Makna pengampunan dalam hidup berkomunitas Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus.

(1)

viii

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “MAKNA PENGAMPUNAN DALAM HIDUP BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CINTAKASIH SANTO

CAROLUS BORROMEUS” penulis memilih judul tersebut berdasarkan realitas yang dialami dalam membangun hidup berkomunitas suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus. Maka yang menjadi persoalan mendasar dalam skripsi ini adalah bagaimana para suster CB mampu menerima kelebihan dan kekurangan sesama suster sebagai sarana untuk saling mengampuni dalam membangun hidup berkomunitas.

Para suster CB dipanggil untuk menjadi pembawa damai bagi sesama terlebih dalam membangun hidup bersama menjadi komunitas yang pengampun. Dalam kongregasi CB memiliki anggota dari berbagai macam latar belakang, budaya, suku, dan pendidikan yang berbeda-beda, sehingga kadang dalam hidup bersama belum mampu mewujudkan budaya rekonsiliatif sebagai sarana untuk menyatukan satu sama lain dalam membangun hidup berkomunitas. Hal ini yang sering kali menimbulkan perbedaan dan konflik dalam hidup bersama sebagai komunitas.

Sebagai murid Yesus Kristus para suster CB diajak untuk belajar dari Yesus dengan menjadikan pola pilir, pola pilihan, pola sikap dan pola tindak yang menjadikan pola hidup suster CB. Seperti Bunda Elisabeth pengalaman pribadi dengan Yesus yang tersalib menjadi penggerak seluruh pola pikir, pilihan dan tindakannya yang tampak dalam kerelaannya untuk mengampuni orang-orang yang memfitnahnya, merendahkannya, dan mengusirnya, bahkan Bunda Elisabeth memohonkan pengampunan bagi mereka. Model katekese Shared Christian Praxis (SCP) merupakan salah satu usaha untuk membantu para suster CB dalam meningkatkan semangat pengampunan dalam membangun hidup berkomunitas. Model katekese ini bersifat dialogal partisipatif yang bermaksud mendorong para peserta untuk mengkonfrontasikan pengalaman hidupnya dengan pengalaman tradisi Kristiani yang terdapat dalam Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja.

Untuk menegaskan pemikiran di atas, penulis menggunakan pendekatan deskriptif berdasarkan studi kepustakaan dengan mempelajari dari dokumen-dokumen Gerejawi dan dokumen-dokumen-dokumen-dokumen Kongregasi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus perlu meningkatkan semangat pengampunan dalam membangun hidup menjadi komunitas yang rekonsiliatif.


(2)

ix

ABSTRACT

The title the this small thesis is “THE MEANING OF RECONCILIATION IN COMMUNITY LIFE OF SISTER’S OF CHARLES BORROMEO”. The writer chose this theme based on the reality in building up the spirit of community life in the community of Charles Borromeo sister’s.

The main problem in this writing is how the sister of Charles Borromeo is able to accept the strength and weakness of others as the way to reconcile one another in building up community life.

The Charles Borromeo sister’s are called to bring peace for others,

expecially in building up togetherness as one community. Congregation of Charles Borromeo has members who come from different background, culture, race, and education. Therefort sometimes in living together as community, they could not live out the spirit of reconciliation as the tools to unite another in building up the community life. Many times, it creates the conflict and different ideas in living together in religious community.

As the disciples of Jesus, the CB sister’s are invited to learn from Jesus

the thought become the pilar, example, the attitude and action in their life as the CB sister. CB sister are following the life example of Mother Elisabeth who by her personal experience with Jesus became the foundation spirit in her way of thinking, chosing, and action that are seen in her readiness to reconcile those who backbited, look down and expeled her. Mother Elisabeth asked the forgiveness for them. The model of cathechism Shared Christian Praxis (SCP)

is one way to help CB sister’s to improve the spirit of forgiveness in building up community life. The model of this chatechsm uses the dialog participative method that able to motivate each member to share their personal experience with the is chatolic tradition in Bible and church teaching.

In ordher to explain it, the writer uses the descriptive approach based on

the library study by learning the Church document’s and the document of the sister’s CB congregation. The sisters of CB sould improve their spirit of


(3)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah yang Maha kasih atas kelimpahan berkat dan kasih-Nya yang telah menuntun, dan membimbing serta menguatkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Judul skripsi ini adalah MAKNA PENGAMPUNAN DALAM

HIDUP BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CINTAKASIH SANTO

CAROLUS BORROMEUS.

Dalam proses penulisan dan penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan kehadiran semua pihak yang telah membantu, mendukung dengan caranya masing-masing. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih sepenuh hati kepada:

1. Dr. J. Darminta, SJ., selaku dosen pembimbing utama, yang bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mebantu dengan ketulusan hati, penuh pengertian, kesabaran, dari awal sampai selesainya penulisan skripsi ini.

2. Y. H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum, selaku penguji II sekaligus dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dan mendukung


(4)

xi

3. penulis dengan perhatian selama masa perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Dr. Bernadinus Agus Rukiyanto, SJ., selaku penguji III, yang telah mendukung penulis selama penulisan skripsi ini hingga selesai.

5. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ., selaku Kaprodi IPPAK yang dengan penuh keramahan menyapa dan mendukung penulis selama penulisan skripsi ini.

6. Para Staf Dosen IPPAk yang telah membimbing, medampingi, memberikan pengetahuan spiritual yang berharga kepada penulis selam belajar di IPPAk. 7. Para staf karyawan IPPAK dan Puskat yang telah memberikan perhatian,

dorongan dan bantuan yang berguna bagi penulis.

8. Sr. Carolina CB., sebagai Pimpinan Provinsi Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus beserta para Suster Dewan Pimpinan Provinsi yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk mengembangkan diri di IPPAK-USD Yogyakarta hingga selesai.

9. Sr. Marie Yose, CB., selaku kepala kantor Yayasan Tarakanita Pusat yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri di IPPAK-USD Yogyakarta


(5)

MAKNA PENGAMPUNAN DALAM HIDUP BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CINTAKASIH SANTO CAROLUS BORROMEUS

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Fransiska Tanesib Bifel NIM: 091124016

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(6)

(7)

(8)

iv

Skripsi ini saya persembahkan kepada Kongregasi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus


(9)

v

“Memang jika Allah berbicara dalam hati, pasti terdengar bahasa cinta”


(10)

(11)

(12)

viii

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “MAKNA PENGAMPUNAN DALAM HIDUP BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CINTAKASIH SANTO

CAROLUS BORROMEUS” penulis memilih judul tersebut berdasarkan realitas yang dialami dalam membangun hidup berkomunitas suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus. Maka yang menjadi persoalan mendasar dalam skripsi ini adalah bagaimana para suster CB mampu menerima kelebihan dan kekurangan sesama suster sebagai sarana untuk saling mengampuni dalam membangun hidup berkomunitas.

Para suster CB dipanggil untuk menjadi pembawa damai bagi sesama terlebih dalam membangun hidup bersama menjadi komunitas yang pengampun. Dalam kongregasi CB memiliki anggota dari berbagai macam latar belakang, budaya, suku, dan pendidikan yang berbeda-beda, sehingga kadang dalam hidup bersama belum mampu mewujudkan budaya rekonsiliatif sebagai sarana untuk menyatukan satu sama lain dalam membangun hidup berkomunitas. Hal ini yang sering kali menimbulkan perbedaan dan konflik dalam hidup bersama sebagai komunitas.

Sebagai murid Yesus Kristus para suster CB diajak untuk belajar dari Yesus dengan menjadikan pola pilir, pola pilihan, pola sikap dan pola tindak yang menjadikan pola hidup suster CB. Seperti Bunda Elisabeth pengalaman pribadi dengan Yesus yang tersalib menjadi penggerak seluruh pola pikir, pilihan dan tindakannya yang tampak dalam kerelaannya untuk mengampuni orang-orang yang memfitnahnya, merendahkannya, dan mengusirnya, bahkan Bunda Elisabeth memohonkan pengampunan bagi mereka. Model katekese Shared Christian Praxis (SCP) merupakan salah satu usaha untuk membantu para suster CB dalam meningkatkan semangat pengampunan dalam membangun hidup berkomunitas. Model katekese ini bersifat dialogal partisipatif yang bermaksud mendorong para peserta untuk mengkonfrontasikan pengalaman hidupnya dengan pengalaman tradisi Kristiani yang terdapat dalam Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja.

Untuk menegaskan pemikiran di atas, penulis menggunakan pendekatan deskriptif berdasarkan studi kepustakaan dengan mempelajari dari dokumen-dokumen Gerejawi dan dokumen-dokumen-dokumen-dokumen Kongregasi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus perlu meningkatkan semangat pengampunan dalam membangun hidup menjadi komunitas yang rekonsiliatif.


(13)

ix

ABSTRACT

The title the this small thesis is “THE MEANING OF RECONCILIATION IN COMMUNITY LIFE OF SISTER’S OF CHARLES BORROMEO”. The writer chose this theme based on the reality in building up the spirit of community life in the community of Charles Borromeo sister’s.

The main problem in this writing is how the sister of Charles Borromeo is able to accept the strength and weakness of others as the way to reconcile one another in building up community life.

The Charles Borromeo sister’s are called to bring peace for others,

expecially in building up togetherness as one community. Congregation of Charles Borromeo has members who come from different background, culture, race, and education. Therefort sometimes in living together as community, they could not live out the spirit of reconciliation as the tools to unite another in building up the community life. Many times, it creates the conflict and different ideas in living together in religious community.

As the disciples of Jesus, the CB sister’s are invited to learn from Jesus

the thought become the pilar, example, the attitude and action in their life as the CB sister. CB sister are following the life example of Mother Elisabeth who by her personal experience with Jesus became the foundation spirit in her way of thinking, chosing, and action that are seen in her readiness to reconcile those who backbited, look down and expeled her. Mother Elisabeth asked the forgiveness for them. The model of cathechism Shared Christian Praxis (SCP)

is one way to help CB sister’s to improve the spirit of forgiveness in building up community life. The model of this chatechsm uses the dialog participative method that able to motivate each member to share their personal experience with the is chatolic tradition in Bible and church teaching.

In ordher to explain it, the writer uses the descriptive approach based on

the library study by learning the Church document’s and the document of the sister’s CB congregation. The sisters of CB sould improve their spirit of


(14)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah yang Maha kasih atas kelimpahan berkat dan kasih-Nya yang telah menuntun, dan membimbing serta menguatkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Judul skripsi ini adalah MAKNA PENGAMPUNAN DALAM

HIDUP BERKOMUNITAS SUSTER-SUSTER CINTAKASIH SANTO

CAROLUS BORROMEUS.

Dalam proses penulisan dan penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan kehadiran semua pihak yang telah membantu, mendukung dengan caranya masing-masing. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih sepenuh hati kepada:

1. Dr. J. Darminta, SJ., selaku dosen pembimbing utama, yang bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mebantu dengan ketulusan hati, penuh pengertian, kesabaran, dari awal sampai selesainya penulisan skripsi ini.

2. Y. H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum, selaku penguji II sekaligus dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dan mendukung


(15)

xi

3. penulis dengan perhatian selama masa perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Dr. Bernadinus Agus Rukiyanto, SJ., selaku penguji III, yang telah mendukung penulis selama penulisan skripsi ini hingga selesai.

5. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ., selaku Kaprodi IPPAK yang dengan penuh keramahan menyapa dan mendukung penulis selama penulisan skripsi ini.

6. Para Staf Dosen IPPAk yang telah membimbing, medampingi, memberikan pengetahuan spiritual yang berharga kepada penulis selam belajar di IPPAk. 7. Para staf karyawan IPPAK dan Puskat yang telah memberikan perhatian,

dorongan dan bantuan yang berguna bagi penulis.

8. Sr. Carolina CB., sebagai Pimpinan Provinsi Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus beserta para Suster Dewan Pimpinan Provinsi yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk mengembangkan diri di IPPAK-USD Yogyakarta hingga selesai.

9. Sr. Marie Yose, CB., selaku kepala kantor Yayasan Tarakanita Pusat yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri di IPPAK-USD Yogyakarta


(16)

(17)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 4

C. TUJUAN PENULISAN ... 4

D. MANFAAT PENULISAN ... 5

E. METODE PENULISAN ... 5

F. PEMBATASAN MASALAH ... 5


(18)

xiv

BAB II. PENGAMPUNAN DALAM KONGREGASI SANTO

CAROLUS BORROMEUS………. 8

A. PENGAMPUNAN DAN REKONSILISASI ... 8

1. Arti Pengampunan ... 8

2. Arti Rekonsiliasi ... 12

B. YESUS SANG PENGAMPUN ... 13

1. Ajaran Yesus dalam Doa Bapa Kami ... 13

2. Yesus sebagai Pengampun dalam Salib-Nya ... 15

3. Hidup Berkomunitas menurut Matius 18:1-20 ... 18

C. PENGAMPUNAN YANG DIHAYATI BUNDA ELISABETH ... 21

1. Pengampunan dari Allah ... 21

2. Keteladanan Pengampunan dari Bunda Elisabeth .... 24

3. Perlunya Pertobatan Terus Menerus ... 29

BAB III. KONGREGASI SANTO CAROLUS BORROMEUS MEMBANGUN KOMUNITAS REKONSILIATIF ... 32

A. UNDANGAN GEREJA MASA SEKARANG ... 32

1. Komunitas Sekolah Cinta ... 32

2. Komunitas yang Menghayati Hidup Tritunggal Mahakudus ... 34

3. Komunitas yang mampu Menjawab Kebutuhan ... 38

a. Komunitas Tradisional ... 40

b. Komunitas Sosial-Psikologis ... 40

c. Komunitas Pelayanan... 41

d. Komunitas Kesaksian Hidup ... 42

e. Komunitas Kesaksian Sabda ... 42


(19)

xv

g. Komunitas Pneumatis ... 44

4. Komunitas sebagai Misio ... 44

B. PENGERTIAN HIDUP BERKOMUNITAS ... 47

1. Pengertian Komunitas Menurut Kitab Suci ... 47

2. Gereja sebagai Communio... 50

3. Komunitas Religius ... 56

C. KONGREGASI SANTO CAROLUS BORROMEUS MEMBANGUN KOMUNITAS REKONSILIATIF ... 59

1. Tantangan Hidup Berkomunitas dalam Kongregasi CB ... 59

2. Pengarahan dalam menghayati Konstitusi CB ... 63

a. Komunitas rekonsiliatif sebagai pilihan... 64

b. Dinamika Komunitas Rekonsiliatif ... 67

c. Kesaksian Komunitas Rekonsiliatif ... 71

BAB IV. SUMBANGAN KATEKESE DALAM UPAYA MEMBANGUN KOMUNITAS REKONSILIATIF SUSTER-SUSTER CINTAKASIH SANTO CAROLUS BORROMEUS ... 77

A. Gambaran Umum Katekese ... 78

1. Pengertian Katekese ... 79

2. Tujuan Katekese ... 83

3. Isi Katekese ... 85

4. Tugas Katekese ... 85

a. Menyuburkan dan Membangkitkan Pertobatan ... 86

b. Membimbing Umat Beriman untuk Memahami Misteri Kristus ... 86

c. Mendorong Umat Beriman Bertindak Aktif dalam Gereja dan Masyarakat ... 86


(20)

xvi

5. Unsur-unsur Katekese ... 89

xv a. Unsur Pengalaman dan Praktek Hidup ... 89

b. Unsur Komunikasi Pengalaman Iman ... 89

c. Unsur Komunikasi dan Tradisi Kristiani ... 90

d. Unsur Arah Keterlibatan Baru ... 90

B. Relevansi Katekese dalam Hidup Berkomunitas Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus... 91

C. Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Model Katekese Pengampunan bagi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus... 95

1. Pengertian Shared Christian Praxis (SCP) ... 95

a. Praxis ... 96

1) Aktivitas ... 96

2) Refleksi ... 96

3) Kreativitas ... 97

b. Christian ... 97

c. Shared ... 98

2. Langkah-langkah Shared Christian Praxis ... 98

a. Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual (Mengungkap Pengalaman Hidup Peserta) ... 98

b. Langkah II: Refleksi Kritis atas Pengalaman Hidup Peserta ( Mendalami Pengalaman Hidup Peserta) ... 99

c. Langkah III: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani Terjangkau (Menggali Pengalaman Iman Kristiani) ... 100

d. Langkah IV: Interpretasi/Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Peserta (Menerapkan Iman Kristiani dalam Situasi Peserta Konkret)………. 101


(21)

xvii

e. Langkah IV: Keterlibatan Baru demi makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia ini

(Mengusahakan suatu Aksi Konkret) ... 102

D. Usulan Program Katekese sebagai Upaya Membangun Komunitas Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus ... 102

1. Pengertian Program ... 103

2. Tujuan Program ... 103

3. Latar Belakang Pemilihan Tema ... 104

4. Rumusan Tema dan Tujuan ... 107

5. Penjabaran Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 109

6. Contoh Persiapan Katekese ... 113

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 136

B. Saran ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 142

LAMPIRAN ... 145

Lampiran 1: Pengampunan Menyembuhkan ... (1)


(22)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

A. Daftar Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam Skripsi ini diambil dari Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) bekerja sama dengan Lembaga Biblika Indonesia (LBI; 2000).

B. Singkatan Dokumen Gereja

CT : Catchesi Trandende, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II kepada para Uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1997 GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Tugas Gereja

dalam dunia Dewasa ini, tanggal 7 Desember 1965 KGK : Katekismus Gereja Katolik

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, tanggal 21 November 1964

NMI : Novo Millennio Ineunte, Surat Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II, seruan dan ajakan untuk mengenang masa lampau dengan penuh syukur, menghayati masa sekarang penuh


(23)

xix

antusiasme dan menatap masa depan penuh kepercayaan, tanggal 6 Januari 2001

VC : Vita Consecrata, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti bagi Para Religius, 25 Maret 1996

C. Daftar Singkatan Lain

Art : Artikel

Ardas : Arah Dasar

Bdk : Bandingkan

CB : Carolus Borromeus

Ed : Editor

EG : Elisabeth Gruyters

Hal : Halaman

IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Konst : Konstitusi, Pedoman hidup bagi para Suster Kongregasi St.

Carolus Borromeus

KS : Kitab Suci

KV II : Konsili Vatikan II

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia


(24)

xx SCP : Shared Christian Praxis

Sr : Suster


(25)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengampunan merupakan hal yang seringkali sulit untuk diwujudkan dalam kebersamaan hidup dengan yang lain. Namun demikian pengampunan merupakan dasar yang kuat, dan perlu dibangun oleh setiap pribadi, agar upaya untuk hidup damai, tenteram, dan penuh kebahagiaan senantiasa terwujud dalam suatu kebersamaan. Hidup dalam kebersamaan dengan orang lain merupakan hal yang biasa dijalani oleh setiap pribadi. Dalam kebersamaan dengan orang lain, tentu mereka berjuang untuk mencapai suatu cita-cita, misalnya dalam membangun keluarga yang sejahtera, yang didasari oleh cinta kasih dan pengampunan.

Darminta (1993:33) mengungkapkan bahwa bertindak berdasarkan kelembutan hati, yang penuh dengan “compassion” adil serta bersifat pendamai (rekonsiliatif) memerlukan keberanian seseorang untuk kembali pada hati. Tindakan rekonsiliatif tanpa kekerasan penuh belas kasih merupakan seruan untuk kembali kepada realitas manusia, yang sama-sama citra Allah, sama-sama ditebus oleh darah Yesus. Kata-kata ini seharusnya disadari dan dihayati oleh para religius termasuk Suster CB, seperti yang diteladankan oleh Bunda Elisabeth pendiri Kongregasi suster-suster cinta kasih Santo Carolus Borromeus mengungkapkan bahwa dalam ketersentuhan dengan keterlukaannya sendiri dan menyatukannya dengan penderitaan orang lain dan dunia, membuat Bunda Elisabeth merasa lebih


(26)

ringan dalam menanggung penderitaannya. Dengan demikian terjadinya saling berekonsiliasi antar pribadi bersamaan itu terjadi pula penyembuhan dalam diri sendiri dan orang lain.

Sebagai wanita Yesus Kristus yang diutus menjadi pengemban rekonsiliasi dan penyembuh dalam dunia yang terluka di zaman ini, pertama-tama para suster CB dituntut untuk memulai mengampuni dari diri sendiri, didalam komunitas sebagai sesama yang dipanggil serta mampu memberikan kesaksian ditengah perutusan dan dimasyarakat yang menjadi gerak profetik dalam persekutuan Gereja. Dengan demikian suatu pertobatan radikal menuju kepada kasih Allah yang berbelarasa tanpa batas adalah sangat penting. Para suster-suster CB juga menyadari diri sebagai orang-orang yang terluka yang memerlukan penyembuhan dan rekonsiliasi dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan seluruh ciptaan. Hanya kasih Allah yang tak bersyaratlah yang dapat mengubah kita menjadi pengemban rekonsiliasi dan penyembuh yang autentik dan dengan penuh belarasa mampu menjangkau mereka yang mencari kebebasan sebagai citra dan gambar Allah (bdk. Yoh:1-10). (Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi 2005:22-29).

Bunda Elisabeth juga seorang pengemban rekonsiliasi dan penyembuh bagi pribadi manusia secara utuh, dengan mempertimbangkan seluruh segi kehidupan mereka. Kepedulian Bunda Elisabeth terhadap orang-orang miskin berdasarkan pada pandangannya yang holistik tentang pribadi manusia, keterpaduan dari segi-segi spiritual dan manusia sebagai


(27)

pribadi (EG. 108, 112, 117, 149). Zaman yang semakin penuh dengan kekerasan ini menuntut setiap orang untuk menjadi pengemban rekonsiliasi dalam dunia yang terluka ini. Hal ini seharusnya menjadi bagian dari suster CB seperti yang sudah diteladankan oleh Yesus dan Bunda Elisabeth untuk menjadi seorang pengemban rekonsiliatif. Membawa damai kepada pelayanan kerasulan seharusnya menjadi identitas religius CB yang diutus di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan kekerasan dan korupsi. Namun karena kelemahan manusiawi maka perutusan Suster CB di tengah dunia semakin hari nilai pengampunan ini semakin terkikis dalam hidup berkomunitas maupun kehadirannya dalam perutusan karya Kongregasi. Dalam kehidupan para suster CB, kadang mengabaikan nilai pengampunan ini. Hal ini nampak ketika hidup bersama dengan suster yang lain dalam hidup berkomunitas atau pun dalam karya perutusan Kongregasi yaitu ketika berhadapan dengan rekan kerja. Bunda Elisabeth pendiri Kongregasi tersentuh dengan penderitaan manusia, dengan demikian juga bahwa sebagai suster CB diutus di “tengah dunia yang terluka” dipanggil untuk

mengambil bagian dalam perutusan penyelamatan-Nya dalam semangat pendiri yakni menampakkan kasih Kristus yang berbelarasa terutama bagi yang miskin, lemah, menderita, dan berkesesakan hidup. Jika nilai ini dihayati dan dihidupi oleh Suster CB, maka wajah Allah semakin nampak dalam hidup para suster CB yang menjadi alat penyalur kasih Tuhan bagi sesama melalui kehadirannya yang membawa harapan dan pendamaian.


(28)

Bertolak dari situasi di atas penulis terdorong untuk semakin mendalami makna pengampunan yang dimiliki oleh Bunda Elisabeth dalam menanggapi panggilan Allah sebagai seorang religius CB. Dengan demikian penulis mengajukan proposal skripsi dengan tema “MAKNA

PENGAMPUNAN DALAM HIDUP BERKOMUNITAS

SUSTER-SUSTER CINTAKASIH SANTO CAROLUS BORROMEUS (CB)”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas ada beberapa hal ingin dicermati lebih lanjut dan pada akhirnya menjadi titik awal dari penulisan ini. Adapun masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa makna pengampunan bagi para Suster CB.

2. Bagaimana para Suster CB mampu meningkatkan pengampunan dalam hidup berkomunitas.

3. Usaha apa yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan budaya pengampunan bagi para Suster CB.

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk lebih memahami peran komunitas CB dalam gerak persekutuan hidup Gereja

2. Mengembangkan suasana komunitas sebagai tanda kehadiran pengampunan Allah


(29)

3. Mengenal secara mendalam peran pendiri dalam mengembangkan pengampunan dalam hidup berkomunitas

D. Manfaat Penulisan

1. Membantu para anggota Suster CB, untuk mengerti dan memaknai pengampunan dalam hidup berkomunitas.

2. Memberi bahan permenungan kepada para anggota komunitas Suster CB tentang pentingnya pengampunan dalam hidup berkomunitas 3. Membantu para Suster CB untuk mengembangkan pengampunan

dalam hidup berkomunitas

E. Metode Penulisan

Dalam menyusun karya tulis ini, penulis menggunakan metode penulisan deskriptif yakni dengan menyerap dan membaca buku-buku dari berbagai sumber. Selain itu, penulis juga memperkaya karya tulis ini melalui pengalaman dan penghayatan pribadi yang dialami oleh penulis sendiri pada setiap perjumpaan dan kebersamaan dengan Suster CB dalam hidup komunitas.

F. Pembatasan Masalah

Selain judul di atas, maka penulis membatasi permasalahan yang demikian luas. Pembahasan dalam karya tulis ini akan lebih difokuskan pada pengampunan Bunda Elisabeth Gruyters dalam Kongregasi CB


(30)

G. SITEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini mengambil judul “Makna Pengampunan dalam Hidup

Berkomunitas Suster-suster Santo Carolus Borromeus (CB). Dari judul ini penulis mengembangkannya menjadi lima bab, yakni:

BAB I meliputi (pendahuluan) penulis memberikan gambaran secara umum penulisan skripsi ini. Rumusan permasalahan, Tujuan penulisan, Manfaat penulisan, Metode penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II, penulis berbicara atau menguraikan tentang Kongregasi CB membangun komunitas rekonsiliatif yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu,

a. Undangan untuk hidup berkomunitas zaman sekarang (communio) b. Pengertian hidup berkomunitas

c. Kongregasi CB membangun komunitas rekonsiliatif

BAB III menguraikan tentang pengampunan Yesus sebagai kekautan dalam membangun komunitas rekonsiliatif yang terdiri dari empat bagian: pengampunan dan rekonsiliasi, Yesus sebagai pengampun, pengarahan dalam menghayati konstitusi melalui kapitel dan pentingnya menjadi pengampun.

Usulan program pembinaan Suster CB dengan menawarkan katekese sebagai salah satu bentuk pembinaan kearah perwujudan pengampunan dalam hidup berkomunitas BAB IV ini akan terdiri dari tiga bagian. Bagian yang pertama memaparkan secara singkat gambaran umum katekese, dan


(31)

unsur-unsur katekese. Kemudian yang kedua membahas tentang relevansi dalam hidup berkomunitas dan bagian yang ketiga adalah contoh katekese yang merupakan acuan pembinaan yang dapat dilaksanakan di kongregasi CB.

BAB V. Penutup. Bab ini penulis memberikan kesimpulan dan saran secara keseluruhan.


(32)

BAB II

PENGAMPUNAN DALAM KONGREGASI SANTO CAROLUS BORROMEUS

A. PENGAMPUNAN DAN REKONSILIASI

1. Arti Pengampunan

Pengampunnan berarti sebuah proses mempersatukan yang menggerakan manusia dari perpisahan kepada persekutuan, dari curiga dan konfrontasi kepada kepercayaan dan saling berbagi. Pengampunan berarti menciptakan ruang bagi pelaku tindak kejahatan dan para korban untuk menemukan kemanusiaan bersama mereka, dan untuk saling mengikrar demi suatu masa depan lebih aman dan kurang diwarnai tindak kekerasan (Muller,1999:56). Setiap manusia merindukan suatu kedamaian, kebahagiaan, yang sungguh membuat seseorang merasa nyaman, membuatnya merasa terbuka baik dengan keadaan dirinya maupun pengalaman yang dialami secara pribadi. Dengan demikian bahwa pengampunan membuat seseorang keluar dari dirinya dan merasa terbebaskan dari tekanan batin yang tersiksa.

Pengampunan adalah dasar agar setiap orang dapat berkembang. Manusia saling mengampuni karena ingin berkembang dan menjadi seperti Yesus (Vanier, 1998:30).

Dengan mengampuni seseorang akan berkembang dalam hidup rohani, karena pengampunan merupakan hal yang mendasar bagi setiap orang untuk membangun relasi dengan orang lain. Bila seseorang mampu


(33)

menghayati pengampunan dalam hidupnya, maka hari demi hari ia akan semakin berkembang menyerupai Yesus karena ia mampu menghayati nilai-nilai keutamaan salah satunya adalah nilai-nilai pengampunan.

Mengampuni berarti memulihkan hubungan bila terputus. Mengampuni secara sungguh-sungguh ini sukar, karena berarti pula berani mengubah sikap, pandangan dan tingkah laku pula terhadap orang yang diampuni. Mengampuni berarti memperbaharui hubungan hidup (Darminta, 1981:79).

Untuk mengampuni dengan sungguh orang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berproses dengan melakukan refleksi, kontemplasi, dan pengolahan diri yang terus-menerus sehingga dimampukannya untuk menemukan kasih Allah dalam seluruh peristiwa hidupnya sehingga dengan demikian Allah sendiri yang mampu mengubah pandangannya, pola pikir, untuk mampu mengampuni orang lain dengan tulus dan tanpa syarat.

Pengampunan dapat dimengerti sebagai suatu tindakan untuk berani meninggalkan rasa sakit. Keputusan untuk mengampuni rasa sakit tidak serta merta berarti bahwa seseorang telah memaafkan. Pengampunan bukan merupakan masalah perasaan saja, pengampunan juga menyangkut suatu niat atau kemauan. Keputusan untuk mengampuni, seperti halnya keputusan untuk mencintai, harus dinyatakan berulang-ulang agar semakin mendasari keberadaan seseorang (Riyanto, 2004:13).

Mengampuni adalah ungkapan hati seseorang yang menyadari bahwa dirinya tidak berhak menghukum orang lain. Kesadaran ini


(34)

menunjukan posisi tepat diri pribadi dihadapan sesama namun sekaligus juga mengakui bahwa ada kuasa yang berhak menghukum secara adil. Dengan kata lain, pengampunan adalah kepasrahan pada yang berwewenang (Suwito, 2000:4-5).

Pengampunan adalah kemungkinan baru yang menyingsing dalam cakrawala hidup umat manusia. Manusia berbela rasa yang menunjukan kemungkinan pengampunan membantu orang lain untuk membebaskan diri mereka dari belenggu rasa malu yang menghambat, memungkinkan mereka mengalami kesalahan mereka dan mengembalikan harapan mereka akan masa depan (Nouwen, 1989:44).

Pengampunan pada hakikatnya perlu bagi manusia. Pengampunan bukan hanya ilahi tetapi juga manusiawi; dengan pengampunan manusia menjadi lebih mulia daripada manusia biasa. Pengampunan adalah kebutuhan manusia dan ada banyak alasan yang dapat dikemukan untuk hal tersebut. Dengan demikian bahwa mengampuni tidak sama dengan melupakan. Mengampuni berarti memikirkan sungguh-sungguh menyadari apa yang telah terjadi dan artinya yang sejati bagi kehidupan manusia. Kadang-kadang manusia tidak mau mengampuni karena berpikir mengampuni berarti mengubur pengalaman pahit di masa lampau atau sekurang-kurangnya berpura-pura hal itu tidak pernah terjadi (Meninger, 1999:30).

Demikian juga bahwa dengan mengampuni berarti ikut ambil bagian dalam kasih Allah tanpa syarat yang datang dari Allah-hanya Allah


(35)

yang dapat melepaskan orang dari tanggungg jawab atas dosanya, dan hanya pendosa dapat memohon pelepasan itu. Seseorang mengampuni tidak untuk kepentingan orang-orang yang menyakitinya, tetapi untuk kepentingan diri sendiri (Meninger, 1999:31).

Pengampunan merupakan landasan yang kokoh kuat, perlu dibangun dalam diri masing-masing pribadi agar cita-cita untuk hidup damai, tenteram dan penuh persaudaraan terwujud dalam kebersamaan. Pengampunnan merupakan suatu proses. Dalam proses pengolahan pengampunnan perlu mengenali kelemahan dan kekuatan untuk menemukan keadaan luka di mana penyembuhan dapat dilakukan. Pengampunan membuat orang mampu melihat keadaan dirinya, orang lain dan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya sebagaimana adanya.

Mengampuni berarti sadar bahwa hal-hal yang dilakukan terhadap diri sendiri tidak ada akibatnya bagi orang-orang yang bersalah kepada kita, bahkan dengan demikian ia terus menyakiti diri sendiri (Meninger, 1999:37).

Dengan demikian bahwa pengampunan berarti suatu kebebasan yang muncul dalam batin seseorang untuk melepaskan segala enegri negatif dan membiarkan diri dikuasai oleh Allah dengan hal-hal positif serta membangun diri melalaui keterbukaan dan pengolahan pengalaman-pengalaman masa lalu.

Meninger juga menjelaskan bahwa pengampunan adalah kemerdekaan sejati. Pengampunan membebaskan diri dari jerat peristiwa masa lampau yang menghentikan perkembangan hidup dan membuat hidup menjadi pahit dan menyesal. Seseorang menjadi bebas untuk menempuh


(36)

jalan yang memungkinkan perkembangan yang sejati menuju kematangan-mengembangkan diri sebagaimana seharusnya dan tidak menjadi pribadi pribadi yang kerdil sebagai anak kecil yang ketakutan karena tidak dapat melepaskan diri dari pengalaman terhina di masa lampau yang tetap menghantui (Meninger, 1999:37).

Pengampunan dan tindak pendamaian berkaitan erat dengan sikap saling mencintai. Oleh karena itu, adanya kesadaran diri bahwa setiap orang pantas dicintai dan mencintai, bahwa Tuhan adalah maha cinta dan sesama juga memiliki hak untuk mecintai dan dicintai merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi setiap orang untuk mengampuni dirinya dan orang lain (Riyanto, 2004:97).

2. Arti Rekonsiliasi

Rekonsiliasi dipahami sebagai suatu proses pembangunan relasi. Jadi rekonsiliasi tidak secara eksklusif diperuntukan bagi periode pemugaran pasca-konflik. Rekonslisiasi menyediakan suatu fokus dan lotus yang cocok untuk setiap segi dalam proses penegakan kedamaian dan bersifat mendasar terhadap kesinambungan perdamaian tersebut (Muller, 1999:79).

