periode waktu tertentu. Seperti yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai residivis, jika ia melakukan kejahatan dalam masa tenggang dari keberhasilan pembinaan yang telah ditentukan, jangka waktu yang ditentukan yaitu 2 tahun (Muhammad, 2013). Pada kejahatan berulang, sifat dari kejahatan berulang tidak harus selalu sama seperti yang sebelumnya pernah dilakukan oleh mantan narapidana, jenis kejahatan dapat berbentuk


(23)

kejahatan baru yang belum pernah dilakukan oleh bekas narapidana yang bersangkutan Teguh, 2010).

Sebagai ilustrasi telah terjadi aksi kejahatan di daerah Pangkalan Bun, seorang residivis kasus pencabulan yang baru saja keluar dari penjara dan masih dalam proses bebas bersyarat, kembali melakukan tindakan kejahatan. Pelaku membunuh korban bernama Enor (21) yang merupakan kekasihnya. Pelaku membunuh korban dengan kaki palsu yang dipakainya hingga tulang iga korban patah. Sebelum membunuh pelaku sempat menyetubuhi korban. Motif dari pembunuhan ini adalah desakan ekonomi, sejak awal pelaku sudah berniat untuk mencuri motor yang dimiliki korban. (Radar Jogja, 28 Maret 2015). Contoh ilustrasi aksi kejahatan yang lain terdapat kasus pencurian motor, uang, dompet, dan handphone di Samiran Parangtritis, Kretek, Bantul. Pelaku merupakan seorang residivis kasus perampasan (Kedaulatan Rakyat Online, 30 Mei 2015). Hingga bulan Juni, masih terus tersiar berita kejahatan yang dilakukan oleh seorang residivis. Kejahatan dilakukan oleh seorang residivis kasus pembunuhan di wilayah Mlati tahun 2007 silam. Pelaku bernama Ar alias Armek (30) warga Sukoharjo, Ngaglik, Sleman. Diduga kembali melakukan aksinya, pelaku diduga melakukan pencurian di wilayah Sekip Sinduadi, Mlati, Sleman. (Kedaulatan Rakyat Online, 1 Juni 2015). Beberapa berita tersebut memberikan sebuah gambaran bahwa kejahatan repetitif masih terus terjadi dari bulan ke bulan.


(24)

Mengambil sepotong kisah pengalaman dari salah satu informan dalam penelitian ini mengisahkan pengalaman kejahatan informan kedua dalam penelitian ini, yang mengantarkannya pada pilihan untuk melakukan kejahatan adalah adanya himpitan ekonomi pada saat itu. Ia pun tidak memiliki keterampilan lain selain menjadi seorang sopir hingga akhirnya memilih untuk bergabung dengan teman-temannya untuk merampok. Hingga pada titik puncaknya ia berusaha keras ingin keluar dari lingkungan kejahatan tersebut namun hingga saat ini usaha yang ia lakukan belum mampu membebaskannya dari dunia kejahatan. Informan tersebut masih berstatus sebagai narapidana dengan kategori residivis pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Sleman. Paparan beberapa informasi di atas menjadi bukti konkret bahwa kejahatan berulang tidak hanya sekedar kejahatan yang bisa dipahami sebagai kejahatan yang biasa. Pengalaman dan latar belakang seseorang dapat menmbentuk sebuah keterkaitan yang penting yang merujuk pada keputusan para narapidana kategori residivis melakukan kejahatan dan terus berulang.

Penelitian yang dilakukan oleh Ali Amran (2003) dalam tesisnya yang

berjudul “Faktor Sosio Demografis Yang Mendorong Terjadinya Residivisme” mendapati bahwa terdapat empat faktor yang mendorong

terjadinya residivisme di dalam empat lingkungan yang dilaluinya, empat lingkungan tersebut meliputi : tempat tinggal responden, lingkungan peradilan pidana terdapat proses kriminilisasi berbentuk kekerasan yang dilakukan oleh polisi saat melakukan penangkapan, penahanan, dan persidangan, kemudian di


(25)

dalam lembaga pemasyarakatan terdapat budaya kriminal yang membuat seseorang menjadi semakin jahat dan semakin kuat karena bergaul dengan penjahat tangguh, dan adanya cap yang diberikan masyarakat setelah responden keluar dari lembaga pemasyarakatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.

Indra Widya Nugraha dan Zainal Abidin (2013) dalam penelitiannya

yang berjudul “Motivasi Kejahatan Repetitif Residivis di Lembaga

Pemasyarakatan Pati” menemukan bahwa residivis melakukan kejahatan didorong oleh faktor internal yang meliputi : kontrol diri lemah, ketagihan, habbit/ kebiasaan, niat, keahlian / skill, serta gaya hidup. Faktor lain yang mendorong residivis melakukan kejahatan adalah faktor eksternal yang meliputi : kondisi lingkungan, pengaruh dari orang lain, dan adanya faktor ekonomi, serta mendapat stigma dari masyarakat sebagai mantan narapidana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi.

Paparan beberapa berita dan penelitian di atas menunjukkan bahwa kejahatan berulang menjadi sebuah fenomena yang masih terus berlanjut. Lembaga pemasyarakatan diciptakan sebagai sarana atau tempat untuk merehabilitasi dan memberikan efek jera kepada narapidana, realita yang terjadi adalah masih banyak narapidana yang kebal dengan hukum dan sistem pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan. Apakah masih ada hal lain yang masih belum terungkap, sebab yang kemudian menjadi latar belakang seseorang terus mengulangi perbuatan kejahatan?


(26)

Suatu kejahatan tidak semata-mata muncul secara acak, ada sebab yang mengikuti atau melatarbelakangi, pengalaman dan latar belakang seseorang menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Paul Brantingham and Patricia Brantingham (2008) mengungkapkan jauh sebelum individu memutuskan untuk melakukan tindakan kriminal, individu tersebut memiliki aktifitas non-kriminal yang kemudian dapat ikut membantu seseorang menciptakan sebuah keputusan yang berhubungan dengan aktifitas kriminal. Dalam suatu aktifitas yang dilakukan seseorang akan dihadapkan pada sebuah keputusan, keputusan dalam beraktifitas tersebut membentuk suatu pola rutinitas yang kemudian berubah menjadi kegiatan regular. Aktifitas regular kemudian membentuk suatu pola abstrak. Pada konteks keputusan berkomitmen pada kegiatan kriminal hal ini disebut sebagai crime template. Brantingham dan Brantingham, Cornish dan Clarke, Cromwell (dalam Wortley, 2008) mengatakan bahwa pengembangan sebuah keputusan rutin, baik kriminal maupun kriminal melibatkan serangkaian identifikasi keputusan-keputusan yang bekerja. Cusson (dalam Wortley, 2008) menjelaskan bahwa hal yang mempengaruhi keputusan tidak selalu sesuai dengan standar optimal yang objektif, yang utama adalah cukup sesuatu yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu, sebuah kejahatan dapat dipicu oleh kemarahan, dendam, atau kebutuhan merasakan sensasi yang sifatnya berbahaya, sama halnya seperti kebutuhan akan ekonomi atau emosional. Teori tersebut menggambarkan secara general bagaimana seseorang mulai masuk ke dalam suatu tindak


(27)

kejahatan yang di awali dari beberapa faktor yang salah satunya sudah disebutkan di atas.

Dalam konteks ilmu psikologi yang mempelajari manusia sebagai individu yang unik beserta juga dengan pengalamannya, kita tidak dapat meninggalkan ciri khas tersebut dan hanya berpacu pada satu hasil penelitian. Jika dikembalikan lagi kepada diri individu seperti yang diungkapkan oleh Kierkegaard (dalam Zainal, 2007) mengenai analisis eksistensial, bahwa dalam setiap kajian tentang manusia, yang pertama kali harus dilakukan adalah bagaimana menempatkan subjkektivitas atau pengalaman subjektif manusia sebagai faktor penting yang harus diberi tempat. Tidak semua hal dari dalam diri manusia dapat dikuantifikasikan ke dalam angka-angka (statistik) dan pengukuran fisik-mekanistik (biologi) saja, sebab pada setiap diri manusia terkandung makna atau nilai personal yang tidak bisa dikuantifikasikan dan tidak bisa dijelaskan secara biologis (Zainal, 2007). Setiap manusia adalah unik beserta dengan pengalamannya akan mengikuti. Kierkergard (dalam Zainal, 2000) percaya bahwa pada prinsipnya manusia bukan makhluk yang selalu rasional, bukanlah robot yang tidak memiliki kehendak dan perasaan tetapisebagai makhluk yang mampu “merasa” dan

menghendaki” secara bebas. Perilaku dan peristiwa di dalam hidupnya tidak selalu didasari oleh rasio, tetapi juga pada pilihan bebas dan emosi spontannya. Peneliti melakukan penelitian ini dilakukan bertujuan untuk melihat fenomena kejahatan repetitif dengan memegang sudut pandang


(28)

manusia adalah makhluk yang unik, setiap peristiwa di dalam pengalamannya berbeda-beda meskipun secara kontekstual (hukum) dinyatakan perbuatan kejahatannya sama dengan motif yang kita ketahui sama antara satu dengan yang lainnya.

