Laporan Hasil Penelitian dan Pembahasan

63 Selain itu, komunikasi efektif menuntut kesadaran dari pembicara atau penutur terhadap situasi dan kondisi dimana ia hendak membangun komunikasi dengan orang lain. Artinya, kedua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur atau pembicara dan pendengar harus memperhatikan waktu, tempat, dan cara menyampaikan sesuatu hal. Dengan demikian, komunikasi akan menjadi efektif dan tujuan komunikasi itu akan tercapai. Hal ini, seperti ditegaskan oleh responden sebagai berikut: Komunikasi efektif adalah komunikasi yang dibangun antara dua pribadi atau lebih dengan memperhatikan cara, waktu dan tempat agar pesan atau ide atau pengalaman dapat tersalur dengan baik, sehingga tujuan dari komunikasi itupun dapat tercapai RVI [Lampiran 3: 4]. Sementara itu, pemahaman para suster mengenai komunikasi dimengerti secara verbal dan non verbal. Komunikasi yang dibangun menggunakan kata- kata disebut komunikasi verbal; sedangkan komunikasi non verbal adalah komunikasi yang dibangun dengan menggunakan bahasa tubuh, tanda, atau simbol-simbol tertentu. Dengan kata lain, komunikasi verbal merupakan komunikasi langsung, dimana maksud dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penutur, langsung dipahami. Dengan demikian, komunikasi efektif adalah komunikasi yang dibangun oleh penutur dengan mitra tutur, baik secara verbal maupun non verbal Komunikasi efektif akan tetap terpelihara jika penutur menyampaikan maksud dan tujuannya dengan baik, benar, dan sopan agar mitra tuturnya dapat menangkap dan memahami apa yang hendak disampaikan oleh penutur. Selain itu, penutur perlu memperhatikan situasi dan kondisi, yaitu waktu dan tempat serta cara menyampaikan maksud dan tujuannya. Semuanya ini akan berdampak pada hubungan yang baik dan harmonis, penuh persaudaraan. 64 Para Suster SSpS telah mengerti dan memahami arti dari komunikasi efektif, baik menyangkut komunikasi yang dilakukan secara verbal maupun non verbal. Menurut mereka komunikasi efektif merupakan komunikasi dimana maksud atau pesan yang disampaikan oleh pengirim dapat ditangkap dipahami atau dimengerti oleh yang menerima pesan. Komunikasi juga dikatakan efektif jika dalam berkomunikasi, pengirim pesan atau komunikator terlebih dahulu sudah memperhatikan situasi, waktu dan cara penyampaianya sehingga maksud dan tujuan dari pesan yang ingin disampaikan dapat dicapai serta diterima dengan baik oleh komunikan atau yang menerima pesan, baik secara pribadi atau kelompok Disamping itu juga mereka mengatakan bahwa komunikasi dikatakan efektif apabila komunikasi yang pesannya tersampaikan dengan baik serta mendapat tanggapan dari penerima pesan dengan baik pula, karena jelas dan tersampaikan sesuai dengan tujuan pengirim pesan, artinya bahwa maksud pesan ditangkap oleh penerima pesan. Dalam kajian pustaka penulis telah menjelaskan bahwa komunikasi dikatakan efektif apabila yang dibicarakan itu mudah, cepat, tepat dan dimengerti oleh pendengarnya. Suatu pembicaraan yang tidak terarah dan terlalu bertele-tele bukanlah merupakan cara bicara yang efektif Wursanto, 2008: 108. Hal ini dipertegas oleh Turman Sirait 1983: 15, yang mengatakan bahwa komunikasi efektif adalah komunikasi yang mudah ditangkap secara tepat sesuai dengan maksud pengirim pesan. Dari ungkapan para suster saat ditanya pemahaman mereka tentang komunikasi efektif, penulis menangkap bahwa para suster memahami dan menyadari betapa pentingnya komunikasi efektif. Dengan komunikasi efektif para suster dapat membangu relasi antar pribadi, dapat menumbuhkembangkan semangat 65 persaudaraan dalam hidup berkomunitas maupun hidup misi atau karya. Dengan komunikasi efektif dalam hidup berkomunitas, juga akan membantu terjalinya suatu komunio atau kesatuan hati untuk mewujudkan misi bersama. Komunikasi yang efektif juga dapat menciptakan keharmonisan dalam seluruh aspek hidup. Setelah para suster menemukan dan memahami arti komunikasi efektif dengan sesama anggota dalam komunitas. Dengan berkomunikasi secara efektif mereka juga mengalami kebebasan batin dalam menyampaikan pesan atau apa yang hendak disampaikan kepada sesama anggota dalam komunitas. Mereka semakin memahami segala situasi yang dihadapi oleh sesama, adanya keterbukaan untuk saling mendengarkan dan didengarkan, serta saling menghargai dalam perbedaan. Dalam berkomunikasi efektif, para suster juga dapat mengekspresikan diri apa adanya di hadapan sesama anggota komunitas kesalapahaman atau masalah yang terjadi ketika berkomunikasi dapat diselesaikan dengan cepat tanpa menunda- nunda atau langsung diklarifikasikan.

2. Hambatan-hambatan dalam Berkomunikasi Efektif

Kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam membangun komunikasi efektif tidak sedikit hambatan yang dihadapi, baik oleh komunikator maupun komunikan. Apabila hambatan dialami oleh salah satunya, maka komunikasi yang dibangun dengan sendirinya menjadi tidak efektif. Masing-masing pihak tidak saling memahami, bahkan sampai pada tidak saling mengerti dan komunikasi pun menjadi putus. Berbagai hambatan dalam proses komunikasi efektif, dapat dipaparkan sebagai berikut. 66 Hal mendasar yang menyebabkan komunikasi efektif tidak tercapai antara komunikator dengan komunikan adalah komunikator tidak pandai atau tidak tahu menempatkan diri dan tidak memahami komunikannya terlebih dahulu. Hal ini seperti dipaparkan oleh responden sebagai berikut Kurang memahami keberadaan atau posisi si penerima pesan. Komunikator perlu memahami keberadaan si penerima pesan. Dengan siapa ia berbicara, keadaan fisik, psikisnya seperti apa, dengan maksud agar bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pesan dapat diterima dengan baik. Kurang memperhatikan waktu dan tempatnya. Komunikator perlu memahami situasi batin seseorang atau si penerima pesan dan tahu tempat yang baik untuk disampaikan pesan. Cara penyampaian pesan, bahasa. Komunikator perlu tahu dan menyiapkan diri, bahasa yang baik, agar ketika berhadapan dengan para penerima pesan, kedua belah pihak sama-sama merasa puas karena tujuan komunikasi tercapai RVI [Lampiran 3: 5]. Dengan demikian ditegaskan bahwa komunikator perlu tahu dan memahami komunikannya, sebelum membangun komunikasi. Komunikator juga harus pandai menempatkan diri, tahu waktu dan tempat, saat ia membangun komunikasi efektif dengan komunikannya. Faktor lain yang menjadi penghambat komunikasi efektif, yaitu perbedaan budaya. Untuk membangun komunikasi efektif dan tetap memelihara kehidupan komunitas yang baik, pemahaman terhadap budaya anggota lain sangat diperlukan. Namun kadang faktor ini tidak ditanggapi dan disadari. Akibatnya, setiap anggota tetap mempertahankan budayanya tanpa mau berusaha memahami