Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

(1)

Daftar Pustaka A. Buku

Apeldoorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua Puluh Empat. Jakarta: Pradnya Pratama, 1983.

Arifin, Syamsul. Pengantar Falsafah Hukum. Bandung: Cipustaka Media, 2014. Fuady, Munir. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2010.

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan Edisi Revisi. Malang: UMM Press, 2007. Huizink, MR. J. B. Insolventie, alih bahasa Linus Dolujawa. Jakarta: Pusat Studi

Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Kartono. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.

Malik, Edward. Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan. Bandung: CV. Bandar Maju, 2012.

M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Nating, Imran. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan. Bandung: Nuansa Aulia, 2006.

Sinaga, Syamsudin. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: Tianusa,2012.

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ketujuh, Ed. Pertama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

ST Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Sudikno. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2002.


(2)

Sunarmi. Hukum Kepailitan Edisi 2. Medan: PT. Sofmedia, 2010.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Cet. Kedua, Ed. Pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.

Syahdeini, Sultan Remi. Hukum Kepailitan, Memahami Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis dan Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

B. Karya Tulis Ilmiah

Fence M. Wantu. “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”. Jurnal Berkala Mimbar Hukum,Vol.19 No.3 Oktober 2007. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Erman Rajagukguk, Erman. “Bagaimana Penahanan Bisa Dianggap Positif” . Wijayanta, Tata. “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam

Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

C. Peraturan-Peraturan

Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Acara Pidana. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia. PERMA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


(3)

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Republik Indonesia. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2014 tentang whistleblowing system atas dugaan pelanggaran di lembaga perlindungan saksi dan korban.

D. Website

Mekanisme Proses Penahanan dalam Hukum Pidana.

Mulyasi W. “Gizeling dalam Perkara Pajak”. http://eprints.undip.ac.id /15739 /1 / Mulyatsih_Wahyumurti.pdf (diakses pada tanggal 30 Desember 2014).

Pramudya, Kelik .“Hukum Kepailitan di Indonesia”. Oktober 2014).

Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli. (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).

Penyelesaian Hutang-Piutang dengan Paksa Badan.

Perlindungan Hukum Esensial. (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).

Permohonan Gizjeling dalam Perkara Kepailitan.

Simanjuntak, Ricardo. “Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan Dalam Perspektif Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan”. Artikel Utama, Jurnal Hukum Bisnis Vol 17, Januari 2002 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014).

Syarat Lembaga Paksa Badan. http://webcache.googleusercontent.comsearch?q=cache:C_AKYzcH1SIJ:i


(4)

lib.ugm.ac.id / jurnal /download.php?dataId%3D7027 +syarat syarat +lembaga +paksa+ badan&hl=id&gl=id (diakses pada tanggal 5 Februari 2015).

Tumbuan, Fred B.G.. “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan yang diubah Perpu No. 1/1998”. Newsletter No. 33/IX/Juni/1998 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014).

Universitas Indonesia. “Penerapan Gijzeling dalam Perpajakan”. www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124628SK.Analisis.pdf (diakses tanggal 27 Januari 2015).


(5)

BAB III

PENGATURAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM KEPAILITAN

A. Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam Kepailitan

Walaupun debitur pailit telah kehilangan hak untuk mengurusi harta pailitnya, namun ia tetap harus bekerja sama dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit agar semua proses dapat berjalan dengan baik. Namun, kadang kala terdapat debitur pailit yang tidak beritikad baik, seperti enggan melunasi utang-utangnya, berusaha menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri, sehingga menyebabkan terhambatnya proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Debitur pailit yang tidak beritikad baik seperti inilah yang dapat ditahan.

Penahanan dalam kepailitan selain mengacu pada ketentuan yang ada dalam UUK dan PKPU, juga diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Namun apabila ketentuan penahanan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 bertentangan dengan ketentuan dalam UUK dan PKPU, ketentuan dalam UUK dan PKPU-lah yang akan digunakan, karena sesuai dengan hierarki perundang-undangan, undang-undang lebih kuat kedudukannya dibanding Perma.

Lembaga paksa badan atau istilahnya disebut gijzeling merupakan lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya. Menurut R. Susilo, gijzeling adalah penahanan pihak yang kalah di dalam lembaga permasyarakatan dengan maksud untuk memaksanya supaya memenuhi putusan hakim gijzeling


(6)

dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk memenuhi kewajibannya. Yang dimaksud paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan debitur yang beritikad tidak baik ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.56

Perlu diketahui pula, paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat kewajiban yang tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), dapat mengajukan permohonan penetapan paksa badan.

Dahulu, lembaga gizjeling (penyanderaan) pernah dibekukan oleh Mahkamah Agung dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975. Alasan dibekukannya gijzeling adalah karena dinilai bertentangan dengan HAM. Saat itu gijzeling menjadi alat untuk memaksa secara fisik dan yang sering menjadi korban adalah debitur dari kalangan rakyat yang benar-benar tak mampu melunasi utangnya. Pada masa itu, gizjeling diartikan sebagai penyanderaan. Namun, karena dipandang tidak tepat karena tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tapi tidak mau memenuhi kewajibannya dalam membayar utang, dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan, penerjemahannya pun disempurnakan menjadi paksa badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian Imprisonment for Civil Debts yang berlaku secara universal.

56


(7)

Setelah dibentuknya Perma Nomor 1 Tahun 2000, gizjeling (paksa badan) tetap berlaku dalam bidang kepailitan (namun dalam UUK dan PKPU dikenal dengan sebutan penahanan) dan dapat diterima oleh Pengadilan Niaga apabila ada alasan untuk itu dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Lembaga paksa badan (gijzeling) merupakan salah satu lembaga yang dikenal dalam hukum untuk proses penegakan hukum. Penegakan hukum melalui lembaga sandera secara umum di bidang hukum perdata dapat dilihat di Perma Nomor 1 Tahun 2000. Ada dua hal yang patut dicermati dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 ini, yaitu:57

a. Gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secara psikis diberlakukan terhadap debitur untuk melunasi utang pokok;

b. Gijzeling sebagai upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang debitur nakal ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan pengadilan. Debitur nakal dimaksud adalah penjamin utang yang dapat diperluas penunggak pajak yang mampu tetapi tidak mau membayar utangnya.

Putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan pokok perkara, demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2000. Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan terhadap debitur yang bersangkutan. Namun sepanjang kewajiban debitur

57

Mulyasi W, “Gizeling dalam Perkara Pajak”, http://eprints.undip.ac.id /15739 /1 / Mulyatsih_Wahyumurti.pdf (diakses pada tanggal 30 Desember 2014).


(8)

didasarkan atas pengakuan utang, menurut Pasal 7, paksa badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri.

Penahanan bagi debitur pailit ini ditetapkan : a. Dalam putusan pailit;

b. Setiap waktu dalam putusan pailit.

Penahanan tersebut dilaksanakan oleh pihak kejaksaan, di tempat-tempat sebagai berikut :

a. Dalam penjara; atau b. Di rumah tahanan.

c. Di rumah seorang kreditur.

Pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang tidak beritikad baik dijalankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 sampai 224 HIR atau pasal 242 sampai dengan 258 RBg. Adapun penjabaran kedua pasal tersebut adalah :

a. Jika tidak ada atau tidak cukup barang guna menjalankan putusan maka atas permintaan pihak yang menang dalam perkara tersebut baik secara lisan maupun dengan surat kepada orang yang berwenang untuk menjalankan surat sita agar yang berutang tersebut disanderakan.

b. Lamanya orang yang berutang dapat disanderakan dalam surat perintah itu mengenai lamanya waktu ia disandera.

Adapun penjabaran pasal-pasal lainnya dalam HIR dan RBg berkaitan dengan lembaga paksa badan atau penyanderaan adalah:


(9)

1) Penyanderaan dilakukan selama 6 bulan lamanya jika ia dihukum membayar sampai Rp 100 Pasal 244 RBg (Seratus rupiah) dan selama 1 tahun jika lebih dari Rp100 sampai dengan Rp 300 dan selama 2 tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 300 sampai dengan Rp 500 dan selama 3 tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 500. 2) Biaya perkara tidak termasuk ke dalam uraian jumlah tersebut diatas.