Penelitian ini menjadi penting untuk diteliti karena selama ini banyak peneliti tidak membahas dari sisi dinamika psikologis atas pengalaman yang dilalui oleh para narapidana kategori residivis sebagai manusia yang unik bahwa pengalaman-pengalaman signifikan tersebut juga mengandung dinamika psikologis yang ikut andil dalam mempengaruhi perilaku, keputusan dan kehidupan seseorang. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengambarkan pola-pola pengalaman serupa dan disertai dengan pola dinamika psikologis yang sama, muncul sebagai akibat dari interaksi pelaku dengan lingkungannya. Apa yang kemudian membuat para narapidana kategori residivis tidak hanya melakukan kejahatan tetapi tergerak untuk memutuskan melakukan kejahatan dan melakukan kejahatan berulang, sehingga mudah untuk peneliti yang selanjutnya dan untuk bidang psikologi maupun jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI merancang sebuah solusi yang tepat guna dalam perbaikan narapidana ke arah yang lebih baik.

Pendekatan kualitatif fenomenologis dipilih peneliti untuk mencapai tujuan penelitain di atas, fenomenologi sendiri merupakan salah satu cara


(29)

untuk mencari makna-makna psikologis yang membentuk gejala melalui investigasi dan analisis contoh-contoh gejala yang dialami dalam konteks kehidupan para informan (Smith, 2006). Dengan menggunakan metode kualitatif fenomenologi interpretatif peneliti mencoba memahami pengalaman informan, pengalaman yang kemudian mencakup persepsi-persepsi, perasaan, ingatan, gambaran, gagasan, dan berbagai hal lainnya yang hadir dalam kesadaran (Henryk, 1973). Husserl (dalam Brouwer, 1988) mengungkapkan seseorang dengan pengalamannya belum tentu bahwa orang tersebut tahu

mengenai “Saya apa sebetulnya (siapa) atau saya bagaimana”.

Kurt Danziger, 1990 (dalam Sugiman, Gergen, Wagner, dan Yamada, 2008) menggaris bawahi “traditional forms of inquiry” dalam psikologi berdasar pada konsepsi individual sebagai manusia. Pada manusia kapasitas kemampuan kita untuk mengalami dan merespon pengalaman-pengalaman jauh lebih besar daripada kapasitas kita untuk mengetahui sescara persis apa yang kita lakukan atau mengapa kita melakukannya. Bisa menjadi mungkin bahwa para residivis tidak memahami perbuatan kejahatannya, bisa menjadi mungkin bahwa para residivis belum merefleksikan pengalaman kejahatannya sehingga ia terus menerus mengulangi perbuatannya. Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitan yang mengkaji tentang pengalaman-pengalaman signifikan serta pola-pola dan dinamika psikologis yang memberikan dampak


(30)

pada pemilihan keputusan untuk melakukan aksi kejahatan maka peneliti juga menggunakan sudut pandang eksistensial.

Mungkin saja, faktor penyebab kejahatan di Indonesia dapat terus-menerus berulang pada sebagian narapidana kategori residivis salah satunya mungkin saja sistem pembinaan yang diberikan kurang tepat karena kurang mempertimbangkan pengalaman dan latar belakang seorang narapidana sebagai hal yang perlu diperhatikan. Ada banyak hal yang dapat digali melalui pengalaman para narapidana, bagaimana ia memandang dan juga mungkin memaknai pengalamannya. Sebab setiap perisitiwa, perilaku, dan keputusan ada sebab yang menjadi latar belakang mereka kemudian memilih berkomitmen dengan dunia kejahatan dan terus menerus mengulangi hal tersebut. Ketika seseorang memilih melakukan suatu perilaku yang bertentangan dengan moral yang dianut masyarakat umum, akan ada berbagai macam alasan yang berbeda antara orang satu dengan orang lainnya. Kisah pengalaman pribadi yang diceritakan setiap residivis akan dieksplorasi untuk melihat tindakan-tindakan maupun isi kesadaran dengan objek-objek dan makna-makna di dalam dunia para informan.

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana dinamika dan pola pengalaman narapidana yang melakukan kejahatan yang berulang ?


(31)

C. Tujuan Penelitian

Melalui rumusan masalah yang sudah dirancang, tujuan dari penelitian ini adalah mencoba memahami lebih mendalam dinamika pengalaman yang juga berhubungan dengan dinamika psikologis dan pengalaman signifikan para narapidana kategori residivis sebagai individu yang unik untuk menangkap dan menggambarkan latarbelakang para narapidana terus kembali melakukan kejahatan dan melihat apakah ada pola-pola serupa yang menjadi faktor para narapidana kategori residivis memutuskan masuk ke dalam dunia kejahatan. Sehingga didapatkan data mengenai penyebab kembalinya kejahatan berulang pada narapidana yang sama melalui analisis fenomenologi interpretatif.

D. Manfaat Hasil Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi di bidang Psikologi Sosial khususnya pada area lingkungan sosial kriminal yang berkaitan dengan kejahatan berulang yang dilakukan oleh narapidana kategori residivis, sehingga ditemukan data baru mengenai penyebab terjadinya pengulangan kejahatan dengan mengkaji pengalaman narapidana kategori residivis.


(32)

2. Manfaat Praktis

Diharapkan melalui penelitian ini mampu menambah kazanah pengetahuan baru yang ditujukan kepada jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI mengenai penyebab apa saja yang membuat narapidana kategori residivis melakukan kejahatan berulang sehingga muncul sistem pembinaan yang tepat guna bagi narapidana yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Melalui penelitian ini diharapkan akan membantu pemerintah dan lembaga pemasyarakatan dalam memandang dan menyikapi fenomena kejahatan berulang dengan lebih jeli, dengan begitu treatment dan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi lebih efektif dan membantu mengurangi kejahatan berulang di masa depan.


(33)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengalaman

Van Kaam (dalam Hall, 1993) menggambarkan pengalaman merupakan:

“... pengalaman-pengalaman, seperti tanggung jawab, kengerian, kecemasan, keputusasaan, kebebasan, cinta, kekaguman, atau keputusan tidak dapat diukur atau dieksperimentasikan, ... Pengalaman-pengalaman tersebut ada begitu saja dan hanya dapat dijelaskan dalam keterberiannya.”

Manusia terlahir kemudian menjalani serangkaian peristiwa yang di alaminya di dunia. Sekolah, berteman, menggapai cita-cita, pertikaian, merasakan perasaan sedih, bahagia, kecewa, dan peristiwa yang lainnya merupakan bentuk dari apa yang dinamakan pengalaman. Sebagai manusia yang mengalami pengalaman tersebut kita menyadarinya sehingga pengalaman yang dirasakan dan dialami dapat disebut sebagai pengalaman. Brand (dalam Brouwer 1988) menegaskan di dalam sebuah pengalaman terdapat alam. Alam ialah pengalaman dan pengalaman primer berarti saya mengalami alam. Jika dunia dilihat secara fenomenologis corak pertama yang muncul bukan dunia atau mengalami dunia, melainkan bentuk dari pengalaman yaitu mengenai diri saya dari dunia, yang berarti kenyataan yang terdapat di dunia selalu muncul sebagai dunia yang saya alami. Segala hal yang kita alami dialami dalam satu perbuatan yaitu perbuatan dari saya. Setiap individu adalah unik dan berbeda satu sama lainnya, keunikan tersebut


(34)

membuat individu – individu memiliki makna atau nilai personal (Zainal, 2007). Pengalaman merupakan sesuatu yang kita alami dialami dalam suatu perbuatan, untuk menjadi pengalaman seseorang harus menyadari perbuatannya di dalam alam yang ia alami, kesadaran merupakan satu kesatuan yang membentuk sebuah pengalaman dan keberadaan diri (eksistensi).

Bagi Kierkegaard (dalam Zainal, 2000) manusia merupakan makhluk yang memiliki kehendak bebas dan mampu merasa. Manusia pada dasarnya identik dengan kebebasan, setiap manusia menciptakan diri dan dunianya dengan kebebasannya. Sebuah peristiwa dan perilaku manusia tidak selalu ditentukan oleh rasio. Peristiwa dan perilaku yang dipilih manusia seringkali diputuskan menggunakan kebebasan dan emosi spontannya, tetapi kierkegaard juga tidak menyetujui bahwa kebebasan selalu benar sebab kebebasan tidak lepas dengan tanggung jawab, semua keputusan dan kebebasan dalam memilih menjadi bagian dari tanggung jawab manusia untuk menerima seluruh konsekuensinya secara pribadi.

Maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman merupakan sebuah proses dimana individu merasakan alam, mengalami alam primer yang menunjuk

pada diri saya dari dunia yang selalu muncul sebagai dunia yang “kualami” di

dalam kehidupan individu. Pengalaman melibatkan proses afektif, kognitif dan psikomotor yang disadari oleh individu. Sebuah peristiwa dapat dikatakan sebagai pengalaman ketika manusia menyadari perbuatannya di alam yang ia


(35)

alami, kesadaran merupakan satu kesatuan yang membentuk sebuah pengalaman dan keberadaan diri (eksistensi). Manusia merupakan makhluk yang identik dengan kebebasan sehingga manusia dapat menentukan peristiwa dan perilakunya tidak selalu dengan menggunakan rasio namun manusia dapat menciptakan dunianya dengan menggunakan kebebasan dan emosi spontannya. Manusia di dalam kebebasannya untuk memilih dan menciptakan dunianya tidak terlepas dari tanggung jawab yang berarti seluruh konsekuensi atas pilihannya menjadi bagian dari tanggung jawab pribadi yang harus diterimanya.

B. Pemaknaan 1. Pengertian

Pemaknaan merupakan salah satu bagian penting di dalam pengalaman yang dialami oleh manusia. Tanpa adanya pemaknaan yang dilakukan manusia atas peristiwa yang dialami, hidup seseorang tidak akan memiliki arti sehingga manusia akan meragukan keberadaan dirinya apakah ia benar-benar mengalami alam di dalam pengalamannya. Husserl (dalam Brouwer, 1988) mengungkapkan melalui proses refleksi manusia dapat menemukan makna di dalam dirinya, refleksi menjadi sebuah proses yang memiliki kekuatan untuk benar-benar merasakan secara nyata alam di dalam pengalamannya. Bukan hal yang mudah bagi sebagian manusia untuk dapat menangkap makna dari peristiwa yang di alaminya, Merleau-Ponty (dalam Brouwer, 1988)


(36)

mengungkapkan sebuah teori pengamatan bahwa manusia memalui proses pengamatan terhadap dunianya berarti ia menjadi bagian dari unsur dunia dan bukan unsur di luar dunia, pengamatan merupakan pemaknaan yang membuka pintu menuju ke luar, menytiuasikan diri dan menciptakan makna. Manusia tidak pernah menangkap benda seluruhnya karena benda selalu dilihat dari satu segi saja. Badan dalam teori pengamatan jika dilihat secara fenomenologis merupakan suatu misteri, sebab badan menjadi sebuah medium yang membantu manusia menangkap benda-benda dari hasil pengamatan. Merleau-Ponty berpendapat ketika manusia melihat dan mendengar ia tidak memikirkan apa yang dilihat atau didengarnya, manusia bergaul dengan benda dan hilang dalam badan, badanlah yang tahu lebih banyak dari dunia daripada kesadaran manusia sendiri. Badan menjadi fungsi dari satu eksistensi jasmaniah dalam tingkat prasadar manusia namun juga membantu memberikan makna pada dunia.

Manusia tinggal di dalam sebuah lingkungan, berinteraksi kemudian hidup bermasyarakat, proses hidup bermasyarakat menghasilkan beragam pengalaman dan pemaknaan. Manusia di dalam proses refleksi sebuah pengalaman dapat dimaknai berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya. Manusia merespon pengalaman di dalam hidupnya dengan cara yang berbeda-beda (Lyder, 2004). Berbeda dengan binatang rutinitias kegiatan manusia tidak hanya sekedar memiliki tujuan tetapi terdapat makna, tanpa makna kehidupan manusia tidak akan bersejarah (Koeswanto, 1987).


(37)

Untuk bisa mencapai pemaknaan dalam pengalamannya setiap individu sebelumnya harus benar-benar menyadari siapa dirinya dan apa pengalamannya.

“Ultimately, man should not ask what the meaning of his life is, but rather he must recognize that it is he who is asked. In a word, each man is questioned by life, and he can only answer to life by answering for his own life; to life he can only respond by being responsible.” (Frankl, 2006)

Manusia tidak hanya semata-mata didorong atau terdorong melainkan mengarahkan dirinya sendiri kepada apa yang akan dicapainya, yaitu makna. Manusia memiliki kemampuan alami untuk mempelajari sebuah mekanisme di dunia yang ia tinggali, di dunia yang penuh dengan makna di mana kita memegang berbagai macam hal yang nyata, rasional, berharga atau secara moral benar, dan yang lain tidak. Dunia yang ditinggali manusia merupakan dunia dimana kita menemukan cinta dan kebencian, berjuang untuk mendapatkan keadilan, kekuasaan, dan uang, serta berbagai macam hal lainnya (Sugiman, Gergen, Wagner, & Yamada, 2008). Menurut Frankl (dalam Koesworo, 1987) makna pada pengalaman seseorang memiliki nilai subjektif atau bersifat personal dan unik, karena seatiap individu memiliki pilihan dan caranya sendiri dalam menciptakan makna di dalam hidupnya, serta hidup atau keberadaan setiap individu adalah unik. Makna hidup bersifat personal, tunggal, dan unik, hanya individu seoranglah yang bisa merasakan atau mengalami, apakah kehidupannya bermakna atau tidak, apa makna hidup tersebut bagi dirinya. Frankl (dalam Koesworo, 1987) menyimpulkan hidup


(38)

dapatbermakna melalui tiga jalan, yaitu : pertama, melalui apa yang kita berikan kepada hidup (disebut kerja kreatif). Kedua, melalui apa yang kita ambil dari hidup (menemui keindahan, kebenaran, cinta). Ketiga, melalui sikap yang kita berikan terhadap ketentuan atau nasib yang tidak bisa kita rubah.

Dapat disimpulkan oleh peneliti, bahwa makna merupakan salah satu bagian penting di dalam sebuah pengalaman manusia. Sebagaimana tanpa adanya pemaknaan oleh manusia mengenai peristiwa di dalam alam yang ia alami, hidup manusia menjadi tidak berarti. Melalui proses refleksi manusia dapat menemukan makna mengenai peristiwa-peristiwa di dalam hidupnya, refleksi memiliki kekuatan untuk benar-benar merasakan secara nyata alam pengalamannya. Pengalaman manusia bersifat personal karena di dalamnya mengandung subjektifitas dan keunikan yang disebabkan oleh cara tiap manusia dalam menciptakan makna dalam pengalamannya bermacam-macam, pengalaman manusia sendiri dapat menjadi sejarah karena adanya makna atas pengalaman tersebut. Sebelum manusia mampu mencapai pemaknaan atas pengalamannya ia harus memiliki kesadaran akan peristiwa di dalam alam yang ia alami dan badan dapat menjadi media pengamatan peristiwa-peristiwa di luar dunia serta membantu manusia menangkap makna di dalam hidupnya.


(39)

C. Narapidana 1. Pengertian

Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 (dalam Djisman, 2012) narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan.

D. Residivis 1. Pengertian

Proporsi dari kelompok tertentu (misal narapidana yang dibebaskan) yang berada dalam kategori negatif (misal ditahan ulang ; dihukum ulang) dalam periode waktu tertentu (misal 3 tahun semenjak waktu pembebasan). Hoffman dan Stome – Meierhoefer 1980(dalam Adami, 2012).

Teguh (2010) menyebutkan pengulangan kejahatan yang dimaksudkan dilakukan oleh narapidana kategori reisidivis yaitu :

a. Seseorang yang pernah melakukan kejahatan

b. Suatu kejahatan sudah dijatuhi hukuman dan sudah dijalani c. Kemudian ia mengulangi kembali perbuatan kejahatan (bisa

dengan jenis kejahatan yang berbeda).

d. Maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pemberatan hukuman.


(40)

Jenis kejahatan berulang yang dilakukan narapidana kategori residivis yang dapat digunakan sebagai dasar pengulangan diatur dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHP sebagai berikut (Teguh, 2012) :

a. Pasal 486 : kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:

1) Dengan maksud untuk mencari keuntungan yang tidak layak.

2) Yang menggunakan tipu muslihat.

b. Pasal 487 : kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:

1) Terhadap badan dan jiwa seseorang. 2) Kekerasan terhadap seseorang.

c. Pasal 488 : kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang bersifat penghinaan.

