Kesimpulan Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan

87 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun setelah menguraikan pembahasan daripada permasalahan tersebut diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1. Pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan salah satu hal yang dilakukan oleh kurator dengan diawasi oleh hakim pengawas untuk melunasi utangnya. Adapun kegiatan dalam pengurusan antara lain mengumumkan ikhwal kepailitan, melakukan penyegelan harta pailit, pencatatanpendaftaran harta pailit, melanjutkan usaha debitur, membuka surat-surat telegram debitur pailit, mengalihkan harta pailit, melakukan penyimpanan harta pailit, mengadakan perdamaian guna menjamin suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Sedangkan, pemberesan merupakan penguangan aktiva dimana pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitur pailit benar-benar dalam insolvensi setelah adanya putusan pernyataan pailit. 2. Ketentuan tentang penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit yang diatur dalam Pasal 93-96 UUK dan PKPU telah telah diatur cukup rinci mengatur tentang penahanan. Hal-hal yang diatur adalah prosedur umum penahanan, alasan pembebasan terhadap debitur pailit, penyebab ditahannya seorang debitur pailit dan pengecualian khusus pelepasan debitur sementara waktu. 88 3. Kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan debitur pailit dalam UUK dan PKPU dirasakan masih kurang, karena sering kali tidak muncul kepastian hukum dalam penerapannya. Hal ini disebabkan banyaknya ketentuan yang menimbulkan celah hukum, antara lain jangka waktu penahanan, kemampuan hakim yang bersifat subjektif dalam melaksanakan penahanan terhadap debitur pailit sehingga tidak adanya suatu standar penahanan selain yang diatur pada Pasal 95 UUK dan PKPU.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan diatas adalah: 1. Walaupun setelah adanya putusan pailit debitur tidak dapat lagi mengurusi hartanya, namun ia tetap harus bekerja sama dengan kurator dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit agar proses pengurusan dan pemberesan dapat berjalan dengan efektif, transparan dan lancar. 2. Pengaturan tentang pelaksanaan penahanan terhadap debitur pailit sebagai salah satu upaya agar debitur dapat dipaksa untuk bersikap kooperatif demi kelancaran pengurusan dan pemberesan harta pailit hendaknya diatur lebih mendetail dalam UUK dan PKPU agar pelaksanaan penahanan terhadap debitur pailit dapat memiliki legitimasi kuat, mempunyai kepastian hukum dan dapat diselenggarakan secara optimal. 89 3. Perlu adanya perbaikan terhadap ketentuan penahanan yang diatur dalam UUK dan PKPU sehingga ke depannya, kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan dapat lebih terlihat. 21

BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan

Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Kata pailit menandakan ketidakmampuan untuk membayar serang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo atau yang dikenal dalam bahasa Inggris dengan “banckrupty”. Sedangkan terhadap perusahaan debitur yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan insolvensi. 14 Konsep dasar kepailitan sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitur itu, sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna pembayaran utang-utangnya kepada semua kreditur, dan dibayar menurut perbandingan jumlah piutang masing -masing. 14 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis dan Kepailitan Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 62. 22 menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal di atas adalah: 15 1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua krediturnya secara ponds-ponds-gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama. 3. Tidak ada nomor urut dari para kreditur yang didasarkan atas saat timbulnya piutang-piutang mereka. Syarat-syarat permohonan pailit dinyatakan pada Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonann satu atau lebih krediturnya. Ketentuan di atas mensyaratkan bahwa untuk mempailitikan debitur harus: 1. Mempunyai 2 dua atau lebih kreditur; 15 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran Jakarta: Pradnya Paramita, 1974, hlm.7. 23 Keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. Syarat ini menegaskan bahwa dalam kepailitan dihindari sita individual, karena jika hanya terdapat 1 kreditur, maka tidak akan sesuai dengan eksistensi hukum kepailitan yang mengatur bagaimana cara membagi harta kekayaan debitur di antara para krediturnya. Fred B. G. Tumbuan berpendapat bahwa keharusan ini sesuai dengan Pasal 1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian kekayaan debitur di antara krediturnya harus dilaksanakan secara pari passu pro parte. 16 2. Tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; a. Pengertian “tidak membayar”; Pengertian tidak membayar dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu: 1 Insolvent tidak mampu membayar, adalah suatu keadaan dimana aset lebih kecil daripada utang. 2 Solvent mampu membayar namun tidak mau membayar, adalah suatu keadaan dimana perusahaan sehat, dimana aset lebih besar daripada utang. Yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan suatu debitur pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitur tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk 16 Fred B.G. Tumbuan, “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan yang diubah Perpu No. 11998”, Newsletter No. 33IXJuni1998 diakses pada tanggal 21 Oktober 2014. 24 ketidakmauan debitur untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang telah diperjanjikan. 17 b. Pengertian “lunas” Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU dalam perubahannya menambah kata “lunas” setelah kata “tidak membayar” untuk mengatasi kelemahan- kelemahan dalam praktek, seperti debitur yang sudah membayar tetapi tidak lunas tidak dapat dipailitkan, karena apabila jika pelunasannya lama, maka hal itu akan merugikan krediturnya. c. Pengertian “utang” Tidak adanya pengertian utang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 merupakan salah satu kekosongan yang terdapat dalam undang-undang ini. Kelemahan ini kemudian diperbaiki dalam UUK dan PKPU : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.” Secara normatif, makna utang di sini sangat luas. Utang yang terjadi bukan hanya karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit saja, tetapi juga kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian lainnya, antara lain seperti perjanjian sewa-menyewa, perjanjian jual beli, perjanjian pemborongan, perjanjian tukar-menukar, perjanjian 17 Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara Komentar Terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis,Vol 17, Januari 2002. 25 sewa-beli, dan lain-lain. Demikian juga halnya kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul karena undang-undang adalah utang. Misalnya pajak yang belum dibayar kepada negara adalah utang. Selain itu, kewajiban membayar uang berdasarkan putusan pengadilan termasuk putusan badan arbitrase yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap termasuk juga utang. 18 d. Pengertian “telah jatuh waktu dan dapat ditagih” Sutan Remy berpendapat bahwa pengertian “jatuh waktu” berbeda dengan “dapat ditagih”, dimana utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang telah expired dengan sendirinya, tetapi utang yang telah dapat ditagih belum tentu telah “jatuh waktu”. 19 Utang yang telah jatuh tempo, dapat terjadi karena beberapa hal, pertama, jatuh tempo biasa, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antar kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit; kedua, jatuh tempo yang dipercepat, yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasa karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga pernagihannya diakselerasi. Debitur diwajibkan mencicil utangnya setiap bulan termasuk bunga dan biaya-biaya lainnya. Apabila debitur tidak membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan berturut-turut, maka jatuh tempo dapat dipercepat; ketiga, jatuh tempo karena pengenaan sanksidenda oleh instansi yang berwenang; keempat, jatuh tempo karena 18 Syamsudin Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia Jakarta: Tianusa,2012, hlm.91. 19 Sultan Remi Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002, hlm. 63. 26 putusan pengadilan atau putusan badan arbitrase. Berdasarkan kebiasaan yang berlaku di antara debitur dan kreditur, atau dapat juga dipakai sebagai dasar jatuh tempo surat tegoran atau somasi. 20 Tidak semua utang dapat ditagih. Utang yang dapat ditagih adalah utang yang legal. Utang yang timbul berdasarkan perjanjian atau undang- undang. Bukan utang yang illegal utang yang timbul dengan cara melawan hukum tidak dapat ditagih melalui mekanisme dan prosedur hukum kepailitan. 21 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membentuk suatu peradilan khusus yang berwenang menangani perkara kepailitan, yaitu Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses permohonan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUK dan PKPU. Prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan dan panitera yang mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan. 2. Pemohon juga harus menyertakan berkas-berkas yang menjadi syarat-syarat pengajuan, antara lain: 22 a. Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga. b. Kartu advokat. 20 Syamsudin Sinaga, Op.Cit., hlm. 92. 21 Ibid, hlm. 93. 22 http:click-gtg.blogspot.com201001proses-permohonan-pernyataan-pailit-dan.html diakses pada tanggal 28 Februari 2015. 27 c. Bukti yang menunjukkan adanya perikatan perjanjian jual-beli, hutang- piutang, putusan pengadilan, commercial paper, faktur, kuitansi, dan lain- lain. d. Surat kuasa khusus. e. Tanda daftar perusahaan yang dilegalisir oleh kantor perdagangan. f. Perincian hutang yang tidak dibayar. g. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi disumpah jika menyangkut bahasa asing. h. Nama dan alamat masing–masing kreditur debitur. Sistematika surat permohonan pernyataan pailit pada dasarnya sama dengan surat gugatan biasa, hanya saja dalam kepailitan perlu ditambahkan pengangkatan kurator dan hakim pengawas. 3. Pengadilan akan mempelajari dan menetapkan hari sidang dalam tempo paling lambat 3 hari dan sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailiy diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Putusan atas permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 8 ayat 5 UUK dan PKPU, harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. 28

B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit