PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERNILAI KARAKTER PADA MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN (STUDI DI SMK NEGERI 16 JAKARTA)

(1)

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERNILAI KARAKTER PADA MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN

(STUDI DI SMK NEGERI 16 JAKARTA)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh: Helmi Hermawan

109018200069

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M


(2)

(3)

(4)

ABSTRAK

Helmi Hermawan, NIM: 109018200069, Pelaksanaan Pembelajaran Bernilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Studi di SMK Negeri 16 Jakarta, Skripsi Program Strata 1, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 16 Jakarta dilaksanakan di bulan April-Agustus 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualititatif.

Dalam penelitian ini hasilnya menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 16 Jakarta belum berjalan secara optimal. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan kepada guru untuk mengikuti pelatihan khususnya berkaitan dengan bagaimana mengintegrasikan pembelajaran bernilai karakter sehingga melalui pembelajaran di kelas diharapkan penerapan nilai karakter tersebut dapat berjalan lebih baik dan lebih efektif. Selain itu juga perlu mengembangkan pembelajaran bernilai karakter pada semua mata pelajaran, karena keberhasilan pembelajaran berkarakter berasal dari pembiasaan yang dilakukan dalam rangkaian rutinitas secara berkesinambungan dan selalu berkaitan.


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain :

1. Nurlena Rifai, M.A., Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan seluruh dosen beserta staf karyawan, atas semua ilmu pengetahuan dan bimbingannya.

2. Dr. Hasyim Asy’ari, M. Pd, Ketua Program Studi Manajemen

Pendidikan.

3. Dra. Nurdelima Waruwu, M. Pd, Dosen Penasehat Akademik.

4. Dra. Eri Rosatria, M. Ag, pembimbing I dan Raudhah, M. Pd, pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran serta kesabaran meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dra. Endri Suryani, MM, Kepala SMK Negeri 16 Jakarta yang telah memfasilitasi penulis dalam menyusun skripsi berkaitan dengan penyedian data-data pendukung dalam melakukan penelitian di sekolah tersebut. 6. Ayahanda Lukman Hakim Sidiq dan Ibunda Yanti Suwarni serta Mas

Irwan dan Teh Aci yang telah memberi kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil, nasehat, dan doa sehingga penyusunan skripsi ini dapat terseleseikan dengan baik.

7. Nitta Yuliana yang telah mengisi hari-hari penulis dengan warnanya, dan atas dorongan semangat, kesabaran, kasih sayang, dan do’a.

8. Sahabat ‘Kite Aje’ (Muhammad Irfai Muslim, Siti Shofwatunida, Welvy Reda Suryani, dan Neni Heriyani), tempat berbagi informasi, dan berbagi inspirasi.


(6)

9. Rekan-rekan mahasiswa Manajemen Pendidikan angkatan 2009, khususnya kelas B yang telah memberikan kenangan dan kesan yang indah, serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu-persatu tanpa mengurangi rasa terima kasih.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah membantu menyeleseikan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar skripsi ini dapat disempurnakan.

Jakarta, 15 Oktober 2013

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi... iii

Daftar Lampiran ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah... 7

E. Tujuan Penelitian... 7

F. Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Nilai Karakter 1. Pengertian Nilai Karakter ... 9

2. Macam-Macam Nilai Karakter ... 12

B. Pembelajaran Bernilai Karakter 1. Makna Pembelajaran Bernilai Karakter ... 15

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Nilai Karakter ... 20

3. Strategi dan Metode Nilai Pembelajaran Karakter ... 23

4. Prinsip Pembelajaran Nilai Karakter ... 24

5. Model Pembelajaran Nilai Karakter ... 26

C. Pengembangan Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan 1. Mata Pelajaran Kewirausahaan di SMK ... 31

2. Nilai Karakter Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan ... 36

3. Pembelajaran Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 45


(8)

B. Metode Penelitian ... 45

C. Teknik Pengumpulan Data ... 46

D. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 47

E. Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 49

B. Deskripsi Data dan Analisis Data... 52

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

Daftar Pustaka ... 63

Lampiran ... 66


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Silabus

Lampiran 2 : Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran

Lampiran 3 : Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Lampiran 4 : Data Guru SMK Negeri 16 Jakarta

Lampiran 5 : Data Siswa SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 6 : Visi dan Misi SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 7 : Prestasi Siswa SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 8 : Berita Hasil Wawancara

Lampiran 9 : Daftar Referensi

Lampiran 10 : Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 11 : Surat Keterangan Penelitian


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Akhir-akhir ini gencar sekali diperbincangkan tentang pendidikan karakter. Pemahaman pendidikan karakter sendiri sebenarnya bukan hal baru, namun sudah muncul beberapa dekade yang lalu. Dalam GBHN 1973, dikemukakan tentang pengertian pendidikan bahwa, “pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian, keterampilan dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”.1 Ini berarti bahwa pendidikan itu adalah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menembankan kepribadian seseorang, ketrampilan, dan kemampuannya yang berguna dalam menjalani kehidupannya.

Hal ini diperkuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa,

Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

1

Burhanudin Salam. Pengantar Pedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997) hlm 4.


(11)

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

Pada dasarnya pendidikan berupaya untuk mengarahkan peserta didik ke dalam pembentukan karakter dengan menggali segala potensi untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang mandiri serta dapat berkontribusi terhadap masyarakat dan bangsanya.

Melacak gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan, beliau menyatakan bahwa “pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti (karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak”.3 Hal ini dapat difahami bahwa sesungguhnya pendidikan itu sendiri merupakan penanaman nilai karakter, dalam arti bahwa karakter merupakan bagian terpenting yang tidak boleh dipisahkan dalam isi pendidikan.

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah adalah mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai karakter sebagai milik mereka, dan bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.4

Proses pembelajaran harus selalu dibiasakan untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter, karena dengan pembiasaan proses tersebut akan lebih cepat tertanam dalam diri peserta didik. Selain itu, diperlukan juga keteladanan dari guru untuk dapat menempatkan diri sebagai contoh bagi siswa-siswinya.

“Karakter adalah manajemen untuk membangun budaya perilaku yang mulia, bukan bersifat normatif dan basi-basi. Karakter adalah pengawalan untuk

2

UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 3 ayat 2 3

Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT.

Remaja Rosda Karya, 2011), hlm 33. 4

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban,


(12)

membangun kebiasaan agar tahu nilai-nilai kebenaran, bisa mengembangkan kebenaran, dan terbiasa untuk selalu mengamalkan kebenaran yang diyakininya”.5

Oleh karena itu perlu adanya komitmen yang kuat dan terintegrasi antar seluruh stakeholder pendidikan untuk saling berbagi tanggungjawab serta bersama-sama mengembangkan nilai-nilai karakter, agar karakter mulia tumbuh berkembang pada peserta didik.

Namun sayangnya, pendidikan karakter kita saat ini terus mengalami degradasi. Banyak kenakalan remaja yang dilakukan sehingga membentuk perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2010, di wilayah DKI Jakarta diperkirakan ada 316.000-335.000 jiwa merupakan penyalahguna narkoba.6 Pada tahun 2009, Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya juga mengungkapkan, sebanyak 45 persen dari jumlah total pengguna narkoba sekitar 300.000 orang pengguna di DKI Jakarta merupakan usia belajar. Rata-rata pengguna duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). 7

Kondisi anak di Indonesia juga belum lepas dari tindakan kekerasan. Salah satu kasus menonjol di tahun 2012 yakni kasus tawuran antar pelajar. Data akhir tahun 2012 yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukan angka memprihatinkan. Komnas PA mencatat 147 kasus tawuran, dan dari 147 kasus tersebut, sebanyak 82 pelajar tewas sepanjang 2012.8

5

Najib Sulhan, Panduan Praktis Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa Sinergi Sekolah dengan Rumah, (Surabaya:Jaring Pena, 2011) cet pertama, hal 21.

