50
I
B. Perkembangan Pengaturan Peradilan Anak di Indonesia
Untuk memberikan suatu keadilan, Peradilan melakukan kegiatan dan tindakan secara sistematis dan berpatokan pada ketentuan undang-undang yang
berlaku. Demikian juga halnya dengan Peradilan Anak, yang harus melindungi kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial
41
Peradilan Anak merupakan Peradilan Khusus, merupakan spesialisasi dan diferensiasinya di bawah Peradilan Umum. Hukum pidana anak meliputi
segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Menurut analisis sejarah Eropa dan Amerika ternyata, bahwa
ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarga, senantiasa ditujukan menanggulangi keadaan yang burur, seperti kriminalitas anak,
terlantarnya anak dan eksploitasi terhadap anak . Untuk mengetahui latar
belakang lahirnya Undang-Undang SPPA, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui sejarah Peradilan Anak di Indonesia.
42
Peradilan Anak telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, awalnya pada tahun 1917. Waktu itu beberapa rahayang ada di daerah-daerah dan pemuda-
pemuda sebagai pemuka bangsa telah berhasil mendirikan lembaga yang bernama Pro Juventute. Pro Juventute mendapat pengakuan pemerintah Belanda untuk
.
41
H. R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, PTIK Press, Jakarta, 2014, hlm. 24.
42
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 130.
51
I
memberikan bimbingan kepada orangtua yang mengalami kesulitan dalam memberikan nasihat dan bimbingan kepada anak-anak yang terlibat kejahatan.
Meskipun lembaga Pro Juventute sudah mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda akan tetapi Indonesia saat itu belum memiliki badan peradilan untuk anak
dan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur perkara untuk anak
43
Anak-anak yang diajukan ke muka sidang pengadilan mendapat perlakuan yang sama seperti orang dewasa. Keadaan ini dapat dimengerti,
mengingat bahwa hukum acara kita berdasarkan HIR dan RB berasal dari zaman sewaktu dunia masih berpendapat bahwa anak cukup diperlakukan sebagai orang
dewasa dalam ukuran kecil .
44
. Badan Pembinaan Hukum Nasional mengungkapkan bahwa Indonesia baru mempunyai kesempatan memikirkan
hakim khusus yang mengadili anak pada sekitar setengah abad silam tepatnya tahun 1954, waktu itu sudah ada hakim khusus yang mengadili anak yaitu Bapak
Mr. Maengkom dengan dibantu oleh Pegawai Pra Yuwana perubahan nama dari Pro Juventute pada zaman Belanda, namun penahanan pada umumnya masih
digabungkan dengan orang dewasa
45
Kemudian pada tahun 1957 pemerintah telah menaruh perhatian terhadap juvenile delinquency walaupun belum problematis seperti sekarang.
Kemudian dibuatlah agreement secara lisan antara ketiga instansi yaitu pengadilan, kejaksaan dan kepolisian untuk menerapkan “perlakuan khusus” bagi
.
43
Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 11.
44
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Loka Karya tentang Peradilan Anak, Bina Cipta, Bandung, 1979, hlm. 19.
45
Ibid., hlm. 32.
52
I
anak yang melakukan kenakalan. Menurut D.Y. Staa, dasar agreement tersebut ialah
46
1. Di negara-negara yang telah menerapkan Hukum Acara Pidana khusus
untuk anak, yang dipakai adalah dasar psikologis bahwa anak yang berbuat kejahatan itu bukanlah merupakan orang-orang jahat,
melainkan anak-anak nakal saja. Dasar ini merupakan hasil riset puluhan tahun dari psikologi;
:
2. Walaupun pada waktu itu juvenile delinquency di negara kita,
khususnya di daerah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta masih belum merupakan masalah yang gawat, namun kita semua menginsyafi betapa
pentingnya tunas-tunas muda ini yang kelak akan menggantikan generasi tua dalam usaha membangun negara kita menuju ke
masyarakat adil dan makmur; 3.
Para wakil dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sama-sama menyadari bahwa anak-anak berbeda dengan orang dewasa secara
psikis sehingga harus diperlakukan khusus agar jiwa mereka kelak tidak mengalami tekanan batin dengan pernah diadilinya di muka pengadilan,
yang pasti mengganggu usaha tunas muda ini sebagai anggota masyarakat yang baik;
46
Ibid., hlm. 44.
53
I
4. Sidang pengadilan harus dilaksanakan sedemikian rupa agar hal-hal
yang menimbulkan tekanan-tekanan batingangguan jiwa dapat ditiadakan.