Teguh (2012) menyimpulkan seorang narapidana dapat dikategorikan residivis jika :

a. Kejahatan yang pertama dilakukan harus sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.

b. Putusan yang mengandung hukuman tersebut harus mempunyai kekuatan akhir.


(41)

c. Hukuman tersebut harus sudah dijalankan baik seluruhnya maupun sebagian, atau sejak hukuman tersebut dihapuskan.

d. Jangka waktu antara saat kejahatan yang dilakukan dan saat hukuman yang dijatuhkan terhadap kejahatan pertama yang telah selesai dijalani, belum lampau lima tahun.

e. Jenis hukuman harus merupakan hukuman penjara menurut ketentuan Pasal 486 dan 487 sedangkan Pasal 488 tidak menentukan jenis hukuman tertentu.

Pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (dalam Muhammad, 2013), menetapkan masa tenggang waktu patokan keberhasilan pembinaan, adalah 2 tahun. Jika seorang narapidana melakukan kejahatan dan dihukum ulang dalam waktu masa tenggang tersebut maka ia dikategorikan sebagai residivis. Sebaliknya bila kembalinya bekas narapidana terpenjara ke dalam proses penghukuman setelah masa tenggang maka ia dikategorikan sebagai nonresidivis.

Seseorang tidak dapat dengan mudah disebut sebagai residivis, harus ada beberapa kriteria seperti jenis kejahatan yang dilakukan diatur dan ditetapkan KUHP dalamPasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHP. Seorang yang melakukan tindakan kejahatan ulang dalam periode waktu tertentu yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, bahwa seseorang


(42)

dapat dikategorikan sebagai residivis jika seorang narapidana melakukan kejahatan dan dihukum ulang dalam waktu masa tenggang 2 tahun.

E. Kejahatan 1. Pengertian

Kejahatan merupakan suatu nama yang diberikan kepada orang-orang tertentu atas perbuatan jahat yang mereka lakukan. Pengertian kejahatan sendiri bersifat relatif, bagi orang satu dengan orang lainnya bisa berbeda. Bagi beberapa orang sebuah pengertian kejahatan menjadi relatif, karena setiap orang membawa nilai-nilai dan sudut pandang yang berbeda. Kejahatan memiliki 3 pengertian dengan persepktif yang berbeda, yaitu a. Pengertian secara praktis; b. Pengertian secara religius; dan c. Pengertian secara yuridis. a. Pengertian secara praktis

Di dalam masyarakat terdapat beberapa jenis norma, yaitu norma agama, kebiasaan, kesusilaan, dan norma yang berasal dari adat istiadat. Jika ada pelanggaran atas norma tersebut masyarakat atau orang perorangan akan memunculkan suatu reaksi, reaksi yang dimunculkan bisa berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Cara tersebut sering digunakan oleh masyarakat untuk membedakan antara perbuatan tersebut terpuji atau perbuatan tersebut tidak terpuji.

Perbuatan-perbuatan wajar atau sesuai dengan norma dan moral masyarakat disebut sebagai “kebaikan”, sedangkan perbuatan tidak wajar


(43)

disebut “kejahatan”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian secara praktis adalah suatu pengertian yang merupakan campur bauran arti kejahatan dari bermacam-macam norma sebagaimana telah peneliti sebutkan tadi. Sebagai contoh kasus seperti seorang guru yang kejam menurut ukuran murid, dapat dicap oleh murid-muridnya sebagai seorang guru yang jahat. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang dapat mengartikan satu buah perbuatan dengan sudut pandang yang berbeda-beda.

b. Pengertian secara yuridis

Menurut kata-kata Utrecht (dalam Bawengan, 1977), bahwa:

“Kejahatan adalah perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan nilai

moral, nilai agama, dan rasa keadilan masyarakat, sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban

hukum.”

Pengertian kejahatan menurut Soejono (dalam Bawengan, 1977) adalah nama atau sebutan yang diberikan kepada salah satu jenis perbuatan melanggar hukum dan merugikan orang lain yang dilakukan oleh seseorang dan perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri yang bersifat nampak atau dapat dirasakan.

Kejahatan sebagai perbuatan manusia dapat diartikan dengan beberapa segi perpsektif, yang meliputi :

1. Kejahatan dilihat dari segi sosiologis

Sosiologis sendiri merupakan definisi darisebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala dalam pergaulan hidup sebagaimana adanya.


(44)

Jika kejahatan dilihat melalui segi sosiologis maka kejahatan merupakan salah satu jenis gejala sosial yang berkenaan dengan individu atau masyarakat dan memiliki ciri yaitu dapat dirasakan oleh masyarakat.

Sedangkan menurut W.A. Bonger (dalam Soejono, 1977) kejahatan merupakan perbuatan yang imoril dan a sosial, yang tidak dikehendaki oleh kelompok pergaulan yang bersangkutan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah. Rumusan arti kejahatan menurut Paul Mudigio Moeliono (dalam Soejono,1977) kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma yang dirasakan merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan.

2. Kejahatan dilihat dari segi psikologis

Secara psikologis kejahatan adalah perilaku manusia yang dicerminkannya dalam masyarakat dan berhubungan dengan kegiatan kejiwaan individu atau beberapa individu yang bersangkutan, yang mana perilaku tersebut tidak selaras dengan kehendak pergaulan hidupnya yang telah dituangkan dalam norma-norma pergaulan yang bersangkutan.

Dapat dikatakan kejahatan merupakan suatu perbuatan yang tidak selaras dengan norma. Kejahatan yang dilakukan individu tersebut dapat disebabkan oleh beberpa faktor kemungkinan, meliputi :

1. Oleh faktor-faktor psikopathologis, yaitu a) Menderita gangguan kejiwaan


(45)

b) Yang belum sampai mengalami gangguan kejiwaan, tetapi tedapat kelainan-kelainan kejiwaan karena kondisi I.Q-nya dan sebagainya.

2. Adanya dorongan dan secara sadar menyetujui perbuatan melanggar undang-undang, yaitu yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan pelanggaran hukum secara professional.

3. Adanya faktor-faktor sosial yang langsung mempengaruhi individu atau kelompok sehingga yang bersangkutan mengalami kesulitan kejiwaan, yaitu yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sosial yang hadapinya.

Dapat ditarik kesimpulan melalui beberapa pengertian dari berbagai perspektif mengenai kejahatan yang disebutkan di atas, bahwa kejahatan merupakan suatu perbuatan yang melanggar nilai-nilai umum masyarakat dan sifatnya merugikan orang lain, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan, telah dirumuskan di dalam kitab perundang-undangan di Indonesia yang disebut KUHP.

3. Penjelasan Kejahatan Dilakukan oleh Laki-laki

Connell (dalam Heidensohn, 2006) mengungkapkan pada konsep patriarki, dominasi, penindasan, dan eksploitasi, laki-laki dianggap lebih


(46)

memiliki kuasa daripada perempuan. Pada konstruksi sosial patriarki, maskulinitas merupakan hal yang penting namun tidak semua laki-laki berhasil dalam menunjukkan sisi maskulin melalui kegiatan yang positif seperti kegiatan olahraga dan pekerjaan profesional. Menurut Messerchmidt dalam kutipannya :

“Young men situationally accomplish public forms of masculinity in response to their socially structured circumstances … varieties of youth crime serve as a suitable resource for doing masculinity when other resources are unavailable.” (Messerschmidt dalam David 2007)

Kejahatan (contoh: kekerasan yang bersifat agresi) menjadi salah satu alat pengganti untuk dapat memunculkan dan memenuhi sisi maskulin. Connell (dalam Heidensohn, 2006) menjelaskan maskulinitas tidak semudah itu dapat dilabelkan hanya pada kaum laki-laki atau sebaliknya pada kaum wanita. Laki-laki dan wanita sama-sama dapat memiliki sisi maskulin. Maskulinitas sendiri tidak statis dan dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Masyarakat menempatkan laki-laki dalam konstruksi sosial di masyarakat sebagai sosok yang memiliki kuasa lebih.

Maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki sisi maskulin. Maskulinitias bagi laki-laki menjadi sangat penting dan seringkali berusaha untuk ditonjolkankarena laki-laki berada pada konstruksi budaya yang oleh masyakarakat sudah dibangun sejak lama, yaitu budaya patriarki, dimana laki-laki lebih memiliki dominasi dan


(47)

kuasa lebih daripada perempuan. Maskulinitas tersebut dimunculkan dalam bentuk domninasi dan kuasa. Sehingga pada laki-laki sisi maskulin merupakan hal yang penting untuk menunjukkan jati diri dan dominasinya.