Mengenai lama penyanderaan sebagaimana yang dimaksud dalam HIR/RBg demikian juga yang terdapat dalam Perma, Hakim Bismar Siregar berpendapat bahwa lama penyanderaan disesuaikan dengan besarnya kewajiban yang harus dilunasi pihak yang kalah.

b. Pasal 244 RBg

Penyanderaan terhadap orang-orang yang telah berumur lebih dari enam puluh lima tahun, hanya diperbolehkan menurut peraturan-peraturan yang ada atau yang akan dikeluarkan nanti.

c. Pasal 211 HIR/Pasal 245 RBg

Anak dan turunan kebawah sekali-kali tidak dapat memerintahkan penyanderaan kepada keluarganya sedarah dan keluarga semenda dalam turunan keatas.

d. Pasal 212 HIR/Pasal 246 RBg Terhadap orang yang berutang yang tidak dapat disanderakan :

1) Di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan keagamaan selama ada kebaktian.


(10)

2) Didalam tempat dimana kekuasaan umum bersidang dan selama ada persidangan.

Pasal 212 HIR memberi batasan negatif, bahwa seseorang tidak dapat disanderakan di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan ibadah agama, selama ada kebaktian dan pada tempat-tempat di mana kuasa umum bersidang.

e. Pasal 213 HIR/Pasal 247 RBg

1) Jika orang yang berutang itu mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan penyanderaan itu berdasarkan pernyataan bahwa perbuatan itu melanggar hukum dan atas itu dia minta keputusan itu dengan segera, maka dia harus memasukkan surat kepada ketua pengadilan negeri yang memerintahkan penyanderaan itu atau jika orang itu menghendaki agar dia dibawa menghadap pegawai dalam kedua hal itu harus diputuskan dengan segera, layak tidaknya orang yang berutang itu disanderakan dahulu sambil menunggu keputusan pengadilan negeri.

2) Pasal 128 ayat ke 4, 6 dan 7 HIR dan Pasal 252 ayat 5, 7 dan 8 RBG berlaku pula dalam hal ini.

3) Jika orang yang berutang mengajukan perlawanan dengan surat maka dapatlah dia dijaga agar tidak melarikan diri sambil menunggu keputusan dari ketua

4) Jika jaksa yang dikuasakan telah memerintahkan penyanderaan, maka dia mengirimkan surat permohonan penyanderaan tersebut atau jika


(11)

penyanderaan dimohonkan secara lisan maka catatan mengenai itu beserta penetapannya kepada ketua pengadilan negeri.

f. Pasal 214 HIR/Pasal 248 RBg

Orang yang berutang yang tidak mengajukan perlawanan atau yang perlawanannya ditolak dengan segera harus dibawa kedalam penjara tempat penyanderaan.

g. Pasal 249 ayat (1) RBg

Pegawai yang melaksanakan putusan guna penyanderaan dapat menyandera setelah memperlihatkan surat perintah akan menyandera kepada jaksa dan menuliskan hal itu pada surat perintah itu.

Paksa badan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 ini berbeda dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitur mampu, tetapi membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitur "kelas kakap" yang mempunyai utang sekurangnya Rp 1.000.000.000 (Satu miliar rupiah).

Perbedaan mendasar antara penyanderaan dengan paksa badan adalah bahwa setiap atau semua debitur dapat diperintahkan menjalani penyanderaan /paksa badan bila tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan dalam putusan pengadilan. Kriteria gijzeling apabila harta kekayaan tidak ada atau tidak cukup membayar kewajibannya. Sementara dalam ketentuan paksa badan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 tidak ditimpakan dan diterapkan terhadap setiap atau semua debitur tetapi hanya diperlakukan terhadap debitur tertentu


(12)

sesuai dengan patokan dan tidak memenuhi kewajiban membayar kembali utangnya padahal mampu untuk melakukannya.

Perbedaan lainnya antara gijzeling yang diatur dalam HIR dan RBG dengan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 adalah bahwa adanya batasan umur yang dapat dikenakan yaitu maksimal harus berusia 75 tahun, sehingga debitur yang berusia diatas 75 tahun tidak dapat dikenakan meskipun beritikad buruk, sementara dalam HIR dan RBG tidak terdapat batasan umur

Dalam prakteknya, pelaksanaan Perma Nomor 1 Tahun 2000 masih sulit dilakukan, walaupun Perma tersebut khususnya dalam Pasal 4 telah tegas menyatakan bahwa paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang tidak beritikad baik yang mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Problematik yang utama adalah proses teknis pelaksanaan permohonan paksa badan masih tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan dan kekhawatiran bagi hakim pengawas untuk melaksanakannya.58

Keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 dan keberadaannya pada hakikatnya bertujuan sebagai sarana kurator untuk mengikat debitur pailit agar beritikad baik sehingga proses pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat berjalan dengan baik dan cepat.

B. Penahanan Debitur Pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

58

Edward Malik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan (Bandung: CV. Bandar Maju, 2012), hlm. 118.


(13)

Dasar penahanan debitur pailit yang tidak kooperatif terdapat dalam Pasal 93 yang merupakan prosedur umum penahanan, Pasal 94 yang merupakan alasan pembebasan terhadap debitur pailit dan Pasal 95 merupakan penyebab ditahannya seorang debitur pailit. Mengenai penahanan debitur pailit ini diatur dalam Pasal 31, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 UUK dan PKPU.

Sebelum putusan pailit diucapkan, seorang debitur juga dapat ditahan. Hal ini tertera dalam Pasal 31 ayat (1) UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur. Dalam pasal ini, penyanderaan yang dimaksud adalah penyanderaan pajak, bukan penyanderaan dalam kepailitan.

Pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, debitur yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini berarti sebelum putusan pailit boleh dilakukan penahanan terkait kepailitan jika debitur melanggar ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000.

Debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, menurut UUK dan PKPU dapat ditahan, sesuai dengan Pasal 93 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas,permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim


(14)

pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas.

Kata “dapat” yang terdapat dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua debitur pailit dapat ditahan. Debitur pailit yang dapat ditahan berdasarkan undang-undang ini hanyalah debitur yang sesuai dengan ketentuan Pasal 95 UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa permintaan untuk menahan debitur pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 98 menyatakan bahwa sejak mulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Dalam pasal ini tersirat bahwa, jika debitur pailit menghalangi kurator dalam melaksanakan pengamanan terhadap harta pailit atau dalam kata lain tidak bersifat kooperatif dalam pengurusan dan pemberesan aset, maka ia dapat ditahan.

Pasal 110 UUK dan PKPU menyatakan bahwa: “(1) Debitur Pailit wajib menghadap Hakim Pengawas, Kurator, atau panitia kreditur apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.. (2) Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit, istri atau suami yang dinyatakan pailit wajib memberikan keterangan mengenai semua perbuatan yang dilakukan oleh masing-masing terhadap harta bersama.”


(15)

Dalam pasal ini tertera bahwa debitur yang sudah dinyatakan pailit walaupun tidak dapat mengurusi harta pailitnya lagi, namun ia tetap diperlukan dalam kerja sama dalam rapat verifikasi, yaitu memberikan keterangan yang tepat pada kurator yang sedang menyusun catatan daftar utang.

Pasal 121 berbunyi : “(1) Debitur Pailit wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang, agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim Pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit. (2) Kreditur dapat meminta keterangan dari Debitur Pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui Hakim Pengawas. (3) Pertanyaan yang diajukan kepada Debitur Pailit dan jawaban yang diberikan olehnya, wajib dicatat dalam berita acara.”

Jadi, dalam UUK dan PKPU dikenal 2(dua) jenis penahanan, yaitu penahanan yang wajib dikabulkan dan penahanan yang tidak wajib dikabulkan. Penahanan yang wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 95 UUK dan PKPU, dimana bila debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2), ia wajib ditahan. Ketentuan dalam Pasal 95 ini bersifat limitatif, karena hanya ketiga pasal ini (Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2)) yang membuat seorang debitur wajib ditahan jika melanggarnya dan frase “sebagaimana dimaksud dalam” menekankan bahwa undang-undang mengakui bahwa hanya pelanggaran terhadap 3 (tiga) pasal di atas yang dapat membuat permintaan penahanan seorang debitur pailit wajib dikabulkan.

Sedangkan, penahanan yang tidak wajib dikabulkan diatur dalam Pasal 93 ayat (1), dimana hakim pengadilan atas usul hakim pengawas,permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan. Usulan hakim pengawas dan/atau permintaan kreditur atau kurator tidak akan menyebabkan


(16)

seorang debitur pailit ditahan. Ditahan atau tidaknya debitur pailit tergantung kepada kebijakan hakim pengadilan itu sendiri, sehingga dalam hal ini penahanan didasarkan pada pemikiran hakim yang bersifat subjektif.

Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 94 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU, pengadilan juga berwenang melepas debitur pailit dari tahanan atas usul hakim pengawas atau atas permohonan dabitur pailit dengan jaminan uang dari pihak ketiga bahwa debitur pailit setiap waktu akan menghadap atas panggilan pertama dan jumlah uang jaminan tersebut ditetapkan oleh pengadilan dan apabila debitur pailit tidak dapat menghadap maka uang jaminan tersebut menjadi keuntungan harta pailit. Dan apabila dalam hal diperlukan kehadiran debitur pailit pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit maka apabila debitur berada didalam tahanan, debitur pailit dapat diambil dari tempat tahanan tersebut atas perintah hakim pengawas dan dilaksanakan oleh kejaksaan, sesuai dengan Pasal 96 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU. Namun, dengan dilepasnya debitur pailit bukan berarti bahwa dia dapat melakukan apa saja, ia dikenakan larangan untuk meninggalkan tempat kediamannya. Pencekalan ini berlaku demi hukum ketika putusan pailit diputuskan. Pencekalan dalam bidang kepailitan ini berarti pihak debitur tidak boleh meninggalkan tempat kediaman baik untuk berangkat ke luar negeri atau tidak, kecuali jika hakim pengawas memberikan izin untuk itu.

Selama kepailitan, debitur pailit tidak diperbolehkan meninggalkan domisilinya atau tempat tinggal/kediaman debitur pailit tersebut tanpa izin dari hakim pengawas, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 UUK dan PKPU, hal ini juga sebagai upaya agar debitur pailit tidak menyulitkan apabila debitur pailit


(17)

diperlukan kehadirannya untuk kepentingan pemeriksaan serta agar debitur pailit tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kreditur.

Sebelum adanya undang-undang kepailitan, kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili permohonan kepailitan ada pada peradilan umum namun setelah dibentuknya Pengadilan Niaga, kewenangan peradilan umum dalam menerima, memeriksa dan mengadili berpindah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 sebagaimana diubah pada Pasal 300 ayat (1) UUK dan PKPU, yang menyatakan bahwa dengan ketentuan ini, semua permohonan penyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang ini, hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga.

Dengan kata lain, UUK dan PKPU hanya mengatakan bahwa penahanan hanya dikenakan jika debitur meninggalkan tempat tinggalnya dengan tanpa meminta izin dari hakim pengawas dan tidak menjadi permasalahan bila telah meminta izin hakim pengawas, kedua bila tidak hadir memberi keterangan jika dipanggil dan ketiga tidak hadir dalam rapat pencocokan piutang. Permohonan paksa badan hanya wajib dikabulkan berdasarkan UUK dan PKPU tersebut hanya jika debitur tidak memenuhi syarat adminsitratif dan tidak kooperatif selama masa pengawasan hakim maupun kurator dan bukan karena keengganan atau kesengajaan debitur untuk tidak melunasi utang-utangnya.


(18)

C. Akibat Hukum Penahanan Debitur Pailit terhadap Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Segala putusan hukum yang dijatuhkan terhadap debitur pailit akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.

Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Salah satu akibat hukum yang timbul setelah adanya putusan pailit adalah berkaitan dengan penahanan debitur pailit.

Hak pengadilan untuk menahan debitur pailit muncul jika dalam proses pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit, debitur bersifat tidak kooperatif, yang ketentuan mengenai penahanan diatur dalam Pasal 93-96 UUK dan PKPU, sedangkan kewajiban pengadilan dalam melaksanakan penahanan terhadap debitur pailit adalah mengikuti prosedur penahanan yang telah diatur dalam UUK dan PKPU sehingga dapat memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada debitur pailit.


(19)

Kewajiban untuk menjalani penahanan harus dilaksanakan oleh debitur pailit jika debitur beritikad tidak baik dalam proses pengurusan dan pemberesan dan hak debitur pailit yang ditahan adalah mendapatkan perlakuan yang layak dan ditahan sesuai dengan prosedur penahanan dalam UUK dan PKPU, sehingga tidak terjadi penyelewengan hukum yang dapat menimbulkan kerugian pada debitur pailit.

Penahanan dalam perdata adalah paksa badan. Walaupun yang dimaksud penahanan dalam UUK dan PKPU adalah paksa badan, namun terminologi yang digunakan dalam UUK dan PKPU adalah penahanan. Penahanan ditujukan kepada debitur pailit yang beritikad tidak baik sehingga debitur dapat dipaksa untuk bersikap koopratif dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Secara prinsipnya, penahanan mempermudah pengurusan harta pailit, karena debitur pailit akan menjadi lebih mudah ditemui jika diperlukan keterangan atau bantuannya dalam hal pengurusan dan pemberesan. Selain itu, kurator merupakan salah satu pihak yang dapat mengajukan permintaan penahanan, sehingga menurutnya apabila debitur pailit ditahan, hal ini akan memudahkan proses pengurusan dan pemberesan. Namun, ketika seorang debitur pailit ditahan, pengurusan dan pemberesan harta pailit pasti akan terkena dampaknya. Akibat-akibat hukum yang muncul karena adanya penahanan terhadap debitur pailit antara lain:

1. Menurut Pasal 69 ayat (2) huruf a, dalam melaksanakan tugasnya, kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor,


(20)

meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. Dengan ditahannya debitur pailit, kurator akan lebih mudah menemui debitur pailit jika diperlukan pemberitahuan atau persetujuan, karena debitur dapat tetap ditemui di suatu tempat, sehingga proses pengurusan dan pemberesan dapat cepat diselesaikan.

2. Menurut Pasal 77 ayat (1) UUK dan PKPU, setiap kreditur, panitia kreditur, dan debitur pailit dapat mengajukan surat keberatan kepada hakim pengawas terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kurator atau memohon kepada hakim pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar kurator melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah direncanakan. Bila seorang debitur pailit ditahan, debitur tentu tidak dapat mengajukan surat keberatan kepada hakim pengawas karena debitur sedang berada dalam tahanan dan tidak mengetahui keadaan pasti dan perkembangan pengurusan dan pemberesan, kecuali ketika diperlukan, debitur dapat dikeluarkan sementara atas izin hakim pengawas. Pengeluaran sementara waktu debitur tidak akan membuat seorang debitur mengetahui secara jelas perbuatan apa saja yang dilakukan kurator dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit.

3. Menurut Pasal 179 ayat (1), jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, kurator atau kreditur yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan. Bila debitur pailit ditahan, debitur pun tidak dapat lagi melanjutkan perusahannya sampai masa


(21)

penahanannya abis atau debitur dilepas dengan uang jaminan, sehingga ia tidak bisa menambah aset pailitnya. Padahal jika debitur masih aktif bekerja, debitur tentu bisa mendapatkan dana tambahan sehingga meringankan utang pailitnya sampai hakim pengawas memerintahkan kelanjutan perusahaan dihentikan, dimana dalam hal ini debitur pailit juga dapat memberikan usulnya pada hakim pengawas.

4. Menurut Pasal 186 UUK dan PKPU, untuk keperluan pemberesan harta pailit, kurator dapat menggunakan jasa debitur pailit dengan pemberian upah yang ditentukan oleh hakim pengawas. Jika debitur diberi upah, upah ini dapat ditambah ke dalam harta pailit sehingga dapat meringankan sedikit utang-utangnya. Dengan ditahannya seorang debitur pailit, debitur menjadi tidak dapat membantu kurator apabila diperlukan dalam proses pemberesan. Hal ini juga menyebabkan debitur selain tidak mendapatkan tambahan upah.

Bila dikaitkan dengan upaya penahanan, hakim pengawas dapat melepaskan debitur pailit dari tahanan dengan atau tanpa memberikan uang jaminan (yang jumlahnya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga) sebagai jaminan bahwa atas panggilan yang pertama si debitur pailit tersebut dapat datang untuk menghadap. Apabila debitur tidak datang untuk menghadap, uang jaminan tersebut akan menjadi keuntungan harta pailit, sehingga akan mengurangi sedikit beban dari harta pailit. Walaupun debitur pailit telah dilepas, bukan berarti ia dapat melakukan segala sesuatu sesukanya. Pencekalan dalam bidang hukum ini berarti pihak debitur tidak boleh meninggalkan tempat kediaman baik untuk berangkat ke luar negeri atau tidak, kecuali jika hakim pengawas bisa memberikan


(22)

izin untuk itu. Bila debitur pailit telah dilepas, maka debitur pailit harus bersifat kooperatif agar memudahkan proses pengurusan dan pemberesan, karena apabila debitur pailit beritikad tidak baik lagi, ia dapat kembali ditahan.

