Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan belanda
19
telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto Indonesia masih berada dalam
penjajahan Belanda. Pada tanggal 22 September 1945 NICA Belanda mengeluarkan aturan pidana yang berjudul Tijdelijke
Biutengewonge Bepalingen
van Strafrecht
Ketentuan- Ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukun
Pidana. Kedua hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia dan pemerintahan Belanda diberlakukan secara
bersama-sama di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, masa ini disebut juga masa dualisme KUHP Wantjik dalam Bahiej,
2006. 2. Tahun 1949-1950
Pada masa ini konstitusi UUD 1945 tidak berlaku lagi dan digantikan Konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan
pada pasal 192 RIS, maka secara praktis hukum pidana yang berlaku tetap Wetboek van Strafrecht yang disebut juga sebagai
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dualisme KUHP masih berlangsung dalam masa ini.
3. Tahun 1950-1959 Pada tahun 1950 Belanda mengakui kedaulatan
Indonesia sehingga Indonesia kembali menjadi negara republik kesatuan. Pada masa peralihan ini konstitusi yang berlaku
adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Berdasarkan pasal
20
142 UUD Sementara, peraturan hukum yang dipakai tidak mengalami perubahan dan tetap menggunakan KUHP.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda juga mengakhiri dualisme KUHP di Indonesia. Hal ini secara tegas ditetapkan
dalam UU No.73 tahun 1958 yang menyatakan bahwa UU No.1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia. 4. Tahun 1959-sekarang
Dekrit Preiden tanggal 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945 sehingga Indonesia menjadi negara
kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Pada masa ini pemberlakuan sistem hukum
pidana tetap berdasarkan pada UU No.1 tahun 1946 dan berlanjut sampai sekarang. Meskipun Indonesia
setelah merdeka mengalami empat kali perubahan konstitusi, namun
sumber hukum pidana tetap mengacu pada Wetboek van Strafrecht
Kitab Undang-Undang
Pidana walaupun
pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan setiap konstitusi.
Sebagaimana Bahiej, Intan 2009 juga menjelaskan sejarah pemidanaan di Indonesia ke dalam tiga bagian yang intinya sama
namun dipaparkan secara berbeda, yaitu :
21
1. Sistem kepenjaraan 1945-1964 Sistem kepenjaraan yang berlaku merupakan sistem
kepenjaraan di Eropa yang diterapkan oleh Belanda dengan memberlakukan Gestichten Reglement Reglement Penjara.
Tujuan dari sistem kepenjaraan ini adalah penjeraan. Penjara sebagai tempat menampung para pelaku tindak pidana bertujuan
untuk membuat jera para pelaku supaya tidak mengulangi tindak pidana dengan menerapkan peraturan-peraturan kepenjaraan yang
keras dan sering kali tidak manusiawi. 2. Sistem pemasyarakatan 1964-1995
Pada era ini diberlakukan 10 prinsip pemasyarakatan dengan tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan pembimbingan
dengan tahapan orientasi, pembinaan dan asimilasi. 3. Sistem pemasyarakatan baru 1995-sekarang
Sistem pemasyarakatan yang diberlakukan sejak tahun 1964 masih belum mempunyai dasar hukum tetap. Oleh karena itu pada
tahun 1995 diberlakukan Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan sebagai bentuk penyempurnaan dari
sistem pemasyarakatan sebelumnya yang masih berbau kolonial. Berdasarkan uraian di atas, terdapat pergeseran sistem
pemidanaan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan yang kemudian
sistem pemasyarakatan
disempurnakan dengan
22
diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Intan, 2009. Sementara itu, Bahiej, 2006
menyimpulkan bahwa induk peraturan hukum pidana di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. KUHP
merupakan warisan sistem hukum pemerintahan kolonial Belanda dengan nama asli Wetboek van Strafrecht Voor Nederlandsh Indie
yang pertama kali diberlakukan di Indonesia dengan Koninklijk Besluit Titah Raja No. 33 tanggal 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan
pada tanggal 1 Januari 1918 Bahiej, 2006. Pemberlakuan WvSNI sejak tanggal 1 Januari 1918 tersebut
menurut Baharudin dalam Irwan Wiwik, 2008 merupakan tonggak berdirinya sistem pidana kepenjaraan secara institusional di Indonesia.
Sistem Pidana Penjara ini berlandaskan pada Gevangenis Reglement atau Reglement Penjara tahun 1917, yaitu instrumen penjatuhan pidana
penjara dimana dalam pelaksanaannya memerlukan suatu wadah atau tempat yang disebut Rumah-Rumah Penjara Sujatno, 2004. Dalam
pelaksanaannya, pemerintah kolonial Belanda membangun penjara yang dilengkapi dengan rumah sakit, bengkel kerja dan aturan penjara
yang membagi narapidana ke dalam beberapa golongan. Proses kepenjaraan demikian sebenarnya sudah mengandung sedikit
pembaharuan pidana penjara. Namun pembaharuan tidak diwujudkan dalam kenyataan karena polotik kolonial pemerinta Hindia Belanda
pada masa itu mengenal kelas masyarakat terjajah yang tidak