Penahanan Debitur Pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun

58 sesuai dengan patokan dan tidak memenuhi kewajiban membayar kembali utangnya padahal mampu untuk melakukannya. Perbedaan lainnya antara gijzeling yang diatur dalam HIR dan RBG dengan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 adalah bahwa adanya batasan umur yang dapat dikenakan yaitu maksimal harus berusia 75 tahun, sehingga debitur yang berusia diatas 75 tahun tidak dapat dikenakan meskipun beritikad buruk, sementara dalam HIR dan RBG tidak terdapat batasan umur Dalam prakteknya, pelaksanaan Perma Nomor 1 Tahun 2000 masih sulit dilakukan, walaupun Perma tersebut khususnya dalam Pasal 4 telah tegas menyatakan bahwa paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang tidak beritikad baik yang mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp 1.000.000.000,- satu milyar rupiah. Problematik yang utama adalah proses teknis pelaksanaan permohonan paksa badan masih tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan dan kekhawatiran bagi hakim pengawas untuk melaksanakannya. 58 Keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 dan keberadaannya pada hakikatnya bertujuan sebagai sarana kurator untuk mengikat debitur pailit agar beritikad baik sehingga proses pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat berjalan dengan baik dan cepat.

B. Penahanan Debitur Pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 58 Edward Malik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Bandung: CV. Bandar Maju, 2012, hlm. 118. 59 Dasar penahanan debitur pailit yang tidak kooperatif terdapat dalam Pasal 93 yang merupakan prosedur umum penahanan, Pasal 94 yang merupakan alasan pembebasan terhadap debitur pailit dan Pasal 95 merupakan penyebab ditahannya seorang debitur pailit. Mengenai penahanan debitur pailit ini diatur dalam Pasal 31, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 UUK dan PKPU. Sebelum putusan pailit diucapkan, seorang debitur juga dapat ditahan. Hal ini tertera dalam Pasal 31 ayat 1 UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur. Dalam pasal ini, penyanderaan yang dimaksud adalah penyanderaan pajak, bukan penyanderaan dalam kepailitan. Pasal 31 ayat 3 menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, debitur yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini berarti sebelum putusan pailit boleh dilakukan penahanan terkait kepailitan jika debitur melanggar ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000. Debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, menurut UUK dan PKPU dapat ditahan, sesuai dengan Pasal 93 ayat 1 yang menyatakan bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas,permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim 60 pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Kata “dapat” yang terdapat dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua debitur pailit dapat ditahan. Debitur pailit yang dapat ditahan berdasarkan undang-undang ini hanyalah debitur yang sesuai dengan ketentuan Pasal 95 UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa permintaan untuk menahan debitur pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat 1 dan ayat 2. Pasal 98 menyatakan bahwa sejak mulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Dalam pasal ini tersirat bahwa, jika debitur pailit menghalangi kurator dalam melaksanakan pengamanan terhadap harta pailit atau dalam kata lain tidak bersifat kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan aset, maka ia dapat ditahan. Pasal 110 UUK dan PKPU menyatakan bahwa: “1 Debitur Pailit wajib menghadap Hakim Pengawas, Kurator, atau panitia kreditur apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.. 2 Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit, istri atau suami yang dinyatakan pailit wajib memberikan keterangan mengenai semua perbuatan yang dilakukan oleh masing-masing terhadap harta bersama.” 61 Dalam pasal ini tertera bahwa debitur yang sudah dinyatakan pailit walaupun tidak dapat mengurusi harta pailitnya lagi, namun ia tetap diperlukan dalam kerja sama dalam rapat verifikasi, yaitu memberikan keterangan yang tepat pada kurator yang sedang menyusun catatan daftar utang. Pasal 121 berbunyi : “1 Debitur Pailit wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang, agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim Pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit. 2 Kreditur dapat meminta keterangan dari Debitur Pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui Hakim Pengawas. 3 Pertanyaan yang diajukan kepada Debitur Pailit dan jawaban yang diberikan olehnya, wajib dicatat dalam berita acara.” Jadi, dalam UUK dan PKPU dikenal 2dua jenis penahanan, yaitu penahanan yang wajib dikabulkan dan penahanan yang tidak wajib dikabulkan. Penahanan yang wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 95 UUK dan PKPU, dimana bila debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat 1 dan ayat 2, ia wajib ditahan. Ketentuan dalam Pasal 95 ini bersifat limitatif, karena hanya ketiga pasal ini Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat 1 dan ayat 2 yang membuat seorang debitur wajib ditahan jika melanggarnya dan frase “sebagaimana dimaksud dalam” menekankan bahwa undang-undang mengakui bahwa hanya pelanggaran terhadap 3 tiga pasal di atas yang dapat membuat permintaan penahanan seorang debitur pailit wajib dikabulkan. Sedangkan, penahanan yang tidak wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 93 ayat 1, dimana hakim pengadilan atas usul hakim pengawas,permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan. Usulan hakim pengawas danatau permintaan kreditur atau kurator tidak akan menyebabkan 62 seorang debitur pailit ditahan. Ditahan atau tidaknya debitur pailit tergantung kepada kebijakan hakim pengadilan itu sendiri, sehingga dalam hal ini penahanan didasarkan pada pemikiran hakim yang bersifat subjektif. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 94 ayat 1 dan 2 UUK dan PKPU, pengadilan juga berwenang melepas debitur pailit dari tahanan atas usul hakim pengawas atau atas permohonan dabitur pailit dengan jaminan uang dari pihak ketiga bahwa debitur pailit setiap waktu akan menghadap atas panggilan pertama dan jumlah uang jaminan tersebut ditetapkan oleh pengadilan dan apabila debitur pailit tidak dapat menghadap maka uang jaminan tersebut menjadi keuntungan harta pailit. Dan apabila dalam hal diperlukan kehadiran debitur pailit pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit maka apabila debitur berada didalam tahanan, debitur pailit dapat diambil dari tempat tahanan tersebut atas perintah hakim pengawas dan dilaksanakan oleh kejaksaan, sesuai dengan Pasal 96 ayat 1 dan 2 UUK dan PKPU. Namun, dengan dilepasnya debitur pailit bukan berarti bahwa dia dapat melakukan apa saja, ia dikenakan larangan untuk meninggalkan tempat kediamannya. Pencekalan ini berlaku demi hukum ketika putusan pailit diputuskan. Pencekalan dalam bidang kepailitan ini berarti pihak debitur tidak boleh meninggalkan tempat kediaman baik untuk berangkat ke luar negeri atau tidak, kecuali jika hakim pengawas memberikan izin untuk itu. Selama kepailitan, debitur pailit tidak diperbolehkan meninggalkan domisilinya atau tempat tinggalkediaman debitur pailit tersebut tanpa izin dari hakim pengawas, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 UUK dan PKPU, hal ini juga sebagai upaya agar debitur pailit tidak menyulitkan apabila debitur pailit 63 diperlukan kehadirannya untuk kepentingan pemeriksaan serta agar debitur pailit tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kreditur. Sebelum adanya undang-undang kepailitan, kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili permohonan kepailitan ada pada peradilan umum namun setelah dibentuknya Pengadilan Niaga, kewenangan peradilan umum dalam menerima, memeriksa dan mengadili berpindah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 sebagaimana diubah pada Pasal 300 ayat 1 UUK dan PKPU, yang menyatakan bahwa dengan ketentuan ini, semua permohonan penyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang ini, hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga. Dengan kata lain, UUK dan PKPU hanya mengatakan bahwa penahanan hanya dikenakan jika debitur meninggalkan tempat tinggalnya dengan tanpa meminta izin dari hakim pengawas dan tidak menjadi permasalahan bila telah meminta izin hakim pengawas, kedua bila tidak hadir memberi keterangan jika dipanggil dan ketiga tidak hadir dalam rapat pencocokan piutang. Permohonan paksa badan hanya wajib dikabulkan berdasarkan UUK dan PKPU tersebut hanya jika debitur tidak memenuhi syarat adminsitratif dan tidak kooperatif selama masa pengawasan hakim maupun kurator dan bukan karena keengganan atau kesengajaan debitur untuk tidak melunasi utang-utangnya. 64

C. Akibat Hukum Penahanan Debitur Pailit terhadap Pengurusan dan