Penatalaksanaan Ketergantungan Napza Zat Adiktif

ketidakteraturan kerja jantung dan tertekannya sistem pernafasan Sudirman, 2000. Tidak ada gejala-gejala yang khas pada penggunaan solvents, kita bisa mengetahui dari riwayat pemakaian zat ini dan adanya bau yang spesifik dari pernafasan. Pengguna mengeluh adanya perasaan berdebar-debar, pusing, ada gangguan pada pernafasan, mata merah, bau dari pernafasan, kerusakan pada saraf, dan jika diperiksa fungsi liver akan ada gangguan Sudirman, 2000.

D. Penatalaksanaan Ketergantungan Napza

1. Konsep dasar penatalaksanaan Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan tindakan – tindakan yang terkait dengannya. Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut : a. Abstinensia Abstinensia atau penghentian total pengguna napza. Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama pasien-pasien pengguna awal. b. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps Tujuan utamanya adalah mencegah relaps, bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah abstinensia, maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kesalahannya, dan ia telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan kembali, pasien akan mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan keterampilan mencegah relaps relaps prevention PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI program, terapi perilaku kognitif cognitive behavior therapy, opiate antagonist maintenance therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk mencapai tujuan ini. c. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi sosial Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan metadon, syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis ini. Terapi medik ketergantungan napza meruoakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi perilaku. Meskipun telah dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi ketergantungan napza, namun upaya penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan Husin, 2002. Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza terdiri atas dua fase sebagai berikut : 1 Detoksifikasi Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan merupakan intervensi medik jangka singkat. Bila terapi detoksifikasi diselenggarakan secara tunggal, misalnya hanya berobat jalan saja, maka kemungkinan relaps lebih besar dari 90 . Tujuan terapi detoksifikasi opioida adalah : a Untuk mengurangi, meringankan, atau untuk meredakan keparahan gejala-gejala putus zat. b Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk menggunakan zat tersebut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI c Mempersiapkan proses lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas terapi rumatan. Berdasarkan lamanya proses berlangsung, terapi detoksifikasi dibagi atas : a Detoksifikasi jangka panjang 3 – 4 minggu seperti dengan menggunakan metadon. b Detoksifikasi jangka sedang 3 – 5 hari : naltrexone, midazolam, klonidin. c Detosifikasi cepat 6 jam sampai 2 hari : rapid detox Variasi dan pilihan terapi detoksifikasi napza cukup banyak. Di Indonesia, sebagian dokterpsikiater masih menggunakan terapi detoksifikasi konservatif seperti penggunaan obat simptomatik analgetika, anti insomnia, dan lainnya, bahkan beberapa psikiater masih menggunakan berbagai bentuk neuroleptika dosis tinggi, yang di negara maju sudah ditinggalkan Husin, 2002. 2 Rumatan perawatan. Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk : a Mencegah atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida b Mencegah relaps menggunakan zat adiktif kembali. c Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioida. d Rekonstruksi kepribadian Tujuan farmakoterapi rumatan pasca detoksifikasi adalah : a Menambah holding power untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan. b Menciptakan suatu window of opportunity sehingga pasien dapat menerima intervensi psikosal selama terapi rumatan dan mengurangi resiko. c Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama menggunakan terapi rumatan. Kedua bentuk fase terapi ini merupakan suatu proses berkesinambungan, runtut, dan tidak dapat berdiri sendiri Husin, 2002. 