4. Penjelasan psikologis atas kejahatan

Yochelson (seorang psikiater) dan Samenow (seorang psikolog) (dalam Santoso, 2004) di dalam bukunya The Criminal Personality menolak klaim para psikoanalisis bahwa kejahatan muncul karena disebabkan oleh konflik internal, keduanya menemukan bahwa kejahatan juga dapat dipengaruhi dan disebabkan oleh pola pikir abnormal yang membuat para pelaku kejahatan memutuskan untuk melakukan kejahatan. Yochelson dan Samenow mengidentifikasikan sebanyak 52 pola berpikir yang umumnya ada pada penjahat yang telah mereka teliti, keduanya berpendapat para penjahat

tersebut adalah orang yang “marah”, merasa diri superior, mempunyai harga

diri yang sangat melambung, dll. Ketika seseorang dengan harga diri yang tinggi diserang harga dirinya, ia akan bisa memberikan reaksi yang sangat kuat dan sering berupa kekerasan.

Meskipun tidak semuanya, namun berkisar antara 20 hingga 60 persen warga binaan lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (kekacauan mental). Mental disorder yang biasanya dimiliki oleh para warga binaan yaitu kepribadian psychopathy atau antisocial personality. Kepribadian psikopati dan antisosial saling berhubungan, namun sama sekali


(48)

tidak identik. McCor dan McCord (dalam Kring, 2012) menyimpulkan, berdasarkan kajian literatur, penyebab utama seseorang memiliki perilaku psikopati adalah kurangnya afeksi dan penolakan berat oleh orang tua. Myers, Stewart, & Brown (dalam Kring, 2012) mengungkapkan Lebih dari 60% anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku di kemudian hari menjadi gangguan kepribadian antisosial. Orang dewasa yang mengalami gangguan kepribadian antisosial menunjukkan perilaku tidak bertanggung jawab dan antisosial dengan bekerja secara tidak konsisten, melanggar hukum, mudah tersinggung dan agresif secara fisik, tidak mau membayar utang, dan sembrono, serta ceroboh.

Dari paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan tidak hanya semata-mata karena faktor internal namun karena memiliki pola pikir yang abnormal seperti merasa diri superior dan memiliki harga diri yang tinggi. Selain itu yang menjadi penyebab seseorang melakukan kejahatan adalah karena adanya gangguan mental.

5. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kejahatan

Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havans, Cuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan khususnya dalam “Urban Crime”, antara lain disebutkan di dalam dokumen A/CONF.144/L.3 sebagai berikut :


(49)

a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebdohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi.

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.

c. Mengendurnya ikatan sosial dan budaya.

d. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain.

e. Rusaknya atau hancurnya identittas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan.

f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendiringa peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya.


(50)

h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius, dan lain-lain yang pemakainnya juga diperlua karena faktor-faktor yang disebut diatas.

i. Meluasnya akttifitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian. j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai

ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak), atau sikap-sikap tidak toleran (intolerasnsi).

Dengan ini disimpulkan bahwa penyebab munculnya tindakan kejahatan adalah karena adanya faktor internal, faktor yang berasal dari dalam diri yaitu adanya gangguan kejiwaan bawaan seperti psychopathy atau antisocial personality, adanya beberapa pola pikir yang terdistorsi, dll. Selain itu tindakan kejahatan muncul karena adanya faktor eskternal yang ikut mempengaruhi seseorang, antara lain : minuman beralkohol dan penggunaan obat-obatan narkotika, lingkungan tempat tinggal yang kurang maju, kurangnya ikatan sosial, dorongan-dorongan megenai ide-ide dan sikap-sikap kekerasan, dan sulitnya seseorang untuk berintergrasi dengan lingkungannya.


(51)

F. Pengalaman kejahatan 1. Pengertian

Pengalaman kejahatan merupakan sebuah proses dimana individu merasakan alam primer yang merujuk pada kesayaan dari dunia yang muncul

sebagai dunia yang “kualami”. Alam yang dialami adalah perbuatan –

perbuatan yang melanggar nilai-nilai umum masyarakat yang sifatnya merugikan orang lain.

Seseorang memutuskan untuk berkomitmen dengan dunia kejahatan bukan merupakan sebuah kebetulan, ada alasan yang melatarbelakangi seseorang kemudian memilih melakukan tindakan kejahatan. Paul Brantingham and Patricia Brantingham (2008) mengungkapkan terdapat proses pendahulu sebelum individu memutuskan untuk melakukan tindakan kriminal, individu tersebut memiliki aktifitas non-kriminal yang kemudian dapat ikut membantu seseorang menciptakan sebuah keputusan yang berhubungan dengan aktifitas kriminal. Dalam suatu aktifitas yang dilakukan seseorang akan dihadapkan pada sebuah keputusan, keputusan dalam beraktifitas tersebut membentuk suatu pola rutinitas yang kemudian berubah menjadi kegiatan regular. Aktifitas regular kemudian membentuk suatu pola abstrak. Pada konteks keputusan berkomitmen pada kegiatan kriminal hal ini disebut sebagai crime template. Brantingham & Brantingham, Cornish &Clarke, Cromwell (dalam Wortley, 2008) mengatakan bahwa pengembangan sebuah keputusan rutin, baik kriminal maupun kriminal


(52)

melibatkan serangkaian identifikasi keputusan-keputusan yang bekerja. Hal yang mempengaruhi keputusan tidak selalu sesuai dengan standar optimal yang objektif, yang utama adalah cukup sesuatu yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu, Cusson (dalam Wortley, 2008) mengatakan bahwa sebuah kejahatan dapat dipicu oleh kemarahan, dendam, atau kebutuhan merasakan sensasi yang sifatnya berbahaya, sama halnya seperti kebutuhan akan ekonomi atau emosional.

Dapat disimpulkan bahwa seseorang memilih untuk melakuan tindakan kejahatan selalu didasari oleh adanya serangkaian keputusan-keputusan yang mendukung pengambilan keputusan tersebut. Bukan semata-mata tanpa disengaja, namun keputusan melakukan kejahatan merupakan keputusan yang cukup disadari oleh individu yang bersangkutan.

G. Lembaga Pemasyarakatan 1. Fungsi

Bertujuan untuk melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam sistem peradilan pidana. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan telah dipersiapkan berbagai program pembinaan bagi narapidana yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan, jenis


(53)

kelamin, agama dan jenis tindak pidana yang dilakukan narapidana tersebut. Kemudian program pembinaan bagi para narapidana disesuaikan juga dengan lama hukuman yang akan dijalani para narapidana dan anak didik, agar mencapai sasaran yang telah ditetapkan, yaitu agar mereka menjadi warga negara yang baik di kemudian hari dan nantinya diharapkan dapat ikut membangun bangsa. Selain itu, Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir dalam pembinaan narapidana, membantu memulihkan kondisi warga binaan pada konisi sebelum melakukan tindak pidana dan melakukan pembinaan di bidang kerohanian dan keterampilan seperti pertukangan, menjahit, dan lain sebagainya. Lembaga pemasyarakatan harus mempertingkan hak dan kepentingan narapidana (warga binaan yang bersangkutan).

Berdasarkan undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan harus dilaksanakan berdasarkan asas :

a. Pengayoman

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan c. Pendidikan

d. Pembimbingan

e. Penghormatan harkat dan martabat manusia


(54)

g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu

Secara umum fungsi dari lembaga pemasyarakatan adalah untuk membina warga binaan dan memperbaiki kualitas perilaku serta moral yang sebelumnya telah salah, sehingga ketika keluar ia bisa berguna bagi nusa bangsanya. Lama dari suatu pembinaan diberikan sesuai dengan lama hukuman pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim kepada seorang narapidana sesuai dengan bobot kejahatannya.


(55)

34 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Penelitian Kualitatif dengan pendekatan Analisis Fenomenologi Interpretatif, dengan mengolah data berupa transkrip wawancara. Data yang diambil berbentuk transkrip wawancara dan rekaman suara.

Van Kaam (dalam Hall, 1993) merumuskan paradigma fenomenologi

“Sebagai paradigma dalam ilmu psikologi yang berusaha untuk

menyingkapkan dan menjelaskan gejala-gejala tingkah laku sebagaimana gejala-gejala tingkah laku tersebut mengungkapkan dirinya secara langsung dalam pengalamannya. Moustakes, 1994 (dalam Creswell, 2013) mengatakan bahwa melalui pemahaman dari pengalaman-pengalaman hidup manusia menjadikan filsafat fenomenologi sebagai suatu metode penelitian yang prosedur-prosedurnya mengharuskan peneliti untuk dapat mengkaji sejumlah informan dengan terlibat secara langsung dan relatif membutuhkan waktu yang lebih panjang di dalamnya untuk mengembangkan pola-pola dan relasi-relasi makna. Pendekatakan analisis fenomenologi interpretatif merupakan sebuah metode yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana individu memaknai pengalaman hidup utama mereka (Smith, 2009). Metode analisis fenomenologi interpretatif secara khusus melihat bagaimana sebuah


(56)

pengalaman bisa menjadi sangat penting atau signifikan pada diri individu, sehingga tidak untuk mencari kebenaran mutlak tetapi pada hakekatnya untuk mencari pemahaman dari hasil observasi dan analisis secara mendetail mengungkap pemaknaan dari pengalaman hidup pada beberapa informan yang masih berstatus sebagai narapidana kategori residivis di lembaga pemasyarakatan. Bagaimana individu tersebut kemudian membuat sebuah keputusan di dalam hidupnya untuk berkomitmen dengan dunia kejahatan.

