80
memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi debitur pailit. Limitasi waktu penahanan terhadap debitur pailit merupakan semacam perlindungan hukum pada
debitur yang seharusnya diberikan UUK dan PKPU.
D. Perlindungan Hukum terhadap Debitur Pailit atas Ketidakpastian
Hukum terkait Penahanan
Perlindungan hukum merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan suatu negara hukum karena dalam kehidupan bernegara, ada
hubungan timbal balik antara negara dan warga negaranya. Dalam hal ini, akan timbul hak dan kewajiban satu sama lain. Warga negara wajib mematuhi hukum
dan peraturan yang berlaku, jika ia melanggarnya, maka ia akan diberikan sanksi, sedangkan negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga
negaranya sebagai hak tiap warga negaranya. Namun disisi lain dapat dirasakan juga bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri,
oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun
yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri
dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan
81
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
66
1. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Beberapa arti
perlindungan hukum menurut para ahli :
67
2. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum
dari kesewenangan.
68
3. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari
perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan
kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai
subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.
69
Dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan
66
http:tesishukum.compengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli diakses
pada tanggal 5 Februari 2015.
67
Satjipto Raharjo, “Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah”, Jurnal Masalah Hukum.
68
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia Surabaya: Bina Ilmu,1987,
hlm.56.
69
ST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 123.
82
sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami, sebagai berikut:
70
1. Sarana perlindungan hukum preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar
artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan
hukum preventif. 2.
Sarana perlindungan hukum represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh peradilan umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip
perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-
pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip
70
http:fitrihidayat-ub.blogspot.com201307perlindungan-hukum-unsur-esensial- dalam.html
(diakses pada tanggal 5 Februari 2015).
83
negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. Jika dilihat dalam UUK dan PKPU, tidak dijumpai limitasi waktu
penahanan seorang debitur yang beritikad baik. Hal ini menyebabkan perlindungan hukum terhadap debitur pailit terkait penahanan menjadi tidak jelas.
Pasalnya, pasal-pasal dalam undang-undang kepailitan yang berkaitan dengan masa penahanan juga tidak menyatakan secara jelas berapa lama seorang debitur
dapat ditahan. Sebagai pihak debitur, tentu saja hal ini menimbulkan ketidakadilan baginya, karena sebagai warga negara, ia juga berhak mendapat perlindungan
hukum dari produk hukum yang diciptakan pemerintah negaranya. Batas maksimum penahanan debitur pertama kali adalah 30 hari sesuai dengan Pasal 93
ayat 3 UUK dan PKPU, namun setelah itu dalam undang-undang kepailitan tidak tertera jelas batas maksimum perpanjangan hari. Jika dibiarkan, hal ini akan
merugikan pihak debitur yang tidak pernah tahu tentang kejelasan statusnya sebagai tahanan.
Penegakan hukum di Indonesia dalam menanggulangi ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang dirasakan debitur pailit yang ditahan dapat dilihat
dari peran LPSK Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan Komnas HAM. Pasalnya, dalam lampiran Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Nomor 2 Tahun 2014 tentang whistleblowing system atas dugaan pelanggaran di lembaga perlindungan saksi dan korban, salah satu pelanggaran hukum yang
dapat diadukan pada LPSK adalah perbuatan pejabat danatau pegawai yang
84
merugikan masyarakat dan tindakan sewenang-wenang. Dalam hal ini, apabila debitur pailit merasa tidak ada kepastian hukum bagi dirinya, ia dapat melapor ke
LPSK untuk meminta perlindungan hukum. Debitur pailit juga dapat melapor ke Komnas HAM, atas tindakan paksa
badan yang dikenakan pada dirinya. Dikenakannya paksa badan pada debitur yang tidak beritikad baik merupakan hal yang melanggar hak asasi manusia,
sebagaimana diketahui paksa badan adalah salah satu upaya untuk memaksa debitur memenuhi kewajibannya dengan jalan ditahansandera di suatu tempat
tertentu, sedangkan jelas di uraikan dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 ayat 2 bahwa tidak seorangpun atas putusan
pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang
piutang. Dalam praktiknya, sejak diberlakukannya UUK dan PKPU yang juga
mengatur mengenai paksa badan dan Perma Nomor 1 Tahun 2000, belum ada permohonan penahanan debitur pailit yang diajukan kreditur dikabulkan.
Beberapa permohonan yang telah dilayangkan baik melalui Majelis Hakim selalu ditolak. Kita bisa mengambil contoh dari suatu kasus yang pernah dibatalkan.
Mahkamah Agung dengan surat edaran SEMA Nomor 2 Tahun 1964, sejak tanggal 22 Januari 1964 tentang Penghapusan Sandera Gijzeling, melarang para
hakim rnenggunakan lembaga penyanderaangijzeling dalam penyelesaian perkara perdata dengan alasan tidak sesuai dengan perkemanusiaan. Perdebatan pro dan
kontra sekitar penerapan lernbaga gijzeling semakin membesar setelah Hakim
85
Bismar Siregar dari Pengadilan Jakarta Utara mengeluarkan penetapan gijzeling terhadap Mardjuki bin Dulkiran dalam perkara. Bahalludin melawan Mardjuki bin
I-I. Dulkiran Putusan Pengadilan Jakarta Utara- Timur N0. 1 1974 gijz. tanggal 27 Mei 1974.
Mahkamah Agung dalarn putusannya N0. 951kSip1974 tanggal 6 Februari Tahun 1975 yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama
dengan menyatakan bahwa hakim pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan hukumnya. Putusan ini dikuatkan dengan dengan dikeluarkannya
SEMA Nomor 4 Tahun 1975 yang pada prinsipnya menegaskan pelarangan bagi hakim untuk menerapkan gijzeling seperti yang diatur dalam Pasal 209 HIR 242
RBG dengan mendasarkan pada Pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang rnenyatakan
bahwa pelaksanaan putusan hakim itu tidak meninggalkan perikemanusiaan dan perikeadilan. Padahal gijzeling itu merupakan suatu bentuk perampasan terhadap
kebebasan bergerak seseorang.
71
Hal ini menyebabkan debitur pailit menjadi memandang sebelah mata terhadap ancaman penahanan yang diberikan. Belum adanya pelaksanaan nyata
penahanan terhadap debitur pailit yang tidak kooperatif membuktikan bahwa prosedur penahanan yang diatur dalam UUK Kepailitan dan PKPU maupun
Perma Nomor 1 Tahun 2000 belum efektif untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan penahanan, sehingga perlindungan hukum terhadap debitur pailit
terkait penahanan pun masih tersirat dan tidak dinyatakan secara jelas dalam
71
http:webcache.googleusercontent.comsearch?q=cache:C_AKYzcH1SIJ:i lib.ugm.ac.id jurnal download.php?dataId3D7027 +syarat syarat +lembaga +paksa+
badanhl=idgl=id diakses tangal 5 Februari 2015.
86
undang-undang ini sehingga perlindungan hukum terhadap debitur pailit yang ditahan harus diteliti dan dikaji dari sumber hukum lain selain UUK dan PKPU.
Ketidakefektifan dalam penagihan kewajiban debitur pailit disebabkan oleh belum ada peraturan secara sempurna yang mengatur tentang prosedur
pelaksanaannya dan perlindungan hukum terkait penahanan yang tertera jelas, belum dibuatnya peraturan khusus mengenai pelaksanaan dari penahanan terhadap
debitur yang tidak kooperatif tersebut. Sampai sekarang belum ada permohonan penahanan debitur yang dikabulkan, karena pengadilan niaga dalam melaksanakan
prosedur penahanan tidak dapat bertindak jika tidak ada dasar hukumnya, karena apabila dilaksanakan tanpa ada dasar hukum yang jelas, esensi dari Pengadilan
Niaga bisa diragukan karena dianggap subjektif dan sewenang-wenang dalam melaksanakan proses penahanan.
87
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan