Migrasi Bahasa Korespondensi Bunyi

2.2 Landasan Teori

Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang berkaitan dengan Linguistik Historis Komparatif. Dalam Linguistik Historis Komparatif dibicarakan kekerabatan bahasa berdasarkan sejarah timbulnya bahasa-bahasa tersebut. Dalam hal ini, konsep bahasa purba yang dianggap sebagai bahasa asal bahasa-bahasa turunan tentulah menjadi hal yang sangat berperan dalam penetapan keluarga bahasa. Karena itulah, suatu telaah atau kajian historis juga membicarakan kesamaan bentuk bahasa secara fonetis serta perubahan-perubahannya, lewat korespondensi bunyi dan variasi-variasi bunyi yang terdapat dalam bahasa-bahasa yang berkerabat, berupaya menetapkan waktu pisah bahasa-bahasa yang dibicarakan, juga memperkirakan usia bahasa- bahasa tersebut melalui metode-metode tertentu.

2.2.1 Migrasi Bahasa

Dalam teori migrasi bahasa disebutkan adanya asumsi bahwa untuk mencapai tempat-tempat yang sekarang didiami oleh bahasa tertentu, penutur- penutur bahasa proto atau bahasa purba harus berpindah tempat dari suatu wilayah proto proto area yang menjadi tempat asal penutur-penutur bahasa itu. Ada dua dalil yang mendasari teori migrasi bahasa ini: 1. Wilayah asal bahasa-bahasa kerabat merupakan suatu daerah yang bersinambung. 2. Jumlah migrasi yang mungkin direkonstruksi akan berbanding terbalik dengan jumlah gerak perpindahan dari tiap bahasa. Universitas Sumatera Utara Dalil pertama manyebutkan adanya wilayah asal bahasa, dengan kata lain, adanya asumsi bahwa bahasa-bahasa yang berkerabat sebenarnya berasal dari satu wilayah yang sama, dengan kata lain pula, berasal dari satu bahasa yang sama yang kemudian berkembang menjadi bahasa-bahasa yang berbeda. Karena bahasa-bahasa yang berkerabat merupakan bentuk percabangan dari satu bahasa proto, maka semua bentuk itu dapat ditelusuri kembali melalui gerak-gerak yang berasal dari wilayah yang bersinambung tadi. Yang dimaksud dengan wilayah asal adalah wilayah dari bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa yang setara dewasa ini. Daerah asal bahasa-bahasa yang setara itu disebut Homeland atau Negeri asal Dalil kedua dapat dianggap sebagai kaidah “gerak yang paling minimal”. Maksudnya, bila jumlah gerak dalam dua buah peluang migrasi yang direkonstruksikan itu berbeda, maka migrasi dengan jumlah gerak yang paling kecil mempunyai peluang yang paling besar sebagai migrasi yang sesungguhnya pernah terjadi. Keraf, 1984: 172-174.

2.2.2 Korespondensi Bunyi

Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi, awalnya dikenal dengan istilah hukum bunyi Lautgesetz, Sound Law, Grimm’s Law, diartikan sebagai hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata- kata dengan makna yang mirip Keraf, 1984:42. Seperti dijabarkan di bagian pendahuluan, hukum bunyi ini awalnya dirumuskan oleh Jacob Grimm. Dalam penelitian atas bahasa-bahasa Jerman dan bahasa Indo-Eropa lainnya Grimm Universitas Sumatera Utara mendapatkan kenyataan bahwa ada pergeseran atau pertukaran bunyi yang berlangsung secara teratur dalam bahasa-bahasa yang ditelitinya. Para ahli bahasa pada masa itu yang dikenal dengan sebutan aliran Junggrammatiker memberi perhatian yang besar pada hukum bunyi ini dan menyatakan bahwa hukum bunyi ini berlaku tanpa kecuali. Bahasa-bahasa yang ada dewasa ini diasumsikan berasal dari satu bahasa yang sama. Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian karena faktor waktu dan letak geografis ternyata masih menyisakan kemiripan atau kesamaan dalam beberapa bahasa. Bahasa-bahasa yang masih memiliki kemiripan inilah yang disebut sebagai berkerabat. Dalam hal ini, perubahan yang terjadi masih dapat diamati dan dirumuskan melalui hukum bunyi atau korespondensi bunyi yang terdapat dalam bahasa-bahasa tersebut. Misalnya, dengan mempergunakan kata- kata bilangan atau kata-kata yang menyangkut anggota tubuh yang dianggap universal karena dimiliki oleh semua bahasa di dunia dapat ditentukan perangkat korespondensi. Contoh: Melayu hidung Ma’ayan urung Banjar hidung Lamalera irung Jawa irung Batak igung Tagalog ilung Universitas Sumatera Utara Dari data-data tersebut, diperoleh perangkat korespondensi berikut: h – ø - h – ø – ø – ø – ø i - u – i -- i – i – i – i d – r – d – r – r – g – l u – u – u – u – u – u – u G - G--- G - G - G - G - G Semakin banyak data yang diperbandingkan maka semakin banyak pula kemungkinan untuk memperoleh perangkat korespondensi fonemisnya. Akan tetapi, korespondensi fonemis ini tidak dapat dirumuskan dari satu pasangan kata saja, data lain juga harus menunjukkan kesesuaian dengan data yang sebelumnya. Dalam bahasa-bahasa Nusantara, kita dapat melihat contoh pada kata ‘batu’. Dalam bahasa Melayu: batu, Jawa: watu, Batak: batu, Lamalera: foto. Dalam pasangan kata ini terdapat indikasi adanya perangkat korespondensi fonemis: b – w – b – f . Jika hubungan antara fonem-fonem itu menjadi perangkat korespondensi fonemis yang sesungguhnya, maka harus dapat diperoleh dari pasangan kata-kata lain. Dan, memang itulah yang terjadi, dalam pasangan kata- kata berikut: Glos Melayu Jawa Batak Karo Lamalera babi babi wawi babi fave bulan bulan wulan bulan fula buluh buluh wulu buluh fulo Keraf, 1984:52-53 Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Variasi Bunyi