90
I
dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara; mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara,
mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya; mereka yang terlibat dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana
80
Dengan menganggap anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa, maka diperlukan segala upaya untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan
anak secara wajar. Dapat ditarik satu simpul bahwa perspektif perlindungan anak adalah cara pandang terhadap semua persoalan dengan menempatkan posisi anak
sebagai yang pertama dan utama. Implementasinya cara pandang yang demikian adalah ketika kita selalu menempatkan urusan anak sebagai hal yang paling
utama .
81
2. Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice
.
Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana dari
mekanisme formal ke mekanisme yang informal. Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang memberikan perlindungan terhadap
semua pihak dengan mengedepankan prinsip kebersamaan
82
80
Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 37-38.
81
M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 31.
82
Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 69.
. Pemahaman bahwa
91
I
menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak sebagaimana yang
tercantum dalam Konvensi Hak Anak pasal 37 b, The Beijing Rules butir 13.1 dan 2.
Dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang SPPA disebutkan bahwa Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana
ke proses di luar peradilan pidana. Kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui Diversi dalam
sistem peradilan pidana anak adalah dengan membentuk peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang Diversi dalam sistem peradilan pidana anak.
dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka
Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan salah satu
metodenya adalah Diversi
83
83
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Op. Cit, hlm. 68.
. Hal inilah yang menjadi salah satu perbedaan mencolok antara Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dengan Undang-Undang
SPPA. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, belum menerapkan lembaga Diversi dalam rumusannya. Sehingga sebelum Undang-
Undang SPPA mulai diberlakukan, segala kejahatan yang menempatkan anak sebagai pelakunya harus masuk ke ranah pidana, atau dengan kata lain harus
mengikuti proses peradilan, yang justru sebenarnya dapat dihindarkan.
92
I
Bagi anak pelaku tindak pidana, dalam hal ini mekanisme peradilan akan memberikan stigma terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya sebagai
anak jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkan anak dari sistem peradilan pidana konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan pidana.
pertimbangan diakukannya Diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan keadilan kepada anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana serta
memberikan kesempatan pada anak untuk memperbaiki dirinya
84
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
. Selanjutnya pasal 6 Undang-Undang SPPA menyebutkan bahwa
Diversi bertujuan :
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Lalu pasal 7 menjelaskan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib diupayakan Diversi. Diversi
yang dimaksud dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan : a.
Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun
85
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana
; dan
86
84
Mahmud Mulyadi, Op. Cit, hlm. 70.
85
Lihat penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf a UU No. 11 Tahun 2012. “Ketentuan “pidana penjara di bawah 7 tahun” mengacu pada hukum pidana”
86
Lihat penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf b UU No. 11 Tahun 2012. “pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik tindak pidana
sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui Diversi”.
.
93
I
Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya
agar proses Diversi bisa dilaksanakan. Hal ini mengakibatkan penegak hukum anak yang tidak melaksanakan upaya Diversi haruslah diberikan sanksi
87
a. Kepentingan korban;
. Dalam pasal 8 selanjutnya disebutkan bahwa proses Diversi dilakukan
melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tuawalinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif. Apabila diperlukan, musyawarah tersebut dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, danatau masyarakat. Proses Diversi wajib
memperhatikan :
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
c. Penghindaran stigma negatif;
d. Penghindaran pembalasan;
e. Keharmonisan masyarakat; dan
f. Kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Hal tersebut dilakukan demi tercapainya kembali keseimbangan dalam masyarakat, yang sebelumnya telah timpang dikarenakan tindakan yang dilakukan
oleh anak, sesuai dengan napas Keadilan Restoratif. Pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa penyidik, penuntut umum dan
hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan : a.
Kategori tindak pidana.
87
Lihat pasal 95 UU No. 11 Tahun 2012 yang memberikan ancaman sanksi administratif dan pasal 96 yang memberikan ancaman pidana paling lama 2 dua tahun penjara atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
94
I
Dalam penjelasan pasal 9 ayat 1 huruf a, bahwa ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin
tinggi prioritas Diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan,
pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 tujuh tahun
b. Umur anak.
Dalam penjelasan huruf b, bahwa umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan
semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi. c.
Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas. d.
Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Selanjutnya dalam ayat 2 bahwa kesepakatan Diversi harus
mendapatkan persetujuan korban danatau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk :
a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. Tindak pidana ringan;
c. Tindak pidana tanpa korban; atau
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat. Keempat hal di atas merupakan alternatif yang artinya apabila salah
satu kriteria saja terpenuhi maka kesepakatan Diversi tidak lagi membutuhkan persetujuan. Apabila terdapat kesepakatan Diversi dalam hal yang disebutkan di
95
I
atas, maka kesepakatan tersebut dapat dilakukan oleh penyidik beserta pelakukeluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan dapat pula melibatkan
tokoh masyarakat, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 ayat 1. Pada ayat 2 kemudian disebutkan bahwa kesepakatan mengenai hal tersebut dilakukan
penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk : a.
Pengembalian kerugian dalam hal ada korban; b.
Rehabilitasi medis dan psikososial; c.
Penyerahan kembali kepada orangtuawali; d.
Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 tiga bulan; atau
e. Pelayanan masyarakat.
Pasal 11 menyatakan bahwa hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk antara lain :
a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. Penyerahan kembali kepada orang tuawali;
c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 tiga bulan; atau d.
Pelayanan masyarakat. Diversi dalam peradilan pidana anak dimaksudkan untuk menghindari
efek negatif dari pemeriksaan konvensional peradilan pidana terhadap anak, baik efek negatif proses peradilan maupun efek negatif stigma cap jahat proses
96
I
peradilan, maka pemeriksaan secara konvensional dialihkan, dan kepada anak tersebut dikenakan program-program Diversi
88
Terdapat tiga jenis pelaksanaan Diversi, yaitu .
89
a. Berorientasi kontrol sosial social control orientation. Dalam hal ini
aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;
:
b. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat
dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan menyediakan pelayanan bagi anak pelaku dan keluarganya;
c. Berorientasi pada restorative justice, yaitu memberi kesempatan kepada
pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya kepada korban dan masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-
sama mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak pelaku ini.
Berbicara mengenai Restorative Justice atau Keadilan Restoratif, merupakan suatu konsep pendekatan yang wajib diutamakan dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak. Konsep Restorative Justice diawali dari pelaksanaan sebuah program
penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender
88
https:ferli1982.wordpress.com20130305diversi-dalam-sistem-peradilan-pidana- anak-di-indonesia?_e_pi_=72CPAGE_ID102C7061997637
, diakses pada tanggal 9 April 2015, pkl. 00.30 WIB.
89
Mahmud Mulyadi, Op. Cit, hlm. 71.
97
I
mediation. Program ini dilaksanakan di negara Canada pada tahun 1970. Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan
hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu
usulan hukuman abgi anak pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Program ini menganggap pelaku dan
korban sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta
memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak
90
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan pertauran perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
. Ketentuan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang SPPA menyatakan bahwa
Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif tersebut meliputi :
b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan c.
Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, danatau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani
pidana atau tindakan.
90
Ibid., hlm. 72.
98
I
Dan ayat 3 menegaskan bahwa ketentuan ayat 2 huruf a dan b itu wajib diupayakan Diversi.
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang SPPA sendiri memberikan definisi dari Keadilan Restoratif, bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakukorban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Dalam pertemuan antara pihak-pihak tersebut, mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-
jelasnya mengenai kronologi tindakan yang telah dilakukannya. Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat
menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya
dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya bertanggungjawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah
dilakukannya
91
91
Marlina, Op. Cit, hlm. 180.
. Dalam hal ini korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku, sehingga nantinya dapat memberikan tanggapan dari
penjelasan tersebut. Pihak masyarakat hadir untuk mewakili kepentingan masyarakat. Tugas mereka adalah memberikan gambaran tentang kerugian yang
ditimbulkan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya
99
I
tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu perbuatan untuk memulihkan kembali kerusakan akibat perbuatan yang dilakukan pelaku tersebut.
Tujuan utama Restorative Justice adalah perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita
oleh masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat. Restorative Justice bertujuan memberdayakan para korban,
pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki tindakan melanggar hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk
memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Restorative Justice juga bertujuan merestorasi kesejahteraan masyarakat, memperbaiki manusia sebagai anggota
masyarakat dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa pertanggungjawaban kepada korban atas tindakannya
92
a. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;
. Sementara itu dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana
Anak, peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif bertujuan untuk :
b. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;
c. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;
d. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;
e. Mewujudkan kesejahteraan anak;
f. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
g. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
92
Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 161.
100
I
h. Meningkatkan keterampilan hidup anak.
Sebenarnya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sudah ada upaya pengubahan paradigma pemidanaan anak di
Indonesia, yang bukan lagi ditujukan untuk memberikan pembalasan dalam pandangan retributif, tetapi lebih diarahkan kepada proses pembinaan agar masa
depannya menjadi lebih baik. Namun, paradigma ini dirasakan tidak cukup karena perkembangan lebih jauh dari aturan dalam undang-undang pengadilan anak
dimana paradigma yang berkembang kemudian bukan lagi sekadar mengubah jenis pidana menjadi jenis pidana yang bersifat mendidik, tetapi seminimal
mungkin memasukkan anak ke dalam proses peradilan pidana. oleh karena itu, dalam pembahasan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, konsep Restorative
Justice dan Diversi dimasukkan dalam pembahasan
93
Restorative Justice dianggap sebagai model pemidanaan modern dan lebih manusiawi bagi model pemidanaan terhadap anak. Sebagai pemidanaan
yang lebih mengedepankan pemulihan atau penggantian kerugian yang dialami korban daripada penghukuman pelaku. Proses penyelesaian perkara pidana anak
bukan semata-mata menghukum anak namun bersifat mendidik dan yang penting adalah mengembalikan kondisi dan memulihkannya sebagaimana sebelum
terjadinya tindak pidana .
94
Restorative Justice mampu menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif, ukuran keadilan tidak didasarkan pada balasan setimpal yang ditimpakan
.
93
M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 134.
94
Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 162.
101
I
oleh korban kepada pelaku baik secara psikis, fisik atau hukuman, namun tindakan pelaku yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan
dukungan kepada korban dan mensyaratkan agar pelaku bertanggung jawab
95
Semua pihak pelaksana Restorative Justice harus berperan sangat efektif. Segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik, termasuk hak-hak dan
tanggung jawab masing-masing pihak dalam mediasi sehingga akan menemukan hasil yang diharapkan. Apabila korban tidak mendapat pendampingan, baik oleh
walinya, lembaga anak maupun pihak pendukungnya maka akan membuat perasaan diintimidasi dan dikorbankan kembali pada korban, terlebih lagi jika
pelaku yang hadir dan pihak keluarganya berkeinginan keras untuk mencapai kesepakatan.
. Penerapan dan pelaksanaan konsep Restorative Justice merupakan
tantangan besar untuk membuat konsep ini dapat dimasukkan dalam konstitusi negara yang sudah mantap. Namun kenyataannya hal tersebut tidaklah mudah.
Meskipun pelaksanaan konsep ini menunjukkan beberapa keberhasilan di berbagai negara, namun tentunya didapati juga hambatan atau tantangan dalam
pelaksanaannya. Contohnya adalah pelanggaran yang sangat serius dilakukan oleh anak. adanya kesulitan untuk membuat rasa percaya masyarakat terhadap
pelaksanaan Restorative Justice pada kasus-kasus yang berat. Selain itu, adanya alasan tindakan residivis oleh pelaku anak setelah menjalani proses Restorative
Justice membuat pertanyaan masyarakat apabila harus mengulangi proses tersebut beberapa kali terhadap pelaku yang sama.
95
Ibid.
102
I
Sudah secara tegas dimaknai dalam Undang-Undang SPPA bahwa proses peradilan itu merupakan jalan terakhir dalam penyelesaian tindak pidana
yang dilakukan oleh anak. Sehingga sebelum masuk ke proses peradilan, terlebih dahulu wajib diupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni
melalui Diversi berdasarkan Keadilan Restoratif. Sebagaimana pasal 13 menyatakan bahwa proses peradilan pidana anak
dilanjutkan dalam hal : a.
Proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau b.
Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.
C. Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana