Shalat Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Ditinjau Dari Teori

55 dilaksanakan akan menyampaikan manusia kepada muru‟ah dan berjalan diatas jalan yang lebih baik. 13 Dalam upaya mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, kehormatan, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Allah SWT. Misalnya berhias atau memakai sabun ketika bersuci. Hal ini apabila tidak dilakukan tidak akan merusak kategori daruriyyah dan hajiyyah, karena fungsinya hanya pelengkap. Salah satu bentuk terwujudnya maqashid syari ‟ah tahsiniyyah ini adalah terjaganya kehormatan seseorang, Jika seseorang selalu mensucikan batinnya dengan wudhu secara lahir dan batin dia tidak akan gila hormat tapi akan bersikap rendah hati karena bagi dia dirinya bukanlah apa-apa hanya manusia yang kadang tergoda untuk melakukan dosa dan maksiat sehingga dia selalu ingin membersihkan hati dan raganya, orang lain juga akan lebih menghormati orang yang rendah hati ketimbang orang yang gila hormat.

2. Shalat

a. Berdasarkan kategori daruriyyah

Shalat adalah salah satu ibadah yang di wajibkan Allah Swt yang mana jika shalat ini tidak ditegakkan akan mengancam 13 Ahmad Husai Jauha , Ma ashid Sya i’ah, Jaka ta, A zah, Cet. II, h.xvi. 56 eksistensi agama atau menghancurkan agama, maka dari itu shalat adalah tiangnya agama sebagaimana hadis nabi ; Artinya : Pokok masalah adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.HR.Tirmidzi 14 Menurut Abdul Qadir al-Jailani jika seseorang sudah bisa memadukan antara shalat syariat dan shalat tarekat secara lahir dan batin maka dia akan mampu mencapai kesempurnaan. 15 Sesungguhnya dengan pencapaian drajat kesempurnaan diri atau hakikat secara tidak langsung akan meciptakan atau mewujudkan maqashid syari ‟ah yang lain. Sebagai contoh hifdz aql kita bisa melihat orang-orang sufilah yang pada kenyataannya bisa mengapresiasi rasionalitas, orang-orang yang terlalu tekstual mereka akan melihat agama ini bertentangan dengan rasionalitas dan agama sering mengekang eksplorasi rasionalitas karena dianggap sudah selesai pada masa lalu. Sedangkan dengan pemahaman Abdul Qadir al-jailani dan sufi lainya justru mereka faham dimana posisi suatu teks itu. Bahwa teks itu ada lahir dan batinnya, bahwa penafsiran terhadap teks itu sebetulnya berhubungan dengan cakrawala seseorang yang menafsirkan. Orang yang punya pengalaman hakikat dia bisa 14 Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak at-Tirmizi , , Sunan at-Tirmidzi t.p, t.t,juz 10, h. 101. 15 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.177. 57 mengetahui aspek-aspek batin, tentang hakikat dari suatu teks. Dengan seperti ini para sufi terbukti bisa mengapresiasi filsafat dan sains. Sehingga dengan seperti itu hifdz aql juga terwujud. Hadis diatas menegaskan bahwa shalat itu adalah tiang agama jadi runtuhnya shalat runtuhlah agama, ini bukan sekedar retorika untuk mengatakan shalat itu penting. tapi dalam pandangan hakikat memang shalat itu jika bisa direalisasikan aspek batinnya akan mengantarkan orang kepada hakikat. Ada sebuah ungkapan bahwa shalat itu mi‟rajnya orang beriman. 16 bahwa shalat itu bisa mengantarkan kita pada realitas yang sebenarnya. dengan terealisasinya aspek hakikat dari ibadah makna hadis nabi shalat adalah tiang agama menjadi lebih bisa di fahami, karena orang-orang yang sampai pada hakikatlah yang bisa menjadi tonggak-tonggak agama. Dan agama bisa lebih dimengerti tujuannya. Berdasarkan analisa, penulis menilai kerangka teori al- Syatibi dalam memandang konsep shalat Abdul Qadir al-Jailani secara tidak langsung mewujudkan maqashid syari‟ah. Dalam kerangka teori al-Syatibi shalat itu memelihara agama. Hal ini masuk dalam peringkat daruriyyah, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer atau kepentingan pokok seperti melaksanakan shalat lima waktu. 16 Beberapa sumber mengatakan as- shalatu mi’rajul muslim adalah hadis tapi penulis belum menemukan matan hadis tersebut. 58 Kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.

b. Berdasarkan kategori hajiyyah

Kebutuhan hajiyyah ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana jika tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah keringanan seperti dijelaskan Abdul al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini. 17 Dalam lapangan ibadah, Islam mensyari ’atkan beberapa hukum rukhshah keringanan bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Kebolehan menjamak dan meng-qasar shalat bagi orang yang bepergian adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyyah ini. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya. Dalam kitab sirr al-asrar Abdul Qadir al-Jailani menuturkan bahwa shalat tarekat yang dilakukan dengan hidupnya kalbu dan orang yang menjalankannya akan selalu berhadapan 17 Abdul Wahab Khalaf, Ulum Ushul Fiqh, Kairo, Maktabah Ad- da’wah,t.t, juz I, h. 206. 59 dengan Allah Swt dan senantiasa berucap “kepada-Mu kami beribadah dan kepada –Mu kami meminta pertolongan”. 18 Kita lihat orang yang bisa melaksanakan shalat tarekat ini akan menjadikan hatinya tenang dan selalu ingat kepada Allah Swt sehingga tidak menghalangi dia untuk beribadah kepada Allah dan mempermudah dia berbuat baik kepada manusia dan alam, karena hanya orang yang mempunyai hati yang baiklah yang bisa melakukannya.

c. Berdasarkan kategori tahsiniyyat

Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan, misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan,memakai wewangian, pakaian, dan tempat. Dalam kitab sirr al-asrar dijelaskan bahwa orang yang melakukan shalat tarekat mereka akan selalu sibuk bermunajat kepada Allah Swt karena hatinya hidup. Pada kehidupan sehari- hari orang-orang seperti inilah yang bisa dengan mudah mewujudkan keindahan akhlak, dia akan mudah untuk memaafkan, memberikan senyum, bahkan jika dia di hina dia taka akan membalas karena hatinya lebih sibuk bermunjat kepada Allah Swt 18 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.176. 60 dari pada membalas sesuatu yang hanya akan memalingkan hatinya dari Allah Swt dan ini mewujudkan maqashid syari ‟ah kategori tahsiniyyah.

B. Kesesuaian Praktik Ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dengan