6

Anonim. 19 Persen Penduduk Indonesia Pakai Narkoba. KOMPAS. Diakses di

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/19/03200345/1.9.Persen.Penduduk.Indonesia.Pakai.Narkob

a pada tanggal 27 Maret 2013 jam 04:33

7

Ferril Dennys. Wow, 45 Persen Pengguna Narkoba Pelajar. KOMPAS.Diakses dari

http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/04/15080364/Wow..45.Persen.Pengguna.Narkoba.Pelajar pada tanggal 27 Maret 2013 jam 04:34

8

Fabian Januarius Kuwado. 82 Pelajar Tewas Sia-Sia Karena Tawuran. KOMPAS. Diakses

dari


(13)

Disadari atau tidak, sekolah mempunyai andil terhadap penyimpangan yang terjadi di masyarakat tersebut. Sekolah sebagai institusi pendidikan pada dasarnya bertujuan mempersiapkan peserta didik untuk dapat memecahkan masalah kehidupan pada masa sekarang dan di masa yang akan datang, dengan mengembangkan segala potensi-potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pendidikan mempunyai fungsi dalam membentuk karakter peserta didik. Dengan kata lain, melalui proses pendidikan yang profesional akan membentuk karakter peserta didik.

Akan tetapi, perlu disadari bahwa metode pembelajaran di sekolah-sekolah masih menganut gaya lama. Menurut forum Kompasiana, “metode pembelajaran yang menjadi favorit mungkin hanya satu, yaitu metode ceramah”.9 Meskipun menjadi favorit, metode ini justru menjadi awal kejenuhan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran.

Keberadaan guru menjadi suatu hal yang patut diperhatikan. Kedatangan guru yang suka terlambat, merokok ditempat umum, kadang suka berbicara kotor, dan berbagai bentuk kegiatan negatif lainnya dapat menurunkan citra seorang guru. Padahal guru sebagai seorang pendidik kiranya tepat menggambarkan bagaimana relasi antar individu dalam dunia pendidikan, sebab pada hakekatnya guru menempatkan diri sebagai teladan kehidupan bagi para siswanya.10

Peserta didik dengan segala keunikannya memiliki kemampuan mengingat, menyimpan, dan menganalisa materi pelajaran dengan cara yang beragam. Keberagaman ini harus diwaspadai oleh guru mata pelajaran sehingga dapat memanage kelas sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Selain itu siswa juga perlu diberikan kesempatan untuk bisa merefleksikan pembelajaran ke dalam kehidupan sehari-hari.

9

Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm 153.

10

Doni Koesoema A, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, (Jakarta: Grasindo, 2011), hlm 136.


(14)

Fungsi sekolah kini tidak hanya sebagai wadah pembekalan peserta didik dengan ilmu-ilmu pengetahuan, namun sekolah juga dituntut untuk mampu mengembangkan minat dan bakat, serta membentuk moral dan kepribadian peserta didik.

William Bennet berpendapat bahwa, “kini peran sekolah semakin terasa ketika banyak terjadi tuntutan masyarakat yang mengharapkan anak-anaknya tidak hanya pandai secara intelektual namun juga memiliki pemahaman akhlak yang baik”.11 Namun, kadang sekolah dituntut hanya bekerja sendiri, padahal pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Seperti yang disampaikan Wina bahwa, “proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didiknya, guna untuk membantu peserta didik mempelajari suatu kemampuan dasar yang dimilikinya serta membangun kreatifitas berfikir peserta didik tersebut yang menekankan pada sumber belajar serta lingkungan yang ada di sekitarnya”. 12

Belajar dan pembelajaran diarahkan dengan tujuan untuk membangun suatu kemampuan berfikir peserta didik serta menerima materi pelajaran yang ada dalam proses pembelajaran, dimana pengetahuan yang diperoleh peserta didik ini dapat diperoleh dari luar diri akan tetapi harus dikonstruksi atau dipupuk dari diri masing-masing peserta didik. Kegiatan belajar akan berhasil apabila proses pembelajaran yang terjadi berjalan dengan baik dan lancar.

Pemahaman dan kesadaran tentang urgensi pengintegrasian nilai-nilai berkarakter harus terus dijunjung tinggi, demi menciptakan peserta didik yang tidak hanya pandai akal namun juga luhur budi. Sehingga diharapkan cita-cita pendidikan nasional yang dapat tercapai.

Penerapan nilai-nilai karakter harus diterapkan ke dalam semua jenjang pendidikan, baik SD/MI, SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA. Dewasa ini, SMK

11

Agus Wibowo. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hlm 54.

12

Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group, 2011) hlm 57.


(15)

menjadi salah satu sekolah formal yang banyak diminati karena melalui SMK dapat disalurkan kemampuan-kemampuan teknis dan secara spesifik dipersiapkan untuk terjun di dalam dunia kerja.

Sebagai sekolah kejuruan, SMK pada umumnya memiliki mata pelajaran yang secara spesifik diberikan kepada siswa untuk mengembangkan bakat minatnya dengan berwirausaha. Salah satu hal yang dikembangkan pada mata pelajaran Kewirausahaan adalah menggairahkan siswa untuk menciptakan sebuah produk yang berasal dari barang-barang yang mudah ditemui dimasyarakat untuk dijadikan barang-barang yang bernilai ekonomis, atau dengan kata lain dapat dijual. Pembelajaran nilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan merupakan bagian dari penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran sehingga hasilnya diperoleh kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kewirausahaan, dan pembiasaan terhadap nilai-nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku seharian siswa melalui proses pembelajaran.

SMK Negeri 16 Jakarta, termasuk sekolah kejuruan yang diminati di wilayah DKI Jakarta. Selain prestasi yang diperoleh siswa-siswinya, baik yang bersifat akademis maupun non akademis, SMK Negeri 16 Jakarta juga mengapresiasi nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan di sekolah. Hal ini terlihat dengan adanya berbagai macam kegiatan yang bersifat terstruktur maupun non terstruktur yang menjadi rutinitas dalam keseharian siswa-siswinya. Baik yang berada di dalam kelas kaitannya dengan pembelajaran, maupun kegiatan di luar kelas.

Melihat keadaan SMK Negeri 16 Jakarta yang telah menerapkan nilai-nilai karakter melalui pembelajaran, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter di sekolah tersebut dengan judul skripsi Pelaksanaan Pembelajaran Bernilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan (Studi di SMK Negeri 16 Jakarta)”.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka peneliti mengidentifikasi masalahnya sebagai berikut:


(16)

1. Menurunnya moral dan karakter siswa (tawuran, narkoba).

2. Metode pembelajaran dari guru yang belum mengarah kepada pembentukan karakter.

3. Desain silabus dan RPP yang dirancang guru saat ini cenderung berpusat pada guru, bukan pada anak.

4. Penambahan life and career skills, bukan sebagai mata pelajaran.

5. Kurangnya kesempatan guru sebagai model (suri tauladan) dalam penerapan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran.

C. PEMBATASAN MASALAH

Penelitian ini dibatasi pada masalah pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan sehingga berdampak pada kehidupan sehari-hari siswa.