2. Penatalaksanaan untuk ketergantungan napza Terapi atau pengobatan terhadap penyalahgunaan dan ketergantungan napza haruslah rasional dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi medik, psikiatrik, sosial, dan agama. Terapi terdiri dari dua tahapan, yaitu detoksifikasi dan pasca detoksifikasi pemantapan yang mencakup komponen-komponen sebagai berikut : a. Terapi Detoksifikasi Terapi detoksifikasi adalah bentuk terapi untuk menghilangkan racun toksin napza dari dalam tubuh klien penyalahguna dan ketergantungan napza. Metode detoksifikasi ini tidak hanya berlaku untuk napza jenis opiat heroin saja melainkan berlaku juga untuk napza jenis lainnya seperti ganja, kokain, alkohol, amphetamine, dan zat adiktif lainnya Hawari, 2001. Dalam terapi detoksifikasi ini digunakan jenis obat-obatan golongan major transquilizer yang ditujukan terhadap gangguan sistem neuro-transmitter susunan saraf pusat otak. Pemikiran rasional penggunaan obat golongan major transquilizer ini adalah bahwa gangguan mental dan perilaku yang dikategorikan dalam gangguan mental organik yang ditandai dengan gejala-gejala gangguan jiwa psikosis organik. Kategori psikosis ini dapat dilihat dengan adanya gangguan pada daya nilai realitas reality testing abilityRTA yang buruk serta pemahaman diri insight yang buruk pula pada klien penyalahguna atau ketergantungan napza Hawari, 2001. Metode detoksifikasi yang digunakan oleh Hawari pada pasien ketergantungan di panti rehabilitasinya adalah menggunakan sistem blok total abstinentia totalis, artinya klien penyalahguna atau ketergantungan napza tidak boleh lagi menggunakan napza atau turunannya derivates, dan juga tidak menggunakan obat-obatan sebagai pengganti atau substitusi substitution Hawari, 2001. Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan kondisi pasien dan keluarganya, yaitu : 1 Detoksifikasi tanpa anestesi a. Detoksifikasi dengan pemutusan segera Merupakan cara yang paling klasik, program ini dapat dilakukan di rumah atau di rumah sakit. Caranya yaitu pasien dihentikan secara total dari opioid putaw dan membiarkan pasien mengalami gejala-gejala putus zat tanpa diberikan obat penawar atau obat pengganti. Gejala putus zat ini akan muncul pada hari kedua atau ketiga. Bila perlu pasien diisolasi ketat dari lingkungannya selama 7 – 10 hari, yaitu saat proses detoksifikasi telah dilalui Asikin, 2002. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI b. Detoksifikasi simptomatik Jenis detoksifikasi ini juga dapat dilakukan di rumah atau di rumah sakit. Caranya sama dengan detoksifikasi pemutusan segera, perbedaannya pada pemberian obat untuk mengatasi gejala putus zat saja Asikin, 2002. Gejala-gejala yang diduga akan muncul diberikan penawarnya : 1. rasa nyeri : diatasi dengan berbagai analgetik seperti parasetamol, asam mefenamat, tramadol, injeksi toradol. Dosis yang diberikan kadang lebih tinggi dari dosis penghilang nyeri pada umumnya. 2. Insomnia : dapat diberikan golongan benzodiazepin hipnotik-sedativ seperti estazolam, triazolam, nitrazepam, atau injeksi midazolam. 3. Depresi : diberikan anti depresan 4. Ansietas : dapat diberikan derivat benzodiazepin clobazam dan non benzodiazepin buspiron. 5. Diare : terutama diare berat lebih dari lima kali sehari atau yang disertai dengan kesulitan makan atau minum, dapat diberikan loperamid 6. Mual atau muntah : dapat digunakan motor regulator sulpirid dengan dosis 20 – 50 mg diberikan tiga kali sehari. Proses detoksifkasi dilakukan selama 7 – 10 hari, pasien perlu didampingi dalam melakukan proses detoksifkasi ini Asikin, 2002. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI c. terapi subtisusi berbagai subtitusi yang dapat dipilih : 1. metadon 2. klonidin 3. buprenorfin 4. pentazocin 5. kodein 2 Detoksifikasi cepat dengan anestesi Asikin, 2002. b. Terapi Medik-Psikiatrik Psikofarmaka Gangguan mental dan perilaku ini masih berlanjut meskipun napza sudah hilang dari tubuh setelah menjalani terapi detoksifikasi. Proses mental adiktif masih berjalan, artinya rasa ingin craving masih belum hilang sehingga kekambuhan dapat terulang kembali Hawari, 2001. Untuk mengatasi gangguan di atas, maka digunakan obat-obat yang berkhasiat mengatasi gangguan dan memulihkan fungsi neuro-transmiter pada susunan saraf pusat otak, dengan psikofarmaka. Dengan terapi psikofarmaka gangguan mental dan perilaku dapat diatasi Hawari, 2001. Obat-obat yang digunakan dalam terapi psikofarmaka adalah sebagai berikut: 1 Obat Antipsikosis Obat antipsikosis mempunyai sinonim, antara lain neuroleptik, major tranquilizer, ataractics. Obat yang paling sering digunakan dalam golongan obat antipsikosis ini adalah Chlorpromazine CPZ Maslim, 2001. Istilah lain yang digunakan untuk menyebut antipsikosis berdasarkan efek terapi yang ditimbulkan adalah antipsikosis konvensional atau tradisional atau tipikal Typical Anti Psychotics dan antipsikosis generasi baru atau yang biasa disebut antipsikosis atipikal Atypical Anti Psychotics Maslim, 2001. a. Antipsikosis Tipikal Terutama efektif mengatasi simptom