BAB IV

KEPASTIAN HUKUM DALAM IMPLEMENTASI KETENTUAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

37 TAHUN 2004

A. Asas Kepastian Hukum dalam Kepailitan

Asas, dalam pengertian sehari-hari, sering disebut sebagai prinsip, dasar, landasan, acuan, dan sebagainya. Secara etimologi kata, asas ini dapat diterangkan sebagai berikut:59

1. Dasar, alas, pondamen ; misalnya batu yang baik untuk rumah.

2. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya; misalnya : bertentangan dengan asas hukum pidana ; pada asasnya saya setuju dengan usul saudara)

3. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya: membicarakan asas dan tujuannya).

Teh Liang Gie sebagaimana dikutip oleh Sudikno,60

59

Syamsul Arifin, Pengantar Falsafah Hukum (Bandung: Cipustaka Media,2014), hlm. 102.

berpendapat bahwa, Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa

60

Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2002), hlm. 34.


(23)

menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

Kedudukan asas dalam hukum, menurut C.W.Paton, adalah sebagai suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma hukum. Namun, Mahadi menjelaskan bahwa rumusan asas seperti yang dihidangkan oleh Paton memberikan kesan seolah-oleh tiap norma hukum dapat dikembalikan kepada asas, padahal kesan ini tidak beralasan.61 Namun, pada umumnya, suatu norma itu tetap mempunyai asas yang melandasinya. Asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk- petunjuk bagi hukum yang berlaku. Fungsi-fungsi asas hukum antara lain:62

1. Perundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum sebagai pedoman bagi kerjanya.

2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan asas-asas hukum.

3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan analogi.

4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan, karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanya.

61

Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm.103.

62


(24)

Ajaran Cita Hukum (Idee desRecht) menyebutkan adanya tiga unsur cita hukum yang harus ada secara proporsional, yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (zweckmasigkeit). Sekiranya dikaitkan dengan teori penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch dalam idee des recht yaitu penegakan hukum harus memenuhi ketiga asas tersebut.63

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertujuan agar perkara kepailitan dapat diselesaikan secara lebih cepat, adil dan terbuka. Selain itu, undang-undang ini juga memberikan perlindungan hukum kepada pihak kreditur dan pihak debitur. Pihak kreditur dapat memperoleh perlunasan secara proporsional dan mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur, sedangkan pihak debitur dapat tetap melanjutkan usahanya.

Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.

Untuk mencapai tujuan tersebut, UUK dan PKPU melaksanakan beberapa prinsip dalam penyelesaian perkara kepailitan di pengadilan. Prinsip-prinsip tersebut merangkumi 5 (lima) hal, yaitu prinsip keadilan, prinsip penjatuhan pailit bukan sebagai ultimun remidium, prinsip dapat diketahui oleh masyarakat umum (terbuka), prinsip penyelesaian perkara secara cepat, dan prinsip pembuktian secara sederhana.

63

Lihat Fence M. Wantu,“Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”,Jurnal

Berkala Mimbar Hukum,Vol.19, Nomor 3 Oktober 2007,Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas


(25)

Berdasarkan pengaturan dalam UUK dan PKPU, ketiga unsur penegakan hukum tersebut telah terakomodasi dalam undang-undang tersebut. Konsep kepastian hukum tersimpul dalam prinsip penyelesaian perkara secara cepat dan prinsip pembuktian secara sederhana. Unsur keadilan dalam penegakan hukum tercermin dalam asas keadilan, sedangkan unsur kemanfaatan dapat dilihat sebagaimana asas penjatuhan pailit sebagai cara paling akhir (ultimum remidium) penyelesaian utang dan prinsip boleh diketahui oleh masyarakat umum (terbuka).64

Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini. Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal ini untuk tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Kepastian hukum yaitu adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret.65

Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum juga dapat tersimpul dari syarat kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Dalam ketentuan ini menyebutkan bahwa bahwa debitur yang mempunyai dua

64

Lihat Tata Wijayanta,“Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 Nomor 2 Mei 2014, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 4.

65

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua Puluh Empat (Jakarta : Pradnya Pratama), hlm. 24-25.


(26)

atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tersebut kepastian hukum terhadap orang yang dijatuhi pailit jika telah memenuhi adanya tiga syarat, yaitu harus ada utang; salah satu dari utang telah cukup waktu dan dapat ditagih; dan debitur mempunyai sekurang-kurangnya dua atau lebih kreditur.

Syarat kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU ini memang sangat sederhana. Debitur dengan kemampuan membayar utang dapat dipailitkan oleh pengadilan ketika ketiga syarat kepailitan yaitu harus ada utang; salah satu dari utang telah cukup waktu dan dapat ditagih; dan debitur mempunyai sekurang-kurangnya dua atau lebih kreditur secara normatif terpenuhi.

B. Ketentuan Mengenai Syarat Penahanan Debitur Pailit

Penahanan dalam kepailitan bukan merupakan penahanan dalam ranah pidana tapi merupakan penahanan dalam perdata yaitu gizjeling (paksa badan) yang dikenal dengan penahanan dalam UUK dan PKPU. Oleh karena itu, penahanan debitur pailit selain diatur dalam UUK dan PKPU, juga diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000. Pengaturan mengenai penahanan debitur pailit dapat merujuk pada Perma Nomor 1 Tahun 2000, apabila tidak diatur dalam UUK dan PKPU, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya (UUK dan


(27)

PKPU). Namun, apabila terdapat pengaturan yang bertentangan, hakim harus bertindak berdasarkan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUK dan PKPU.

Ketentuan mengenai syarat penahanan debitur pailit pun dapat dilihat dari UUK dan PKPU. Dalam UUK dan PKPU, seorang debitur pailit dapat ditahan dengan syarat-syarat penahanan:

1. Syarat formil

Syarat formil penahanan seorang debitur pailit tertera dalam Pasal 93 UUK dan PKPU, yang mencakup :

a. Pengadilan dapat melakukan penahanan setiap waktu setelah putusan pailit.

b. Penahanan diusulkan oleh hakim pengawas, permintaan kurator atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih.

2. Syarat materil

a. Permintaan penahanan yang wajib dikabulkan diatur pada Pasal 95 UUK dan PKPU, dimana penahanan diwajibkan pada debitur beritikad tidak baik yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dalam maksud Pasal 98, Pasal 110 atau Pasal 121 ayat (1) dan (2) :

1) Debitur berupaya tidak bersikap kooperatif dengan kurator dan atau berupaya menghilangkan harta pailit seperti semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik debitur.

2) Debitur pailit tidak menghadap untuk memberikan keterangan kepada hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditur meskipun telah dipanggil secara resmi, patut dan layak.


(28)

3) Debitur pailit tidak hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang. Pasal 95 bersifat limitatif, artinya di luar dari ketiga pasal di atas, hakim pengadilan dapat memutuskan untuk menahan seorang debitur pailit, namun hal itu bukan merupakan suatu keharusan.

b. Permintaan penahanan dapat dikabulkan apabila menurut pendapat hakim pengadilan, penahanan itu diperlukan. Pendapat hakim dalam rangka memutuskan penahan bersifat subjektif dan tidak dapat dituntut.

Berbeda dengan ketentuan dalam UUK dan PKPU, persyaratan paksa badan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 terdiri dari :

1. Syarat formil

a. Paksa badan terhadap debitur pailit ditetapkan oleh pengadilan.

b. Paksa badan dapat dikabulkan atas permintaan pihak yang menang dalam perkara tersebut, baik secara lisan maupun tulisan kepada orang yang berwenang untuk menjalankan surat sita agar yang berutang tersebut dapat disandera. Hal ini berdasarkan bunyi Pasal 209 HIR, dimana dalam Pasal 2 Perma Nomor 1 Tahun 2000 menyatakan bahwa pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang beritikad tidak baik dijalankan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Rbg, kecuali dalam hal yang secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung ini

2. Syarat materil

a. Debitur pailit yang dapat dikenakan paksa badan adalah debitur yang beritikad tidak baik yaitu debitur, penanggung, atau penjamin utang yang


(29)

mampu tapi tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar utang-utangnya.

b. Paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur pailit yang berusia di bawah 75 tahun.

c. Paksa badan dapat dikenakan terhadap ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur yang beritikad tidak baik.

d. Paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Penahanan terhadap debitur pailit dalam kedua peraturan di atas mempunyai beberapa perbedaan, dimana ada ketentuan-ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 yang tidak dapat diaplikasikan dalam penahanan debitur pailit dalam kepailitan karena bertentangan dengan ketentuan penahanan yang terdapat pada UUK dan PKPU, seperti misalnya, ketentuan penahanan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa paksa badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Yang dimaksud utang dalam ketentuan pasal ini adalah utang pajak yang berjumlah 1 miliar rupiah, sehingga pasal ini tidak dapat diterapkan dalam penahanan kepailitan, karena dalam kepailitan, tidak ada jumlah minimum yang menyebabkan seseorang dapat dipailitkan dan ditahan.

Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000, UUK dan PKPU tidak menyebutkan berapa batas maksimum seorang


(30)

debitur pailit dapat ditahan, sehingga debitur pailit yang beritikad baik dapat tetap ditahan tanpa memperhatikan batas maksimum umur.

Perbedaan antara kedua pengaturan itu juga dapat dilihat dari syarat materil seorang debitur pailit ditahan. UUK dan PKPU menegaskan bahwa debitur pailit yang wajib ditahan adalah debitur yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dalam maksud Pasal 98, Pasal 110 atau Pasal 121 ayat (1) dan (2), sedangkan menurut Perma Nomor 1 Tahun 2000, debitur yang dapat dikenakan paksa badan adalah debitur yang beritikad tidak baik, yaitu debitur yang mampu membayar namun tidak mau memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya.

Ketentuan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 mengenai penahanan debitur pailit tidak diberlakukan lagi, karena semua ketentuan mengenai penahanan yang ada di Perma Nomor 1 Tahun 2000 sudah diatur dengan rinci dalam Pasal 93-96 UUK dan PKPU, kecuali batas maksimum umur debitur pailit yang dapat ditahan. Hal ini menunjukkan dalam UUK dan PKPU, umur tidak dapat menjadikan seorang debitur tidak dapat dikenai penahanan. Perma Nomor 1 Tahun 2000 yang dibentuk sebelum UUK dan PKPU berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika Undang-Undang Kepailitan yang digunakan pada masa itu adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Ketentuan mengenai penahanan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, selama tidak bertentangan dengannya, dapat merujuk pada Perma Nomor 1 Tahun 2000 dalam memutuskan penahanan terhadap debitur pailit. Namun, setelah dibentuknya Undang-Undang Kepailitan yang baru yaitu UUK dan PKPU, hakim dalam


(31)

melaksanakan penahanan terhadap debitur pailit hanya mengacu pada ketentuan dalam UUK dan PKPU.

C. Masa Penahanan Debitur Pailit

Pada dasarnya, penahanan merupakan salah satu bentuk pengekangan kebebasan terhadap seseorang sehingga penahanan dikatakan melanggar hak asasi manusia. Namun, dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 bagian menimbang ditulis bahwa perbuatan debitur, penanggung atau penjamin hutang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya, padahal ia mampu melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak asasi manusia atas pelaksanaan paksa badan terhadap yang bersangkutan.

Suatu penahanan dapat berdampak positif, karena hal ini merupakan sarana kurator dalam mengikat debitur pailit. Penahanan merupakan konsekuensi hukum debitur pailit yang tidak beritikad baik dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Penahanan yang positif harus memenuhi beberapa prinsip yang dijadikan patokan, seperti:

1. Prinsip “pembatasan jangka waktu penahanan” yang diberikan kepada setiap instansi penegak hukum, telah “ditentukan secara limitatif”. Tidak bisa diulur dan dilenturkan dengan dalih apapun. Sekali jangka waktu penahanan lewat, tidak bisa dipermasalahkan dan dipermainkan..


(32)

2. Prinsip “perpanjangan tahanan terbatas waktunya “serta” terbatas permintaan perpanjangannya”.

3. Prinsip pelepasan atau pengeluaran “demi hukum”, apabila masa tahanan telah lewat dari batas jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila terlampaui jangka waktu penahanan yang telah ditentukan, debitur pailit yang dikenakanan penahanan, harus dikeluarkan “demi hukum”.

Masa penahanan debitur pailit dalam UUK dan PKPU dijelaskan dalam Pasal 93 ayat (3) dan (4) yang berisi masa penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan.Pada akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau seorang kreditor atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, pengadilan dapat memperpanjang masa penahanan setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Penjelasan pada Pasal 93 ayat (4) UUK dan PKPU menyatakan bahwa, tidak ada batas waktu penahanan terhadap debitur pailit yang nakal. Kata “setiap kali” pada Pasal 93 ayat (4) yang tidak menunjukkan berapa batas maksimum lamanya seseorang dapat ditahan menimbulkan cela hukum. Jangka waktu maksimum penahanan debitur pailit yang ditahan tidak ditulis secara jelas dalam undang-undang ini menyebabkan kepastian hukum debitur pailit yang ditahan tidak terjamin, karena pengadilan ,dalam menahan debitur pailit, tidak mempunyai dasar hukum untuk memutuskan berapa waktu maksimum seorang debitur pailit dapat ditahan. Tidak adanya standar lamanya waktu penahanan rawan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena debitur menjadi kehilangan


(33)

kemerdekaannya selama waktu yang tidak bisa dijamin. Oleh karena itu, demi menjamin keadilan, hakim pengadilan berhak menentukan berapa lama seorang debitur pailit dapat ditahan dan hal ini berdasarkan subjektivitas hakim itu sendiri karena pada prinsipnya, seseorang yang ditahan harus dilepas atau dikeluarkan demi hukum apabila masa tahanan telah lewat dari batas jangka waktu yang telah ditentukan.

Apabila merujuk pada paksa badan, penahanan dilakukan selama 6 (enam) bulan lamanya dan dapat diperpanjang setiap 6 (enam) bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) tahun. Masa penahanan debitur pailit yang diatur dengan rinci menyebabkan Perma Nomor 1 Tahun 2000 memberikan perlindungan hukum pada debitur pailit terkait masa penahanan, karena debitur pailit ditahan sesuai dengan ketentuan yang sudah dilindungi hukum.

Tidak adanya limitasi waktu yang jelas dalam penahanan debitur pailit dalam UUK dan PKPU menyebabkan proses pengurusan dan pemberesan pailit menjadi lama, yang bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan adanya lembaga kepailitan. Putusan pailit yang harus diucapkan setelah 60 hari setelah pertama kali diajukan menjadi tiada gunanya apabila proses pengurusan dan pemberesan lama. Hal ini menimbulkan ketidakefektifan dalam pelaksanaan proses pengadilan yang cepat dan tidak berbelit-belit.

Lamanya waktu penahanan dalam kepailitan pun dapat menjadi kewenangan pengadilan yang bersifat subjektif, karena masa waktu penahnan tidak tertera dalam UUK dan PKPU. Padahal, batas maksimum waktu penahanan merupakan ketentuan yang harus tertera jelas dalam undang-undang agar dapat


(34)

memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi debitur pailit. Limitasi waktu penahanan terhadap debitur pailit merupakan semacam perlindungan hukum pada debitur yang seharusnya diberikan UUK dan PKPU.

D. Perlindungan Hukum terhadap Debitur Pailit atas Ketidakpastian Hukum terkait Penahanan

Perlindungan hukum merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan suatu negara hukum karena dalam kehidupan bernegara, ada hubungan timbal balik antara negara dan warga negaranya. Dalam hal ini, akan timbul hak dan kewajiban satu sama lain. Warga negara wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku, jika ia melanggarnya, maka ia akan diberikan sanksi, sedangkan negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya sebagai hak tiap warga negaranya. Namun disisi lain dapat dirasakan juga bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan


(35)

suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.66

1. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Beberapa arti perlindungan hukum menurut para ahli :

67

2. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.68

3. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.69

Dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan

66

(diakses

pada tanggal 5 Februari 2015).

67

Satjipto Raharjo, “Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah”, Jurnal Masalah Hukum.

68

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu,1987),hlm.56.

69

ST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 123.


(36)

sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami, sebagai berikut:70

1. Sarana perlindungan hukum preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

2. Sarana perlindungan hukum represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh peradilan umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip

70


(37)

negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Jika dilihat dalam UUK dan PKPU, tidak dijumpai limitasi waktu penahanan seorang debitur yang beritikad baik. Hal ini menyebabkan perlindungan hukum terhadap debitur pailit terkait penahanan menjadi tidak jelas. Pasalnya, pasal-pasal dalam undang-undang kepailitan yang berkaitan dengan masa penahanan juga tidak menyatakan secara jelas berapa lama seorang debitur dapat ditahan. Sebagai pihak debitur, tentu saja hal ini menimbulkan ketidakadilan baginya, karena sebagai warga negara, ia juga berhak mendapat perlindungan hukum dari produk hukum yang diciptakan pemerintah (negaranya). Batas maksimum penahanan debitur pertama kali adalah 30 hari (sesuai dengan Pasal 93 ayat (3) UUK dan PKPU), namun setelah itu dalam undang-undang kepailitan tidak tertera jelas batas maksimum perpanjangan hari. Jika dibiarkan, hal ini akan merugikan pihak debitur yang tidak pernah tahu tentang kejelasan statusnya sebagai tahanan.

Penegakan hukum di Indonesia dalam menanggulangi ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang dirasakan debitur pailit yang ditahan dapat dilihat dari peran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan Komnas HAM. Pasalnya, dalam lampiran Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2014 tentang whistleblowing system atas dugaan pelanggaran di lembaga perlindungan saksi dan korban, salah satu pelanggaran hukum yang dapat diadukan pada LPSK adalah perbuatan pejabat dan/atau pegawai yang


(38)

merugikan masyarakat dan tindakan sewenang-wenang. Dalam hal ini, apabila debitur pailit merasa tidak ada kepastian hukum bagi dirinya, ia dapat melapor ke LPSK untuk meminta perlindungan hukum.

Debitur pailit juga dapat melapor ke Komnas HAM, atas tindakan paksa badan yang dikenakan pada dirinya. Dikenakannya paksa badan pada debitur yang tidak beritikad baik merupakan hal yang melanggar hak asasi manusia, sebagaimana diketahui paksa badan adalah salah satu upaya untuk memaksa debitur memenuhi kewajibannya dengan jalan ditahan/sandera di suatu tempat tertentu, sedangkan jelas di uraikan dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 ayat (2) bahwa tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Dalam praktiknya, sejak diberlakukannya UUK dan PKPU yang juga mengatur mengenai paksa badan dan Perma Nomor 1 Tahun 2000, belum ada permohonan penahanan debitur pailit yang diajukan kreditur dikabulkan. Beberapa permohonan yang telah dilayangkan baik melalui Majelis Hakim selalu ditolak. Kita bisa mengambil contoh dari suatu kasus yang pernah dibatalkan. Mahkamah Agung dengan surat edaran (SEMA) Nomor 2 Tahun 1964, sejak tanggal 22 Januari 1964 tentang Penghapusan Sandera (Gijzeling), melarang para hakim rnenggunakan lembaga penyanderaan/gijzeling dalam penyelesaian perkara perdata dengan alasan tidak sesuai dengan perkemanusiaan. Perdebatan pro dan kontra sekitar penerapan lernbaga gijzeling semakin membesar setelah Hakim


(39)

Bismar Siregar dari Pengadilan Jakarta Utara mengeluarkan penetapan gijzeling terhadap Mardjuki bin Dulkiran dalam perkara. Bahalludin melawan Mardjuki bin I-I. Dulkiran (Putusan Pengadilan Jakarta Utara- Timur N0. 1/ 1974/ gijz. tanggal 27 Mei 1974).

Mahkamah Agung dalarn putusannya N0. 951k/Sip/1974 tanggal 6 Februari Tahun 1975 yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan menyatakan bahwa hakim pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan hukumnya. Putusan ini dikuatkan dengan dengan dikeluarkannya SEMA Nomor 4 Tahun 1975 yang pada prinsipnya menegaskan pelarangan bagi hakim untuk menerapkan gijzeling seperti yang diatur dalam Pasal 209 HIR/ 242 RBG dengan mendasarkan pada Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang rnenyatakan bahwa pelaksanaan putusan hakim itu tidak meninggalkan perikemanusiaan dan perikeadilan. Padahal gijzeling itu merupakan suatu bentuk perampasan terhadap kebebasan bergerak seseorang.71

Hal ini menyebabkan debitur pailit menjadi memandang sebelah mata terhadap ancaman penahanan yang diberikan. Belum adanya pelaksanaan nyata penahanan terhadap debitur pailit yang tidak kooperatif membuktikan bahwa prosedur penahanan yang diatur dalam UUK Kepailitan dan PKPU maupun Perma Nomor 1 Tahun 2000 belum efektif untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan penahanan, sehingga perlindungan hukum terhadap debitur pailit terkait penahanan pun masih tersirat dan tidak dinyatakan secara jelas dalam

71

http://webcache.googleusercontent.comsearch?q=cache:C_AKYzcH1SIJ:i lib.ugm.ac.id / jurnal /download.php?dataId%3D7027 +syarat syarat +lembaga +paksa+ badan&hl=id&gl=id (diakses tangal 5 Februari 2015).


(40)

undang-undang ini sehingga perlindungan hukum terhadap debitur pailit yang ditahan harus diteliti dan dikaji dari sumber hukum lain selain UUK dan PKPU.

Ketidakefektifan dalam penagihan kewajiban debitur pailit disebabkan oleh belum ada peraturan secara sempurna yang mengatur tentang prosedur pelaksanaannya dan perlindungan hukum terkait penahanan yang tertera jelas, belum dibuatnya peraturan khusus mengenai pelaksanaan dari penahanan terhadap debitur yang tidak kooperatif tersebut. Sampai sekarang belum ada permohonan penahanan debitur yang dikabulkan, karena pengadilan niaga dalam melaksanakan prosedur penahanan tidak dapat bertindak jika tidak ada dasar hukumnya, karena apabila dilaksanakan tanpa ada dasar hukum yang jelas, esensi dari Pengadilan Niaga bisa diragukan karena dianggap subjektif dan sewenang-wenang dalam melaksanakan proses penahanan.


(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun setelah menguraikan pembahasan daripada permasalahan tersebut diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan salah satu hal yang dilakukan oleh kurator dengan diawasi oleh hakim pengawas untuk melunasi utangnya. Adapun kegiatan dalam pengurusan antara lain mengumumkan ikhwal kepailitan, melakukan penyegelan harta pailit, pencatatan/pendaftaran harta pailit, melanjutkan usaha debitur, membuka surat-surat telegram debitur pailit, mengalihkan harta pailit, melakukan penyimpanan harta pailit, mengadakan perdamaian guna menjamin suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Sedangkan, pemberesan merupakan penguangan aktiva dimana pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitur pailit benar-benar dalam insolvensi setelah adanya putusan pernyataan pailit. 2. Ketentuan tentang penahanan debitur pailit dalam pengurusan dan

pemberesan harta pailit yang diatur dalam Pasal 93-96 UUK dan PKPU telah telah diatur cukup rinci mengatur tentang penahanan. Hal-hal yang diatur adalah prosedur umum penahanan, alasan pembebasan terhadap debitur pailit, penyebab ditahannya seorang debitur pailit dan pengecualian khusus pelepasan debitur sementara waktu.


(42)

3. Kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan debitur pailit dalam UUK dan PKPU dirasakan masih kurang, karena sering kali tidak muncul kepastian hukum dalam penerapannya. Hal ini disebabkan banyaknya ketentuan yang menimbulkan celah hukum, antara lain jangka waktu penahanan, kemampuan hakim yang bersifat subjektif dalam melaksanakan penahanan terhadap debitur pailit sehingga tidak adanya suatu standar penahanan selain yang diatur pada Pasal 95 UUK dan PKPU.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan diatas adalah:

1. Walaupun setelah adanya putusan pailit debitur tidak dapat lagi mengurusi hartanya, namun ia tetap harus bekerja sama dengan kurator dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit agar proses pengurusan dan pemberesan dapat berjalan dengan efektif, transparan dan lancar.

2. Pengaturan tentang pelaksanaan penahanan terhadap debitur pailit sebagai salah satu upaya agar debitur dapat dipaksa untuk bersikap kooperatif demi kelancaran pengurusan dan pemberesan harta pailit hendaknya diatur lebih mendetail dalam UUK dan PKPU agar pelaksanaan penahanan terhadap debitur pailit dapat memiliki legitimasi kuat, mempunyai kepastian hukum dan dapat diselenggarakan secara optimal.