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 16 Jakarta?

E. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter untuk mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 16 Jakarta.

F. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menjadi sumbangan pengetahuan penelitian tentang pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan.


(17)

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan dapat dijadikan sebagai salah satu informasi tambahan yang bermanfaat mengenai pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan.


(18)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Nilai Karakter

1. Pengertian Nilai Karakter

Pendidikan karakter harus dimulai sejak lahir bahkan masih dalam kandungan melalui belaian kasih sayang ibu dan bapaknya. Pada masa itu penanaman pendidikan karakter dalam keluarga menjadi sangat penting. Nilai-nilai karakter ditanamkan melalui contoh perilaku semua anggota keluarga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya”.1 Sementara itu, Donie Koesoema A memahami bahwa “karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, atau gaya, atau sifat dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluaran pada masa kecil, juga bawaan lahir”.2

1

Muchlas Samani & Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. (Bandung: PT.

Remaja Rosda Karya, 2011). hlm 42 2

Doni Koesoema A. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.

(Jakarta: Grasindo, 2010). hlm 80


(19)

Sedangkan Winnie memahami bahwa “istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral”.3

Dalam tulisan yang bertajuk Urgensi Pendidikan Karakter, Prof. Suryanto, Ph. D. Menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.4

Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter tersebut, maka karakter dapat dimaknai sebagai sebuah nilai dasar yang ada dalam diri seseorang, yang dapat membedakan dengan yang lain, dan selalu merujuk kepada kaidah moral yang berlaku di lingkungan bermasyarakat.

Karakter merupakan hal yang sangat krusial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter berperan sebagai kemudi dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing. Karakter tidak datang dengan sendirinya melainkan perlu dibangun dan dibentuk menjadi bangsa yang bermartabat.

Dalam desain utama yang dikembangkan oleh kemendiknas, “secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu itu merupakan fungsi dari potensi seluruh individu manusia, baik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, dalam konteks interaksi sosial kultural;

3

Fatchul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, (Jogjakarta:Arruz

Media, 2011), hlm 160. 4

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga


(20)

dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat dan sifatnya berlangsung sepanjang hayat”.5

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan social cultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual & emotional development) (2) olah pikir (intelektual development) (3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development) (4) olah rasa dan karsa (affective & creativity development). Proses tersebut secara holistic dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi.6

Hal yang paling mendasar dalam suatu proses pendidikan adalah membentuk karakter peserta didik yang terlibat secara aktif dalam proses tersebut. Sering kita jumpai pendapat bahwa pendidikan karakter identik sebagai ruh dari sebuah pendidikan. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU No. 20 tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. “Tanpa pendidikan karakter di dalamnya, proses pendidikan tidak lebih hanya sekedar pelatihan kecerdasan intelektual atau hanya semacam mengasah otak bagi para peserta didik di sekolah”.7 Ironis apabila hal ini terjadi secara terus-menerus, karena akan membentuk peserta didik yang

5

Agus Wibowo. Pendidikan Karakter; Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hlm 44.

6

Ibid, hlm 47. 7

Akmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter, (Jogjakarta:Arruz Media, 2011),


(21)

mempunyai kecerdasan secara akademis, namun tidak diimbangi dengan kepribadian berakhlak mulia.

“Pembentukan karakter adalah proses membangun dari bahan mentah menjadi cetakan yang sesuai dengan bakatnya masing-masing”.8 Perlu disadari bahwa peserta didik memiliki latar belakang yang berbeda. Mereka juga dikaruniai potensi yang beraneka ragam sebagai sebuah anugerah dari Sang Khaliq. Oleh karena itu, pembangunan karakter diperlukan untuk menanamkan cita-cita untuk membentuk karakter kuat dalam menghadapi kehidupannya.

2. Macam-Macam Nilai Karakter

Setiap satuan pendidikan mengambil nilai inti yang akan dikembangkan di sekolah masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat visi dan misi sekolah, tradisi budaya di sekeliling, keinginan warga sekolah, kehendak para pemegang kepentingan di sekolah, kondisi lingkungan, dan sebagainya. Adapun nilai-nilai karakter inti yang perlu dikembangkan adalah (a) Agama, (b) Pancasila (c) Budaya (d) Tujuan Pendidikan Nasional.

a. Agama:

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara implisit, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

b. Pancasila:

Negara kesatuan republik indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut pancasila.

8

Fatchul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, (Jogjakarta:Arruz Media, 2011), hlm 296.


(22)

Pancasila terdapat pada pembukaan uud 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam uud 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai-nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

c. Budaya:

Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

d. Tujuan Pendidikan Nasional:

Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkanlah berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, merupakan sumber yang paling pokok dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.9

Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter adalah:

1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada

berbagai ketentuan dan peraturan.

9

Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta:Kemendiknas, 2010.


(23)

5. Kerja keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu yang menghasilkan cara atau hasil baru berdasarkan sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri: Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis: Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.

10.Semangat kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11.Cinta tanah air: Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12.Menghargai prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain.

13.Bersahabat/ komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14.Cinta damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15.Gemar membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16.Peduli sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

17.Peduli lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

18.Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.10

10 Ibid.


(24)

Pengembangan nilai-nilai karakter itu sendiri terintegrasi ke dalam proses pembelajaran, bukan diajarkan sebagai sebuah materi pembelajaran. Maka dari itu, guru yang akan mengajar di kelas, dituntut untuk mempersiapkan langkah-langkah belajar mengajar yang mengarah kepada proses integrasi nilai-nilai karakter.

B. Pembelajaran Nilai Karakter

1. Makna Pembelajaran Bernilai Karakter

“Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa”.11

Dalam hal ini terdapat dua aktifitas yang tidak dapat dielakkan yaitu, belajar dan mengajar. Sehingga apabila kedua kegiatan ini dapat dioptimalkan dengan baik, maka dapat mengarahkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

Belajar adalah istilah yang paling utama dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak akan pernah terjadi proses pendidikan. Menurut Winkel, “belajar adalah suatu proses mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas”.12

Pada suatu keadaan tertentu, belajar tidak hanya identik dengan kegiatan mendapatkan materi. Belajar juga membutuhkan kesiapan batiniah yang baik, sehingga proses belajar dapat berjalan dengan baik. Oemar Hamalik dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran, menyebutkan bahwa “belajar adalah suatu proses suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni

11

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta:Bumi Aksara, 2009) cet ke-2, hlm 2.

12

Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) cet ke-1, hlm 5.


(25)

mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan tingkah laku”.13

Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan menggunakan pancaindra. Sehingga dalam proses belajar terdapat unsur mengamati, mencoba sesuatu hal baru, mendengar, membaca, dan mengikuti arah tertentu”.14

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia diawali dengan kesiapan mental/psikis yang baik melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya yang pada dasarnya untuk memperoleh suatu hal yang positif menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya yang berarti menyangkut unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Sejatinya belajar tidak hanya sekedar mengumpulkan pengetahuan, namun belajar merupakan suatu proses mental yang terjadi dalam diri seseorang sehingga menyebabkan munculnya perubahan tingkah laku yang berdampak pada lingkungan yang disekitarnya.

Sedangkan mengajar pada hakekatnya merupakan suatu usaha menciptakan kondisi atau lingkungan dan memungkinkan berlangsungnya proses belajar mengajar. Jika belajar diidentikkan sebagai kegiatan siswa, maka mengajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru.

Secara sederhana “mengajar diartikan sebagai upaya menyampaikan pengetahuan pada anak didik”.15 Menurut pengertian ini, mengajar lebih cenderung bersifat transfer of knowledge. Guru sebagai aktor dalam proses ini memberikan informasi seluas-luasnya kepada anak didik terhadap ilmu pengetahuan untuk mata pelajaran yang dikuasainya.

13

Oemar Hamalik. Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta:Bumi Aksara, 2008) hlm 36 14

Op. cit, hlm 5 15

Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


(26)

Hal berbeda disampaikan oleh Nana Sudjana, yang mengartikan bahwa “mengajar adalah proses mengatur atau mengorganisasi lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar. Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam melaksanakan proses pembelajaran”.16

Sebagai sebuah proses, mengajar mengarahkan anak didik dalam melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan lingkungan masyarakat yang berbeda-beda. Maka perlu kejelian dari seorang guru dalam mengajarkan anak didiknya, agar proses ini dapat berjalan dengan baik.

Menurut Raka Joni, “mengajar adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengerahkan kegiatan belajar anak didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai pribadi”.17

Jadi, dapat disimpulkan dari berbagai pendapat tersebut diatas bahwa mengajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh guru yang bersifat kompleks. Proses yang dilakukan tidak hanya sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa. Lebih dari itu, banyak kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar lebih baik pada seluruh peserta didiknya.

Dengan mengajar juga diupayakan untuk mengantarkan peserta didik menuju tingkat kedewasaan tertentu, baik dari segi ilmu pengetahuan, keterampilan, dan perubahan tingkah laku, melalui proses internalisasi nilai-nilai pada dirinya sehingga akan lahir sikap yang baik.

16

Syaiful Bari Djamarah & Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. (Jakarta:PT. Rineka

Cipta, 1996) cet ke-2, hal 39 17

Yatim Riyanto. Paradigma Baru Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) cet ke-1, hlm 54


(27)

Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan pendidik kepada peserta didik, kegiatan ini tidak hanya sebatas pembekalan ilmu pengetahuan saja namun juga dituntut untuk mampu mengembangkan minat dan bakat peserta didik, serta membentuk karakter peserta didik.

Pada umumnya yang memiliki peran dominan dalam menyukseskan kegiatan belajar mengajar adalah guru, sedangkan siswa berperan lebih pasif, atau lebih banyak menerima informasi dari guru. Namun, seiring berkembangnya zaman paradigma mengenai pembelajaranpun banyak memberikan nuansa baru yang lebih bervariatif.

Istilah pembelajaran adalah “terjemahan dari instruction, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran Psikologi-Kognitif holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan”.18 Keberadaan siswa menjadi aktor penting dalam sebuah pembelajaran. Hal ini dikarenakan bahwa siswa yang perlu mengekplorasi potensi yang dimiliki, sehingga segala kemampuan siswa yang sebenarnya dapat dimunculkan.

Pembelajaran juga diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat, dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana, dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.19

Sebagai suatu proses kerja sama, pembelajaran tidak hanya menitikberatkan pada kegiatan guru atau siswa saja, namun guru dan siswa

18

Wina Sanjaya. Perencanaan dan Desain Sistem Pengajaran (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group, 2004) cet ke-1, hlm 27.

19

Wina Sanjaya. Perencanaan dan Desain Sistem Pengajaran (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group, 2004) cet ke-1, hlm 26.


(28)

secara bersama-sama berusaha mencapai tujuan pembelajaran yang ditentukan. Peran guru dalam proses pembelajaran lebih banyak dimaknai sebagai fasilitator supaya anak mengalami proses belajar. Dengan demikian, kesadaran dan keterpahaman guru dan siswa akan tujuan yang harus dicapai dalam proses pembelajaran merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar, sehingga dalam prosesnya, guru dan siswa mengarah pada tujuan yang sama.

Pembelajaran tidak hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran saja, namun merupakan suatu proses pembentukan perilaku siswa. Siswa adalah organisme yang unik, yang sedang berkembang. Siswa bukan benda mati yang dapat diatur begitu saja. Mereka miliki minat dan bakat yang berbeda-beda. Mereka juga memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Itulah sebabnya proses pembelajaran adalah proses yang kompleks, yang harus memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Pembelajaran dalam konsep pendidikan karakter didefinisikan sebagai sebuah kegiatan yang mengarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan/dirujuk pada suatu nilai.20 Dalam definisi tersebut terdapat dua kegiatan sebagai sebuah identitas pembelajarn dalam pendidikan karakter, yaitu penguatan dan pengembangan perilaku.

Penguatan adalah respon yang diberikan guru, baik bersifat verbal maupun nonverbal untuk mendorong peserta didik mengadakan pengulangan suatu tindakan tertentu. Sedangkan pengembangan perilaku merupakan sebuah proses menyesuaikan perilaku anak terhadap situasi dan kondisi yang tengah dihadapi berdasarkan pengalaman anak. Dalam proses inilah terjadi proses anak belajar suatu nilai. Ketika proses ini berulang dan terasa nyaman dalam diri anak, maka dapat dipastikan bahwa anak akan memiliki karakter dari nilai yang diperkuat melalui proses belajar.

20

Dharma Kesuma, dkk., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,


(29)

2. Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Nilai Karakter

Terdapat beberapa faktor yang mempengarui dalam proses pembelajaran di antaranya: (1) Faktor guru, (2) Siswa, (3) Sarana dan Prasarana, dan (4) Lingkungan.21

a. Faktor Guru

Guru merupakan komponen yang menentukan dalam sebuah proses pembelajaran. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi kejelian guru dalam menyiapkan strategi, metode, teknik, dan taktik pembelajaran.

b. Faktor Siswa

Sebagai subyek belajar, siswa tumbuh dan berkembang dengan segala keunikannya sesuai tahap perkembangannya. Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga perlu kreativitas seorang guru dalam mengakomodir kemampuan tersebut.

c. Faktor Sarana dan Prasarana

Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara tidak langsung terhadap keberhasilan proses pembelajaran.

d. Faktor Lingkungan

Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu:

21

Wina Sanjaya. Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group, 2011) cet ke-4, hlm 197.


(30)

1. Faktor organisasi kelas; faktor ini meliputi jumlah siswa dalam satu kelas. Hal ini tentu saja mempengarui efektivitas dalam pencapaian tujuan pembelajaran.

2. Faktor iklim sosial-psikologis; faktor berkaitan dengan keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran.

Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran seperti yang disampaikan di atas, Made Wena menyebutkan juga terdapat sejumlah komponen yang dapat mempengaruhi kegiatan pembelajaran, meliputi: “tujuan pembelajaran, karakteristik siswa, kendala sumber/media belajar, dan karakteristik/struktur bidang studi”.22

a. Tujuan Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran, tujuan merupakan komponen yang utama. Sehingga guru harus menetapkan terlebih dahulu tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Tidak ada suatu proses pembelajaran yang diprogramkan tanpa sebuah tujuan, karena hal ini merupakan kegiatan yang sia-sia, tak menentu arah, dan tiada target akhir yang jelas. Oleh sebab itu, proses pembelajaran adalah proses bertujuan.

b. Karakteristik Siswa

Proses pembelajaran merupakan suatu usaha mengembangkan segala kemampuan siswa dengan karakteristik masing-masing siswa yang beraneka ragam. Karakteristik siswa tersebut meliputi: motivasi, bakat, minat, gaya belajar, kepribadian, dan sebagainya. Dengan keragaman tersebut, dibutuhkan kejelian seorang guru dalam mengelola pembelajaran

22

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta:Bumi Aksara, 2009)


(31)

agar dapat mengakomodir segala kebutuhan siswanya, sehingga dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

c. Kendala Sumber/Media Belajar

Belajar tidak hanya bersentuhan dengan hal-hal yang konkrit, baik dalam konsep maupun faktanya. Bahkan dalam realitasnya, belajar seringkali bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat kompleks, maya, dan berada di balik realitas. Karena itu, media memiliki andil untuk menjelaskan hal-hal yang abstrak.

“Menurut jenisnya, media terbagi menjadi tiga jenis, yaitu media auditif, media visual, dan media audiovisual”.23 Keragaman jenis media tersebut bukan menjadi ketergantungan dalam pelaksanaan pembelajaran. media hanya sebagai alat bantu dalam pembelajaran, bukan sebagai penghambat dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

d. Karakteristik/Struktur Bidang Studi

Setiap bidang studi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik tersebut berkaitan dengan hubungan-hubungan di antara bagian-bagian bidang studi tertentu. Karateristik bidang studi mata pelajaran matematika berbeda dengan karakteristik bidang studi sejarah. Misalnya dalam mata pelajaran sejarah, guru sejarah dapat memulai dapat memulai pembelajaran dari pokok bahasan apa saja, sebaliknya mata pelajaran matematika tidak bisa dilakukan seperti itu. Sehingga kemampuan guru dalam memahami karakteristik bidang studi berdampak pada pemilihan metode pembelajaran yang akan digunakan.

Dari penjelasan diatas, banyak hal yang dapat mempengarui proses pembelajaran. Perlunya memahami faktor-faktor tersebut, dapat dijadikan

23

Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta:PT. Refika Aditama, 2007) cet ke-1, hlm 67.


(32)

landasan dalam menentukan bagaimana menyusun strategi pembelajaran agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

3. Strategi dan Metode Pembelajaran Nilai Karakter

Pendidikan karakter di era modern seperti saat ini membutuhkan sebuah inovasi strategi dan metode pembelajaran yang akan membantu menyukseskan pendidikan karakter. Maraknya pemanfaatan teknologi informasi melalui internet, handphone, maupun tab yang pesat, dan membanjirnya budaya asing secara bebas perlu menjadi bahan pertimbangan bagi pengajar ketika akan menanamkan nilai karakter kepada peserta didik.

Metode pembelajaran tradisional yang mengansumsikan bahwa peserta didik memiliki kebutuhan yang sama, belajar dengan cara yang sama nampaknya kini tidak lagi berlaku. Metode tersebut dinilai kurang mengapresiasi kebutuhan peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran. Proses pembelajaran dewasa ini lebih tepat menggunakan model pembelajaran yang didasarkan pada interaksi sosial (model interaksi) dan transaksi.24

Model pembelajaran interaksional ini dilaksanakan dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip:

(a) melibatkan peserta didik secara aktif dalam belajar; (b) mendasarkan pada perbuatan individu; (c) mengaitkan teori dengan praktik; (d) mengembangkan komunikasi dan kerjasama dalam belajar; (e) meningkatkan keberanian peserta didik dalam mengambil resiko dan belajar dari kesalahan; (f) meningkatkan pembelajaran sambil berbuat dan bermain; dan (g) menyesuaikan pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif yang masih pada taraf operasi konkret. 25

Dengan model pembelajaran yang lebih variatif akan mendorong peserta didik untuk ikut terlibat dalam proses pembelajaran secara aktif. Pembelajaran dalam pendidikan karakter juga perlu dilakukan secara komprehensif yang pada dasarnya ditinjau dari segi metode yang digunakan,

24

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.231.

25


(33)

pendidikan yang berpartisipasi (guru, orangtua) dan konteks dimana berlangsungnya pendidikan nilai tersebut (baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat).

4. Prinsip Pembelajaran Nilai Karakter

Dalam pengembangan karakter bangsa sejatinya, tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.

Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa: (a) berkelanjutan; (b) melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah serta muatan lokal; (c) nilai tidak diajarkan melainkan dikembangkan; (d) proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.26

26

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga


(34)

a. Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses yang tiada henti, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan bahkan sampai terjun ke masyarakat.

b. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikemabngakan dalam pendidikan karakter ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang ada.

c. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materinilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, dan ketrampilan. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.


(35)

Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka. Mereka berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai itu. tidak boleh

d. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.

Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif. Hal ini dilakukan tanpa guru mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah.

5. Model Pembelajaran Nilai Karakter

Model pembelajaran nilai karakter dapat dilakukan dengan berbagai model. Model tersebut antara lain:


(36)

“Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu yang diamalkan”.27 Model pembiasaan ini hendaknya dilakukan guru dalam setiap proses pembelajaran sebagai upaya pembentukan karakter yang bermuatan sifat-sifat baik dan terpuji.

Dalam proses pembelajaran, pembiasaan dapat dilakukan melalui kegiatan berdoa sebelum memulai pembelajaran, hadir dikelas tepat waktu, tanya-jawab tentang materi pelajaran, bekerja dalam kelompok, mempresentasikan/menampilkan hasil kerja kelompok, dll. Meskipun sederhana, namun kegiatan-kegiatan tersebut apabila mampu dilakukan dengan sebaik-baiknya akan membawa dampak positif dalam kehidupan sehari-hari setelah proses pembelajaran.

Melalui pembiasaan pendidikan karakter juga perlu ditunjang keikutsertaannya sebagai suri tauladan dari seluruh stakeholder sekolah, termasuk guru dan kepala sekolah. Ibarat dua sisi mata uang, keberadaan pembiasaan dan keteladaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pembiasaan membutuhkan teladan dalam pelaksanaannya. Keteladaanpun akan sia-sia apabila tidak diimbangi dengan pembiasaan.

Dalam pendidikan karakter pribadi guru akan menjadi teladan bagi peserta didik dalam setiap prosess pembelajaran yang dijalaninya. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi, karena “manusia sendiri merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk peserta didik mencontoh pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya”.28

Dalam keteladanan ini, guru harus berani tampil beda, berbeda penampilan dari orang lain yang bukan guru. Penampilan-penampilan

27

E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet ke-2, hlm166.

28


(37)

tersebut meliputi cara berkomunikasi, penampilan berpakaian, cara berinteraksi dengan peseta didik, kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ada di sekolah, dan hal-hal lain yang mungkin dapat dikembangkan menjadi sebuah teladan yang baik bagi peserta didiknya.

b. Pembinaan disiplin

Kegiatan pembinaan disiplin merupakan suatu usaha menumbuhkembangkan disiplin peserta didik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pendidikan berkarakter. Menurut tata bahasa, disiplin adalah suatu bentuk kepatuan terhadap peraturan-peraturan yang telah berlaku.

Kedisiplinan dapat berjalan dengan baik apabila mampu dilakukan dengan pembiasaan dalam kegiatan sehari-hari. Aktivitas yang dikerjakan secara berulang dan terus-menerus, biasanya akan cepat tertanam dalam hati seseorang.

c. Contextual teaching and learning

Ada berbagai macam metode pembelajaran, salah satunya adalah pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau lebih sering dikenal dengan CTL. CTL merupakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menumbuhkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendoron siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.29

Menurut Kohlberg, dalam konsep pendidikan moralnya, menyebutkan bahwa pendidikan kaakter harus melibatkan berpikir aktif dalam menghadapi isu-isu moral dan menetapkan suatu keputusan

29

Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:


(38)

moral.30 Peserta didik sebagai subyek yang belajar, harus dikondisikan tentang bagaimana mereka dapat belajar merespon keadaan lingkungannya yang kadang tidak sejalan dengan pembelajaran yang mereka dapat di kelas. Dan pada akhirnyapun mereka diberikan kesempatan untuk memilih dan menentukan keterlibatannya dalam keadaan tersebut.

d. Bermain peran

Bermain peran merupakan salah satu metode pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia, terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.31

Dalam model ini, peserta didik diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memerankan sebuah jalan cerita yang masing-masing peserta didik mempunyai peran yang berbeda, sehingga akan nampak keragaman peran yang dimainkan. Model ini menuntut kejelian guru untuk mengoreksi kekurangan dari peran yang telah dimainkan.

Sebagai sebuah model pembelajaran berkarakter bermain peran berakar pada dimensi pribadi dan sosial.32 Maksudnya, secara pribadi model ini membantu peserta didik untuk menyeleseikan permasalahan yang sedang dihadapinya dengan bantuan kelompok sosial yang diilustrasikan oleh teman-teman sekelas.

Sedangkan secara dimensi sosial model pembelajaran ini memberikan kesempatan peserta didik untuk bekerja sama dalam menganalisa situasi-situasi sosial, terutama masalah yang menyangkut hubungan antar pribadi peserta didik.

30

Op. Cit, hlm174. 31

Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran,

(Jakarta:Prestasi Pustaka, 2010) cet ke-1, lm 194. 32

E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter. (Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet ke-2, hlm179.


(39)

e. Pembelajaran partisipatif

Dalam proses pembelajaran, agar tercapai hasil yang optimal diperlukan keterlibatan atau partisipasi dari peserta didik. Pembelajaran partisipatif sendiri merupakan model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.33

Untuk terjadinya keterlibatan itu peserta didik harus memahami dan memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan belajar. Keterlibatan peserta didik itu pun arus memiliki arti penting sebagai bagian dari dirinya dan perlu diarahkan secara baik oleh sumber belajar.

Pelaksanaan pembelajaran partisipatif memerhatikan beberapa prinsip sebagai berikut:

Pertama, berdasarkan kebutuhan belajar sebagai keinginan maupun kehendak yang dirasakan oleh peserta didik. Kedua, tujuan kegiatan belajar. Prinsip ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pembelajaran partisipatif berorientasi kepada usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga, berpusat pada peserta didik. Keempat, belajar berdasarkan pengalaman, bahwa kegiatan belajar siswa harus selalu dihubungkan dengan pengalaman peserta didik.34

Dalam pembelajaran partisipatif, guru hanya berperan sebagai fasilitator dan mendorong partisipasi peserta didik dalam setiap proses pembelajaran. Oleh karena itu, dengan keterlibatan peserta didik dapat menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

33

Sofyan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran,

(Jakarta:Prestasi Pustaka, 2010) cet ke-1, lm 195. 34

E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter. (Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet ke-2, hlm189.


(40)

C. Pengembangan Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan

1. Mata Pelajaran Kewirausahaan di SMK

Dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006, menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya.35 Hal ini mengindikasikan bahwa kemendiknas ingin mengarahkan pendidikan kejuruan ini agar dapat membentuk pemuda-pemuda Indonesia yang memiliki kecakapan hidup yang berkualitas. Perwujudan tujuan pendidikan kejuruan dapat diaplikasikan melalui pencapaian kompetensi dasar untuk bertahan hidup, serta mampu menyesuaikan diri agar berhasil dalam kehidupan bermasyarakat.

Mata pelajaran Kewirausahaan merupakan bagian dari mata pelajaran kejuruan yang terdiri atas beberapa mata pelajaran yang bertujuan untuk menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan kemampuan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya.36 Mata pelajaran Kewirausahaan memiliki tujuan agar peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya dalam perilaku berwirausaha.

Isi dari mata pelajaran Kewirausahaan diorientasikan pada perilaku berwirausaha sebagai upaya merespon fenomena kelangkaan lapangan pekerjaan yang terjadi di lingkungan peserta didik. Berkaitan dengan hal tersebut, peserta didik dituntut lebih aktif untuk mempelajari peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di lingkungannya. Sehingga setelah menyeleseikan pendidikannya, peserta didik diharapkan memiliki mindset untuk membuka lapangan usaha baru, bukan lagi bekerja untuk orang lain.

35

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 36


(41)

Untuk mengembangkan mata pelajaran Kewirausahaan, terdapat beberapa prinsip-prinsip yang dapat digunakan, yaitu:

a. Proses pengembangan nilai-nilai kewirausahaan merupakan sebuah proses panjang dan berkelanjutan dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.

b. Materi nilai-nilai kewirausahaan bukanlah bahan ajar biasa. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, dan sebagainya. Nilai kewirausahaan diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Pengintegrasian ke dalam mata pelajaran bisa melalui materi, metode, maupun penilaian.

c. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan. Demikian juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai.

d. Digunakan metode pembelajaran aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai-nilai kewirausahaan dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Dalam proses pembelajaran dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa menyenangkan.37

Proses pembelajaran dalam mata pelajaran Kewirausahaan ini memiliki perbedaan dengan mata pelajaran yang lain. Mata pelajaran Kewirausahaan mengorientasikan pembelajarannya kepada sebuah tindakan, yaitu penciptaan sebuah produk atau karya yang memiliki nilai jual.

a. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Mata Pelajaran Kewirausahaan

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik.38 Kualifikasi kemampuannya meliputi sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Seperti mata pelajaran lainnya,

37

Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan, Jakarta:Kemendiknas, 2010.

38


(42)

Kewirausahaanpun memiliki standar kompetensi lulusan yang ingin dicapai. Berikut Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran Kewirausahaan:

1. Mampu mengidentifikasi kegiatan dan peluang usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.

2. Menerapkan sikap dan perilaku wirausaha dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakatnya.

3. Memahami sendi-sendi kepemimpinan dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya.

4. Mampu merencanakan sekaligus mengelola usaha kecil/mikro dalam bidangnya.39

Proses pembelajaran mata pelajaran kewirausahaan diharapkan dapat menghasilkan perilaku wirausaha dan jiwa kepemimpinan, yang sangat terkait dengan cara mengelola usaha untuk membekali peserta didik agar dapat berusaha secara mandiri.

b. Standar Isi Mata Pelajaran Kewirausahaan

Di dalam standar dibagi menjadi menjadi dua, yaitu Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan pengguasaan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang diharapkan dapat dicapai pada setiap tingkat dan/atau semester. Sedangkan kompetensi dasar ialah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi.40 Dua hal tersebut menjadi pedoman guru untuk disampaikan kepada siswa mengenai kompetensi-kompetensi apa saja yang harus dimiliki siswa dalam proses pembelajaran di mata pelajaran tertentu. Berikut SK/KD pada mata pelajaran Kewirausahaan:

39 Ibid., 40


(43)

