1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak era globalisasi dimulai, perkembangan ekonomi dan perdagangan yang pesat membuat manusia saling berlomba untuk meningkatkan kualitas
hidupnya, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan cara mengembangkan usahanya. Namun, dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan
dengan baik, dan acapkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Hal ini akan mengakibatkan
timbulnya berbagai masalah utang piutang dalam masyarakat. Tak jarang, kepailitan merupakan jalan yang dipilih oleh debitur maupun kreditur untuk
menyelesaikan persoalan utang-piutang, karena melalui jalur kepailitan, kreditur akan memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum mengenai
piutangnya. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut UUK dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini.
Apabila hanya seorang kreditur yang ingin mengajukan gugatan atas utang yang belum dibayar, maka gugatan itu dapat diajukan ke Pengadilan Negeri
dengan alasan debitur telah melakukan wanprestasi. Tetapi, apabila terdapat lebih dari 1 satu kreditur ingin mengajukan tuntutan, tuntutan itu dapat diajukan ke
2
lembaga hukum kepailitan yaitu Pengadilan Niaga, yang khusus dibentuk untuk menangani kasus kepailitan.
1
Perubahan dan penambahan mendasar dalam hubungan dengan ketentuan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah adanya Bab Ketiga
tentang Pengadilan Niaga dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Pembentukan Pengadilan Niaga ini merupakan langkah diferensial atas peradilan umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 junto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan diganti dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh
hukum untuk menyelesaikan utang piutang antara debitur dan kreditur. Filosofi hukum kepailitan adalah untuk mengatasi permasalahan apabila harta seluruh
harta debitur tidak cukup untuk membayar seluruh utang-utangnya kepada seluruh krediturnya. Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang berhubungan
dengan pembagian harta kekayaan dari debitur terhadap krediturnya. Kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitur yang
nantinya merupakan budel pailit secara pasti dan adil. Kepailitan merupakan exit from financial distress yaitu suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit
secara finansial sudah tidak bisa diselesaikan.
2
1
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 angka 1.
2
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2 Medan: PT. Sofmedia, 2010, hlm. 19.
3
Status pailit bagaikan lubang jarum yang dapat menolong debitur nakal mengelakkan tanggung jawab untuk membayar utang sepenuhnya. Terlebih-lebih
apabila status tersebut merupakan keinginan debitur sehingga dengan demikian kepailitan telah memberi waktu bagi debitur untuk menyembunyikan aset-
asetnya.
3
Pernyataan pailit seorang debitur dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga dengan suatu putusan vonis dan tidak dengan suatu ketetapan beschikking. Hal
itu disebabkan suatu putusan menimbulkan suatu akibat hukum baru, sedangkan ketetapan tidak menimbulkan akibat hukum yang baru tetapi hanya bersifat
deklarator saja. Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitur. Salah
satu konsekuensi hukum yang cukup fundamental adalah debitur yang semula berwenang mengurus dan menguasai hartanya menjadi tidak berwenang mengurus
dan menguasai hartanya, yang terhitung sejak pukul 00.00 dari hari putusan pailit diucapkan. Dalam putusan pailit, pengadilan juga menyatakan pengangkatan
seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan dan pengangkatan seorang kurator. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, yang berhak
berkuasa atas harta pailit debitur adalah kurator. Apabila setelah putusan pailit, tidak tercapai kata perdamaian accord,
maka tahap selanjutnya adalah pengurusan dan pemberesan harta pailit. Tahap pengurusan harta pailit adalah jangka waktu sejak debitur dinyatakan pailit.
Kurator yang ditetapkan dalam putusan pailit segera bertugas untuk melakukan
3
Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan Kepailitan Bandung: Nuansa Aulia, 2006, hlm. 1.
4
pengurusan dan penguasaan budel pailit, dibawah pengawasan hakim pengawas, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum baik berupa kasasi
ataupun peninjauan kembali. Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta
pailitnya, namun ia tetap harus ikut serta jika diperlukan dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit, misalnya perlunya kerjasama debitur pailit dalam
memberikan keterangan jelas dan benar pada kurator dalam melakukan invetarisasi harta pailit, kedatangannya ke Pengadilan Niaga apabila dipanggil
oleh hakim, dan lain sebagainya. Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal
yang mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad yang tidak baik seperti tidak mau melunasi utang-utangnya, berusaha
menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri, sehingga menyebabkan terhambatnya proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Oleh karena itu,
debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat ditahan.
Penahanan yang dimaksud dalam kepailitan adalah gizjeling. Gizjeling merupakan suatu pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi
kewajibannya sekaligus memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi semua pihak. Pemberlakuan lembaga paksa badan
dibentuk sebagai upaya pembaharuan dari lembaga penyanderaan gijzeling yang pernah berlaku di Indonesia dengan tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur
melarikan diri maupun melakukan perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan
5
harta kekayaannya. Lembaga paksa badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi kewajibannya sehingga hak-hak
kemerdekaannya tidak dirampas dan keseimbangan hukum dapat tercapai.
4
Terlepas dari itikad baik yang dimiliki seorang debitur pailit, secara umum, debitur pailit atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas
permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar dari hakim pengawas dapat ditahan.
5
Tetapi, telah diatur bahwa hanya permintaan penahanan yang tercantum dalam ketentuan UUK dan PKPU yang harus dikabulkan.
6
Hal ini menandakan selain pada ketentuan itu, penahanan seorang debitur pailit belum pasti dikabulkan, tergantung pada kebijakan hakim pengadilan itu
sendiri. Dalam hal ini, tidak ada kepastian hukum mengenai apa saja kriteria, selain yang tercantum dalam UUK dan PKPU, yang dapat membuat penahanan
seorang debitur pailit dikabulkan. Tidak adanya kepastian mengenai jangka waktu penahanan debitur pailit
menyebabkan debitur pailit tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. Oleh sebab itu, timbul keinginan untuk menganalisis dari segi yuridis
tentang penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, kelemahan apa saja yang terdapat dalam UUK dan PKPU terkait dengan
penahanan debitur pailit.
4
Penyelesaian Utang-Piutang dengan Paksa Badan,
http:advokatku.blogspot.com200804penyelesaian-utang-piutang-dengan.html diakses pada tanggal 15 Oktober 2014.
5
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang , Pasal 93.
6
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 95.
6
B. Perumusan Masalah