48
Contoh kasus tahsiniyyah mu‟tabarah adalah anjuran memperbanyak
amalan sunnah, selain berfungsi melengkapi amalan wajib. Amalan sunnah juga menjadi penghias untuk memperindah amalan wajib. Selain
itu juga tahsiniyyah ini memperindah sekaligus sebagai adab seperti shalat memakai pakaian yang bersih dan wangi, walaupun sebenarnya sah
– sah saja memakai pakaian bau dan kucel ketika shalat tapi tentu kurang indah
dan kurang beradab. Berikut ini uraian konsep thaharah dan shalat menurut Abdul Qadir al-
Jailani ditinjau dari teori maqashid syari‟ah al-Syatibi.
1. Thaharah
a. Berdasarkan kategori daruriyyah
Islam mensyari’atkan thaharah bersuci, di sana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya
3
. Berdasarkan aspek daruriyyat, bagi al-Syatibi kemaslahatannya adalah memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan. Kalau tidak melaksanakan thaharah maka shalat menjadi tidak sah. Karena thaharah merupakan
syarat sahnya shalat. Dalam kitab sirrul asrar Abdul Qadir al-Jailani membagi
thaharah bersuci menjadi dua macam yakni bersuci secara lahir; dan bersuci secara batin. Bersuci secara lahir dilakukan dengan
menggunakan air. Adapun bersuci secara batin dilakukan dengan tobat,
3
Abdul Wahab Khalaf, Ulum Ushul Fiqh, Kairo, Maktabah Ad- da’wah,t.t , juz I, h.
205.
49
talqin, membersihkan kalbu dan menjalankan tarekat. Bila wudhu sya
ri‟ah batal karena keluarnya najis, maka seseorang wajib memperbaharui wudhunya.
Pandangan Abdul Qadir al-Jailani mengenai thaharah secara batin ini bisa mewujudkan maqashid syari
‟ah yang lain. Sebagai contoh hifdz aql, kita bisa melihat orang-orang sufilah yang pada
kenyataannya bisa mengapresiasi rasionalitas, orang-orang yang terlalu tekstual mereka akan melihat agama ini bertentangan dengan
rasionalitas dan agama sering mengekang eksplorasi rasionalitas karena dianggap sudah selesai pada masa lalu.
Dalam hal thaharah atau bersuci kita bisa lihat manusia yang mensucikan batinnya dan mencapai drajat kesempurnaan dirinya
hakikat dia tidak akan mungkin melakukan dosa. Seperti membunuh orang lain dan ini secara tidak langsung mewujudkan maqashid
syari ‟ah yang dharuriyyah yaitu hifdz ad-din. Apalagi wudhu batin ini
waktunya seumur hidup, dari hari ke hari tanpa putus.
4
Pada saat kita bisa melihat kenapa orang – orang banyak yang
menjalankan syari ‟ah tapi orang-orang itu masih korupsi. Secara fiqh
orang-orang tadi melanggar hukum amanah tentang menunaikan hak orang lain sehingga dia korupsi. Tapi secara batin mereka melakukan
aktivitas seperti itu karena mereka belum mencapai drajat melaksanakan ibadah itu secara hakikat tapi ibadahnya orang-orang
4
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, Ciputat, Salima, 2013, cet. II, h.170
50
awam atau ibadahnya para pebisnis yang hanya menginginkan uang di akhirat, perempuan dan kenikamatan ragawi lainnya di akhirat. Bukan
ibadah yang ingin mencapai realitas yang lebih tinggi dari drajat mereka yang sekarang.
Dalam kitab sirr al-asrar dikatakan bila wudhu batin batal karena melakukan amalan yang tercela dan akhlak yang hina, seperti
dosa kalbu yakni sombong, „ujub berbangga diri, hasad dengki,
hiqd dendam, mengumpat, mengadu-adu, dan bohong atau dosa badan, seperti dosa mata, telinga, tangan, dan kaki.
5
Maka cara memperbarui wudhunya adalah dengan tobat yang ikhlas dari semua dosa kalbu dan badan di atas dan dengan
memperbarui inabah kembali kepada Allah yakni dengan menyesali semua dosa-dosa dan memohon ampunan serta menghancurkan dosa-
dosa tersebut langsung dari batinnya.
6
Dilihat dari kerangka pemikiran al-Syatibi, konsep thaharah Abdul Qadir al-Jailani dalam tarekat dan hakekat tidak bertentangan
dan malah merealisasikan aspek maqashid syari ‟ah yang lain. Jika
dilihat secara daruriyyah konsep Abdul Qadir al-Jailani tidak menjadikan wudhunya batal secara syariat. Selain itu dalam
hubungannya dengan syari’ah terdapat cukup banyak ayat. Diantaranya dapat dihubungkan dengan masalah wudhu. Sebagaimana
firman Allah dalam surah al-maidah ayat 6 yaitu:
5
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169-170
6
Ibid.h.169
51
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air kakus atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
bersih; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.QS : Al-maidah : 6.
b. Berdasarkan kategori hajiyyat
Abdul Qadir al-Jailani berpendapat bahwa bersuci ada dua macam yakni bersuci secara lahir dan bersuci secara batin. Bersuci
secara lahir mengunakan air dan bersuci secara batin dengan tobat.
7
Dalam menjalankan thaharah dibutuhkan alat. Diantaranya yaitu air mutlak, yaitu air yang suci dan mensucikan , seperti mata
air, air hujan, air sungai, air zamzam, dan air laut
8
, berdasarkan dalil-dalil berikut.
7
Ibid. h.169.
8
Sayid Sabiq, fiqh as-sunnah,Beirut, Darul Kutub, t.tjuz 1, h.18.
52
Artinya : “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat suci.”
Al-Furqan: 48. Dan Rasulullah saw. Bersabda :
Artinya : ”Sesungguhnya air itu suci tidak dinajiskan oleh
sesuatu ” HR Abu Daud.
9
Dalam kategori hajiyyah ini yaitu melaksanakan ketentuan
agama, dengan maksud menghindari kesulitan. Maka apabila tidak ditemukannya air boleh menggunakan tanah yang suci, atau pasir,
atau batu, atau tanah berair. Rasulullah saw. bersabda,
“Dijadikan bumi itu sabagai masjid dan suci bagiku.” HR Bukhori
10
. Tanah dijadikan sebagai alat thaharah jika tidak ada air, atau
tidak bisa menggunakan air karena sakit, dan karena sebab lain. Allah berfirman,
9
Abu Dawud Sulayman ibn al-Ash ʿath al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abu Daud,
Beirut, Darul Kutub, t.t, juz I, h. 25
10
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Jufi al- Bukhari
, Al- Jami‟ As-Shahih, Kairo, Darul Aswab, 1987, juz I, h.119.
53
Artinya : “…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka
bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci.” An-Nisa: 43.
Di sisi ini krangka teori al-Syatibi melihat Abdul Qadir al- Jailani sejalan dengannya, karena konsep Abdul Qadir al-Jailani
secara tidak langsung mewujudkan maqashid syari ‟ah yang
lainnya. Dalam kitab sirr-al-asrar dijelaskan bahwa bersuci atau wudhu
secara batin adalah dengan bertobat dan wudhu ini batal jika melakukan amalan-amalan tercela.
11
Secara tidak langsung konsep bersuci Abdul Qadir al-Jailani mewujudkan maqashid syari
‟ah, kita lihat orang yang selalu mensucikan hatinya dari dendam,
dengki dan sifat buruk lainnya tentu orang seperti itu tidak akan melakukan pembunuhan sehingga terwujudlah hifdz nafs.
Orang yang selalu mensucikan hatinya ketika dia diberi amanah jabatan dia tak akan mungkin berbohong atau korupsi maka dengan
begitu akan terwujudlah hifdz mal. Dalam realitas keseharian sering kali orang yang menghadapi
persoalan dalam hidupnya merasa itu sulit padahal sesungguhnya apapun yang terjadi dalam hidup ini bisa dilihat sulit ataupun bisa
dilihat mudah, sedangkan dia melihatnya sebagai kesulitan karena ada permasalahan dalam hatinya. Dengan mewujudkan aspek batin
dari ibadah-ibadah itu, orang bisa menghilangkan berbagai
11
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169.
54
penyakit hatinya seperti galau, sedih dan pikiran-pikiran yang tidak riil yang ada dalam benaknya yang memperbesar atau
mendramatisir suatu persoalan yang sebenarnya sederhana. Dengan terwujudnya aspek tarekat dan hakikat dalam ibadah
maka rasa sedih, galau, berlebih-lebihan dalam merespon persoalan lebay itu tidak akan terjadi Seseorang yang selalu mensucikan
hatinya dengan wudhu lahir dan batin maka dia akan menghilangkan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya karena semua
kesulitan itu akan selalu di lihat dengan sederhana dan ini mewujudkan
maqashid syari‟ah kategori hajiyyah.
c. Berdasarkan kategori tahsiniyyah
Dalam kitab sirr al-asrar dijelaskan cara memperbaharui bersuci atau wudhu batin adalah dengan tobat yang ikhlas dari
semua dosa kalbu dan badan, dengan memperbaharui inâbah kembali kepada Allah dengan menyesali semua dosa dan
memohon ampunan.
12
Dari sini kita bisa melihat bahwa tobat tadi secara tidak langsung melengkapi atau meperindah akhlak
seseorang yang menjalankan bersuci secara lahir batin tadi, maka ini sejalan dengan maqashid syari
‟ah kategori tahsiniyyah. Kategori tahsiniyyah adalah kemaslahatan yang bersifat
perbaikan, kelengkapan atau keindahan, kemaslahatan ini dibutuhkan untuk menambah nilai moral dan etika. Jika
12
Ibid, h.169-170.
55
dilaksanakan akan menyampaikan manusia kepada muru‟ah dan
berjalan diatas jalan yang lebih baik.
13
Dalam upaya mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, kehormatan, sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajiban kepada Allah SWT. Misalnya berhias atau memakai sabun ketika bersuci. Hal ini apabila tidak dilakukan
tidak akan merusak kategori daruriyyah dan hajiyyah, karena fungsinya hanya pelengkap.
Salah satu bentuk terwujudnya maqashid syari ‟ah tahsiniyyah
ini adalah terjaganya kehormatan seseorang, Jika seseorang selalu mensucikan batinnya dengan wudhu secara lahir dan batin dia tidak
akan gila hormat tapi akan bersikap rendah hati karena bagi dia dirinya bukanlah apa-apa hanya manusia yang kadang tergoda
untuk melakukan dosa dan maksiat sehingga dia selalu ingin membersihkan hati dan raganya, orang lain juga akan lebih
menghormati orang yang rendah hati ketimbang orang yang gila hormat.
2. Shalat