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 1. Mengaktualisasikan sikap

dan perilaku wirausaha

1. 1 Mengidentifikasi sikap dan perilaku wirausahawan

1. 2 Menerapkan sikap dan perilaku kerja prestatif

1. 3 Merumuskan solusi masalah

1. 4 Mengembangkan semangat wirausaha 1. 5 Membangun komitmen bagi dirinya dan

bagi orang lain

1. 6 Mengambil resiko usaha 1. 7 Membuat keputusan

2. Menerapkan jiwa kepemimpinan

2. 1 Menunjukkan sikap pantang menyerah dan ulet

2. 2 Mengelola konflik

2. 3 Membangun visi dan misi usaha

3. Merencanakan usaha kecil/mikro

3. 1 Menganalisis peluang usaha

3. 2 Menganalisa aspek-aspek pengelolaan usaha

3. 3 Menyusun proposal usaha

4. Mengelola usaha kecil/mikro 4. 1 Mempersiapkan pendirian usaha 4. 2 Menghitung resiko menjalankan usaha 4. 3 Menjalankan usaha kecil

4. 4 Mengevaluasi hasil usaha

Dari tabel diatas dapat dianalisa nilai-nilai karakter yang diharapkan dimunculkan dalam proses pembelajaran pada mata pelajaran Kewirausahaan, yaitu:


(44)

1. Kemandirian merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Pada mata pelajaran Kewirausahaan, muncul pada kompetensi dasar: menerapkan sikap dan perilaku kerja prestatif, membangunn komitmen bagi dirinya dan bagi orang lain.

2. Kreatif merupakan sebuah proses berpikir dan melakukan sesuatu yang menghasilkan cara atau hasil baru berdasarkan sesuatu yang telah dimiliki. Pada mata pelajaran Kewirausahaan, muncul pada kompetensi dasar: mengidentifikasi sikap dan perilaku wirausahawan, mengambil resiko usaha,mengembangkan semangat wirausaha.

3. Berani mengambil resiko merupakan kemampuan seseorang untuk menyukai pekerjaan yang menantang, berani, dan mengambil resiko. Pada mata pelajaran Kewirausahaan, muncul pada kompetensi dasar: mengambil resiko usaha, menghitung resiko menjalankan usaha, menjalankan usaha kecil.

4. Berorientasi pada tindakan merupakan sikap mengambil inisiatif untuk bertindak, dan bukan menunggu, sebelum sebuah kejadian yang tidak dikehendaki terjadi. Pada mata pelajaran Kewirausahaan, muncul pada kompetensi dasar: menganalisa aspek-aspek pengelolaan usaha, menjalankan usaha kecil, membuat keputusan.

5. Kepemimpinan merupakan sikap dan perilaku seseorang yang selalu terbuka terhadap saran dan kritik, mudah bergaul, bekerja sama, dan mengarahkan orang lain. Pada mata pelajaran Kewirausahaan muncul pada kompetensi dasar: menunjukkan sikap pantang menyerah dan ulet, mengelola konflik, membangun visi dan misi usaha.


(45)

6. Kerja keras merupakan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Pada mata pelajaran Kewirausahaan muncul pada kompetensi dasar: mempersiapkan pendirian usaha, mengembangkan semangat wirausaha, menerapkan sikap dan perilaku kerja prestatif.

2. Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan

Nilai-nilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan yang dikembangkan berdasarkan analisis SK/KD dalam mata pelajaran Kewirausahaan ini mengarah pada pengembangan nilai-nilai dari ciri-ciri seorang wirausaha. Menurut para ahli kewirausahaan, ada banyak nilai-nilai kewirausahaan yang dianggap paling pokok dan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik sebanyak 18 (delapan belas) nilai yang seharusnya dimiliki oleh peserta didik dan warga sekolah yang lain.

Implementasi dari nilai-nilai pokok kewirausahaan tersebut tidak secara langsung dilaksanakan sekaligus oleh satuan pendidikan, namun dilakukan secara bertahap. Setidaknya nilai-nilai kewirausahaan diambil 6 (enam) nilai pokok, yaitu: (1) mandiri, (2) kreatif, (3) berani mengambil resiko, (4) berorientasi pada tindakan, (5) kepemimpinan, dan (6) kerja keras.41 Hal ini bukan berarti membatasi penanaman nilai-nilai kewirausahaan pada semua sekolah secara seragam, tapi setiap jenjang satuan pendidikan dapat menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan yang lain secara mandiri sesuai dengan keperluan sekolah.

41

Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan, Jakarta:Kemendiknas, 2010.


(46)

3. Pembelajaran Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan

Dalam proses pembelajaran keberadaan nilai-nilai karakter tidak terdapat dalam mata pelajaran yang ada di sekolah. Namun, dalam aplikasinya terintegrasi secara komprehensif ke dalam setiap mata pelajaran yang ada di sekolah.42 Pengintegrasian ini tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu adanya pembiasaan, keteladanan, serta perhatian serius dari stakeholder yang ada di sekolah tersebut.

Pembelajaran nilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan merupakan ba ian dari penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran sehingga hasilnya diperoleh kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kewirausahaan, dan pembiasaan terhadap nilai-nilai-nilai-nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku seharian siswa melalui proses pembelajaran.

Dalam aktifitas pembelajaran terdapat mekanisme tertentu yang diatur guna memfokuskan pencapaian tujuan pembelajaran. Menurut Wina Sanjaya, “pembelajaran adalah proses yang bertujuan, proses kerja sama, proses yang kompleks, dan proses memanfaatkan berbagai sumber belajar”.43 Proses-proses tersebut apabila dirumuskan melalui langkah-langkah yang sistematis, dapat mendukung pelaksanaan pembelajaran sehingga tujuan-tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai.

Menurut Abdul Majid, langkah-langkah pembelajaran pada umumnya meliputi tiga kegiatan, yaitu: “(1) kegiatan pendahuluan, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan penutup”.44 Dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 juga disebutkan bahwa “pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan,

42

Agus Wibowo. Pendidikan Karakter; Strategi Membangun Karakter Bangsa

Berperadaban (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hlm 71. 43

Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: PT Kencana

Prenada Media Group, 2008) cet ke-1, hlm 31-32. 44

Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru,


(47)

kegiatan inti, dan kegiatan penutup”.45 Ketiga kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengintegrasian nilai-nilai karakter.

a. Kegiatan Pendahuluan

Pendahuluan merupakan langkah awal yang harus dilakukan guru untuk memulai sebuah pembelajaran. Keberasilan dalam membuka sebua pembelajaran yan baik, akan berdampak pada keiatan pembelajaran yan dilaksanakan di menit-menit selanjutnya.

Menurut Uzer Usman, dalam bukunya Menjadi Guru Profesional menyebutkan bawa membuka pelajaran adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk menciptakan prakondisi bagi murid agar mental maupun perhatian terpusat pada apa yang akan dipelajarinya, sehingga usaha tersebut akan memberikan efek yang positif terhadap kegiatan belajar.46

Dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini dimaksudkan sebagai menumbuhkan motivasi kepada siswa, memfokuskan perhatian siswa, dan menciptakan kesiapan mentalitas siswa terhadap apa yang akan dipelajarinya. Ada beberapa hal yang dilakukan pada saat pendahuluan: 1. Mengkondisikan peserta didik

Berbagai cara dilakukan agar siswa dalam kondisi siap belajar, memiliki perhatian, baik secara psikis maupun fisik. Proses ini dapat dilakukan dengan berdoa, membersikan sampah yang mungkin masih berserakan disekitar bangku, mengabsen siswa, membuat games kecil, dll.

2. Membuat scene setting

45

Permendiknas No 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses. 46

Muh.Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Ciputat: PT. Remaja Rosda Karya), 2003,


(48)

Menyampaikan cakupan materi dalam bentuk atau setting yang mudah diingat oleh siswa dalam waktu yang cukup panjang. Cara ini biasanya khusus dilakukan untuk memulai materi baru. Salah satu scene setting yang sering digunakan adalah membuat mind mapping (memetakan) cakupan materi tersebut.