budaya anggota lainnya. Hal ini terjadi karena keegoan komunikator yang enggan memahami latar belakang komunikan. Hal ini diakui oleh responden dengan pernyataan sebagai berikut: Perbedaan budaya terkadang mempengaruhi dalam penyampaian pesan contohnya budaya yang biasa dengan nada keras bertemu dengan budaya yang pelan atau lembut pada hal keras itu tidak selalu memilik maksud marah. Kondisi atau situasi batin seseorang, ketika sedang dalam suasana hati baik dapat menerima komunikasi dalam bentuk apapun, tetapi bila dalam suasana 67 hati yang kurang baik terkadang cenderung sesitif atau kurang dapat menangkap pesan yang disampaikan dengan baik RVII [Lampiran 3: 8]. Hambatan yang dialami terkadang lebih pada pemahaman bahasa yang disampaikan komunikator kepada komunikan, artinya bahwa latar belakang budaya dan bahasa sering membawa pemahaman yang berbeda pula sehingga pesan atau komunikasi yang baik pula dapat menghambat komunikasi yang sedang berlangsung RIII [Lampiran 3: 5]. Keegoan komunikan pun menjadi faktor penghambat komunikasi efektif. Hal ini dapat dilihat dari kecendrungan komunikan untuk didengarkan. Hambatan dalam berkomunikasi yaitu adanya kecenderungan untuk didengarkan. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan mendengarkan maka pesan yang disampaikan oleh sesama tidak dipahami dengan benar sehingga akhirnya juga memberikan tanggapan yang salah RX [Lampiran 3: 6]. Sementara itu, faktor kurang mendengarkan, tidak konsentrasi dalam berkomunikasi, pesan yang disampaikan tidak jelas dan kurang sabar juga menjadi penyebab terjadinya komunikasi tidak efektif. Hal ini dikarenakan masing-masing pribadi terlalu sibuk dengan diri sendiri, kurang adanya penghargaan dan kurang saling percaya RI [Lampiran 3: 5]. Faktor perbedaan budaya, bahasa, kurang memahami situasi batin penerima pesan, kurang mendengarkan dan ingin lebih didengarkan juga dapat menghambat proses komunikasi, sebab pesan yang disampaikan tidak dipahami dan tidak dimengerti dengan baik oleh penerima pesan atau yang mendengarkan pesan dan salah menanggapi sehingga terjadi kesalahpahaman terhadap apa yang disampaikan oleh lawan bicara. Onong Uchjana Effendy 2004: 11 mengatakan bahwa komunikasi berlangsung dalam konteks situasional, ini berarti bahwa komunikator atau pengirim pesan harus memperhatikan situasi ketika komunikasi berlangsung 68 sebab, situasi sangat berpengaruh terhadap kelancaran komunikasi. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap komunikasi yaitu faktor sosiologis antropologis dan psikologis. Secara sosiologis, komunikasi akan menjadi terhambat apabila komunikator mengkomunikasikan pesan atau informasi kepada orang lain kurang memperhatikan situasi sosial yang ada dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan atau lapisan, tingkat pendidikan, usia dan sebagainya yang dapat menimbulkan perbedaan dalam status sosial. Secara antropologis, dalam berkomunikasi seorang komunikator tidak akan berhasil apabila ia tidak mengenal siapa komunikan yang dijadikan sasarannya atau yang diajak berbicara. Dengan mengenal diri komunikan akan mengenal pula kebudayaannya, bahasa dan kebiasaannya. Secara psikologis seringkali terjadi hambatan dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan karena dalam berkomunikasi komunikator sebelum melancarkan komunikasinya tidak memperhitungkan