Tindakan rekonsiliasi dan penuh rasa belas kasih selayaknya ditujukan untuk menghapus kegelapan hidup manusia. Tindakan rekonsiliatif dan penuh belas kasih bukanlah tindakan yang mengadili dan menghukum kemanusiaan. Tetapi lebih dimaksudkan untuk pembangunan


(37)

dan penataan kemanusiaan berdasarkan rasa kemanusiaan terdalam. Tindakan rekonsiliatif serta penuh belas kasih merupakan seruan kembali kepada kemanusiaan, menghidupkan rasa perikemanusiaan dan keadilan. Dengan demikian tujuan tindakan rekonsiliatif dan penuh rasa belas kasih bukanlah mengalahkan atau menghina tetapi untuk pertobatan, menghapus permusuhan bukan musuh (Darminta 1993:58).

B. YESUS SANG PENGAMPUN

1. Ajaran Yesus Dalam Doa Bapa Kami

Seperti ini bukanlah satu-satunya dalam ajaran Yesus: “Haruslah

kamu sempurna, seperti Bapamu, seperti Bapamu yang ada disurga adalah

sempurna” (Mat 5:48). “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu

adalah murah hati” (Luk 6:36). “Aku memberikan perintah baru kepada

kamu yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah

mengasihi kamu” (Yoh 13:34). Tidaklah mungkin mengikuti perintah

Tuhan, andaikata itu berarti mengikuti contoh ilahi secara lahiriah. Tetapi disini dimaksudkan satu keikutsertaan yang hidup “keluar dari kedalaman

hati”, pada kekudusan, kerahiman dan cinta Allah kita. Hanya Roh, yang

dariNya kita “hidup” (Gal 5:25), dapat membuat sikap Yesus menjadi sikap

“kita”. Kesatuan pengampunan menjadi mungkin, apabila kita saling

mengampuni, “sebagaimana Allah didalam Kristus telah mengampuni


(38)

pengampunan, artinya cinta yang mencintai sampai kesudahnnya, menjadi hidup (KGK, 1995:711).

“Ampunilah kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada

kami”. Melalui doa Bapa Kami ini mau menyadarkan manusia bahwa

sebenarnya hidup tergantung sepenuhnya pada Allah, tetapi setiap kali manusia bertindak seolah-olah berkuasa sendiri atas segala-galanya. Atas dasar kesadaran itu manusia memohon agar Allah membebaskan utang kepada-Nya. Ini adalah rahmat yang amat besar, karena manusia tidak mampu membebaskan dirinya sendiri dari dosa-dosa. Dalam doa ini Yesus secara mendasar menghubungkan kesalahan-kesalahan manusia terhadap sesama. Agar dapat menerima pengampunan dari Allah, manusia dituntut saling mengampuni (bdk. Mat 5:7; 6; 14-15; Mrk 11:25). Meskipun demikian pengampunan yang berikan kepada sesama tidak boleh dipandang sebagai syarat atau membuat seseorang mempunyai hak atas pengampunan Allah. Pengampunan kepada sesama, pertama-tama, merupakan tanda ketulusan dan kesungguhan untuk mohon ampun kepada Allah. Pengampunan Allah sendiri adalah rahmat yang diberikan atas dasar kasih dan kesetiaan-Nya bdk. Yes 55:6-7 ; Dan 9:18-19 (Iman Katolik, 206-207).

Hubungan awal antara manusia dan Allah oleh para Bapa Gereja digambarkan sebagai dalam suasana “berbicara merdeka”. Suatu

komunikasi dengan Allah tanpa takut, penuh keakraban, tanpa ada pura-puaraan, tanpa topeng dan permainan. Manusia mampu berkomuniksi murni dan intim dengan Allah. Dengan menyebut Allah Bapa, Yesus menawarkan


(39)

suatu proses penyembuhan dari segala luka karena berbagai sebab, seperti kurang kasih, kurang kelembutan, kurang persaudaraan, kurang aman dan lain sebagainya. Bapa memberi jawaban atas segala kekurangan yang dimiliki manusia dalam hidup ini. Tetapi hal ini memang tidak mudah, terutama bagi mereka yang tak mengalami figur Bapa yang cukup sehat dan mengesan (Mat 23:37). Tetapi yang jelas tantangan pula bagi mereka yang tidak memiliki atau mengalami figur Bapa dan ibu yang baik. Bagaimanapun juga sulitnya, ajakan Yesus menyebut Allah Bapa menjanjikan banyak hal bagi manusia yang terluka, meski untuk itu orang sering harus melalui proses panjang dan menyakitkan. Dengan sebutan ini manusia dikembalikan pula dalam persaudaraan, karena diajak untuk berseru bersama Bapa Kami (Darminta, 1992:16-17).

Doa Bapa Kami merupakan doa tahun iubileum. Doa yang menuju untuk terealisasinya pemebebasan dari keadaan yang tidak manusiawi, ketidakadilan dan penindasan, hidup dalam zaman rekonsiliasi dan pemulihan martabat hidup manusia. Itulah yang dilakukan oleh Yesus seperti makan bersama dengan orang pendosa, tidak menghukum pelacur, menyembuhkan penyakit, memanggil orang berdosa (Darminta, 1992:41).

2. Yesus Sebagai Pengampun dalam Salib-Nya

Dengan cinta kasih-Nya yang tak berkesudahan, Yesus bersabda,

“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Penderitaan dan wafat


(40)

-Nya di kayu salib merupakan wujud cinta kasih--Nya yang tiada batas. Dengan tulus hati Yesus mengorbankan diri-Nya demi keselamatan seluruh umat yang di kasihi-Nya. Cinta sejati tidak mengenal alasan, tidak memiliki ukuran, tidak menciptakan batas-batas, tidak menghitung-hitung, tidak mengingat kesalahan, dan tidak memaksakan aneka, macam persyaratan. Yesus selalu bertindak atas dasar cinta. Dari kediaman Allah Tritunggal, Yesus membawa kepada manusia cinta yang besar dan tidak terbatas, yaitu cinta ilahi yang merangkul segalanya. Cintakasih kasih Yesus mendorong manusia untuk mensyukuri, menanggapi, dan selanjutnya membagikannya kepada orang-orang yang dicintainya. Sebagai murid-murid-Nya manusia sekalian diundang dan sekaligus dimampukan oleh-Nya untuk mengasihi saudara-saudari dengan tulus seperti Yesus. Cinta sejati yang rela berkorban sekaligus merupakan cinta yang tulus, yaitu cinta yang mengalir dari hati yang jujur, bersih dari pamrih-pamrih pribadi. Cinta semacam ini bebas dari rasa senang atau tidak dan bebas dari keinginan untuk memaksakan syarat-syarat tertentu. Cinta yang tulus membuat orang bertobat dari perbuatannya yang jahat. Cinta yang tulus, kecuali membuat orang yang dicintainya bersukacita, juga membuat diri sendiri merasa bahagia. Untuk itu, perlu belajar mencintai dengan tulus, belajar membuka hati, belajar untuk berkorban, dan belajar untuk lebih mencintai dengan tulus seperti Yesus mencintai manusia (Heryatno, 2014:21).

Yesus memberikan kepenuhan arti baru kepada seluruh umat manusia dengan menjadikan tubuh-Nya yang hancur menjadi jalan


(41)

penyembuhan, pembebasan, dan kehidupan baru. Dengan demikian seperti halnya Yesus, orang yang memaklumkan pembebasan dipanggil tidak hanya untuk merawat luka-lukanya sendiri dan luka-luka orang lain, akan tetapi menjadikan luka-luka-Nya sendiri sumber kekuatan penyembuhannya (Nouwen, 1989:80).

Kalau seseorang tidak takut untuk masuk ke dalam diri batin sendiri dan memusatkan perhatian pada gerak jiwa sendiri, orang akan mengetahui bahwa hidup berarti dicintai. Pengalaman ini mengatakan kepada setiap orang bahwa manusia hanya dapat mencintai karena dilahirkan oleh kasih; bahwa orang hanya dapat memberi karena hidup seseorang adalah anugerah; dan bahwa seseorang hanya dapat membuat orang lain bebas karena sudah dibebaskan oleh Dia, yang hati-Nya jauh lebih besar daripada hati manusia (Nouwen, 1989: 87).

Persahabatan yang kuat terjadi bila saling mengasihi secara tulus, karena percaya bahwa Allah telah mengasihi manusia (bdk 1 Yoh 4:10). Mengasihi saudara terutama yang paling hina adalah perintah Allah (bdk Yoh15:9; Mat 25:31-46). Perintah Allah bukanlah sekedar himbauan yang dapat ditanggapi secara sukarela. Karena itu, sikap paling tepat sebagai pengikut Kristus adalah menuruti perintah-Nya. “Barang siapa menuruti

segala perintah-Nya, ia diam dalam Allah dan Allah diam didalam Dia” (1 Yoh 3:24; bdk. Yoh 15:9-17). Kasih yang tulus merupakan karunia Allah yang menyelamatkan semua orang (bdk. Tit 2:11). Maka terhadap kekerasan yang terjadi dalam hidup bersama hendaknya berjuang untuk


(42)

menyingkirkannya secara aktif tanpa kekerasan. Dengan kasih yang tulus, seseorang berkehendak memutus lingkaran balas dendam (Ardas, 2001-2005:20).

Kedamaian merasuki hati dan jiwa saat cinta Tuhan yang penuh pengampunan, belas kasihan, dan kemurahan hati membersihkan dosa-dosa manusia. Ia selalu mengulurkan tangan-Nya untuk merangkul manusia. Tuhan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk menuntun dan membimbing manusia. Tuhan selalu menerima dengan penuh cinta, apa pun dan bagaimana pun keadaan manusia. Tuhan Yesus meyakinkan bahwa Ia akan mengampuni siapa pun yang datang kepada-Nya. Pengampunan-Nya akan mendatangkan kedamaian yang tak dapat diberikan oleh dunia (Riyanto, 2004:92-93).

3. Hidup Berkomunitas Menurut Mateus 18:1-20

Para murid diajak untuk membangun komunitas beriman secara benar (Mat 18:1-5), tidak saling memberi batu sandungan (Mat 18:6-11), bahkan justru mencari dan menemukan yang hilang dan menjauh (Mat 18:12-14), memberi sumbangan demi kebaikan sesama (Mat 18:15-20). Hal ini yang dikehendaki oleh Yesus dalam membangun komunitas para murid. Dengan demikian para murid juga ditantang oleh Yesus untuk mengenakan kebijaksanaan dan tanggung jawab yaitu seorang yang dekat dengan Allah, karena kedekatan dengan Allah itulah yang memberikan kemerdekaan,


(43)

keterbukaan, dan kepedulian terhadap sesama dalam membangun komunitas (Darminta,1997:55).

Kemampuan mencintai merupakan kualitas tertinggi yang dapat dimiliki sebagai pribadi manusia, bahkan tidak hanya secara manusiawi belaka namun sampai pada tingkat rohani manusia. Sebab dengan cinta, Tuhan telah menciptakan manusia dan makhluk lainnya serta bumi dan segala isinya. Mencintai Tuhan seperti mencintai diri sendiri dan sesama harus menjadi persembahan yang terbesar dalam kehidupan manusia. Membenci Tuhan atau seseorang merupakan tindakan yang melawan cinta dan menghancurkan kemampuan manusia untuk mencinta. Tuhan adalah kasih dan penuh cinta, maka kebencian berlawanan dengan eksistensi Tuhan. Kebencian merupakan sumber dosa karena kebencian adalah akar dan tindakan-tindakan jahat. Kesabaran itu menetralkan kebencian, pengampunan menyembuhkan kebencian, dan belas kasih serta kemurahan hati mengangkat sikap dan tindakan orang yang penuh kasih dan pengampunan ke tingkat pertama cinta.

Apabila seseorang sampai pada tingkat pertama cinta akan memiliki sikap menghargai, menerima, dan melibatkan peranan Tuhan dalam kehidupannya. Pengampunan dan kasih meningkatkan kemampuan manusia untuk mencintai sesama seperti diri sendiri, sebagaimana Tuhan mencintainya dan sesama. Belaskasihan berarti menaruh kasih, ikut menderita bersama yang lain, berdukacita bersama dan tertimpa kemalangan dengan niat untuk menolong. Sikap belas kasih demikian seperti yang


(44)

disabdakan Yesus, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni

saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali….?”

“Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan

sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:21-22). Kekuatan dan kemampuan mencinta datangnya dari Tuhan, yakni cinta Tuhan yang tertuju kepada manusia dan sebaliknya, cinta manusia yang diarahkan kepada Tuhan. Cinta merupakan suatu tindakan timbal balik. Kekuatan dan kemampuan mencinta semakin bertambah dan meningkat sejalan dengan bertambahnya cinta Tuhan yang dialami manusia. Semakin seseorang mencintai Tuhan dan sesama, ia akan semakin menerima cinta dan sekaligus menambah kemampuan untuk mencintai (Riyanto, 2004:16-17).

Ungkapan Yesus, saat ditanya oleh Petrus, “Tuhan, sampai berapa

kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia bersalah kepadaku? Sampai

tujuh kali?” Yesus menjawab,”Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai

tujuh puluh kali tujuh kali.” Ini menunjukan bahwa pengampunan itu tiada batasnya (Suwito, 2000:6). Dengan ungkapan Yesus semakin jelas bahwa mengampuni tanpa batas merupakan panggilan ilahi yang mana setiap orang berjuang untuk mengampuni walaupun itu kadang tidak mudah untuk dilakukan oleh manusia.

Kristus tidak membuat macam-macam syarat seperti, “Aku mau

mengampuni jika kamu berubah atau jika kamu minta maaf”. Maka seandainya orang itupun tidak berubah atau berjanji mau memperbaiki diri, dan wajib mengampuni. Bukan hanya mengampuni sebanyak tujuh kali,


(45)

tetapi tujuh puluh kali tujuh (Mat 18:22). Kristus sedemikian mengasihi bukan karena orang tersebut sedemikan berharga atau berjasa, tetapi karena kasih pengampunan-Nya yang berlimpah ruah. Bahkan Ia akan lebih banyak mengampuni orang yang banyak melakukan dosa (Dennis, 198138-39).

C. PENGAMPUNAN YANG DIHAYATI BUNDA ELISABETH

1. Pengampunan Dari Allah

“Hati-ku sangat sedih seperti mau mati rasanya. Tinggalah di sini dan berjaga-jagalah” (Mrk 14:34-36). Dan ketika maut mengerikan itu datang, Yesus berteriak nyaring, “Allah-ku, mengapa engkau meninggalkan

Aku?” (Mrk15:34). Yesus Kristus tidak takut atau merasa malu mengungkapkan perasaan-perasaan hati-Nya pada Bapa. Setiap orang perlu mengenal perasaan-perasaan agar mampu mempunyai “tenggang rasa” terhadap orang lain dan dapat mengampuni mereka dengan sepenuh hati. Sebagai orang kristiani tidak hanya dipanggil untuk berbagi rasa dengan Kristus tentang perasaan, kenangan pahit atau luka-luka batin, tetapi juga untuk mengampni orang lain sebagaimana Ia telah mengampuni. Bahkan seandainya harus mengampuni musuh sekalipun. Perlu menyadari bahwa bagaimana Kristus telah mengampuni diriku dan juga sesamaku. Kristus melakukan penyembuhan itu dalam kehadiran, sentuhan, tatapan dan kata-kata-Nya. Namun lebih dari itu Kristus membimbing setiap orang untuk sungguh-sungguh terbuka dan mau menerima banyak orang serta mencintai


(46)

mereka sebagaimana halnya Ia telah mengasihi mereka (Dennis, 1981:34-35).

Setiap orang ingin mendalami kasih pengampunan Allah sehingga dapat mencintai dengan kasih tersebut. Allah telah mencurahkan kasih-Nya ke dalam hati setiap orang melalui Roh-Nya (Rm 5:5). Dengan meminta Roh Kudus mencabut akar-akar luka batin dan menggantinya dengan cinta, secara sadar memilih untuk meninggalkan hidup sebagai budak-budak dosa dan menjadi orang-orang merdeka. Setiap orang menunjukan kesediaannya untuk menyerahkan segala luka yang telah menguasai hidupnya selama ini dan membuka hati bagi kasih Allah yang menyembuhkan dan membebaskan (Dennis, 1981:37).

Kadang berpikir bahwa mengampuni seperti dilakukan oleh Kristus itu mudah. Cukuplah berkata, “Aku mengampuni kamu” atau “tinggalkan kebencian”. Semua orang dapat melakukannya. Tetapi apakah sering kali

siap sedia mengampuni luka batin itu secara total dan tanpa syarat seperti dilaukan oleh Kristus? Kristus senatiasa siap sedia mengampuni tanpa syarat. Ia mengampuni dosa-dosa tanpa diminta, bahkan bila tindakan pengampunan itu berakibat. Dia dituduh menghujat Allah dan dengan demikian dapat diseret untuk dirajam dengan batu sekali pun (Luk 5:17-26). Ia tidak peduli dengan kemarahan banyak orang yang hendak merajam-Nya ataupun dari para murid yang tidak rela melihat Yesus berbicara seorang diri dengan wanita samaria yang sesat dibenci itu. Keterbukaan hati Yesus membuat Dia siap sedia mengampuni tanpa syarat (Dennis, 1981:38).


(47)

Agar seseorang dapat mengampuni sebagaimana Allah telah mengampuni, ia harus berani masuk dan terlibat dalam peristiwa–peristiwa yang menyakitkan itu bersama dengan Kristus dan memperhatikan bagaimana Ia bekerja menyembuhkan diri dengan sabda dan karya-Nya. Jika masih mengalami kesukaran untuk mengampuni seperti Kristus, harus belajar meneladan semangat pengampunnan itu dengan berdoa dan memohon pada-Nya. Kemampuan untuk mengampuni sedikit banyak tergantung pada macam manakah orang-orang yang diperbolehkan masuk dalam kehidupan seseorang. Lebih mudah menularkan kasih pengampunnan Kristus bersama dengan orang-orang yang siap sedia mengampuni dan saling menghargai. Kehidupan doa juga sangat mempengaruhi kemampuan untuk mengampuni di samping cara menanggapi dan berhubungan dengan sesama (Dennis, 1981:42).

Bela rasa lahir kalau seseorang menemukan di dalam pusat eksistensi diri sendiri bukan hanya bahwa Allah adalah Allah dan manusia adalah manusia, akan tetapi juga bahwa tetangga juga adalah sungguh-sungguh sesama. Melalui bela rasa dapat dilihat bahwa kerinduan orang akan kasih juga ada di dalam hati sendiri, bahwa kebengisan yang dikenal oleh dunia ini sebenarnya berakar juga dalam kecenderungan-kecenderungan dari hati sendiri. Melalui bela rasa juga seseorang merasakan kerinduan untuk diampuni dalam mata kawan-kawannya. Bagi orang yang bela rasa, tidak ada satu pengalaman manusiawi pun yang asing, baik kegembiraan maupun kesusahan, baik cara hidup maupun cara mati. Dalam


(48)

dunia luas itu setiap wajah manusia tampak sebagai wajah sesama. Dengan demikian kewibawaan bela rasa adalah kemampuan manusia untuk mengampuni saudaranya, karena pengampunan hanya menjadi nyata bila orang yang sudah menemukan kelemahan kawan-kawannya dan dosa musuh-musuhnya di dalam hatinya sendiri, dan bersedia menerima semua orang sebagai sebagai saudaranya sendiri (Nouwen, 1989:43-44).

2. Keteladanan Pengampunan Yang Dihayati Bunda Elisabeth

Meneladan kehidupan Bunda Elisabeth sebagai acuan dalam menentukan tanggapan yang relevan dan efektif terhadap situasi, para suster CB perlu bertemu kembali dengan Bunda Elisabeth bagaimana beliau menanggapi keterlukaan pada zamannya. Setelah revolusi Perancis, Maastricht hancur lebur. Setiap perang membawa penderitaan bagi manusia dan kerusakan terhadap lingkungan. Keterlukaan dan kehancuran seperti itulah yang ditanggapi Bunda Elisabeth. Ia melihat, tergerak dan bertindak secara nyata untuk meringankan penderitaan manusia. Dengan sikap itu Bunda Elisabeth menjadi alat dalam mendirikan Kongregasi; Bunda Elisabeth dibentuk untuk menanggapi situasi keterlukaan dalam dunia. Bunda Elisabeth mampu menangkap dengan tajam gerakan Roh dalam hidupnya karena relasi yang akrab dengan Yesus Kristus (EG. 39-41). Pengalaman dikasihi Allah membuat Bunda Elisabeth Gruyters mampu melihat realitas dengan mata Allah, digerakan oleh belarasa dengan hati Allah, dan bertindak dengan tangan Allah. Bunda Elisabeth tidak


(49)

meragukan kasih Allah yang dialaminya, oleh karena itu Bunda Elisabeth juga tidak ragu-ragu akan kasih dan kehadiran Allah didalam sesama. Keterpusatan Allah dalam Yesus Kristus di dalam hidupnya adalah sumber segala inspirasi, kekuatan dan kebijaksanaan dalam menghadapi kesulitan hidup pelayanan kepada orang-orang tempat Bunda Elisabeth dan para suster yang pertama menghayati perutusannya (EG. 91,106). Dalam masyarakat yang terluka, apabila Allah tidak diallahkan lagi dalam kehidupan apabila mereka, maka pemulihan relasi yang benar dengan Allah merupakan tindakan nyata rekonsiliasi (Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi 2005:27-28).

Bunda Elisabeth menjadi alat rekonsiliasi dan penyembuhan yang mengantar orang-orang kembali kepada relasi dengan Allah dengan satu sama lain, dalam perhatian dan kepedulian (EG.110-112,29,30-37). Rekonsiliasi juga tampak dalam sikap Bunda Elisabeth terhadap keterlukaan dan keterbatasan manusia. Dalam kerendahan hati ia terbuka mengungkapkan kelemahannya sendiri dengan perhatian serta belarasa yang besar Bunda Elisabeth menerima dan sabar terhadap sesama sebagaimana adanya mereka (EG. 96, 76, 94, 98). Bunda Elisabeth mampu menghubungkan dirinya dengan mereka yang menderita. Mereka terus menerus hadir memenuhi pikirannya, perasaan, aspirasi, dan doa-doanya. Kehidupan yang terluka dan keterpecahan dalam orang miskinlah yang memenuhi hidup kesehariannya. Ia bersetiakawan dalam penderitaan mereka, karena Bunda Elisabeth tahu bahwa Allah juga menderita di dalam


(50)

dan bersama mereka (EG. 109,113,117). Bagi Bunda Elisabeth dalam ketersentuhan denan keterlukaannya dengan keterlukaan orang lain dan dunia, membuat Bunda Elisabeth merasa lebih ringan dalam menanggung penderitaannya. Dengan demikiam terjadinya saling rekonsiliasi antar kebersamaan itu terjadi pula penyembuhan dalam diri sendiri dan orang lain (Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi 2005:28-29).

