BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Dalam beberapa tahun terakhir ini, penyalahgunaan napza narkotika, psikotropika, dan zat adiktif menjadi masalah yang sangat besar bagi dunia
internasional dan terutama bagi bangsa Indonesia yang disebut termasuk dalam segitiga emas dalam peredaran napza. Tidak disangkal bahwa peredaran napza
tersebut sangat meresahkan masyarakat karena banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Jika pada dekade lalu peredaran napza hanya terfokus pada kaum
muda dan usia-usia produktif, belakangan ini napza mulai menyusup kedalam kalangan yang lebih luas mulai dari kalangan elit, selebritis, kalangan menengah,
dan kalangan bawah, mulai dari usia anak-anak sampai dengan lansia. Fenomena napza bagaikan gunung es ice berg, artinya yang nampak di
permukaan lebih kecil daripada yang tidak kelihatan di bawah permukaan laut. Pemerintah menyebutkan angka resmi penyalahgunaan napza 0,065 dari dua
ratus juta jiwa atau sama dengan seratus tiga puluh jiwa. Penelitian yang dilakukan oleh Hawari dan kawan-kawan pada tahun 1998 menyebutkan bahwa
angka sebenarnya adalah sepuluh kali lipat dari angka resmi dark number=10, atau dengan kata lain bila ditemukan satu orang penyalahguna atau
ketergantungan napza artinya ada sepuluh orang lainnya yang tidak terdaftar resmi.Hawari, 2001
Diasumsikan bahwa bila data pemerintah itu benar, maka paling sedikit jumlah penyalahguna atau ketergantungan napza di Indonesia berjumlah satu
1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
koma tiga juta jiwa. Bila diasumsikan setiap penyalahguna atau ketergantungan napza mengeluarkan uang paling sedikit seratus ribu rupiah dalam sehari untuk
mengkonsumsi napza, maka biaya yang dikeluarkan minimal seratus tiga puluh milyar per hari Hawari, 2001.
Penelitian yang diakukan oleh Hawari dan kawan-kawan tahun 1998, dari pasien penyalahguna atau ketergantungan napza jenis opiat heroin ditemukan
angka kematian mortality rate mencapai angka 12,16. Mereka yang mengalami komplikasi medik berupa kelainan paru-paru sebesar 53,73,
gangguan fungsi hati 55,10 dan hepatitis C sebesar 56,53, sedangkan yang terinfeksi HIV sebesar 33,33 Hawari,2001.
Studi kepustakaan menunjukkan angka kekambuhan cukup tinggi yaitu 43,9. Metode terapi dan rehabilitasi yang ditentukan oleh Hawari dapat
menekan angka kekambuhan hingga 12,21 dan apabila yang bersangkutan taat beribadah maka angka kekambuhan dapat diperkecil lagi yaitu 6,83 Hawari,
2001. Dari mereka yang mengalami kekambuhan ternyata ada tiga faktor utama
sebagai penyebab yaitu faktor teman 58,3, faktor sugesti craving 23,21, dan faktor frustrasi atau stress 18,43 Hawari, 2001.
Penyalahgunaan dan ketergantungan napza merupakan penyakit endemik dalam masyarakat modern, penyakit kronik yang berulang kali kambuh dan
merupakan gangguan mental adiktif Hawari, 2001. Sebelum tahun 1990 jarang sekali terdengar pusat rehabilitasi napza di
Indonesia, tetapi sejak tahun 1997, pusat rehabilitasi napza di Indonesia mulai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjamur. Pada bulan Desember tahun 2000, di Jakarta dan sekitarnya sudah terdaftar sekitar seratus pusat penanggulangan napza. Dengan motivasi, dasar
pemikiran, metode, sasaran dan program-programnya yang sangat bervariasi Somar, 2001.
Pada awal tahun 2001, pemerintah Indonesia bertekad mengurangi penyalahgunaan napza secara lebih konfrontatif dan terbuka, dan telah dibentuk
suatu badan nasional yang berkoordinasi dengan menteri negara masalah kemasyarakatan, yang disebut BKNN Badan Koordinasi Narkotika Nasional.
Sejalan dengan upaya pemerintah mengatasi penyalahgunaan napza yang semakin meningkat, Departemen Kesehatan mengeluarkan kebijakan agar setiap rumah
sakit tipe A dan B menyediakan unit pelayanan rehabilitasi napza Anonim, 2001.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Rumah Sakit Jiwa Soeharto Herdjan yang bertindak sebagai rumah sakit jiwa pusat nasional menyediakan unit
pelayanan kesehatan untuk pasien penyalahgunaan napza di bagian Puri Nurani, baik dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Puri Nurani
merupakan panti rehabilitasi napza yang terdapat di rumah sakit jiwa Soeharto Herdjan Jakarta Anonim, 2000.
Dalam programnya pusat-pusat rehabilitasi menggunakan berbagai macam metode pendekatan pula, salah satunya adalah terapi detoksifikasi dengan
menggunakan obat. Dalam pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan napza tersebut selalu menyertakan para ahli dalam bidangnya masing-masing seperti dokter,
psikiater, psikolog, sosiolog, rohaniwan, tokoh agama, dan ahli dalam bidang terapi serta pekerja sosial.
Terapi pengobatan terhadap penyalahgunaan dan ketergantungan napza terdiri atas dua tahapan yaitu detoksifikasi dan pasca-detoksifikasi pemantapan
Hawari,2001. Terdapat berbagai macam cara detoksifikasi yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi pasien dan keluarganya, yaitu :
a. detoksifikasi tanpa anestesi
1. detoksifikasi dengan pemutusan segera abrupt withdrawal
atau cold turkey 2.
detoksifikasi simptomatik 3.
detoksifikasi subtitusi b.
detoksifikasi dengan anestesi Detoksifikasi Opiat Cepat dengan Anestesi D.O.C.A
Peranan seorang apoteker jarang sekali tampak dalam pelayanan rehabilitasi tersebut, sementara obat-obatan yang dipakai dalam rehabilitasi napza
menggunakan obat-obat keras yang termasuk dalam golongan psikotropika. Penggunaan psikotropika sebagai sarana pengobatan dalam rehabilitasi
selayaknya diawasi oleh seorang ahli dalam bidang obat-obatan yaitu apoteker, mengingat efek yang tidak diharapkan sangat berbahaya, maka seorang apoteker
sebaiknya memberikan pertimbangan atau usulan kepada dokter dalam memilih psikotropika yang akan dipakai dengan dosis yang sesuai.
Hal ini sering disebabkan oleh karena seorang apoteker jarang sekali peduli dengan masalah penyalahgunaan napza yang merupakan masalah yang
sangat terkait dengan bidang ilmu yang dimiliki oleh seorang apoteker, sementara fungsinya sebagai pusat informasi penggunaan obat sering kali dirangkap oleh
seorang dokter.
1. Rumusan Permasalahan