situasi dan kondisi kejiwaan komunikan. Lunandi 1989: 47-49 juga mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menjadi penghalang komunikasi antar pribadi, yaitu: faktor kepentingan pribadi yaitu bilamana seseorang dalam proses komunikasi bersifat mendominasi atau selalu mengungkapkan kepentingannya, sehingga membosankan dan perhatian untuk mendengarkan semakin berkurang. Faktor emosi, artinya bahwa ketika berkomunikasi sikap dan tindakan emosional dari komunikator tidak terkendalikan oleh pikiran-pikiran sehat. Faktor pengalaman masa lampau juga turut berpengaruh yaitu ketika komunikan sudah mempunyai prasangka atau pandangan yang kurang baik tentang komunikator. Faktor status sosial atau jabatan yang berbeda dan rendah akan mempengaruhi komunikasi hal ini 69 mengakibatkan dalam mengungkapkan dan menyampaikan pesan atau informasi menjadi kurang lengkap oleh karena adanya perasaan takut salah berkata-kata. Faktor lingkungan, artinya komunikator saat berkomunikasi dengan orang lain dalam ruang yang panas dan pengap mempengaruhi kesabaran seseorang dalam menerima dan memahami informasi atau pesan yang disampaikan. Hambatan-hambatan dalam berkomunikasi seperti dikatakan oleh Onong Uchjana dan Lunandi juga dialami oleh para suster SSpS. Oleh sebab itu Ketika berkomunikasi dengan sesama anggota komunitas para suster terlebih dahulu harus mengenal siapa komunikan atau anggota komunitas yang dijadikan sasarannya. Para suster juga perlu memahami situasi batin anggota yang diajak berkomunikasi atau si penerima pesan dan tahu tempat yang baik untuk menyampaikan pesan. Mereka perlu menyiapkan diri, menggunakan bahasa yang baik ketika berhadapan dengan sesama anggota komunitas yang berbeda latar belakang budaya, bahasa, usia dan tingkat pendidikan. Dengan demikian pesan yang ingin disampaikan dapat tercapai atau terwujud sesuai dengan maksud pengirim pesan.

3. Faktor-faktor Pendukung dalam Berkomunikasi Efektif

Dalam berkomunikasi ada faktor yang penghambat proses komunikasi, tetapi ada juga fakor-faktor pendukung terjadinya komunikasi efektif. Komunikasi dikatakan dapat berjalan dengan baik dan efektif apabila diantara komunikator dan komunikan ada unsur saling menghargai, saling mendengarkan, saling memahami dan saling percaya. Dengan demikian komunikasi dan relasi antar komunikator dan komunikan dapat terwujud dengan baik dan lancar. Hal ini 70 selaras dengan pernyataan responden sebagai berikut: Adanya penghargaan terhadap pribadi, ada minat untuk mendengarkan dan didengarkan dengan tulus, adanya faktor saling percaya dan mau berdialog RI [Lampiran 3: 7]. Pemahaman antar satu dengan yang lainnya, khususnya dalam berkomunikasi, artinya ketika ada sesama yang kurang memahami apa yang dimaksudkan atau dikatakan, komunikator memberikan penjelasannya sehingga dapat dipahami dan dimengerti satu dengan yang lainnya RIII [Lampiran 3: 7]. Faktor yang mendukung yaitu saling mendengarkan, ada keterbukaan hati, bahasa yang baik, mudah dimengerti dan dipahami sehingga tidak membuat orang merasa binggung RVIII [Lampiran 3: 8]. Hal lain juga mendukung terjadinya komunikasi efektif, jika di dalam berkomunikasi, ada dialog timbal balik antara komunikator atau yang menyampaikan pesan dan yang menerima pesan, adanya saling mendukung dan saling mendengarkan. Demikian juga apabila dalam proses