Bunda Elisabeth adalah seorang pengemban rekonsiliasi dan penyembuh bagi pribadi manusia secara utuh, dengan mempertimbangkan seluruh segi kehidupan manusia. Bagi Bunda Elisabeth orang-orang miskin yang dilayaninya di Maastricht adalah baik miskin secara materi maupun rohani. Memperhatikan kebutuhan-kebutahan orang-orang yang dilayaninya demi kesejahteraan karena memperhatikan semua dimensi yang saling terkait dari eksistensi kehidupan. Kepedulian Bunda Elisabeth terhadap orang-orang miskin berdasarkan pada pandangannya yang holistik tentang pribadi manusia, keterpaduan dari segi-segi spiritual dan manusiawi seseorang sebagai pribadi (EG. 108, 112, 117, 149). Ia tidak hanya mengajarkan katekese kepada mereka, tetapi juga mengajar jahit-menjahit, menanamkan dasar hidup yang baik pada anak-anak miskin (EG.51). Rasa hormat dan pemberdayaan orang-orang miskin dan bagi para suster didasarkan pada martabat manusia, kebebasan dan paham kemanusiaan yang utuh, merupakan tindakan rekonsiliasi yang konkret dalam seluruh hidup Bunda Elisabeth (EG. 76, 78).


(51)

Beriman akan Allah, harga diri yang sehat, dan sikap yang sehat terhadap orang lain berdasar pada kasih merupakan kekuatan dari tanda yang kuat akan adanya harapan dalam situasi yang penuh dengan keterlukaan. Kehadiran Bunda Elisabeth di Maastricht pada waktu itu merupakan kehadiran yang membawa rekonsiliasi Yesus Kristus bagi umat Allah. Ada harapan dalam dan bagi mereka, karena Allah senantiasa setia pada mereka. Dalam pengharapan seperti itu, Bunda Elisabeth adalah pengemban rekonsiliasi dengan membawa orang-orang yang terluka

“kembali” ke jati diri sendiri. Dengan demikian, pengalaman-pengalaman rekonsiliasi ini merupakan perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit, Tuhan atas kehidupan baru. Kebangkitan dan rekonsiliasi merupakan jalinan dari dua realitas yang saling berkaitan dalam hidup kita sehari-hari (Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi 2005:28-30).

Sebagai murid Yesus Kristus suster CB perlu meneladan dari Yesus dengan menjadikan seluruh pola kehidupan Yesus menjadi pola hidup para suster CB. Seperti Bunda Elisabeth pengalaman pribadi dengan Yesus yang tersalib menjadi penggerak seluruh pola pikir, pilihan dan tindakannya. Demikian pula yang diperjuangkannya, yang didalamnya terkandung segala konsekuensi yang mesti ditanggungnya. Kontemplasi Bunda Elisabeth kepada yang tersalib sebagai pembawa rekonsiliasi tampak dalam kerelaannya untuk mengampuni. Kepada orang-orang yang memfitnahnya, merendahkannya, dan mengusirnya, Bunda Elisabeth tidak hanya mengampuninya tetapi memohonkan pengampunan bagi mereka


(52)

(bdk. EG. 96). Bunda Elisabeth belajar mengampuni dari Yesus yang tersalib. Di atas salib Yesus mendoakan mereka yang memfitnah, menghina, merendahkan, memukuli dan menyalibkan. Di atas salib Yesus memohonkan pengampunan bagi mereka kepada Bapa-Nya di surga (bdk. Luk 23:34). Dengan kontemplasi kepada Yesus yang tersalib Bunda Elisabeth memilih untuk tidak membalas dendam dan bertindak tanpa kekerasan.

“Untuk mengembalikan orang yang licik dan licin kepada Allah, hendaknya

memperlakukan mereka secara jujur sekali, sebab para pemimpin yang ingin melakukan kewajibannya dengan baik, memang harus banyak menderita” (EG. 69).

Bunda Elisabeth senantiasa membawanya kembali kepada doa kepada Yesus yang tersalib. Ada pergulatan dalam diri Bunda Elisabeth antara rasa prihatin yang besar dan kecenderungan sakit hati dari kemanusiaan Bunda Elisabeth. Namun bersama Yesus yang tersalib, Bunda Elisabeth mampu melampauinya dan menanggung derita seperti Yesus (bdk. EG.117). Kontemplasi kepada Yesus yang tersalib membawa Bunda Elisabeth untuk senatiasa mementingkan keselamatan jiwa (EG. 40). Hal ini sungguh tampak dalam pengalaman Bunda Elisabeth bersama keluarga Nijpels (Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi 2005:75-76).

Kontemplasi kepada Yesus yang tersalib membawa Bunda Elisabeth pada kualitas puncak membalas kasih-Nya dengan kasihnya meminta bagian dalam duka Yesus (bdk. EG.39). Bagi Bunda Elisabeth menderita sedikit demi cinta kepada Yesus Kristus adalah merupakan kebahagiaan dan ucapan syukur yang mendalam kepada Allah (bdk.


(53)

EG.100). Maka Bunda Elisabeth senantiasa mengarahkan seluruh tenaga, pikiran dan hati untuk berjuang dan membela supaya jiwa malang dalam penderita sakit di Rumah Sakit Calvarieberg dapat dilayani oleh para suster cintakasih. Kontemplasi kepada Yesus yang tersalib menumbuhkan kekuatan Duka Ilahi di dalam hati Bunda Elisabeth. Namun Bunda Elisabeth tidak hanya terus menerus berdoa memohon untuk dipersatukan dengan Duka Ilahi (EG. 39-41) dan bersyukur bila boleh menderita sedikit demi Yesus (EG.100) tetapi juga mampu menempatkan dirinya bersama Bunda Maria dan mempersatukan air matanya dengan air mata Maria sewaktu berdiri di bawah kayu salib (EG. 54). Mempersatukan air matanya dengan air mata Maria di bawah salib berarti mau mengikuti Maria yang membiarkan diri terus menerus dibentuk dan diubah oleh kehadiran Hati Yesus yang tergantung pada salib yang memandang dirinya. Pandangan kontemplatif hati ini berarti bahwa menerima dengan penuh penyerahan diri kepada pandangan Kristus tergantung di salib yang memberikan pengampunan dan harapan akan “firdaus” hidup baru. Pengampunan

dianugerahkan didalam Yesus Kristus bagi orang yang mau bertobat dan mengarahkan diri kembali kepada Allah Bapa di surga yang penuh belas kasih dan maharahim (Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi 2005:77-78).

3. Perlunya Pertobatan Terus-Menerus

Bagi Bunda Elisabeth “Pertobatan” merupakan anugerah istimewa.


(54)

akan kelakuan-kelakuan yang tidak setia dimasa lalu (bdk. EG. 98) Allah mengampuninya dan melupakannya. Allah dialami sebagai Allah yang mencintainya yang tanpa batas dan membuat Bunda Elisabeth mau membalas kasih-Nya dengan kasihnya. Maka tidak ada pertobatan yang terlalu sukar bagi Bunda Elisabeth (bdk. EG. 95).

Tidak mengherankan bahwa Bunda Elisabeth begitu sangat mencintai dan hormat terhadap St. Pertus dan St. Paulus karena pertobatan-pertobatan besar. Bagi Bunda Elisabeth tidak ada dosa yang sebesar apa pun yang tidak dapat diampuni oleh Yesus. Sebab hati yang sudah membatu pun masih akan tergerak kalau merenungkan cintakasih Yesus Kristus (bdk. EG. 95). Bagi Bunda Elisabeth pengakuan dosa, penyegaran rohani, dan ceramah-ceramah yang menggerakan hati lebih berharga dari harta yang paling berharga yang ada di dunia. Bunda Elisabeth menggambarkan kemajuan hidup rohani merupakan suatu kebahagiaan yang tak pernah dapat diimbangi dengan ucapan syukur dan terima kasih kepada Allah. Pertobatan lebih berharga dari pada segala kekayaan yang ada diseluruh Maasticht (bdk. EG. 139) (Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi 2005:74-75).

Sering dalam angan-anganku, aku tinggal bersama kedua rasul tersebut, lebih-lebih apabila api cinta Ilahi mulai berkobar dalam hatiku, maka pada saat seperti itu timbulah hasrat untuk membalas cinta-Nya dengan cintaku (EG95).

Pengalaman Bunda Elisabeth akan kasih Allah yang mendalam membawanya kepada solidaritas yang mendalam dengan St. Petrus dan St. Paulus. Ia mengagumi kedua rasul agung ini, sebagaimana halnya ia mengalami betapa besar kasih Yesus namun betapa sempit dan lamban


(55)

pikirannya untuk memahami cinta-Nya. Disposisi batin seperti ini menciptakan ruang yang lebih luas dalam hatinya untuk menerima secara terbuka rahmat Allah yang menyentuh hatinya yang penuh Roh Kudus dan untuk membalas kasih Allah dengan cintanya (Kapitel Umum 2011:10).

Pengalaman dicintai Allah secara mendalam mampu mengubah hidup Bunda Elisabeth menjadi seorang pelaku kasih Allah yang dinyatakan dalam hidup doa dan perutusannya. Ia tidak peduli kata orang, sebaliknya Bunda Elisabeth justru menaruh kepercayaan pada penyelenggaraan dan tuntunan Ilahi serta melaksanakan apapun yang dapat ia lakukan untuk menolong banyak orang. Ia bahkan memohonkan pengampunan bagi mereka yang menantangnya, bagi mereka yang menolaknya, bahkan lebih dari itu bagi mereka yang menganiaya dan mengoloknya (Kapitel Umum 2011:11).


(56)

BAB III

KONGREGASI SANTO CAROLUS BORROMEUS MEMBANGUN KOMUNITAS REKONSILIATIF

A. Undangan Gereja Masa Sekarang

1. Komunitas Sekolah Cinta

Semua anggota religius dipanggil kepada kekudusan dengan membaktikan seluruh hidup dalam komunitas. Agar komunitas-komunitas religius menjadi sekolah komunio dan sekolah doa dalam hidup keperawanan yang menunjukkan dengan jelas martabat manusia yang diciptakan untuk tujuan ilahi dan abadi. Dunia yang menawarkan kenikmatan dan keamanan dalam hal-hal material sudah melupakan tujuan transendental dan perlu saksi-saksi yang mengingatkannya (Novo Millennio Ineunte, art. 34). Demikian pula dikatakan bahwa “Menjadikan Gereja

home sekaligus persekutuan” ini merupakan tantangan besar yang dihadapi

dalam millenium sekarang ini dan sedang yang berlangsung (NMI, art. 43). Yesus mengundang para pengikut-Nya untuk mengalami kesatuan dalam cinta kasih Bapa yang telah dihayati di dunia dalam persekutuan Roh Kudus yang dicurahkan kepada kita dalam Gereja. Kesatuan dalam kasih, koinonia dan komunio adalah keselamatan dari egoisme perpecahan dan perselisihan. Pewartaan Kristiani menegaskan bahwa kesatuan itu mungkin di antara semua orang dari bangsa, suku, kelompok, etnis, tingkat sosial-ekonomis apapun. Setiap orang dituntut untuk mampu membangun paguyuban yang bersatu dalam kebenaran, di mana semua mencari


(57)

kepentingan bersama. Hanya sekelompok murid Kristus yang bersatu dalam kasih, dalam pengampunan timbal balik, yang hidup sehati dan sejiwa dapat memberi pewartaan yang meyakinkan dan mengundang orang lain untuk masuk ke dalam hidup Kristus yang membahagiakan dan menyelamatkan. Mereka membentuk sekolah komunio di mana semua dapat belajar mengikuti Yesus bersama (Driscoll, 2003: 221).

Spiritualitas persekutuan berarti juga kecakapan untuk memikirkan saudara-saudara dan saudari-saudari dalam pangkuan kesatuan mendalam Tubuh Mistik dan karenanya juga sebagai “mereka yang merupakan sebagian saya. Ini memampukan menanggung bagian pokok kegembiraan dan penderitaan sesama, ikut ambil bagian dalam memperhatikan, serta menawarkan persahabatan yang mendalam dan sejati. Spiritualitas persekutuan mencakup kecakapan juga memandang apapun positif pada sesama, menyambutnya baik dan menghargainya sebagai karunia dari Allah: tidak melulu sebagai anugerah saudara atau saudari yang telah langsung

menerimanya, tetapi juga sebagai “kurnia bagi saya. Spiritualitas berarti

meluangkan tempat bagi saudara-saudara dan saudari-saudari, sambil

“saling menanggung beban-beban sesama: (Gal 6:2) dan menolak pencobaan cinta diri, yang terus-menerus merundungi kita dan mengundang persaingan, karierisme, sikap curiga dan iri hati (NMI, art.43).


(58)

2. Komunitas Yang Menghayati Hidup Tritunggal Mahakudus

Yesus selama hidup-Nya di dunia, Ia memanggil mereka yang dikehendaki-Nya, supaya mereka menyertai Dia, dan Ia mendidik mereka hidup menurut teladan-Nya bagi Bapa dan bagi perutusan yang telah diterima-Nya dari Bapa (bdk. Mrk 3:13-15). Begitulah Ia memulai keluarga baru, yang dari abad ke abad akan mencakup mereka yang siap

“menjalankan kehendak Allah” (bdk. Mrk 3:32-35). Sesudah kenaikan Tuhan ke surga, sebagai buah karunia Roh Kudus, terbentuklah rukun hidup persaudaraan di sekitar para rasul, berhimpun dalam puji syukur kepada Allah dan dalam pengalaman konkret persekutuan (bdk. Kis 2:42-47; 4:32-35). Hidup jemaat itu, bahkan lebih dari pengalaman hidup dalam persekutuan penuh dengan Kristus yang dihayati oleh Dua Belas Rasul, selalu dijadikan pola yang menjadi acuan Gereja, bila Gereja berusaha kembali kepada semangat aslinya, dan dengan kekuatan Injil yang segar meneruskan lagi perjalanannya di sepanjang sejarah.

Yang mengenakan bentuk jemaat manusiawi sebagai kediaman Tritunggal Mahakudus, untuk menyalurkan ke dalam sejarah kurnia-kurnia persekutuan yang khas bagi ketiga Pribadi ilahi. Banyak situasi dan cara-cara persekutuan persaudaraan diungkapkan dalam Gereja. Hidup bakti pasti dapat dianggap berjasa karena secara efektif membantu untuk tetap menghidupkan dalam Gereja kewajiban persaudaraan sebagai bentuk kesaksian akan Tritunggal. Dengan tiada hentinya mengembangkan cintakasih persaudaraan, juga dalam wahana hidup bersama, hidup bakti


(59)

telah menunjukan, bahwa ikut serta dalam persekutuan Tritunggal dapat mengubah hubungan manusiawi dan menciptakan corak baru solidaritas. Hidup bakti mengamanatkan kepada umat baik keindahan persekutuan persaudaraan maupun cara-cara hidup yang dalam kenyataan mengantar kepadanya. Para anggota hidup bakti hidup “bagi” Allah dan “dari” Allah,

dan justru karena itu mereka mampu memberi kesaskian akan kuasa rahmat untuk mendamaikan, serta mengatasi kecenderungan-kecenderungan yang terdapat dalam hati manusia dan pada masyarakat (VC, art . 41).

Hidup bersaudara dalam arti hidup dalam cintakasih merupakan lambang yang jelas bagi persekutuan gerejawi. Corak hidup itu dipraktekan secara khas, dalam tarekat-tarekat Religius dan Serikat-serikat Apostolis; Hidup berkomunitas beroleh relevansi khusus. Dimensi persekutuan persaudaraan juga tidak asing bagi institut-institut sekular, atau bahkan bagi bentuk-bentuk hidup bakti yang dihayati secara perorangan. Dengan hidup sebagai murid Kristus menurut Injil, mereka semua menyanggupkan diri untuk melaksanakan “perintah baru” Tuhan, yakni saling mengasihi seperti

Ia mengasihi kita (bdk. Yoh 13:34). Cintakasih mendorong Kristus untuk menyerahkan Diri, bahkan sampai korban termulia di salib. Begitupula dikalangan para murid-Nya tidak mungkin ada kesatuan yang sejati tanpa cintakasih timbal-balik yang tanpa syarat, yang meminta kesediaan untuk dengan murah hati melayani sesama, kesiagaan untuk menampung mereka seperti adanya, tanpa menilai mereka (bdk. Mat 7: 1-2). Para anggota hidup bakti, menjadi “sehati sejiwa” (Kis. 4:32) melalui cintakasih yang


(60)

dicurahkan ke dalam hati mereka oleh Roh Kudus (bdk. Rom 5:5), mengalami panggilan batin untuk berbagi bersama segala sesuatu: barang-barang materiil dan pengalaman-pengalaman rohani, bakat-kemampuan dan inspirasi-inspirasi, cita-cita kerasulan dan pelayanan kasih: “dalam hidup

berkomunitas kuasa Roh Kudus yang berkarya dalam seorang individu sekaligus tersalurkan kepada semua anggota.

Maka dalam hidup berkomunitas dalam cara tertentu perlu menjadi jelas, bahwa lebih dari sekedar upaya untuk menunaikan perutusan khusus, persekutuan persaudaraan yang merupakan ruang yang disinari oleh Allah, untuk mengalami kehadiran tersembunyai Tuhan yang bangkit mulia (bdk. Mat 18:20). Untuk terwujudkan berkat cintakasih antar anggota komunitas, dan ditopang oleh doa untuk kesatuan, anugerah khusus Roh bagi mereka yang dengan patuh mendengarkan Injil. Roh Kudus sendirilah yang membimbing jiwa untuk mengalami persekutuan dengan Bapa dan dengan Putera-Nya Yesus Kristus (bdk. 1 Yoh 1:3), dan persekutuan adalah sumber hidup bersaudara. Rohlah yang membimbing komunitas-komunitas hidup bakti dalam menunaikan misi pelayanan mereka kepada Gereja dan kepada segenap umat manusia, menurut inspirasi mereka (VC, art. 42).

Membangun komunitas religius bersumber dari Komunitas Agung

Tritunggal Mahakudus. “Bapa dan Roh Kudus adalah satu komunitas Agung. Pola interaksi dan relasi komunitas agung itu adalah kasih, sebab Allah adalah kasih (1Yoh 4:8). Jadi dalam komunitas agung itu hanya satu acara tunggal dan pokok, yaitu kasih. Inilah inti pokok kasih ialah saling


(61)

menyerahkan diri seutuhnya. Demikianlah dalam komunitas kasih trinitas, yakni Bapa, Putra, dan Roh Kudus terjadi tindakan saling menyerahkan diri satu sama lain. Tantangan dalam komunitas Kristiani ialah menghadirkan komunitas Tritunggal Mahakudus dalam lingkungan hidup kita dengan mengupayakan hubungan yang saling menyerahkan diri satu sama lain. Relasi dalam komunitas murid ialah pola relasi yang mendapat hidup dan maknanya dari relasi satu sama lain dengan Yesus Kristus. Berkat relasi kita dengan Yesus dan berkat Roh Kudus, kita dimasukan ke dalam relasi Allah Tritunggal. Komunitas murid Yesus tentu mengikuti gerak kasih Kristus kepada Bapa-Nya (Martasudjita, 2001:44-48).

Semua anggota komunitas biara akan menjadi pribadi yang utuh, bila mereka senantiasa bertumpu di atas landasan cintakasih Allah Tirtunggal. Bahtera hidup komunitas biara haruslah merupakan pengejawantahan dari komunitas Allah Tritunggal. Allah Tritunggal adalah asal dan citra asli serta penyempurnaan persekutuan hidup kita. Hubungan antar pribadi yang dalam dasar cintaksaih Allah Tritunggal, memainkan suatu peranan yang bersifat membentuk. Pribadi Allah Tritunggal haruslah dipandang dalam daya gerak cinta yang saling berelasi, yang dinamis-cinta Bapa kepada Dirinya terpancar keluar kepada cinta yang saling memberi dan menerima (cinta Bapa kepada Putera tercinta dan dan cinta Putera kepada Bapa), akhirnya kepada bersama membagi cinta dalam Roh Kudus.

Setiap anggota komunitas hendaknya selalu berusaha untuk menimba air kehidupan dari sumber dan kekuatan yakni Allah Tritunggal;


(62)

sebab di dalam satu Roh, dipermandikan dan diberi minum dari satu Roh (bdk. 1 Kor 12:13), maka segala peselisihan harus kita jauhkan. Membangun komunitas yang betumpu di atas basis Allah Tritunggal, akan membuat setiap anggota komunitas merasa berada “di rumah”, dimana spontanitas serta kreativitas dapat berkembang dengan baik. Membina cinta persaudaraan atas dasar cinta Allah Tritunggal akan membuat semakin yakin akan diri sendiri bahwa kini berada pada jalur yang benar dan tepat sasar (Peter, 1986:323-324).

3. Komunitas Yang Mampu Menjawab Kebutuhan

Untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang penghayatan hidup berkomunitas, maka orang perlu mempunyai gambaran yang jelas tentang bentuk atau model hidup berkomunitas di mana ia berada. Beberapa model hidup komunitas religius berdasarkan segi penghayatan, sikap maupun pendekatan terhadap hidup komunitas meliputi; komunitas rasuli atau zaman para rasul (Kis 2:41-47; 4:32-37), dan komunitas rasul yang berjalan mengikuti Yesus merasul (Luk 9:1-6; 10:12). Komunitas rasuli atau zaman para rasul (Kis 2:42-47; 4:32-37), komunitas umat kristen di Yerusalem; bersifat komunitas koinonia di mana setiap anggota menghayati hidup bersama, memecahkan roti bersama, membagi milik, sehingga tidak ada orang yang merasa berkekurangan. Komunitas ini merelakan milik dan harta pribadi demi kepentingan bersama. Komunitas kesatuan, satu hati satu jiwa, sebagai pujian kepada Allah. Komunitas inilah yang menjadi inspirasi


(63)

dasar bagi kongregasi religius monastik. Komunitas merupakan sarana penghayatan kemiskinan dalam persaudaraan. Komunitas rasul yang berjalan mengikuti Yesus merasul (Luk 9:1-6; 10:1-12). Komunitas ini merupakan kelompok murid yang dipanggil untuk hidup bersama dengan Yesus dalam perjalanan Yesus mewartakan Kerajaan Allah. Kelompok ini hidup dalam kemiskinan sebagai orang yang selalu berjalan dalam merasul, dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, selalu pergi dari tempat yang satu ke tempat yang lain (Mrk 1:13-39) kebersamaan lebih tertuju untuk merasul. Cara hidup mereka ialah hidup yang selalu siap untuk diutus dan pergi. Kerasulan mereka diikat dan dipersatukan oleh Yesus dan kuasa Yesus yang diberikan kepada mereka.

Komunitas merupakan inspirasi dasar bagi para religius yang muncul pada abad XII dan XIII dan dipertajam oleh kelompok religius yang mucul pada abad XV dan XVI dan abad-abad sesudahnya (Darminta, 1983:90).

Ciri-ciri komunitas yang disebutkan diatas ini memberikan bantuan untuk menemukan model penghayatan konkret yang sesuai dengan tuntutan hidup Kristiani. Adapun ciri komunitas kristiani antara lain: doa bersama dan persaudaraan (kis 2:56; 4:32; 14:22), pewartaan sabda melalui kotbah (Kis 2:14; 3:12), milik demi kepentingan bersama digerakan oleh Roh Kudus (Kis 4:32-35), mengadakan keputusan bersama, mujizat dan penyembuhan (Kis 2:4; 5:16). Berdasarkan kesaksian komunitas para rasul, dapat dilihat beberapa model hidup komunitas dengan ciri-ciri hidup


(1)

5. Setiap anggota perlu mendalami Konstitusi sebagai pedoman hidup dalam menghayati spiritualitas kongregasi yang dapat memberi kekuatan untuk menanggung kelemahan manusiawi dalam hidup bersama sebagai komunitas.

6. Perlunya pertobatan yang terus-menerus dalam membangun hidup bersama sehingga mendorong setiap pribadi untuk mampu menerima sesama dengan seluruh kelemahan dan kekurangannya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ardas, (2001-2005). Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang CB. (2005). Kapitel Umum dan dan Kapitel Provinsi

____. (2011). Kapitel Umum. Maastricht.

____. (2004). Konstitusi beserta Direktorium Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus.

Darminta, J (1982). Berbagai Segi Penghayatan Hidup Religius Sehari-hari. Cetakan ke-1,Yogyakarta: Kanisius

_____. (1981). Persembahanku Cintaku. Seri Ikhrar 10, Yogyakarta: Kanisius

_____. (1993). Tumbuh dalam Roh Panduan Pemeriksaan Batin Dari Hari ke Hari. Seri Spiritualitas Kristen. Yogyakarta: Kanisius _____. (2003). Mencitrakan Hidup Religius.Komisi Pemimpin Umum

Tarekat Religius Awam. Yogyakarta: Kanisius.

_____. (1997). Sabda di Bukit.Konstitusi Hidup Kerajaan Allah. Yogyakarta: Kanisius.

_____. (1993). Mengubah tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius.

_____. (2010). Diktat Perspektif Hati dalam Pendidikan Etika. Pusat Spiritualitas Girisonta

_____. (2008).Membangun Komunitas Formatif. Yogkarta: Kanisius. _____. (2008). Bentuk-Bentuk Komunitas. Yogyakarta: Kanisius. _____. (2008). Landasan Hidup Berkomunitas. Yogyakarta: Kansius. _____. (2008). Komunitas dan Karya. Yogyakarta: Kanisius.

_____. (2008). Menyongsong Hidup Baru. Yogyakarta: Kanisius _____. (2000). Yesus Sang Pendoa. Rohani, hal 37.

Driscol (2002). Sekolah Cinta. Rohani, hal 38.

Dewanto, (2006) Berdamai dengan Allah. Rohani, hal 145.

Dennis, (1981). Penyembuhan luka-luka batin. Yogyakrta: Kanisius. Harjawiyata, Frans. (1983). Bentuk-bentuk Hidup Religius. Seri Hidup

Dalam Roh 6. Cetakan ke-2, Yogyakarta: Kanisius ______. (2014). Belajar Mencintai dengan Tulus. Utusan, hal. 21 Jacobs, Tom. (1985). Buah Renungan. Yogyakarta: Kansius. __________. (1985). Sikap Dasar Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.

Joyce. (1987). Kaul Harta Melimpah dalam Bejana Tanah Liat. Yogyakarta: Kanisius.

KWI, (1996) Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius.

KGK, (1995). Katekismus Gereja Katolik, hal. 711

Louf, Andre. Hidup di dalam Komunitas. Seri Gedono no.1


(3)

Moi dkk. (2012) Meraih Kelimpahan Hidup. Bajawa Press, Yogyakarta Martasudjita.E. (1999) Komunitas Peziarah.. Yogyakarta: Kanisius _________. (2001). Komunitas Transformatif . Yogyakarta: Kanisius Muller. Geiko (1999). Pengampunan Membebaskan. Ende, Arnoldus Meninger, (1999). Pribadi Menjadi Utuh. Yogyakarta: Kanisius.

Mujiran, (1996). Hidup Berkomunitas dan Kedekatan Manusia kepada Nafsu. Rohani, hal. 267

Nouwen, J.M. Henri. (1995). Kembalinya Si Anak Hilang. Membangun Sikap Kebapaan, Persaudaraan dan Keputraan. Yogyakarta: Kanisius.

______. (1998). Yang Terluka Yang Menyembuhkan.Pelayanan dalam Masyarakat Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Ola Tukan. (1995). Hidup Religius, Simbol Pemihakan Allah. Rohani, hal. 196-201).

Prasetyo, M. (1982). Ciri Khas Komunitas Hidup Kristiani.Seri Pastoral No.77.Pusat Pastoral Yogyakarta.

Paul, Birt Mary. (1979). Hidup Dalam Pengampunan Setiap Saat. Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil. “Immauel”.

Riyanto, (2004). Mukjizat Pengampunan untuk Hidup Damai dan Sejahtera. Yogyakarta: Kanisius.

Richard. (2000). Ekaristi dan Pengampunan. Rohani, hal. 24-25.

Smedes, B. (1991). Memaafkan Kekuatan Yang Membebaskan. Cetakan ke-1, Yogyakarta: Kanisius.

Suharyo, I. Mgr., (Ed.). (1998). Komunitas Alternatif Hidup Bersama Menebar Kasih. Cetakan ke-1,Yogyakarta: Kanisius. Sumarno, (2013). Diktat Mata Kuliah semester VI Prodi IPPAK,

Universitas Sanata Dharma. Program Pengalaman Pendidikan Agama Katolik.

Suparno, (2002). Dasar Hidup Bersama. Rohani, hal. 32-33.

Setyakarjana, (1997). Arah Katekese Di Indonesia. Pusat Kateketik Yogyakarta.

Soenarjo, (1984). Kepemimpinan Biara. Yogyakarta: Kanisius.

Suhardiyanto. HJ. (2008). Sejarah Pendidikan Agama kuliah semester IV, Prodi IPPAK, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Sujoko, (1986). Kebersamaan dan Kesatuan. Rohani, hal. 302-303

Suwito, (2006). Pengampunan sebagai proses memiliki kemerdekaan sejati dalam Roh. Rohani 2000, hal 4-5.

Tukan Peter, (1986). Hidup Komunitas dan Merasul. Rohani, hal. 323. __________. (1986). Hidup Berkomunitas Merasul: Bagai Mendayung di

Tengah Gelombang. Rohani, hal 318

Yohanes Paulus II, Paus. (1996). Vita Consecrata. (Hidup Bakti): Anjuran Apostolik tentang Hidup Bakti bagi Para Religius. (R.


(4)

Hardawiryana, Penerjemah). Jakarta: Dokpen. KWI. (Seri Dokumen Gerejawi No.51).

Yohanes Paulus II, Paus. (1979). Catechesi Trandendae. Anjuran Apostolik kepada para Uskup, Klerus dan segenap umat beriman, tentang katekese masa kini. (R. Hardawiryana, Penerjemah).

Yohanes Paulus II, Paus. (2001). Novo Mellennio Ineunte. Surat Apostolik kepada para Uskup, para Imam dan para Diakon, para Religius pria maupun Wanita dan segenap umat beriman awam.


(5)

PENGAMPUNAN MENYEMBUHKAN

1500 Ceritera Bermakna Penerbit Obor (1999) Hal.111. No 1191 (Frank Mihalic, SVD)

Seorang gadis dirawat selama beberapa bulan karena menderita anemia, namun tidak ada kemajuan berarti. Dokter yang merawatnya memutuskan untuk mengirimnya ke sebuah sanatorium yang jauh letaknya.

Hal pertama yang dialaminya di sana, ialah pemeriksaan fisikyang lengkap. Dokter pemeriksa fisiknya menemukan bahwa kondisi darahnya terhitung sangat normal. Dokter tersebut melakukan ulang dan ia tidak yakin pada apa yang dilihatnya. Maka ia memanggil gadis itu dan menanyakan kepadanya,” adakah sesuatu yang luar biasa terjadi dalam hidupmu semenjak pemeriksaanmu yang terakhir?”

Ya,” katanya. “Sekonyong-konyong saya dapat mengampuni seseorang yang membuat saya sangat menderita suatu dendam yang membara sepanjang hidup kepadanya. Pada saat itu, saya merasa ada perubahan menyeluruh dalam diriku”.

Maka sekarang dokter memahami persoalannya. Sikap batin gadis itu telah berubah, dan kondisi darahnya pun dengan sendirinya berubah.

Marah terhadap seseorang dapat menjadi kebodohan, karena orang lain mungkin tidak menyadari sama sekali kebencianmu itu. maka, satu-satunya yang paling disakiti adalah diri kita sendiri.


(6)

Matius 18:21-35 Perumpamaan tentang Pengampunan

18:21 Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? sampai tujuh kali?”

18:22 Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan amapai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali

18:23 Sebab hal kerajaan surga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya

18:24 Setelah ia mulai dengan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta

18:25 Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan suapaya ia dijual beserta anak istrinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya

18:26 Maka sujudlah hamba itu menyambah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan

18:27 Lalu tergerakalah hati raja oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan mengahapuskan hutangnya

18:28 Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhuitang seratus dinar kepaanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu

18:29 Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan

18:30 Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penajra samapai dilaunaskannya hutangnya

18:31 Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka

18:32 Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku

18:33 Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?

18:34 Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya

18:35 Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hati.


Dokumen yang terkait

Pelayanan di tengah pergolakan : pelayanan kesehatan Suster-Suster Carolus Borromeus Dalam masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di Yogyakarta 1945-1955.

0 11 112

Makna kerendahan hati Santo Visentius A Paulo bagi hidup persaudaraan suster kasih Yesus dan Maria bunda pertolongan baik (KYM).

4 15 158

Peranan hidup doa dalam meningkatkan kecerdasan spiritual para suster yunior Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 1 189

Meningkatkan penghayatan spiritualitas kaul ketaatan menurut Beato Francisco Palau dalam hidup berkomunitas suster-suster Carmelite Missionaries melalui katekese.

1 25 212

Makna spiritualitas cinta kasih bagi para suster yunior Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef Provinsi Indonesia tahun 2011 - USD Repository

0 0 179

Usaha meningkatkan hidup komunitas suster-suster Santo Paulus dari Chartres di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin sesuai pedoman hidup suster-suster Santo Paulus dari Chartres melalui katekese Modelshared Christian Praxis - USD Repository

0 0 182

USAHA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PARA SUSTER YUNIOR SUSTER-SUSTER CINTAKASIH SANTO CAROLUS BORROMEUS RAYON DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM BERKATEKESE UNTUK MENGEMBAN MISI GEREJA DENGAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS SKRIPSI

0 0 198

Upaya pengembangan pemahaman dan penghayatan karisma Bunda Elisabeth pada suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus, agar mereka mampu melakukan penanaman nilai dalam pendampingan remaja asrama SMA Stella Duce 1 Supadi, Yogyakarta - USD Repository

0 0 237

Pengampunan dan kerjasama sebagai kekuatan dalam upaya membangun hidup berkomunitas suster-suster Amalkasih Darah Mulia melalui katekese - USD Repository

0 2 176

PERANAN HIDUP DOA DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN SPIRITUAL PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER-SUSTER CINTA KASIH SANTO CAROLUS BORROMEUS WILAYAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidi

0 3 187