Lebih menekankan pada kemampuan daya pikir manusia untuk menangkap hal dibalik yang tersajikan.
- pemaknaan atau meaning
Memberikan makna merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran dan mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut pada
kemampuan intregatif manusia : inderawinya, daya pikir dan akal budinya. Materi yang disajikan seperti juga ekstrapolasi dilihat tidak lebih dari tanda-
tanda atau indicator bagi sesuatu yang lebih jauh, hanya saja ekstrapolasi terbatas dalam arti empiric logic, sedang pada pemaknaan dapat menjangkau
yang etik ataupun trancendental lebih konkrit lagi.
2.1.7 Kode-kode Pembacaan
Untuk memberi ruang atensi yang lebih lapang bagi desiminasi makna dan pluralitas teks, Roland Barthes 1990:13 mencoba memilah-milah penanda-
penanda pada wacana naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia-leksia lexias, yaitu satuan-satuan pembacaan units
of reading dengan panjang pendek yang bervariasi. Sepotong bagian “teks”, yang bila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila
dibandingkan dengan potongan-potongan “teks” lain disekitarnya, adalah sebuah leksia. Akan tetapi, sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa apa saja : kadang
kelompok kata, kadang berupa kalimat, bahkan sebuah paragraf, tergantung kepada ke “gampang” annya. Cukuplah bila leksia itu sudah dapat menjadi
sesuatu yang memungkinkan kita menemukan makna. Sebab yang kita butuhkan
hanyalah bahwa masing-masing leksia itu memiliki beberapa kemungkinan makna Barthes, 1990:13. Dimensinya tergantung kepada kepekaan density dari
konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen ”teks”. Budiman, 2004:53-54
Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland barthes didalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok five major codes
yang didalamnya semua penanda tekstual baca ; leksia dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan kedalam salah satu dari lima
buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan network. Barthes, 1990:20. Adapun kode-kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek
tekstual yang signifikan dapat dipahami meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagiannya berkaitan satu sama
lain dan terhubung dengan dunia luar teks. Kelima jenis kode tersebut meliputi kode hermeunitik, kode semik, kode
simbolik, kode proairetik dan kode kultural. 1.
Kode Hermeunitik hermeunitic code adalah satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan,
penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut , atau yang justru menunda penyelesaiannya, atau
bahkan menyusun semacam teka-teki enigma dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesainnya Barthes, 1990:17. Pada dasarnya kode ini
adalah sebuah kode “pencitraan”, yang dengannya sebuah narasi dapat
mempertajam permasalahan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban.
2. Kode Semik code of semes atau konotasi dalah kode yang
memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-petanda tertentu. Pada tataran tertentu kode
konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh kritikus sastra anglo-Amerika sebagai “tema’ atau struktur tematik”, sebuah Thematic
Group Barthes, 1990:19. 3.
Kode Simbolik symbolik code merupakan kode “pengelompokkan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang
berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antitetis : hidup dan mati, diluar
dan didalam, dingin dan panas dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi struktur simbolik Barthes, 1990:17.
4. Kode Proairetik proairetic code merupakan kode “tindakan” action.
Kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni “kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional “
Barthes, 1990:18, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia : tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak, dan
masing-masing dampak memiliki nama generic tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan.
5. Kode Kultural cultural code atau kode referensial reference code
yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan
otoratif : bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai
pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan wisdom yang terus
menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. Barthes, 1990:18.
2.1.8 Semiologi Roland Barthes