berkomunikasi terjadi kesalahpahaman, komunikator dan komunikan berani untuk berkonfrontasi dan saling mengklarifikasi. Para responden mengakui hal ini seperti diwakili oleh responden sebagai berikut: Faktor yang mendukung adanya sikap saling mendengarkan, terbuka ada dialog yaitu sebuah komunikasi timbal balik, ada saling klarifikasi dan konfrontasi bila ada kesalahpahaman RIX [Lampiran 3: 8]. Faktor yang memperlancar atau mendukung komunikasi efektif adalah mendengarkan dengan baik, artinya ketika orang mendengarkan dengan baik, memahami apa yang disampaikan oleh pemberi pesan, maka pesan itu akan tersampaikan dengan baik karena mampu mendengarkan dengan baik, mampu mendengarkan dengan hati R11 [Lampiran 3: 7]. Faktor yang mendukung atau memperlancar dalam berkomunikasi yakni adanya kedekatan dengan orang yang diajak komunikasi dan persamaan persepsi, pikiran, kondisi batin atau situasi batin seseorang atau pribadi. Ketika batin seseorang baik maka komunikasi juga akan baik begitu juga sebaliknya. Demikian 71 juga ketika seseorang mengalami hubungan baik dengan pribadi tertentu maka komunikasi cenderung akan baik dan menjadi sangat efektif karena adanya keaktifan dari kedua belah pihak untuk memberi dan menerima pesan. Para suster mengungkapkan bahwa mendengarkan dengan baik juga merupakan faktor yang memperlancar dalam berkomunikasi. Artinya ketika orang mendengarkan dengan baik, memahami apa yang disampaikan oleh pemberi pesan, maka pesan itu akan tersampaikan dengan baik karena yang menerima pesan mampu menangkap pesan secara benar. Para suster SSpS juga mengatakan bahwa keterbukaan hati untuk mendengarkan, saling menghargai dan memahami situasi lawan bicara, menerima dan mendengarkan lawan bicara serta memberinya waktu dan ruang untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikan, akan sangat mendukung terjalinnya suatu komunikasi yang baik dan efektif dan akan tercipta kasih persaudaran yang tulus dalam hidup berkomunitas. Telah dijelaskan bahwa ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi. Komunikasi dikatakan dapat berjalan dengan baik apabila adanya sikap saling mempercayai dan dipercaya serta adanya kejujuran. Hal ini menjadi sangat penting dalam suatu komunikasi. Namun tingkat kepercayaan dan kejujuran dalam suatu komunikasi akan berbeda-beda dan berubah-ubah sesuai dengan kemampuan dan kerelaan masing-masing individu untuk mempercayai dan dipercaya serta jujur. Dalam melakukan komunikasi, semua pihak harus berada dalam tingkat yang sama yaitu saling memerlukan dan saling merasa kurang. Relasi atau komunikasi dengan orang lain tidak hanya berhenti pada menerima mereka, tetapi juga hendaknya kita membangun kepercayaan pada orang lain dalam berkomunikasi. Lunandi 1989: 39 mengatakan bahwa orang yang terbuka mengungkapkan diri dengan jujur dan 72 terbuka menerima orang lain sebagaimana adanya merupakan keterbukaan dalam berkomunikasi untuk menuju pertumbuhan yang melibatkan perasaan seperti kecemasan, harapan, kebanggaan, kekecewaan, atau dengan kata lain diri kita seutuhnya. Para suster SSpS menyadari bahwa dalam berkomunikasi diperlukan adanya keterbukaan hati, kejujuran, saling percaya dan saling menghargai serta merasa diri diterima oleh yang lain serta bertanggung jawab dengan apa yang disampaikan oleh sesama yang mengajak berkomunikasi maupun yang mendengarkan.

4. Makna atau Pesan dalam Berkomunikasi Efektif

Dalam hidup berkomunitas para suster SSpS menemukan dan mengalami bahwa ketika dapat berkomunikasi dengan baik dan efektif di antar sesama anggota, mereka dapat mengenal sesama lebih dekat dan semakin akrab, dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan sesama. Para responden mengakui hal ini dengan menyatakan sebagai berikut: Adanya rasa saling pengertian dan menerima satu sama lain, saling percaya dan saling terbuka serta rileks terhadap satu sama lain R1[Lampiran 3: 8]. Dapat mengenal sesama secara dekat dan mendalam, dapat mengetahui kemampuan dan kelebihan sesama, menciptakan suasana kekeluargaan dan persaudaraan dalam komunitas, menghidupi suasana komunitas, memupuk persaudaraan dan saling pengertian RII [Lampiran 3: 9]. Kehidupan bersama di dalam suatu komunitas akan menjadi harmonis jika setiap pribadi dalam komunitas mampu saling memahami, menghargai dan mendengarkan terutama dalam hal berkomunikasi. Pengenalan terhadap pribadi seseorang juga menjadi sangat penting sehingga pengirim pesan sudah tahu bagaimana caranya agar pesan yang ingin disampaikan pada seseorang dapat 73 diterima dan dimengerti dengan baik, sehingga tidak ada salah paham yang dapat merugikan sesama. Hal ini di akui oleh para reponden, seperti diungkapkan oleh beberapa reponden sebagai berikut: Makna yang dipetik adalah dapat memahami sesama, mendengarkan sesama sehingga tidak ada salah paham yang dapat merugikan sesama, dapat mengetahui apa yang diinginkan dan dimaksudkan oleh sesama RIV [Lampiran 3: 9]. Makna yang dapat dipetik dalam berkomunikasi yaitu adanya rasa saling menghargai satu dengan yang lain dalam berkomunikasi, adanya kepuasan dalam berkomunikasi, merasa diterima dan dihargai oleh lawan bicara RV [Lampiran 3: 9]. Makna yang dapat dipetik yaitu adanya suasana persaudaraan, kerjasama yang baik, saling menghargai dan keterbukaan untuk mendengarkan orang lain RVIII [Lampiran 3: 9]. Mereka juga mengatakan bahwa komunikasi efektif itu dilakukan baik secara lisan, maupun melalui tulisan, mengunakan lambang-lambang atau simbol serta ekspersi wajah atau bahasa tubuh lainnya akan mempunyai makna sangat penting untuk membangun sebuah kehidupan bersama yang penuh kasih persaudaraan. Makna atau pesan yang dipetik atau diperoleh para Suster SSpS dalam berkomunikasi efektif adalah bahwa sesama anggota dalam komunitas, dengan menggunakan hati, pikiran dan perasaan serta melihat waktu dan tempat, mereka menemukan adanya rasa saling pengertian dan menerima satu sama lain, saling percaya dan saling terbuka serta rileks terhadap satu sama lain. Mereka juga mengenal sesama secara lebih dekat dan mendalam, memahami dan mendengarkan sesama, mengetahui kemampuan dan kelebihan sesama, dapat menciptakan suasana kekeluargaan dan kasih persaudaraan dalam komunitas. Dengan demikian tidak ada salah paham yang dapat merugikan sesama anggota 74 serta dapat mengetahui apa yang diinginkan dan dimaksudkan oleh sesama, ketika sedang melakukan komunikasi. Para suster SSpS juga mengatakan bahwa adanya rasa saling menghargai antar pribadi sehingga komunikasi yang dilakukan dapat memuaskan. Dengan demikian komunikasi dikatakan efektif ketika para Suster SSpS berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang tepat dan bagaimana cara menyampaikan pesan, sehingga pesan atau apa yang disampaikan dapat memberi hidup bagi orang lain atau lawan bicara.