(43)

3. Perlu adanya perbaikan terhadap ketentuan penahanan yang diatur dalam UUK dan PKPU sehingga ke depannya, kepastian hukum dalam implementasi ketentuan penahanan dapat lebih terlihat.


(44)

BAB II

PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan

Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Kata pailit menandakan ketidakmampuan untuk membayar serang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo atau yang dikenal dalam bahasa Inggris dengan “banckrupty”. Sedangkan terhadap perusahaan debitur yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan insolvensi. 14

Konsep dasar kepailitan sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitur itu, sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna pembayaran utang-utangnya kepada semua kreditur, dan dibayar menurut perbandingan jumlah piutang masing -masing.

14

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis dan Kepailitan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 62.


(45)

menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal di atas adalah:15

1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua krediturnya secara ponds-ponds-gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama.

3. Tidak ada nomor urut dari para kreditur yang didasarkan atas saat timbulnya piutang-piutang mereka.

Syarat-syarat permohonan pailit dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonann satu atau lebih krediturnya.

Ketentuan di atas mensyaratkan bahwa untuk mempailitikan debitur harus: 1. Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur;

15

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran (Jakarta: Pradnya Paramita, 1974), hlm.7.


(46)

Keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. Syarat ini menegaskan bahwa dalam kepailitan dihindari sita individual, karena jika hanya terdapat 1 kreditur, maka tidak akan sesuai dengan eksistensi hukum kepailitan yang mengatur bagaimana cara membagi harta kekayaan debitur di antara para krediturnya.

Fred B. G. Tumbuan berpendapat bahwa keharusan ini sesuai dengan Pasal 1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian kekayaan debitur di antara krediturnya harus dilaksanakan secara pari passu pro parte.16

2. Tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

a. Pengertian “tidak membayar”;

Pengertian tidak membayar dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu: 1) Insolvent (tidak mampu membayar), adalah suatu keadaan dimana

aset lebih kecil daripada utang.

2) Solvent (mampu membayar namun tidak mau membayar), adalah suatu keadaan dimana perusahaan sehat, dimana aset lebih besar daripada utang.

Yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan suatu debitur pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitur tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk

16

Fred B.G. Tumbuan, “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan yang diubah Perpu No. 1/1998”, Newsletter No. 33/IX/Juni/1998 (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014).


(47)

ketidakmauan debitur untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang telah diperjanjikan.17

b. Pengertian “lunas”

Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dalam perubahannya menambah kata “lunas” setelah kata “tidak membayar” untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam praktek, seperti debitur yang sudah membayar tetapi tidak lunas tidak dapat dipailitkan, karena apabila jika pelunasannya lama, maka hal itu akan merugikan krediturnya.

c. Pengertian “utang”

Tidak adanya pengertian utang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 merupakan salah satu kekosongan yang terdapat dalam undang-undang ini. Kelemahan ini kemudian diperbaiki dalam UUK dan PKPU :

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”

Secara normatif, makna utang di sini sangat luas. Utang yang terjadi bukan hanya karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit saja, tetapi juga kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian lainnya, antara lain seperti perjanjian sewa-menyewa, perjanjian jual beli, perjanjian pemborongan, perjanjian tukar-menukar, perjanjian

17

Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan)”, Jurnal


(48)

sewa-beli, dan lain-lain. Demikian juga halnya kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul karena undang-undang adalah utang. Misalnya pajak yang belum dibayar kepada negara adalah utang. Selain itu, kewajiban membayar uang berdasarkan putusan pengadilan termasuk putusan badan arbitrase yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap termasuk juga utang.18

d. Pengertian “telah jatuh waktu dan dapat ditagih”

Sutan Remy berpendapat bahwa pengertian “jatuh waktu” berbeda dengan “dapat ditagih”, dimana utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang telah expired dengan sendirinya, tetapi utang yang telah dapat ditagih belum tentu telah “jatuh waktu”.19

Utang yang telah jatuh tempo, dapat terjadi karena beberapa hal, pertama, jatuh tempo biasa, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antar kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit; kedua, jatuh tempo yang dipercepat, yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasa karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga pernagihannya diakselerasi. Debitur diwajibkan mencicil utangnya setiap bulan termasuk bunga dan biaya-biaya lainnya. Apabila debitur tidak membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan berturut-turut, maka jatuh tempo dapat dipercepat; ketiga, jatuh tempo karena pengenaan sanksi/denda oleh instansi yang berwenang; keempat, jatuh tempo karena

18

Syamsudin Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: Tianusa,2012), hlm.91.

19

Sultan Remi Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillessementsverordening

Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm.


(49)

putusan pengadilan atau putusan badan arbitrase. Berdasarkan kebiasaan yang berlaku di antara debitur dan kreditur, atau dapat juga dipakai sebagai dasar jatuh tempo surat tegoran atau somasi.20

Tidak semua utang dapat ditagih. Utang yang dapat ditagih adalah utang yang legal. Utang yang timbul berdasarkan perjanjian atau undang-undang. Bukan utang yang illegal utang yang timbul dengan cara melawan hukum tidak dapat ditagih melalui mekanisme dan prosedur hukum kepailitan. 21

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membentuk suatu peradilan khusus yang berwenang menangani perkara kepailitan, yaitu Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses permohonan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUK dan PKPU. Prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan dan panitera yang mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan.

2. Pemohon juga harus menyertakan berkas-berkas yang menjadi syarat-syarat pengajuan, antara lain:22

a. Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga.

b. Kartu advokat.

20

Syamsudin Sinaga, Op.Cit., hlm. 92.

21

Ibid, hlm. 93.

(diakses pada tanggal 28 Februari 2015).


(50)

c. Bukti yang menunjukkan adanya perikatan (perjanjian jual-beli, hutang-piutang, putusan pengadilan, commercial paper, faktur, kuitansi, dan lain-lain.

d. Surat kuasa khusus.

e. Tanda daftar perusahaan yang dilegalisir oleh kantor perdagangan. f. Perincian hutang yang tidak dibayar.

g. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi (disumpah) jika menyangkut bahasa asing.

h. Nama dan alamat masing–masing kreditur / debitur.

Sistematika surat permohonan pernyataan pailit pada dasarnya sama dengan surat gugatan biasa, hanya saja dalam kepailitan perlu ditambahkan pengangkatan kurator dan hakim pengawas.

3. Pengadilan akan mempelajari dan menetapkan hari sidang dalam tempo paling lambat 3 hari dan sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailiy diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Putusan atas permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 8 ayat (5) UUK dan PKPU, harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.


(51)

B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit

Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru.23 Dengan pailitnya pihak debitur, banyak akibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitur dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu:24

1. Berlaku demi hukum

Beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, pengadilan niaga, hakim pengawas, kurator, kreditur, dan pihak lain yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut.

2. Berlaku secara rule of season

Selain akibat yuridis hukum kepailitan yang berlaku demi hukum, terdapat akibat hukum tertentu dari kepailitan yang berlaku secara rule of reason. Maksud dari pemberlakuan model ini adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.

Beberapa akibat hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur:

1. Akibat kepailitan terhadap debitur pailit dan hartanya

23

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi Revisi (Malang: UMM Press, 2007), hlm. 103.

24

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.61-62.


(52)

Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur, dimana debitur tidaklah berada dibawah pengampuan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum tersebut menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya, debitur tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima harta benda yang akan diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailitnya. 25

Proses kepailitan menghindari terjadinya berbagai kemungkinan faktual dan yuridis yang mungkin timbul dalam kegiatan khusus untuk mendapatkan barang-barang milik debitur. Kepailitan adalah sita umum atas barang-barang milik debitur untuk kepentingan kreditur secara bersama.

Sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu untuk diucapkan, debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit.

26

2. Akibat hukum terhadap seluruh perikatan yang dibuat oleh debitur pailit

Semua barang dieksekusi dan hasilnya dikurangi biaya eksekusi dibagi-bagi di antara kreditur dengan mengingat hak-hak istimewa yang diakui oleh undang-undang.

Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UUK dan PKPU). Tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur

25

Sultan Remi Syahdeini, Op.Cit., hlm. 257.

26

MR. J. B. Huizink, Insolventie, alih bahasa Linus Dolujawa (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm.1.


(53)

pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 UUK dan PKPU).

Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitur pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan (Pasal 27 UUK dan PKPU).