B. Fokus Penelitian

Fokus pada penilitan ini adalah analisis mengenai pengalaman hidup signifikan dan berusaha menangkap pola-pola pengalaman yang serupa pada narapidana kategori residivis. Peneliti mencoba menggali lebih dalam mengenai alam pengalaman dari masing-masing residivis. Masing-masing residivis berasal dari berbagai macam latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, seperti budaya, tempat tinggal, lingkungan sosial, pendidikan, dll, sebagaimana mungkin dapat menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada perilaku, pola pikir, dan pandangan para residivis.

C. Informan Penelitian

Mengacu pada tujuan yang sudah dipaparkan, Informan pada penelitian ini adalah seorang narapidana aktif dengan kategori residivis yang berjumlah empat orang.


(57)

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Wawancara semi-terstruktur

Model wawancara semi-terstruktur merupakan jenis wawancara dengan membangun suasana yang nyaman antara pewawancara dengan yang diwawancarai untuk membantu mengumpulkan informasi yang mendalam. Jenis pertanyaannya bersifat terbuka sehingga yang informan yang diwawancarai tidak merasa dibatasi (Smith, 2009). Pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Pada penelitian ini peneliti berusaha senatural mungkin mengikuti keadaan informan pada saat sesi wawancara, wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui komunikasi langsung antara informan dan peneliti untuk mengetahui hal-hal awal mengenai masalah maupun hal-hal yang lebih mendalam.

Peneliti juga menggunakan panduan wawancara untuk membatasi pertanyaan agar tetap sesuai dengan tujuan penelitian. Panduan wawancara ini juga berfungsi untuk memudahkan peneliti melihat kembali aspek apa saja yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan yang dibahas telah lengkap.


(58)

Pengumpulan data dilakukan dengan instrumen penelitian berupa tape recorder dan buku catatan. Alat ini digunakan untuk membantu merekam seluruh isi wawancara secara lengkap dan menyeluruh. Sebelumnya peneliti akan meminta ijin kepada informan untuk kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian kemudian diwawancarai dan direkam dengan menggunakan instrumen tape recorder serta dalam informed consent, peneliti menjamin kerahasiaan wawancara dan akan memberikan salin pembicaraan ini untuk diperbaiki, diubah atau ditambah sesuai persetujuan yang diberikan oleh informan.


(59)

Tabel 1

Panduan Pertanyaan Wawancara 1. Biodata informan.

2. Bagaimana anda menceritakan pengalaman hidup anda? 3. Bagaimana anda memaknai pengalaman hidup anda?

*Jika muncul cerita berkaitan dengan perilaku kejahatan maka pertanyaan selanjutnya :

1. Bagaimana lingkungan tempat tinggal anda?

2. Mengapa anda melakukan perbuatan tersebut?

3. Adakah perasaan tertentu ketika melakukan perbuatan tersebut?

4. Ini sudah bukan yang pertama untuk anda, bagaimana ceritanya anda bias kembali melakukan kejahatan?

4. Bagaimana perasaan anda?

E. Pedoman wawancara

Penyusunan pedoman wawancara berdasarkan dari tujuan penelitian yang sudah dipaparkan, yaitu pengalaman yang dimulai saat para narapidana masih kecil hingga saat mereka diwawancarai. Peneliti mencoba melakukan


(60)

pendekatan/ probbing untuk membangun rasa percaya antara peneliti dengan informan kemudian secara natural masuk dan menggali ke dalam pengalaman kejahatan para informan.

F. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis fenomenologi interpretatif.

G. Prosedur Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis fenomenologi interpretatif (Smith, 2009), dilakukan prosedur analisis data dengan beberapa modifikasi yang dilakukan oleh peneliti untuk mencapai kesimpulan dengan melakukan langah-langkah berikut :

Step 1 : Reading and re-reading

Mempelajari transkrip dengan membaca berulang-ulang untuk memahami dunia pengalaman informan dan menangkap hal-hal yang penting.

Step 2 : Initial noting

Mempelajari semantic content dan bahasa di dalam transkrip, Mempelajari dan memahami dunia informan, mendeskripsikan hal-hal yang penting bagi mereka (relasi, proses, tempat, peristiwa, nilai, dan prinsip) dan makna dari hal-hal tersebut bagi mereka. Memberikan komentar terkait


(61)

dengan transkrip yang berisi hal-hal yang penting di dalam exploratory comments.

Step 3 : Developing emergent themes

Menjaga kompleksitas dalam hal pemetaan yang saling berkaitan, terkoneksi, dan memiliki pola antara catatan dengan exploratory comments.

Step 4 : Searching for Connections across emergent themes 1. Transcription

Mem-verbatim-kan (kata perkata) hasil rekaman wawancara menjadi sebuah transkrip

2. Abstraction

Melakukan abstraksi dari hasil verbatim yang berbentuk transkrip asli untuk mengidentifikasi tema-tema yang muncul, kemudian

berkembang menjadi „super-ordinate theme’ / tema-tema besar setelah melakukan clustering.

3. Contextualitation

Melakukan kontekstualiasi guna melihat hubungan antara tema-tema yang muncul dengan saat-saat naratif tertentu milik informan.

4. Numeration

Menghitung frekuensi banyaknya tema sejenis yang muncul dan menyatukan tema-tema yang sejenis dari hasil analisis transkrip 5. Clusteration


(62)

Setelah menemukan tema-tema pada transkrip kemudian peneliti melakukan clustering / klasifikasi pada tema-tema yang sejenis. Tema-tema yang sejenis diklasifikasikan dan berkembang menjadi

super-ordinate theme’ atau tema-tema besar, „super-ordinate theme’ kembali ditinjau ulang untuk diklasifikasikan dengan melihat pola-pola psikologis yang sejenis dengan lebih mendetail sehingga membentuk sebuah tema besar utama atau master theme.

H. Kualitas Penelitian

Penelitian ini menggunakan kerangka garis besar yang disusun oleh Yardley (dalam Smith, 2008), untuk membantu mendemonstrasikan kualitas dari penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti sebagai berikut :

1. Sensitivity to context

 Menggunakan teori-teori yang relevan dan empiris  Setting sesuai dengan keadaan sosial

 Menggunakan sudut pandang informan 2. Commitment and rigour

Pengumpulan data yang menyeluruh Analisis yang mendalam


(63)

Kemampuan secara metodologi Keterlibatan mendalam dengan topik 3. Coherence and transparency

 Kejernihan dan kekuatan argumentasi (keselarasan dengan teori, pertanyaan penelitian, metode yang digunakan, dan interpretasi data)

 Sesuai dengan teori dan metode yang digunakan

 Penyajian data dan penggunaan metode yang transparan  Refleksi (untuk menghindari adanya pengaruh dari peneliti

terhadap kualitas penelitian) 4. Impact and importance

Berguna secara praktis

Berdampak pada fenomena sosial budaya


(64)

43 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan

Pelaksanaan penelitian dimulai dari pengurusan administrasi perijinan ke Kantor Kebangsaan dan Kantor Dinas Sosial untuk mendapatkan surat ijin penelitian yang nantinya diberikan ke kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Ham untuk mendapatkan surat rekomendasi serta ijin untuk bisa melakukan penelitian ke Lapas Kelas II B Cebongan, Sleman.

Pencarian informan langsung dilakukan pada hari Rabu, 18 Maret 2015, yang berlokasi di Lapas Kelas II B Cebongan, Sleman. Informan penelitian memiliki status sebagai narapidana dengan kategori residivis.

Metode yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan model wawancara semi-terstruktur yang merupakan jenis wawancara dengan membangun suasana yang nyaman antara pewawancara dengan yang diwawancarai untuk membantu mengumpulkan informasi yang mendalam. Jenis pertanyaan yang digunakan bersifat terbuka sehingga memberikan kenyamanan dan kebebasan bercerita kepada informan yang diwawancarai (Smith, 2009). Panduan wawancara digunakan peneliti sebagai upaya untuk menjaga arah wawancara agar tidak melebar dan tetap


(65)

sesuai degan tujuan penelitian. Panduan wawancara ini juga berfungsi untuk memudahkan peneliti melihat kembali aspek apa saja yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan yang dibahas telah lengkap. Kemudian instrumen yang digunakan penliti untuk mengumpulkan data adalah tape recorder dan buku catatan. Sebelum dimulai sesi wawancara, peneliti memberikan informed consent sebagai bukti kesediaan dan persetujuaan informan dalam penelitian ini.