5. Harapan-harapan dalam Berkomunikasi Efektif

Untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan efektif, para suster mempunyai harapan-harapan terhadap setiap pribadi atau sesama anggota dalam komunitas, agar dapat membangun semangat persaudaraan. Menurut mereka dengan saling menerima dan diterima, mampu mendengarkan dan didengarkan atau menjadi pendengar yang baik serta adanya kejelasan dalam pesan yang disampaikan akan tercipta suatu komunikasi yang baik antar pribadi sehingga relasi menjadi baik dan semangat persaudaraan dalam komunitas dapat terwujud. Hal ini diakui oleh para responden seperti yang diwakili oleh beberapa responden yang mengatakan sebagai berikut: Bisa saling menerima dan diterima, mampu menghasilkan perubahan sikap pada orang yang terlibat dalam komunikasi efektif, mampu mendengarkan dan didengarkan atau menjadi pendengar yang baik, adanya kejelasan dalam pesan yang disampaikan RI [Lampiran 3: 10 ]. Harapan saya yaitu baik pemberi dan penerima informasi dapat hadir sepenuhnya pada situasi saat itu sehingga pesan tersampaikan dengan baik, ada kesabaran dalam memberi informasi atau memberi penjelasan selengkapnya dan ada kerelaan penerima pesan untuk mendengarkan dengan teliti dan bijaksana RVIII [Lampiran 3: 11]. 75 Para Suster SSpS juga mengungkapkan bahwa ketika berkomunikasi dengan sesama hendaknya memperhatikan dan mempelajari latarbelakang budaya orang lain sesama, menanamkan pemahaman akan pribadi atau lawan bicara, menghargai lawan bicara, menggunakan tata bahasa yang baik, berpikir positif terhadap lawan bicara dan memiliki rasa empaty. Pemberi atau pengirim pesan dan penerima informasi dapat hadir sepenuhnya pada situasi saat itu sehingga pesan tersampaikan dengan baik, ada kesabaran dalam memberi informasi atau memberi penjelasan selengkapnya dan ada kerelaan penerima pesan untuk mendengarkan dengan teliti dan bijaksana, adanya saling keterbukaan diantara sesama, saling mendengarkan dengan hati, jujur dan apa adanya. Hal ini juga diungkapkan oleh para responden seperti yang diwakili oleh beberapa responden berikut ini: Memperhatikan konteks dalam berkomunikasi, pelajari budaya sesama mendengarkan dengan baik atau mendengarkan dengan hati RIV [Lampiran 3: 10]. Harapan saya yaitu bahwa perlu menanamkan pemahaman akan pribadi atau lawan bicara, menghargai lawan bicara, menggunakan tata bahasa yang baik tanpa menggunakan komunikasi tanpa kekerasan, berpikir positif terhadap lawan bicara dan memiliki rasa empaty RVI [Lampiran 3: 11]. Harapan saya dalam berkomunikasi yaitu, adanya saling keterbukaan diantara sesama, saling mendengarkan dengan hati, jujur dan apa adanya RVIII [Lampiran 3: 11]. Untuk membangun semangat persaudaraan para suster SSpS mengungkapkan bahwa mereka berharap ketika berkomunikasi pengirim pesan atau pembicara perlu memperhatikan situasi budaya dan bahasa dari lawan bicara, menghargai lawan bicara, menggunakan bahasa yang baik, sabar dalam memberi informasi atau pesan dan memberi penjelasan bila pesan yang disampaikan kurang 76 ditangkap maksudnya atau belum dipahami dan dimengerti oleh yang menerima pesan. Mereka juga lebih menegaskan bahwa dalam berkomunikasi perlu adanya keterbukaan hati untuk saling mendengarkan satu sama lain atau kedua belah pihak, jujur dan apa adanya sehingga komunikasi yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar dan baik agar tujuan dari komunikasi atau pembicaraan tersebut dapat tercapai.

D. Kesimpulan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa betapa pentingnya komunikasi efektif dalam hidup berkomunitas. Para Suster SSpS di Komunitas Roh Suci Yogyakarta, telah memahami arti dari komunikasi efektif antar pribadi, dimana para suster dapat mengungkapkan atau menyampaikan pesan atau informasi kepada sesama anggota komunitas atau orang lain secara lebih baik. Mereka juga dapat menemukan manfaat dari komunikasi efektif antar pribadi dalam kehidupan sehari-hari yakni memupuk relasi yang baik dan menghidupkan serta membangun suasana yang akrab dan penuh persaudaraan, dimana ketika ada konflik atau ada permasalahan antar pribadi maupun dalam hidup berkomunitas dapat segera teratasi. Hidup berkomunitas akan menyenangkan, membahagiakan serta kasih persaudaraan dapat dibangun, apabila masing-masing anggota komunitas atau masing-masing pribadi saling mendukung satu sama lain. Dengan demikian ketika seseorang sedang berbicara atau mengungkapkan suatu pesan atau perasaannya yang lain mendengarkan dan menghargai dan bukan saling mempersalahkan Faktor-faktor yang pendukung yang dialami para suster dalam berkomunikasi di 77 komunitas Roh Suci yakni: adanya keterbukaan dan sikap saling mendengarkan satu sama lain, memberi ruang dan waktu kepada sesama anggota komunitas untuk mengungkapkan apa yang dialaminya. Artinya bahwa ketika salah satu dari anggota komunitas sedang berkomunikasi atau berbicara membagikan pengalamannya, menyampaikan suatu pesan atau informasi, anggota komunitas yang lain mendengarkan dan menghargai. Dengan demikian para suster dapat membangun relasi persaudaraan di dalam hidup berkomunitas. Dengan adanya komunikasi yang baik dan efektif para Suster SSpS saling mendukung satu sama lain untuk tetap bersatu dalam ikatan cinta yakni kasih persaudaraan yang tulus. Dalam berkomunikasi antar pribadi ada juga faktor- faktor penghambat yang ditemukan dan dialami oleh para Suster SSpS yakni kurang mendengarkan, tidak konsentrasi dalam berkomunikasi, pesan yang disampaikan tidak jelas, kurang sabar, terlalu sibuk dengan diri sendiri, latar belakang budaya dan bahasa sering membawa pemahaman yang berbeda pula. Dengan demikian pesan atau komunikasi yang disampaikan kepada penerima pesan atau yang diajak berkomunikasi tidak sesuai dengan tujuan dari maksud pengirim pesan. Para suster juga mengalami bahwa ketika sedang berkomunikasi dengan sesama anggota dalam komunitas terkadang mereka juga kurang memahami keberadaan atau situasi si penerima pesan. Dengan hambatan-hambatan yang dialami, para Suster SSpS menyadari bahwa dalam berkomunikasi diperlukan sikap saling pengertian, menerima satu sama lain, saling percaya dan saling terbuka serta rileks terhadap satu sama lain Mereka juga mengungkapkan bahwa ketika berkomunikasi antar pribadi para 78 Suster SSpS semakin mengenal sesama secara lebih dekat dan mendalam mengetahui kemampuan dan kelebihan sesama, memahami dan mendengarkan sesama, adanya rasa saling menghargai antar pribadi, dapat menciptakan suasana kekeluargaan dan kasih persaudaraan dalam komunitas. Dengan demikian tidak ada salah paham yang dapat merugikan sesama anggota serta dapat mengetahui apa yang diinginkan dan dimaksudkan oleh sesama ketika sedang melakukan komunikasi. Para Suster SSpS di komunitas Roh Suci mengungkapkan bahwa untuk dapat berkomunikasi efektif dengan sesama anggota komunitas demi membangun kasih persaudaraan dalam hidup berkomunitas, para suster memiliki harapan bahwa ketika berkomunikasi dengan sesama hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut : budaya sesama, memahami pribadi atau lawan bicara, menghargai lawan bicara, menggunakan tata bahasa yang baik, berpikir positif terhadap lawan bicara dan memiliki rasa empaty. Dalam berkomunikasi, pengirim pesan dan penerima pesan hadir sepenuhnya pada saat itu, ada kesabaran dalam memberi informasi atau memberi penjelasan selengkapnya, ada kerelaan penerima pesan untuk mendengarkan dengan teliti dan bijaksana, adanya saling keterbukaan diantara sesama, saling mendengarkan dengan hati, jujur dan apa adanya. Dengan demikian komunikasi akan menjadi lebih efektif dan para Suster SSpS dapat membangun semangat persaudaraan di dalam hidup berkomunitas.