Shalat Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani dalam Kitab Sirr Al-Asrar

40 Artinya : “Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu kepada setiap hamba yang selalu kembali kepada Allah dengan bertobat dan memelihara semua peraturan-peraturannya. ” QS. Qaf 50: 32. Jika wudhu lahir dan shalat lahir mempunyai waktu tertentu setiap satu hari satu malam, maka wudhu batin dan shalat batin waktunya seumur hidup, dari hari ke hari tanpa putus. 25 Penulis melihat dari hasil perpaduan wudhu lahir dan batin akan meghasilkan buah yaitu akhlak seperti lebih rendah hati, lebih beradab, sehingga ada peningkatan dari hari ke hari. Itulah buahnya sehingga kita bisa lebih dekat kepada Allah. Sebab, justru di hadapan Allah kita semakin menundukan kepala, karena semua ini adalah pemberian-Nya, kalau bukan karena pemberian-Nya bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.

2. Shalat

Shalat menurut Syariat adalah ibadah yang sudah sangat dikenal yaitu ucapan dan perbuatan yang diawali dengan ucapan takbir dan diakhiri dengan ucapan salam. 26 Shalat memeiliki beberapa persyaratan yang harus dilakukan sebelumnya, yaitu: bersuci dengan air yang suci, dengan pakaian 25 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169. 26 Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, Tafsir Hasan Al-Banna, Jakarta, Suara Agung, 2010, cet. 1, h. 134 41 yang suci, bertempat di tempat yang suci, menghadap kiblat, niat, dan telah masuk pada waktunya. 27 Maksud shalat syari’at, yang disebutkan dalam Al-Qur’an ini,          “Hendaklah kamu menjaga shalat-shalatmu dan shalat wustha yang di tengah.” QS. Al-Baqarah 2: 238 Ialah shalat yang rukun-rukunnya berkaitan dengan gerakan anggota badan yang lahir, seperti berdiri, membaca ayat atau surah, rukuk, sujud, dan mengeluarkan suara dan bacaan-bacaan. Makanya Allah SWT menggabungkan dengan lafadz jamak “shalawat” beberapa s halat sebagai isyarat akan shalat syari’at yang lima waktu. Adapun shalat tarekat adalah shalatnya kalbu dan itu dilakukan tanpa batas waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana diisyaratkan pada ayat di atas dalam kalimat, “Shalat Wustha.” Maksud dari shalat al-wustha yaitu shalat kalbu karena hati berada di tengah al- wasth badan; antara kanan dan kiri; antara atas dan bawah; juga yang menjelaskan rasa antara bahagia dan menderita. Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, 27 Abdul Qadir Al-Jailani, Rahasia Muslim Sejati : menyelami jalan tasawuf suluk menjadi kekasih Allah, jogjakarta, Bening, 2010, Cet.I, h.13 42 Artinya : “Sesungguhnya kalbu manusia ada di antara dua jari-jari Allah, Allah membolak-baliknya sesuai dengan kehendak- Nya.” HR. Muslim 28 Maksud dari dua jari Allah SWT ialah dua sifat Allah, yaitu sifat Maha Memaksa Al-Qahhar dan sifat Maha Lembut Al- Lathif. Dari ayat dan hadits di atas diketahui bahwa shalat yang pokok adalah shalat kalbu. Bila shalat kalbu dilupakan, maka rusaklah shalat kalbu dan shalat jawarih-nya. 29 Hal itu karena, orang yang shalat sedang bermunajat berdialog dengan Tuhannya. Sedangkan, alat untuk munajat adalah kalbu. Bila kalbu lupa maka “batallah” shalat kalbu sekaligus shalat badannya karena kalbu merupakan inti, dan anggota badan yang lain mengikutinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Artinya : “ Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Bila ia baik, kekujur badan akan ikut baik dan bila ia buruk, sekujur badan pun menjadi buruk. Itulah hati. ” HR.Al-Bukhari 30 Shalat syari’at sebagaimana diketahui secara fiqh mempunyai waktu tertentu, dalam satu hari satu malam wajib dikerjakan lima kali. Dan, shalat syari’at ini sunahnya dilakukan di masjid secara 28 Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih Muslim, Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t, juz 8, hlm.51. 29 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.174. 30 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Jufi al- Bukhari , al- Jami‟ al-Shahih Kairo, Darul Aswab, 1987, juz 1, h. 20. 43 berjamaah, menghadap ka’bah dan mengikuti gerakan imam, tanpa riya’ dan sum’ah. Sedangkan shalat tarekat dilakukan seumur hidup tanpa batas waktu. Masjidnya adalah kalbu. Cara berjamaahnya ialah dengan memadu kesucian batin untuk menyibukkan diri dengan asma-asma tauhid melalui lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu di dalam kalbu untuk sampai kepada Allah SWT. Kiblatnya ialah Al-Hadhrah Al- Ahadiyah fase tertinggi dari maqam ruh yakni hadirat Allah yang Maha Tunggal dan Keindahan Allah SWT. Itulah kiblat yang hakiki. Selamanya, kalbu dan ruh tidak boleh lepas dari shalat ini. 31 Dalam menjalankan shalat tarekat ini, kalbu tidak boleh tidur dan tidak boleh mati. Ia selalu punya kegiatan, saat tidur maupun terjaga. Shalat tarekat dilakukan dengan hidupnya kalbu tanpa suara, tanpa berdiri dan tanpa duduk. Orang yang menjalankan shalat tarekat, akan selalu berhadapan dengan Allah SWT dan senantiasa siaga dengan ucapan, “Kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan,” dan mengikuti Nabi Muhammad SAW karena begitulah keadaan Nabi. 32 Al- Qadhi di dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Ayat ini merupakan isyarat tentang kalbu seorang ahli makrifat kepada Allah, yang telah berpindah dari keadaan gaib kepada Al-Hadrah Ahadiyah 31 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.175. 32 Ibid 44 fase tertinggi dari maqam ruh. Ini, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, ” Artinya : “Para Nabi dan para wali selalu shalat di alam kuburnya, seperti halnya mereka shalat di rumahnya.” HR. Al-Bazzar 33 Abdul Qadir al-Jailani mengartikan, mereka selalu sibuk bermunajat pada Allah SWT karena hatinya yang hidup. Bagi Abdul Qadir al-Jailani Bila dua shalat syari’at dan shalat tarekat ini telah berpadu secara lahir dan batin, maka sempurnalah shalat itu dan pahalanya pun sangat besar. Pahalanya berupa Al- Qurbah dekat dengan Allah yang diraih oleh shalat ruhaniahnya dan pahala derajat surga yang diraih oleh shalat badannya. Maka orang yang melakukan shalat seperti ini berarti ia lahiriahnya ahli ibadah, d an batinnya „arif billah makrifat kepada Allah. Dan, bila shalat tarekatnya tak mampu menghidupkan kalbu, maka nilainya berkurang dan pahalanya pun hanya derajat surga, tidak mendapat pahala Al-Qurbah. 34 33 al-Imam al-Hafidz al-Kabir Abu Bakrin Ahmad ibn Abdi al-Kholiqi al-Basharyi Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, Madinah, Maktabah Ulum wal Hikmah, 2009, juz 13, h.62. 34 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169. 45 BAB IV ANALISIS TERHADAP KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI

A. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Ditinjau Dari Teori