Dimulainya perlakuan khusus tersebut dari pihak
47
a. Kepolisian; 1. Menahan anak-anak terpisah dengan penahanan orang
dewasa; 2. Waktu membuat berita acara pendahuluan tidak memakai pakaian seragam;
:
b. Kejaksaan; 1. Pada waktu sidang tidak memakai toga atau pakaian
seragam; c.
Pengadilan; 1. Hakim ditunjuk secara khusus oleh Ketua Pengadilan Negeri; 2. Hakim yang bersidang tidak memakai toga; 3. Persidangan
pada hari yang ditentukan khusus dan bersifat tertutup; 4. Hadirnya orang tua dari si anak; 5. Lembaga Pemasyarakatan mengangkat
beberapa pegawai untuk : 6. Membantu persidangan dengan cara membuat social reportcase study yang sekarang disebut Balai Bispa.
Pembuatan social report inilah yang merupakan bagian terpenting dari sidang anak. dalam social report petugas sosial atau social worker
sekaligus membubuhi rekomendasi tentang penempatan si anak. walaupun hakim tidak terikat pada saran social worker tadi, karena
hakim bebas dalam memberi putusan, tokh merupakan suatu pegangan bagi hakim dalam hal memberikan putusan terhadap si anak.
47
Ibid., hlm. 128.
54
I
Tahun 1967 Departemen Kehakiman menugaskan Pra Yuwana membantu pelaksanaan peradilan anak, dengan tujuan melindungi, mencegah dan
memulihkan anak-anak pelanggar hukum dan kesusilaan agar menjadi manusia Indonesia yang cakap dan bertanggungjawab. Tahun 1968 Direktorat Jenderal
Kepenjaraan mendirikan Bimbingan Pemasyarakatan Bispa yang petugasnya diangkat dari Akademi Sosial yang dipersiapkan menjadi Pembimbing Petugas
Kemasyarakatan yang langsung menangani anak-anak pelanggar hukum. Dalam perkembangan selanjutnya, berhubung kekurangan petugas dan kekurangan dana
maka tugas Pra Yuwana diambil alih. Pra Yuwana tidak lagi di bawah Departemen Kehakiman, namun di bawah pengawasan Departemen Sosial. Tugas
Pra Yuwana hanya mengenai anak perempuan dan anak di bawah umur 12 dua belas tahun. Dengan adanya pengalihan tersebut, maka Pra Yuwana tidak lagi
aktif dalam penanganan anak yang bermasalah dengan kriminal, akan tetapi kegiatannya beralih pada anak-anak yang putus sekolah dan sebagainya
48
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1959 dalam upaya menunjang prinsip perlakuan khusus terhadap anak. berdasarkan
Surat Edaran tersebut, hakim yang melakukan pemeriksaan terhadap anak dilakukan dengan sidang tertutup. Tahun 1981 ketika Hukum Acara Pidana
direvisi, perlakuan khusus terhadap anak mengikat para hakim. Perlakuan khusus diatur dalam Pasal 153 ayat 3 KUHAP yang menyebutkan bahwa persidangan
tidak dibuka untuk umum apabila terdakwanya anak-anak .
49
48
Soetarman, Kenakalan Anak, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 48.
49
Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 37.
. Peradilan Anak
55
I
selanjutnya dalam praktek mengacu kepada Peraturan Menteri Kehakiman RI Tahun 1983 Nomor M.06-UM01.06 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata
Ruang Persidangan yang isinya menentukan bahwa sidang anak dilakukan oleh hakim tunggal kecuali dalam hal tertentu dilakukan secara majelis, dengan pintu
tertutup serta putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kemudian hakim, penuntut umum, penasihat hukum bersidang tanpa menggunakan toga
serta pada sidang diharapkan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya
50
Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa ide tentang lahirnya peradilan anak di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970 seperti termaksud dalam
penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri
Kehakiman dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Untuk merealisasi lahirnya Undang-Undang Peradilan Anak di Indonesia, pada tanggal 10 November 1995
Pemerintah dengan Amanat Presiden No : R. 12PUXII1995 mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapat pembahasan dan persetujuan. Selanjutnya lahirlah Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Lembaran Negara No.
3 Tahun 1997 .
51
50
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 36.
51
Abintoro Prakoso, op.cit, hlm. 38.
. Sejak tanggal 3 Januari 1998 lewat Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 terdapat unifikasi hukum melalui peradilan anak. Undang-undang ini
mengakomodasi mengenai teori dan praktik tentang peradilan anak yang sebelumnya sudah ada. Akan tetapi, karena perkembangan zaman dan teknologi,
56
I
undang-undang ini dirasakan sudah tidak releven lagi untuk diterapkan dalam lalu lintas hukum sehari-hari
52
. Secara substansial dengan memperhatikan keseluruhan norma yang termuat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang mana pada akhirnya dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan
perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak
53
Seiring perkembangan zaman, Undang-Undang Pengadilan Anak masih memiliki banyak kekurangan, substansinya bertentangan dengan spirit
perlindungan terhadap anak seperti diatur dalam Konvensi Hak-Hak Anak sehingga tidak relevan lagi dalam kehidupan masyarakat. Ketentuan yang
bertentangan antara lain .
