Dalam kerangka barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu Budiman, 2001:28. Didalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau
dengan kata lain mitos adalah merupakan suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena baik didalam mitos
maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif terjadi secara termotivasi budiman, 2001:28.
2.1.9 Ideologi dan Metodologi
Mitos berasal dari bahasa yunani “mutos”, berarti cerita. Biasanya digunakan untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak
mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya. Ciri mitos
kisah yang tidak benar dan fungsinya diperlukan untuk memahami lingkungan inilah yang coba diteorisasikan oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan
Semiologi Sunardi, 2004:89. Mitos menurut Barthes 1993:109, adalah sebuah sistem komunikasi.
Dengan demikian dia adalah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sebuah konsep atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode
penandaan yakni sebuah bentuk Kurniawan, 2001:84.
Mitos adalah kebutuhan manusia, itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi. Sebagaimana dikatakan Barthes dalam bukunya
Mythologies 1993, dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus
tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga dan televisi. Gejala ini memang kita saksikan sehari-hari, terutama dalam advertensi
lewat televisi Sobur, 2004:208. Dikaitkan dengan ideologi maka, seperti dikatakn Van Zoest 1980,
“ideologi dan mitologi didalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotik dan komunikasi kita”. Tanpa itu menurutnya, komunikasi
tidak dapat berlangsung. Setiap penggunaan teks setiap penanganan bahasa, setiap semiosis penggunaan tanda pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideologi
yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak pernah terlepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi
pembaca ke arah suatu ideologi Sobur, 2004:208. Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti
berbagai konotasi yang ada didalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara
mitologi kesatuan mitos-mitos yang koheren menyajikan inkasnasi makna- makna yang mempunyai wadah dalam ideologi Sobur, 2004:209.
Jadi mitos adalah uraian naratif atau penuturan representasi kolektif tentang sesuatu yang suci sacred, yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, diluar
dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari. Sedangkan ideologi merupakan
suatu pemikian yang abstrak berdasar ide dan gagasan dengan tujuan menawarkan perubahan melalui proses pemikiran yang normatif.
Mitos dan ideologi pada dasarnya ialah dua hal yang sulit dipisahkan, perbedaanya bila mitos bertumpu pada kepercayaan, sedangkan ideologi pada
intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal, jika merujuk pada sejarah, mitos lebih subjektif sedangkan ideologi lebih objektif Kuntowijoyo,
1997:80 dalam Sobur, 2004:209.
2.2 Kerangka Berpikir
Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam mempresentasikan suatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar belakang
pengalaman field of experience dan pengetahuan frame of reference yang berbeda-beda dalam setiap individu tersebut. Begitu juga individu dalam
menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam sebuah lirik lagu, maka pencipta lagu tidak terlepas dari kedua hal tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan representasi terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan, lirik lagu “Jangan Menyerah” yang dipopulerkan oleh
grup band D’Masiv akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiologi dari Roland Barthes.
Dalam penelitian ini peneliti tidak menggunakan metode semiotik Pierce, karena dalam lirik lagu “Jangan Menyerah” kata-kata yang digunakan
adalah kata-kata lugas atau kalimat langsung sehingga peneliti tidak banyak menemukan adanya simbol-simbol yang bisa digunakan untuk memenuhi