positif, pada umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok berikut: 1. derivat fenotiazine: klorpromazine, levomepromazine, dan triflupromazine siquil-thioridazine dan periciazine-perfenazine dan flufenazine-perazine taxilan, trifluoperazine, proklorperazine stemetil, dan thietilperazine Torecan 2. derivat thioxanthin: klorprotixen Truxal dan zuklopentixol cisordinol 3. derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon, dan droperidol 4. derivat butilpiperidin: pimozida, fluspirilen, dan penfluridol b. Antipsikosis Atipikal Obat-obatan atipikal ini sulpirida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan quentizapin seroquil bekerja efektif melawan simptom-simptom negatif, yang praktis kebal terhadap obat-obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda Rahardja, 2002. Mekanisme kerja obat antipsikosis tipikal adalah mem-blokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptikneuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ekstrapiramidal dopamine D2 receptor antagonist. Sedangkan obat antipsikosis yang baru atipikal selain berafinitas terhadap “Dopamine D2 receptors”, juga terhadap “serotonin 5 HT2 receptors” serotonin-dopamine antagonists Maslim, 2001. Profil efek samping obat antipsikosis yang sering terjadi adalah : 1. Sedasi dan inhibisi psikomotor rasa ngantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun. 2. Gangguan otonomik hipotensi, mulut kering, kesulitan miksi dan defaksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung. 3. Gangguan ekstrapiramidal distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas. 4. Gangguan endokrin amenorrhoe, gynaecomastia, metabolik jaundice, hematologik agranulocytosis, biasanya untuk pemakaian jangka panjang. Efek samping ini ada yang cepat ditolerir oleh pasien, ada yang lambat, dan ada yang sampai membutuhkan obat simptomatis untuk meringankan penderitaan pasien. Efek samping yang irreversible adalah tardive dyskinesia gerakan berulang involunter pada : lidah, wajah, mulutrahang dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang. Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang terapi pemeliharaan dan pada usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis antipsikosis non-dose related Maslim, 2001. Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek promer efek klinis yang sama pada dosis ekivalen, peranan utamanya pada efek sekunder efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal. Obat-obat antipsikosis yang biasa digunakan dalam detoksifikasi ketergantungan napza adalah: a Klorpromazine CPZ Klorpromazine dapat menimbulkan efek sedasi dengan disertai sikap acuh terhadap rangsangan dari lingkungan. Pada pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan toleransi terhadap efek sedasi, tergantung dari status emosional pasien Ganiswarna, 1995 b Haloperidol HLP Haloperidol adalah golongan butirofenon yang paling umum digunakan. Berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazine Ganiswarna, 1995. Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazine, tetapi memperlihatkan banyak sifat fenotiazine. Pada orang biasa efek haloperidol mirip dengan CPZ. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami ekstasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibandingkan dengan CPZ Santoso, 1995. 2 Obat Anti-Depresan Obat anti depresan adalah obat yang mampu memperbaiki suasana jiwa “mood” dengan meringankan atau mengilangkan gejala keadaan murung. Dahulu obat anti depresan disebut dengan thymoleptika Yun. Thymos = suasana jiwa; analepsis = stimulasi Tjay, 2002. Teori monoamin menyatakan bahwa depresi diakibatkan karena terganggunya keseimbangan antara neuro-transmiter di dalam otak. Khususnya terutama karena kekurangan serotonin dan atau noradrenalin di saraf-saraf otak Tjay, 2002. Obat-obat anti depresan dibagi menjadi empat kelompok, yakni : a Anti depresan klasik Obat-obat ini menghambat reabsorbsi serotonin dan ujung nor adrenalin dari sela sinapsis di ujung-ujung saraf. Anti depresan klasik ini dibagi lagi menjadi 2, yaitu: 1. zat-zat trisiklik: amitriptilin, doksepin, dan dosulepin, imipramin, desipramin, klomipramin. Obat-obat ini mempunyai struktrur dasar cincin tiga. 2. zat-zat tetrasiklis: maprotilin, mianserin dan mirtazapin, dengan struktur tetrasiklis. b Obat-obat generasi kedua Dengan struktur kimia lain, yang menimbulkan lebih sedikit efek samping khususnya berkurangnya efek pada jantung dan antikolinergis, maka lebih aman pada overdosis dan pada lansia. Obat- obat generasi kedua ini juga dibagi menjadi dua golongan, yaitu: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1. SSRI Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor: fluvoxamine, fluoxetin, paroxetin, sertralin, dan citalopram. Trazodon juga mengahambat serotonin, tetapi juga bekerja sebagai anti serotonin. 