54
1. Usia minimum pertanggungjawaban pidana terlalu rendah.
:
2. Penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana
yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana.
3. Tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah
Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara. 4.
Belum adanya pengaturan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum.
52
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Loc. Cit.
53
Ibid., hlm. 38.
54
Ibid., hlm. 39.
57
I
5. Belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif.
6. Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan
penahanan terhadap anak nakal. 7.
Penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif. Dengan demikian perlu adanya perubahan paradigma dalam
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk meningkatkan
kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Maka pemerintah berinisiatif untuk membuat
Rancangan Undang-Undang SPPA RUU SPPA, yang disampaikan Presiden kepada Pimpinan DPR RI dengan Surat No. R-12Pres022011 tanggal 16
Februari 2011. Setelah tiga kali masa sidang, yakni masa sidang II, III, dan IV, maka
pada masa sidang ke IV DPR RI Tahun 2011-2012, tanggal 28 Juni 2012, Rapat Pleno Komisi III DPR RI bersama pemerintah menyetujui RUU SPPA ini untuk
dibawa ke Pembahasan Tingkat II di DPR RI. Kemudian pada tanggal 3 Juli 2012, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui RUU Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi
Undang-Undang. Pada tanggal 30 Juli 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani RUU ini menjadi Undang-Undang SPPA
55
55
M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 125.
.
58
I
Penyusunan Undang-Undang SPPA
56
Undang-Undang ini disahkan menjadi peraturan yang berlaku secara umum dengan pertimbangan
ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
57
a. Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; :
b. Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak
mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dan sistem peradilan;
c. Bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak
Anak yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum; d.
Bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan
56
Lihat penjelasan umum UU No. 11 Tahun 2012. “Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur
dalam pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum”.
57
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Op. Cit, hlm. 37.
59
I
perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukumsehingga perlu diganti dengan Undang-Undang baru;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, dan d perlu membentuk
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sementara yang menjadi dasar pemikiran pembentukan Undang-
Undang ini antara lain
58
1. Dasar Filosofis
:
Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai
Pancasila di dalam mencerminkan suatu keadilan, ketertiban dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Disebutkan
bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya,
sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus terutama perlindungan hukum dalam
sistem peradilan anak. Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni Ketuhanan
Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai
religiositas, maka permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak.
58
Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm. 7-9.
60
I
2. Dasar Sosiologis
Perwujudan pelaksanaan lembaga peradilan pidana anak bisa jadi menguntungkan atau merugikan mental, fisik dan sosial anak. tindak
pidana anak dewasa ini secara kuantitas dan kualitas cenderung meningkat dibandingkan dengan tindak pidana lain. Bahkan, nyaris
semua tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa kini dilakukan pula ole anak-anak. berbagai faktor penyebabnya adalah keadaan sosial
ekonomi yang kurang kondusif, pengaruh globalisasi dalam bidang komunikasi dan informasi, hiburan, perkembangan ilmu pengetahuan
dan gaya hidup. Selain itu masalah ini disebabkan pula oleh faktor intern keluarga seperti kurangnya perhatian, kasih sayang dan
pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh terhadap anak sehingga mudah terpengaruh oleh pergaulan yang negatif di lingkungan
masyarakat. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak bisa menyongsong masa depannya yang
masih panjang serta memberikan kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
mandiri, bertanggungjawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Namun dalam pelaksanaannya anak
diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Dengan
61
I
demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan
tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta
memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
3. Dasar Yuridis
Menurut teori hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai dengan kodratnya: menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat
adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum.
Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dan diskriminasi”. Hal ini dijabarkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan
Konvensi Hak-Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990.
62
I
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, banyak mengandung kelemahan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia. 4.
Dasar Psikopolitik Masyarakat Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam
masyarakat mengenai tingkat penerimaan atau tingkat penolakan terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang
dilakukan anak baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu akibat dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam
bersinggungan dengan anak atau merupakan sebagai bagian dalam proses interaksi anak dalam lingkungannya, dimana anak belum mampu
secara dewasa menyikapi. Paradigma ini yang harus ditanamkan bagi masyarakat dan aparatur penegak hukum dalam menghadapi anak yang
diduga melakukan tindak pidana. Dengan diundangkannya Undang-Undang SPPA, yang mulai berlaku 2
tahun sejak tanggal pengundangannya, maka Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan tidak berlaku lagi.
63
I
BAB III ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011