coli HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 4. Karakteristik Cumi Setelah Pengolahan Lanjutan Uji Mikroba koloni Proses Pengolahan Warna o Hue Warna Chroma Tekstur mmg.dt Kadar Air Kadar Protein bk Kadar Lemak bk TPC Salmonella

E. coli

Pemasakan awal 82,55 53,72 1,36 72,57 14,54 1,98 0 Pengukusan 82,19 49,05 1,27 60,87 19,99 1,59 0 82,43 51,70 1,24 59,98 19,74 1,44 0 81,14 52,02 1,17 59,24 19,09 1,46 0 Penggorengan 82,70 53,84 1,32 59,32 15,37 1,85 0 82,66 52,12 1,27 59,16 15,35 2,31 0 81,87 53,49 1,26 58,68 15,03 2,91 0 Pemanggangan Api 82,97 51,84 1,29 58,72 15,47 1,48 0 82,64 51,89 1,19 58,49 15,23 1,47 0 82,30 49,69 1,11 58,12 14,98 1,47 0 Pemanggangan Oven 82,45 52,38 1,33 58,23 15,05 1,51 0 83,20 56,65 1,33 58,08 14,87 1,49 0 81,29 49,82 1,27 57,89 14,75 1,49 0 Microwave 82,89 53,68 1,30 50,56 10,92 1,50 0 82,84 51,18 0,47 24,65 8,76 1,47 0 82,94 48,59 0,25 20,04 8,24 1,43 0 Capacity , kekurangan cairan seperti air, lemak dan terjadi penyusutan diameter dan panjang sel serta peningkatan densitas Wirakartakusumah et al., 1992. Tekstur cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan didasarkan pada nilai keempukannya. Nilai keempukan tertinggi terdapat pada produk cumi panggang oven selama 2 dan 5 menit yaitu 1,33 mmg.dt, sedangkan yang terendah pada produk cumi microwave selama 7 menit yaitu 0,25 mmg.dt. Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan kukus, goreng, panggang api, panggang oven dan microwave dan waktu yang digunakan 2, 5 dan 7 menit serta interaksi antara kedua perlakuan menghasilkan tekstur yang berbeda Gambar 5. Jenis pengolahan yang diberikan mempengaruhi nilai keempukan produk karena pada pengolahan kukus dan goreng digunakan bahan tambahan berupa uap air dan minyak sebagai penghantar panas sehingga tekstur menjadi lunak dan empuk. Pengolahan panggang api dan oven yang dilakukan menyebabkan panas diserap oleh cumi sampai ke bagian dalam sehingga akan merubah tekstur yang semula liat menjadi lunak. Sedangkan pada perlakuan pengolahan panggang menggunakan microwave, panas yang tinggi dan cepat merata menyebabkan hanya bagian permukaan cumi saja yang mengalami perubahan tekstur sehingga tekstur keras bahkan jika dilakukan dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan kerusakan produk menjadi kering dan liat. Semakin lama waktu yang digunakan pada proses pengolahan lanjutan, tekstur produk pun menjadi semakin keras karena air yang terdapat pada bagian luar bahan pangan akan berkurang akibat adanya pemanasan. Hasil analisis statistik tekstur cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6. Kadar air cumi setelah mengalami pengolahan lanjutan yang tertinggi terdapat pada perlakuan kukus selama 2 menit yaitu sebesar 60,87 karena pada proses pengolahan lanjutannya digunakan uap air sebagai media penghantar panas sehingga kemungkinan penyerapan air oleh bahan akan terjadi. Pada waktu pengolahan yang sama, perlakuan pengolahan dengan microwave selama 2 menit menghasilkan kadar air cumi 50,56 . Hal ini diduga disebabkan oleh pemanasan dengan microwave lebih cepat panas dan merata sehingga penguapan air berlangsung lebih cepat. Menurut George et al. 1993, keuntungan proses microwave adalah waktu proses yang pendek singkat, tidak ada kemungkinan tumbuh bakteri dan lebih fleksibel dalam produksinya. Oleh karena itu, kadar air yang terkandung pada bahan akan mengalami penurunan secara drastis. Gambar 5. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Nilai Tekstur Cumi Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan kukus, goreng, panggang api, panggang oven dan microwave, waktu yang digunakan 2, 5 dan 7 menit serta interaksi antara kedua perlakuan menghasilkan kadar air yang berbeda Gambar 6. Perlakuan pengolahan yang menggunakan media penghantar panas, seperti air dan minyak goreng memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan tanpa media penghantar panas panggang api, oven dan microwave. Kontak langsung dengan panas menyebabkan air di permukaan cumi menguap lebih cepat sehingga mengurangi kadar air cumi. Semakin lama waktu pengolahan yang digunakan mengakibatkan kandungan air pada cumi menguap lebih banyak. Hasil analisis statistik kadar air cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6. Gambar 6. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Kadar Air Cumi Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena zat ini dapat berfungsi sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Selain itu juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur Winarno, 1991. Kadar protein yang diukur adalah kadar protein kasar, yang berarti bahwa kandungan N yang terukur tidak hanya menunjukkan kadar protein tetapi senyawa-senyawa lain yang mengandung unsur N yang jumlahnya lebih sedikit dari protein seperti asam amino bebas dan amoniak. Kadar protein cumi-cumi setelah pengolahan lanjutan berada pada kisaran 8,24 - 19,99 , nilai tertinggi pada produk cumi kukus selama 2 menit 19,99 bk. Pada waktu pengolahan yang sama, cumi yang diolah menggunakan microwave menghasilkan kadar protein 10,92 bk. Menurut deMan 1999, perlakuan menggunakan panas secara lunak uap air dapat mempertahankan nilai gizi protein, sedangkan panas yang berlebihan dapat merusak mutu protein. Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan kukus, goreng, panggang api, panggang oven dan microwave dan waktu yang digunakan 2, 5 dan 7 menit menghasilkan kadar protein yang berbeda. Pada pengolahan menggunakan microwave, cumi akan mendapatkan panas dengan cepat dan merata sehingga protein yang terkandung dalam cumi akan lebih banyak mengalami kerusakan dibandingkan dengan pengolahan lain yang penyebaran panasnya tidak terlalu cepat. Semakin lama waktu yang digunakan pada proses pengolahan lanjutan, kadar protein pada bahan semakin menurun karena semakin banyak protein pada cumi yang mengalami kerusakan denaturasi protein akibat adanya pemanasan. Hasil analisis statistik kadar protein cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6. Pengaruh cara pengolahan dan lama waktunya terhadap kadar protein cumi, berturut - turut disajikan pada Gambar 7 dan 8. Lemak merupakan zat makanan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda, tetapi lemak sering ditambahkan dengan sengaja ke bahan makanan dengan berbagai tujuan diantaranya untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan citarasa makanan Winarno,1991. Gambar 7. Pengaruh Cara Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi Gambar 8. Pengaruh Lama Waktu Pengolahan terhadap Kadar Protein Cumi Hasil pengukuran kadar lemak terhadap cumi yang telah diolah lebih lanjut menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada cumi yang mendapat perlakuan goreng selama 7 menit yaitu sebesar 2,91 bk, karena pada perlakuan tersebut ada penambahan minyak goreng yang akan diserap oleh cumi. Semakin lama waktu yang digunakan pada proses pengolahan goreng, jumlah minyak yang diserap cumi juga akan semakin banyak. Sedangkan pada perlakuan kukus, panggang api, oven dan microwave kadar lemak yang terkandung dalam cumi lebih rendah karena tidak ada penambahan minyak pada pengolahan yang dilakukan. Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori bahan pangan Winarno, 1991. Hasil analisis ragam pada cumi yang telah mengalami pengolahan lanjutan menunjukkan bahwa waktu yang digunakan 2, 5 dan 7 menit dan interaksi antara perlakuan pengolahan dengan waktu yang digunakan menghasilkan kadar lemak yang berbeda. Hasil analisis statistik kadar lemak cumi setelah pengolahan lanjutan disajikan pada Lampiran 6. Pengaruh interaksi antara cara pengolahan dan lama waktunya terhadap kadar lemak ditunjukkan pada Gambar 9. Uji mikroba dilakukan untuk mengetahui tingkat cemaran mikroorganisme pada cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut. Uji yang dilakukan adalah uji total mikroba TPC, uji Escherichia coli, dan uji Salmonella. Gambar 9. Pengaruh Interaksi Cara Pengolahan dan Lama Waktunya terhadap Kadar Lemak Cumi Perhitungan TPC bertujuan untuk menghitung semua mikroba yang tumbuh dalam produk. Adanya bakteri dalam bahan pangan dapat mengakibatkan pembusukan, menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan terjadinya fermentasi Buckle et al.,1987. E. coli merupakan bakteri yang sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran. Salmonella merupakan bakteri yang dapat menyebabkan gangguan pada perut juga menyebabkan demam tifus dan paratifus. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa pada cumi-cumi yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut tidak terdapat cemaran mikroba baik Escherichia coli , Salmonella maupun mikroorganisme lain. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan lanjutan yang dilakukan pada cumi sudah cukup baik dan higienis.

D. UJI ORGANOLEPTIK