2. NaSA Noradrenalin and Serotonin Antidepresant: mirtazapin, dan venlafxin. Obat-obat ini tidak berkhasiat selektif, menghambat re-uptake dari baik serotonin maupun noradrenalin. Terdapat beberapa indikasi bahwa obat-obat ini lebih efektif daripada obat- obat SSRI Tjay, 2002. c MAO-blockers Fenelzin dan tranylcypromin parnate. Obat ini menghambat enzim mono-amino-oksidase MAO. MAO terdapat dalam dua bentuk: MAO-A dan MAO-B. Kedua obat di atas menghambat kedua bentuk enzim mono- amin-oksidase secara irreversibel. Sedangkan obat baru moclobemida mengahambat terutama MAO-A secara reversible tetapi pada overdosis, selektivitasnya hilang Tjay, 2002. d Lain-lain Contoh obat pada golongan lainnya seperti: tryptofan, okstriptan dan piridoksin Tjay, 2002. Mekanisme kerjanya dengan jalan menghambat re-uptake serotonin dan noradrenalin di ujung-ujung saraf otak dan dengan demikian memperpanjang waktu tersedianya neurotransmiter tersebut Rahardja, 2002. Secara umum dikatakan mekanisme kerja dari MAO blocker adalah dengan : PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1. menghambat “re-uptake aminergik neurotransmiter” 2. menghambat penghancuran oleh enzim “monoamine Oxidase” sehingga terjadi peningkatan jumlah “aminergic neurotransmitter” pada sinaps neuron di susunan saraf pusat Maslim, 2002. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan obat anti depresan berupa: 1. sedasi rasa kantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun, dll 2. efek antikolinergik mulut kering, retensi urin, pengelihatan kabur, konstipasi, sinus takikardia, dll 3. efek anti adrenergik alfa perubahan EKG, hipotensi 4. efek neurotaksis tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia Efek samping yang tidak berat tergantung daya toleransi dari pasien, biasanya berkurang setelah 2-3 minggu bila tetap diberikan dengan yang sama. Pada keadaan overdosis dapat timbul “atropine toxic syndrome”dengan gejala eksitasi susunan saraf pusat, hipertensi, hipereksia, konvulsi, toxic konvusional state confusion, dellirium, disorientation Maslim, 2001. Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek primer yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder efek samping Maslim, 2001. 3 Obat Antianxietas Antianxietas adalah obat yang digunakan untuk pengobatan simptomatik penyakit psikoneurisis dan sebagai obat tambahan terapi somatik yang didasari ansietas perasaan cemas dan ketegangan mental. Penggunaan antianxietas dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik Ganiswarna, 1998. Obat antianxietas digolongkan menjadi dua golongan, yaitu: a Golongan benzodiazepin Benzodiazepin adalah kelompok obat yang paling banyak dideskripsikan sebagai transquilizer dan antianksiolitik, dengan efek yaitu menghalau kecemasan, frustasi, ketegangan dan stress yang banyak terdapat dalam masyarakat maju Rahardja, 2002 Benzodiazepin yang dianjurkan sebagai anti anxietas adalah: klordiazepoksid, diazepam, oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam, alprazolam, dan halozepam Ganiswarna, 1995. Diazepam digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang berhubungan dengan rasa cemas. Pada dosis layak diazepam menimbulkan depresi pada susunan saraf pusat berupa rasa kantuk Santoso, 1995 b Golongan non-benzodiazepin Golongan non-benzodiazepin adalah obat-obat anti anxietas yang tidak termasuk dalam golongan benzodiazepin, seperti: 1. Buspiron Buspiron merupakan contoh dari golongan azaspirodekandion yang potensial berguna dalam pengobatan anxietas. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Meprobamat Menurut Mutschler 1999, meprobamat adalah muskel relaksan. Pemberian biasanya secara oral dan diabsorbsi secara cepat dan sempurna. 3. Valepotriat Valepotriat mempunyai kemampuan menghilangkan rasa takut dan ketegangan, namun tidak memperkuat kerja sedatif maupun alkohol. Valepotriat mempunyai indikasi pada sindrom ketakutan, disregulasi vegetatif, kelemahan untuk berkontak, gangguan sikap, dan penyesuaian diri pada usia lanjut Mutschler, 1999. Efek samping yang terjadi pada pemakaian anti anxietas adalah seperti: a. Sedasi rasa kantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif lemah b. Relaksasi otot rasa lemas, cepat lelah, dan lain-lain c. Penghentian obat secara mendadak akan menimbulkan gejala putus obat rebound phenomena: pasien menjadi iritabel, bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi, dll Maslim, 2001. 4 Obat Anti parkinson Obat-obat parkinson pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni : a antikolinergika : triheksipenidil, biperiden, orfenadrin, prosiklidin, dan deksetimida Tremblex. Obat-obat pengganti sintetis ini dari alkaloida belladona terutama efektif terhadap semua bentuk Parkinsonisme dengan gejala tremor, kekakuan ringan, dan salivasi, tetapi untuk hipokinesia kurang ampuh. Obat ini bekerja langsung di susunan saraf pusat. Untuk bentuk penyakit yang lebih serius, perlu dikombinasikan dengan levodopa. b dopaminergika : levodopa, amantadin, bromokriptin, lisurida, pergolida, dan selegelin. Obat-obat golongan ini meningkatkan kadar DA di otak dan dengan demikian maka berdaya meringakan hipokinesia dan kekakuan, tetapi jarang sekali mengurangi tremor. Dopaminergik digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan antikolinergik Rahardja, 2002. Efek samping yang dapat terjadi dalam penggunaan anti Parkinson tergantung dari golongannya, yaitu: a antikolinergik Efek sampingnya terutama diakibatkan oleh blokade kolinergik dan berupa efek primer umum seperti mulut kering, retensi urin, takikardi, mual, muntah, dan sembelit. Begitu pula efek sentral seperti kekacauan, agitasi, halusinasi, gangguan daya ingat, dan konsentrasi, terlebih-lebih pada manula Rahardja, 2002. b dopaminergik Dapat menimbulkan kesulitan tidur akibat eksitasi, efek kejiwaan dapat terjadi juga seperti rasa takut, depresi, dan gejala psikose pada overdose Tjay, 2002. c. Terapi Medik-Psikiatrik Psikoterapi Pada pasien penyalahguna atau ketergantungan napza selain terapi dengan obat psikofarmaka juga diberikan terapi kejiwaan psikologik yang dinamakan psikoterapi. d. Terapi Medik-Somatik Yang dimaksud dengan terapi medik somatik adalah penggunaan obat- obatan yang berkhasiat terhadap kelainan-kelainan fisik baik sebagai akibat dilepaskannya napza dari tubuh yaitu gejala putus obat withdrawal syndrom maupun koplikasi medik berupa kelainan tubuh akibat penggunaan dan ketergantungan napza Hawari, 2001. e. Terapi Psikososial Yang dimaksud dengan terapi psikososial adalah upaya untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi penyalahguna atau ketergantungan napza ke dalam lingkungannya sehari-hari. Dengan terapi psikososial ini diharapkan perilaku antisosial tersebut dapat berubah menjadi perilaku yang secara sosial dapat diterima adaptive behavior Hawari, 2001. f. Terapi Psikoreligius Terapi keagamaan psikoreligius terhadap para pasien penyalahguna atau ketergantungan napza ternyata memegang peranan penting, baik dari segi pencegahan prevensi, terapi maupun rehabilitasi Hawari, 2001. g. Rehabilitasi Setelah pasien penyalahguna atau ketergantungan napza menjalani program terapi detoksifikasi dan komplikasi medik selama satu minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan selama dua minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi Hawari, 2001. Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya untuk memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna atau ketergantungan napza kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial, spiritual keimanan. Dengan kondisi sehat tersebut secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di lingkungan, di kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya Hawari, 2001. 3. Prinsip pengobatan ketergantungan napza yang efektif a. Tidak ada satupun jenis pengobatan yang tepat sama untuk masing-masing pasien. b. Dibutuhkan perawatan yang cepat tersedia. c. Perawatan yang efektif perlu disertai dengan pemenuhan berbagai macam kebutuhan pasien, tidak hanya dengan obat-obatan. d. Rencana pelayanan dan perawatan kepada masing-masing pasien harus diperhatikan terus menerus dan dilakukan perubahan jika diperlukan, untuk meyakinkan bahwa rencana yang dibuat memenuhi kebutuhan pasien yang berubah-ubah. e. Pengobatan memadai yang dilakukan dalam waktu yang singkat, mengingat keefektifan pengobatan yang diperlukan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI f. Penyuluhan perorang atau pergrup dan terapi kepribadian yang lain merupakan komponen penting dari pengobatan yang efektif pada ketergantungan. g. Detoksifikasi hanya merupakan tahap awal dari pengobatan terhadap ketergantungan napza. h. Kemungkinan pemakaian kembali perlu diperhatikan secara terus menerus. i. Penyembuhan dari ketergantungan napza merupakan proses yang panjang dan berulang-ulang yang membutuhkan beberapa episode perawatan Leshner, 1999.

E. Kerasionalan Penggunaan Obat