3. Akibat hukum bagi kreditur

Pada dasarnya, kedudukan para kreditur sama (paritas creditorum) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi budelnya pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun asas tersebut dapat dikecualikan yakni untuk golongan kreditur yang memenang hak anggunan atas kebendaan dan golongan kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan UUK dan PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karenanya, kreditur dapat dikelompokkan sebagai berikut:27

a. Kreditur separatis

Merupakan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri yang tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitur, sehingga hak-hak eksekusi kreditur separatis ini tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitur. Kreditur separatis dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak

27

Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan


(54)

ada kepailitan. Debitur mengambil hasil penjualan ini sebesar piutangnya, sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator. Jika hasil penjualan tersebut tidak mencukupi, maka kreditur separatis itu, untuk tagihan yang belum dibayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai kurator bersaing.28

b. Kreditur preferen/istimewa

Adapun yang termasuk hak-hak jaminan kebendaan yang memberikan hak menjual secara lelang dan memperoleh pelunasan secara mendahului yaitu gadai, hipotek jaminan fidusia.

Merupakan kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditur ini berada dibawah pemegang hak tanggungan dan gadai. Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, hak istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

c. Kreditur konkuren

Kreditur konkuren/bersaing memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditur pemegang hak jaminan dan para kreditur dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditur.

28

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 60 ayat (3).


(55)

4. Akibat hukum terhadap eksekusi atas harta kekayaan debitur pailit

Menurut Pasal 31 UUK dan PKPU, putusan pernyataan pailit mempunyai akibat bahwa segala putusan hakim menyangkut setiap bagian harta kekayaan debitur yang telah diadakan sebelum diputuskannya pernyataan pailit harus segera dihentikan dan sejak saat yang sama pula tidak satu putusan pun mengenai hukuman paksaan badan dapat dilaksanakan. Segala putusan mengenai penyitaan, baik yang sudah maupun yang belum dilaksanakan, dibatalkan demi hukum, bila dianggap perlu, hakim pengawas dapat menegaskan hal itu dengan memerintahkan pencoretan.

Jika dilihat, dalam pasal tersebut dapat dilihat bahwa setelah ada pernyataan pailit, semua putusan hakim mengenai suatu bagian kekayaan debitur apakah penyitaan atau penjualan, menjadi terhenti. Semua sita jaminan maupun sita eksekutorial menjadi gugur, bahkan sekalipun pelaksanaan putusan hakim sudah dimulai, maka pelaksanaan itu harus dihentikan. Menurut Pasal 33 UUK dan PKPU, apabila hari pelelangan untuk memenuhi putusan hakim sudah ditetapkan, kurator atas kuasa hakim pengawas dapat melanjutkan pelelangan barang tersebut dan hasilnya masuk dalam harta pailit.

5. Akibat kepailitan bagi pasangan debitur pailit

Debitur pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu perkawinan dan adanya persatuan harta, kepailitan juga dapat memberikan akibat hukum terhadap pasangannya (suami/istrinya). Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami


(56)

dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual suami/istri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit, maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut.

Berdasarkan pada uraian-uraian diatas jelaslah bahwa meskipun seseorang telah dinyatakan pailit, orang tersebut masih mendapat perlindungan hukum. Dengan perkataan lain bahwa seseorang dinyatakan paiit masih dapat bertindak bilamana suatu tindakan yang ditujukan kepadanya akan mengakibatkan kerugian morilnya. Disamping itu pula, hal-hal yang membawa keuntungan bagi harta hartamasih dapat dilakukan oleh si pailit, karena dengan keuntungan yang diperoleh tersebut diharapkan dapat melunasi utang-utangnya yang sekaligus mempercepat proses pailit berakhir, dan selanjutnya pengembalian hak untuk mengurus harta kekayaan sendiri sebagaimana sebelum adanya pernyataan pailit.

C. Pengurusan Harta Pailit

Pengurusan adalah mengumumkan ikhwal kepailitan, melakukan penyegelan harta pailit, pencatatan/pendaftaran harta pailit, melanjutkan usaha debitur, membuka surat-surat telegram debitur pailit, mengalihkkan harta pailit. melakukan penyimpanan harta pailit, mengadakan perdamaian guna menjamin suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara.

Sejak diucapkannya putusan pailit, debitur yang dinyatakan pailit sudah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta pailit. Penguasaan dan pengurusan pailit diserahkan kepada kurator. Di dalam penguasaan dan


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga penulis

bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar. Penulisan

Skripsi yang berjudul: Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit

dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit adalah untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan

saran dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik

tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan

berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).,

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan

menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin

penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta

membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum


(2)

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak

membantu dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan

pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak

membantu dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang

administrasi umum.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu

Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan

kesejahteraan mahasiswa.

6. Ibu Windha, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan

Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih

sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan

bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini dapat

diselesaikan.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen

Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih

sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan dan bimbingannya

sehingga skripsi ini dapat kelar.

8. Bapak Alwan, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali atas bimbingannya dari awal


(3)

9. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kak Yuna, yang senantiasa mendukung penulis, membantu penulis dan

memberikan saran terbaiknya sehingga skripsi penulis dapat diselesaikan.

11. Kedua orang tua penulis yang telah yang telah membesarkan, mendidik, dan

mendukung menyemangati dan menjadi pilar kekuatan bagi penulis dalam

menjalani hidup hingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata

Satu (S1) ini,

12. Adik penulis, Inez Japardi yang telah dengan setia membantu, mendengarkan

keluh kesah penulis dan mendampingi penulis selama ini. Terima kasih telah

menjadi adik terbaik melebihi apa yang penulis harapkan.

13. Eric Tanaka, teman terbaik penulis yang selalu menemani dan mendukung

penulis dalam suka maupun duka, memberikan kasih sayang, perhatian dan

dukungannya pada penulis dalam keadaan apapun.

14. Irene Mulia, Yuendris, Wisely yang merupakan sahabat terbaik, teman

sepermainan, teman ngelawak serta teman senasib dan seperjuangan penulis

selama masa perkuliahan di FH USU.

15. Viona Vabella dan Evelyn Angel (Bra Kepo), sahabat terbaik penulis dari

masa SMA yang selalu menemani dan memotivasi penulis dalam suka

maupun duka duka, mendengarkan semua keluh kesah penulis. Thankyou for

being my sisters from another mother, 24/7 listeners, motivators, partners in


(4)

16. Sibo, Tiffany, Britney, AC, Sally, Winny, Titi, Ane, Eric, Ian, Mao, Monde,

Juan, Baba (SSP dan SSK) yang merupakan geng terbaik penulis dari masa

SMA yang selalu solid dan gokil .

17. Yennie, Vina dan Sefri, sahabat baik penulis yang telah mengajari penulis

banyak hal dalam hidup dan selalu mendukung Penulis.

18. Meidi, Ameng, Abek, Ody, Apen, Robin, Omar, Herlina, Vilya, Feona, Viona

(Meidi and The Kids) yang merupakan geng sepermainan Penulis yang setia

kawan dan seru. Thankyou for being a solid team!

19. Geng Pacisu yang selalu membuat masa Penulis selama pekuliahan di USU

lebih menyenangkan.

20. Pratiwi, Nurul, Azirah, Aja, Junanda, Asri dan sahabat-sahabat seperjuangan

dari Grup A Fakultas Hukum USU stambuk 2011 yang lain.

21. Abang dan kakak kelas serta adik-adik kelas Penulis di Fakultas Hukum USU

yang lain.

Medan, 1April 2014

Penulis

Larrisa Japardi


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat ... 6

D. Keaslian Judul ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II

PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan ... 21

B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit ... 28

C. Pengurusan Harta Pailit... 33

D. Pemberesan Harta Pailit ... 40

E. Kedudukan Hukum Debitur Setelah Berakhirnya Pemberesan Harta Pailit ... 46


(6)

BAB III

PENGATURAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM KEPAILITAN

A Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam Kepailitan ... 51

B. Penahanan Debitur Pailit menurut Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 ... 58

C Akibat Hukum Penahanan Debitur Pailit terhadap Pengurusan

dan Pemberesan Harta Pailit ... 63

BAB IV

KEPASTIAN HUKUM DALAM IMPLEMENTASI

KETENTUAN PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

A. Asas Kepastian Hukum dalam Kepailitan ... 68

B. Ketentuan Mengenai Syarat Penahanan Debitur Pailit ... 72

C. Masa Penahanan Debitur Pailit ... 77

D. Perlindungan Hukum terhadap Debitur Pailit atas Ketidakpastian Hukum Terkait Penahanan ... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 88