Pada hari Rabu, 18 Maret 2015 dilaksanakan 2 sesi wawancara sekaligus terhadap dua informan. Wawancara dilaksanakan di halaman dalam lapas Sleman. Wawancara yang pertama ini sebelumnya terdapat 3 calon informan, namun pada salah satu narapidana menolak untuk menjadi informan setelah diberikan informed consent. Wawancara yang ke dua dilakukan pada hari Selasa, 12 Mei 2015, dilakukan 2 sesi sekaligus terhadap dua informan, wawancara yang kedua dilaksanakan di dalam kantor lapas Sleman karena terdapat evaluasi oleh peneliti terhadap wawancara yang pertama.

Sesi wawancara dimulai dengan perkenalan peneliti terhadap informan, peneliti juga menyampaikan tujuan penelitian yang dilakukan, kemudian peneliti meminta kesediaan informan dengan menyerahkan informed consent. Informed consent berisi mengenai tujuan penelitian, pernyataan dari peneliti atas kerahasiaan informasi yang diberikan informan dan pernyataan kesetujuan informan berkontribusi dalam penelitian. Setelah informan menandatangani informed consent, peneliti memulai dengan rapport untuk


(66)

membangun rasa percaya dan perasaan nyaman antara informan dan peneliti. Peneliti melakukan pembicaraan ringan dengan seputar biodata dan perbincangan umum. Selain itu, peneliti menyiapkan panduan wawancara agar isi wawancara tetap sesuai dengan aspek yang diteliti. Setiap informan diminta untuk menceritakan pengalaman tentang kehidupannya baik sebelum melakukan kejahatan sampai ketika setiap informan memilih melakukan tindakan kejahatan.

B. Profil Informan Penelitian Tabel 1

Identitas Informan

Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4

Inisial V S B R

Jenis Kelamin

Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Asal Kota Yogyakarta Pekalongan Yogyakarta Yogyakarta

Tempat Tanggal lahir Badran, 26 November 1993 Batang, 19 November 1975

Kricak, 1 Juni 1979

Purwokerto, 9 April 1991 Umur 22 tahun 39 tahun 37 tahun 24 tahun

Status Duda Kawin Kawin Lajang

Pekerjaan Montir bengkel motor

Sopir Sopir Montir


(67)

Tabel 2

Pelaksanaan Wawancara

KETERANGAN TEMPAT HARI,

TANGGAL

WAKTU

Informan I Lapas II B Cebongan, Sleman

Rabu, 18 Maret 2015

10.30 – 11.00 WIB Informan II Lapas II B

Cebongan, Sleman

Rabu, 18 Maret 2015

11.00 – 12.30 WIB

Informan III Lapas II B Cebongan, Sleman

Selasa, 12 Mei 2015

10.25 – 11.15 WIB Informan IV Lapas II B

Cebongan, Sleman

Selasa, 12 Mei 2015

11.25 – 12.00 WIB

C. Hasil Analisis 1. Informan I ( inisial V, 22 )

Melihat paparan informan I (22), tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukannya dapat disimak dari ketiga hal yang meliputi motif, lingkungan dan jenis tindakannya. Dinamika ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan atau dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah. Secara keseluruhan komponen di dalam pengalaman informan I (22) terdiri atas pengalaman psikologis (emosi, pikiran, dll) yang saling berkaitan. Peneliti akan mengkonstruksikan kembali agar mudah dipahami mengenai apa yang sudah


(68)

diceritakan oleh informan I (22) seputar pengalaman kejahatannya dari awal melakukan aksi kejahatan hingga saat informan I di wawancarai.

Informan I (22) di umurnya yang masih sangat muda mengalami sebuah peristiwa yang tidak menyenangkan, peristiwa yang membuatnya stress dan marah. Informan I (22) mulai menyalahkan perceraian kedua orang tuanya sebagai awal permasalahan ia mulai masuk ke dalam dunia kejahatan, mulai bergaul dengan orang-orang yang memberikan pengaruh negatif sehingga kehidupannya menjadi semakin liar seiring bertambah dekatnya ia dengan teman-temannya. Perceraian kedua orang tuanya memberikan dampak yang besar kepada perubahan hidupnya, pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut direpresi informan I (22) dengan cara dilupakan dan tidak dihiraukan secara ia tidak sadari. Seperti kehilangan arah dan tidak memiliki prinsip, informan I (22) terus menerus mencari kesenangan-kesenangan untuk membuatnya keluar dari perasaan penat. Hal ini diungkapkan informan I (22) dalam kutipannya sebagai berikut :

“Saya mulai bekerja kaya gini tu, dari orang tua, karena orang tua saya

pisah. Sejak umur berapa ya? Lupa mbak.. Liburan.. refreshing.”

(Informan 1, 96-97, 111, 179)

Kutipan “Saya mulai bekerja kaya gini tu, dari orang tua, karena orang tua saya pisah.” Adanya penekanan nada di akhir kalimat. Menunjukkan nuansa kemarahan dalam diri informan I (22) atas keadaan yang kurang nyaman, kemudian menyalahkan keadaan “dari orang tua, karena orang tua saya pisah.” yang membuatnya menjadi seperti sekarang. Kemudian kutipan


(69)

”Sejak umur berapa ya? Lupa mbak..” diucapkan informan I (22) dengan gaya tak acuh seolah seperti dilupakan secara tidak sengaja. Melalui kutipan tersebut peneliti menangkap informan I (22) berusaha merepresi pengalaman perceraian kedua orang tuanya. Pengalaman yang kurang menyenangkan tersebut mendorong informan I (22) untuk terus mencari kesenangan, adanya unsur kepenatan dalam diri informan I (22), melalui kutipan ini disampaikan :

Liburan.. refreshing.”. Berdasarkan dari data yang telah diolah, peneliti mendapatkan sebuah makna mendasar dari sebuah pengalaman kejahatan pada informan I (22) sebagai narapidana kategori residivis. Sebab musabab mengapa ia memilih masuk ke dalam dunia kejahatan adalah mendapatkan sebuah pengalaman kurang menyenangkan, yaitu perceraian kedua orang tuanya. Pengalaman tersebut memberikan perubahan besar pada diri informan I (22). Pengalaman kurang menyenangkan dimaknai sebagai pengalaman signifikan yang mengantarkan informan I (22) masuk ke dalam dunia kejahatan. Pengalaman tersebut kemudian membentuk sebuah kronologi dari awal perjalanannya masuk ke dalam pengalaman kejahatan. Berikut akan dijelaskan bagaimana pengalaman kejahatan informan I (22) dijabarkan sehingga membentuk sebuah kronologi.

Informan I (22) merupakan seorang laki-laki berumur 22 tahun yang tinggal di daerah Badran, Yogyakarta. Informan I (22) merupakan duda ber-anak satu. Informan I memiliki hobi bermain motor dan sempat bekerja di salah satu bengkel milik temannya. Sejak umur 11 tahun kedua orang tuanya


(70)

telah bercerai. Kemudian, informan I (22) mulai bergaul dengan teman-teman yang menjerumuskannya pada dunia kejahatan, selain itu informan I (22) tidak menyelesaikan pendidikan SMU setelah orang tuanya bercerai. Berikut kutipan yang diungkapkan oleh informan I (22) :

“Baru SMU kelas 2 nggak lulus saya sudah keluar, akhirnya ikut-ikut temen, tapi salah..salah pergaulan.”(Informan I, 111-112)

Masuk ke dalam pergaulan yang salah disadari oleh informan I (22). Pengaruh negatif yang diterimanya di dalam kelompok membuatnya menjadi anak nakal. Kehidupan hedonis yang berasal dari lingkungan pergaulannya semakin mempengaruhinya untuk menjadi seseorang yang memiliki perilaku yang negatif. Informan I (22) mulai mengkonsumsi narkoba bersama dengan teman-temannya. Di samping ia dan teman-temannya mengkonsumsi narkoba, mereka mulai merencanakan aksi kejahatan. Informan I (22) kemudian menerima ajakan teman-temannya untuk melakukan aksi pencurian, dengan sadar dan niat dari dalam diri informan I (22) menerima tawaran untuk mengambil barang yang bukan miliknya. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan informan I (22) :

“Akhirnya saya jadi orang yang nakalah itungannya... Ya karena udah

kemasukan pil. Pil koplo... Diajak temen... Ya ada niat untuk mengambil barang yang bukan barang tempet... Ya uda terus saya berniat untuk

mengambil hape.” (Informan I, 58, 131-132, 141, 145-146, 157-158) Narkoba menjadi suatu kebutuhan bagi informan I (22) dan teman-temannya, dosis yang dibutuhkan semakin meningkat. Keputusan untuk


(1)

Manfaat yang

akan

Anda

dapatkan adalah

Anda

akan melihat

jauh ke

dalam

pemaknaan

hidup

anda. Partisipasi

anda

juga

akan

sangat bermanfaat

untuk

menambah pengetahuan

di

bidang

keilmuan Psikologi. Terkait

dengan

psikologis

dan perilaku Narapidana

/

Residivis.

DenganinisayasebagairespondenBERSEDIA/ffidan

sepakat untuk berpartisipasi sampai akhir penelitiar-r.

Informan

Penelitian

,\

rL^

?arq+.

Peneliti

t1

ilt

lll

^

_

-41f1-7

IY

t/


(2)

FAKULTAS PSIKOLOGI

LNIVERSITAS

SANTA

DHARMA

Kampus

III

Universitas

Sanata Dharma Paingan,

Maguwoharjo, Depok,

Sleman

LEMBAR

PERSETUJUAN

(INFORMED

CONSEI"IT)

Pada

kesempatan

ini,

perkenalkan

saya

olga

Sancaya

Dyah

Permatasari

rl]ahasis\vi Fakultas

psik0logi

universitas

Sanata

Dharma

.vang sedang metlempuh

tugas

akhir.

Sa,va

memohon bantnan

dan

kesecliaan

Bapak

/

Ibu

/

Saudara ut1tuk

berpartisipasi

clalam

penelitian

ini.

Aclapurl

pcnelitiarl

ini

bertttiuan

tltltuk

tllclihat

pemaknaan pelbuatan ueliit-t-ttgelt'

httklttl

r arlg lerjacli sccara bertllang'

Metocle pengu1lpulan

dala

y,ang

akan

cligunak-arl

peneliti

adalah

tlletoclc

wawancara.

peneliti akan

meminta

ir-rtbilnan

untuk

rnenjarvab

seliap

pertauvaiur

terkait

clengan

pcngalaman

hidup

infbflnalr

,vang cliberikan

oieh

pencliti

clau dikemukakanan

Anda

secara

lisan.

Pada

penelitian

ini

akan digunakan alat pcrekarn

/

cligital

recorder

guna

merekam

hasil

wa\\'ancara. Selama proses

penelitian

berlangsung,

Anda

berhak

untuk

mengunclurkan

diri

dalam penelitian

ini

apabila

dirasa

a,da

kurang nyaman.

Pelelitial

ini

clilakukan

saat

anda

tnerasa sr-rclah siap' Proses wawancara akan berlangsung selama 30 sampai 60

menit'

Namun

peneliti

akan

menyesuaikan

ketersediaan

dan

kesediaan

waktu Anda untuk

berpartisipasi

dalam

penelitian

ini.

Ke'ahasiaan clata akan

dilindungi

dan ter.jamin kerali*siaannva.

Peneliti

tidak

akan

membagikan

data

kepada siapapun

terkecuali

kepada dosen

pembimbing

peneliti.

Adapr.rn

nama

Anda

akan

dirahasiakan

dengan

menggunakan

inisial

nntttk

menjaga kenyarnanan

Anda. Anda pun

cliperkenankan

untuk

bertanya seputar hal-hal yang berhubungan dengan

penelitian

ini'


(3)

SAKT}LTES

FSTKCIdff{

U}{iYERSITAS SANTA DHARMA

iiiiri:;7iisi,Fi Ur:iversiras Sana&a

DhatmaPaingan'M*guwohafia Deaok

Sle:naa

I

.E}TBAR

PE,RSETLIJUAN

{\NFORMED

CONSENT)

Patlakesempatanini.perkenalkansayaolgaSanoayaDyahPermatasari

mahasiswi Fakultas

Psikologi

Ljniversitas sanata Dharma

yang

sedang menempuh

tugasakhir.sayamemohonbantuandankese<liaanBapakllbulsaudarauntuk

berpartisipasi dalam

penelitian

ini.

Adapun

penelitian

ini

bertu'iuan

untuk

melihat pemaknaan perbuatan melanggar hukum yang terjadi secara berulang'

Metode

pengumpulan

data

yang

akan

digunakan

peneliti

adalah metode *.av/ancara.

peneliti

akan meminta

responden

untuk

menjawab setiap pertanyaan

terkait

dengan

pengalaman

hidup

responden

yang

diberikan

oleh

peneliti

dan dikemukakanan Anda secara lisan. pada penelitian

ini

akan digunakan alat perekam

i

digital

recorder guna

merekam

hasil

wawancara'

selama

proses

penelitian

beriangsung,

Anda berhak untuk

mengundurkan

diri

dalam

penelitian

ini

apabila dirasa anda kurang nyaman. Penelitian

ini

dilakukan saat anda merasa sudah siap' proses wawancara akan berlangsung selama 30 sampai 60 menit' Namun peneliti akan menyesuaikan ketersediaan

dan

kesediaan

waktu Anda untuk

berpartisipasi

dalam

peneiitian ini.

Kerahasiaan data akan dilindungi dan terjamin kerahasiaannya' Peneliti tidak

akan

membagikan

data

kepada

siapapun

terkecuali kepada

ciosen pembimbing

peneliti.AdapunnamaAndaakandirahasiakandenganmenggunakaninisialuntuk

menjaga kenyamanan Anda. Anda pun diperkenankan untuk bertanya seputar

hal-hal yang berhubungan dengan penelitian

ini'


(4)

menambah pengetahuan

di

bidang keiimuan Psikologi.

'ferkait

iiengan psikoiogis dan

perilaku Narapidana I Residivis.

Dengan

ini

saya sebagai responden

BERSEDIA

/ TIDAK

BERSEDTA dan sepakat untuk berpartisipasi sampai akhir penelitian.

Responden Pene

M

3R


(5)

SAKUET'&$ FS{K$E,SG{ LINIVERSITAS

SANTA

DHARIVIA

Xarupus

III

Ltni versifas Sanafa Dha*na Pai * gan,

Magu*,ofia{o, Depok

Strerren

LEi\{BAR

PERSETUJUAN

(INFORMED

CONSENT")

Pada kesempatan

inr.

perkenalkan saya

OIga

Sancaya

Dyah

Perrnatasari mahasiswi Fakultas

Psikologi

Universitas Sanata Dharma

yang

sedang menempuh

tugas

akhir.

Saya memohon bantuan

dan

kesediaan Bapak

I

lbu

I

Saudara untuk berpartisipasi dalam

penelitian

ini.

Adapun

penelitian

ini

bertujuan

untuk

melihat pemaknaan perbuatan melanggar hukum yang terjadi secara berulang.

Metode

pengumpulan

data yang akan

digunakan

peneliti

adalah metode wawancara.

Peneliti akan meminta

responden

untuk

menjawab setiap peftanyaan

terkait

dengan

pengalaman

hidup

responden

yang

diberikan

oleh

peneliti

dan dikemukakanan Anda secara lisan. Pada penelitian

ini

akan digunakan alat perekanr

/

digital

recorder guna

merekam

hasil

wawancara.

Selama proses

penelitian berlangsung,

Anda

berhak

untuk

mengundurkan

diri

dalam penelitian

ini

apabila dirasa anda kurang nyaman. Penelitian

ini

dilakukan saat anda merasa sudah siap.

Proses wawancara akan berlangsung selama 30 sampai 60 menit. Namun peneliti akan menyesuaikan ketersediaan

dan

kesediaan

waktu Anda untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini.

Kerahasiaan data akan dilindungi dan terjamin kerahasiaannya. Peneliti tidak

akan

membagikan

data

kepada

siapapun

terkecuali

kepada ciosen pembirnbing

peneliti.

Adapun nama

Anda

akan dirahasiakan dengan menggunakan

inisial

untuk menjaga kenyamanan Anda. Anda pun diperkenankan untuk bertanya seputar hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ini.


(6)

akan

sangat bermanfaat

untuk menambah pengetahuan

di

bidang keiirnuan Psikologi.

'lerkait

dengan psikologis dan

perilaku Narapidana

i

Residivis.

rlengan

ini

say'a sebagai responden BERSEDTA

/ TIDAK

BBRSEDTA dan sepakat untuk berpartisipasi sampai akhir penelitian.

Responden Peneltian

Olga Sancava Dyah Permatasari

.V

a*

r$

ri>

INL