3. Apersepsi

Membuat pertanyaan terkait dengan pelajaran, menanyakan materi yang sudah dipelajari, dan saat akan memasuki pelajaran.47 Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkuat pengalaman belajar siswa, dan memperhatikan kesiapan siswa dalam memulai pembelajaran dan untuk menindari penulanan materi pelajaran yan sama ole uru kepada siswa.

Dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007, tugas guru dalam kegiatan pendahuluan meliputi :

1. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;

2. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;

3. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;

4. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.48

Dalam kegiatan pendahuluan ini, tahapan-tahapannya mengarahkan guru kepada pembentukan nilai karakter siswa. Misalnya berdoa sebelum memulai pembelajaran (menanamkan nilai religius), mengabsen kehadiran siswa (menanamkan nilai disiplin, saling menghargai), menanyakan kabar siswa (menanamkan nilai empati,

47

Najib Sulhan, Panduan Praktis Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa Sinergi

Sekolah dengan Rumah, (Surabaya:Jaring Pena, 2011) cet ke-1, hal 92. 48


(49)

peduli), appersepsi (menanamkan nilai bertanggungjawab, rasa ingin tahu), dll.

b. Kegiatan Inti

Kegiatan inti merupakan proses penting yang mampu mengembangkan aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik yang berkaitan dengan bahan kajian yang bersangkutan. Wina Sanjaya mengartikan kegiatan inti sebagai kegiatan memberikan pengalaman belajar kepada siswa.49

Kegiatan ini setidaknya mencakup: “1) penyampaian tujuan pembelajaran; 2) penyampaian materi/bahan ajar dengan menggunakan: pendekatan dan metode, sarana, dan alat/media yang sesuai dll; 3) pemberian bimbingan bagi pemahaman siswa; 4) melakukan/pengecekan terhadap pemahaman siswa”. 50

Dalam Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi: “ (1) eksplorasi, (2) elaborasi dan (3) konfirmasi”.51

1. Eksplorasi

Pada tahapan ini, guru dituntut mendorong peserta didik untuk menggali seluruh kemampuan dan potensinya dari informasi dan pengalaman belajar serta melibatkannya secara aktif dalam proses pembelajaran tersebut.

Tahap eksplorasi merupakan “kegiatan pembelajaran untuk mengenalkan bahan dan mengaitkannya dengan pengetahuan yang

49

Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008),

cet. Ke-1, al. 176 50

Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) ke-8, hal 104.

51


(50)

telah dimiliki peserta didik”.52 Tahapan ini sangat penting dilakukan guru sehingga nantinya akan memunculkan ketertarikan peserta didik dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas.

Dalam kegiatan eksplorasi, guru berperan untuk:

a. Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber.

b. Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain.

c. Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.

d. Melibatkan peserata didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.

e. Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran dan memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.53

Dalam kegiatan ini diharapkan peserta didik dibiasakan untuk mampu menumbuhkan sifat-sifat kemandirian dalam kehidupan sehari-hari mereka. Karena sebagai suatu proses pembelajaran, fase ini banyak mengarahkan peserta didik untuk melibatkan diri secara aktif dalam pelaksanaan proses tersebut.

2. Elaborasi

Proses pembelajaran merupakan usaha saling kerjasama antara guru dan siswa. Dalam fase ini, siswa lebih diberikan kesempatan memadupadaankan apa yang telah diperolehnya pada tahap eksplorasi melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru sebagai sebuah hasil dalam pemahaman suatu pembelajaran.

52

E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004 (Panduan Pembelajaran KBK), (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006), cet ke-4, hal 119.

53


(51)

Dalam kegiatan elaborasi, guru berperan untuk:

a. Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna.

b. Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.

c. Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut.

d. Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.

e. Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar.

f. Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok.

g. Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok.

h. Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan.

i. Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.54 3. Konfirmasi

Sebagai bagian terakhir dalam kegiatan inti, konfirmasi berupaya mereview hasil yang telah dibuat siswa. Dalam hal ini juga perlu diadakan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan siswa berkaitan dengan kegiatan eksplorasi dan elaborasi, sehingga siswa perlu tahu apa yang menjadi kekurangannya dalam pembelajaran tersebut.

Dalam kegiatan konfirmasi, guru berperan untuk:

a. Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik. b. Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi

peserta didik melalui berbagai sumber.

c. Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan.

d. Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.55

54


(52)

Secara garis besar pada kegiatan inti, terdapat kegiatan-kegiatan yang dapat mengarahkan kepada pembentukan nilai-nilai karakter diantaranya: mengeksplorasi pengetahuan siswa/ dengan sumber belajar yang bervariasi (menanamkan nilai kreatif, mandiri, bertanggungjawab, disiplin), memadupadankan pengalaman belajar siswa dengan materi yang telah diajarkan (menanamkan nilai toleransi, mandiri, rasa ingin tahu,) mereview kegiatan belajar antar siswa (menanamkan nilai toleransi, saling menghargai)

c. Kegiatan Penutup

Kegiatan terakhir dalam proses pembelajaran adalah menutup pelajaran. Kegiatan penutup ini adalah kegiatan yang memberikan penegasan atau kesimpulan dan penilaian terhadap penguasaan bahan kajian yang diberikan pada kegiatan inti.56 Kesimpulan ini dibuat oleh guru dan atau bersama-sama dengan siswa.

Kegiatan yang harus dilaksanakan guru dalam kegiatan akhir sebagai upaya tindak lanjut sebuah proses pembelajaran adalah:

1. Melaksanakan penilaian akhir dan mengkaji hasil penilaian.

2. Melaksanakan kegiatan tindak lanjut dengan alternatif kegiatan diantaranya: a) Memberi tugas atau latihan-latihan; b) Menugaskan mempelajari materi pelajaran tertentu; c) Memberikan motivasi/bimbingan belajar.

3. Mengakhiri proses pembelajaran dengan menjelaskan atau memberi tahu materi pokok yang akan dibahas pada pelajaran berikutnya. 57

Sebagai kegiatan terakhirpun kegiatan penutup tetap memiliki kegiatan-kegiatan yang dapat memunculkan nilai-nilai karakter diantaranya: menyimpulkan hasil pembelajaran (menanamkan nilai

55

Permendiknas No 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses 56

Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) ke-8, hal 105.

57


(53)

kreatif, mandiri), memberi tahu materi selanjutnya (menanamkan rasa ingin tahu).

Pada hakekatnya proses pembelajaran, bukan hanya menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, namun juga didesain untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan ke dalam kehidupan sehariannya.

Pembelajaran merupakan sebuah proses yang unik karena dalam pelaksanaannya membutuhkan kreatifitas untuk membangun sebuah pola pikir yang mampu diterima oleh semua siswa dengan berbagai macam karakter dan metode gaya belajar yang berbeda-beda. Oleh karena itu, guru sebagai pembimbing siswa dalam belajar dituntut untuk mengetahui situasi-situasi yang berkembang sehingga apa yang disampaikan guru dapat diterima dengan baik oleh siswa.

Pembelajaran merupakan bentuk konkret dalam realisasi kurikulum sebagai dokumen tertulis di sekolah atau kelas, maka aktivitas pembelajaran yang relevan dilaksanakan guru untuk pembentukan karakter tidak dapat dilepaskan dari karakteristik kurikulum yang berlaku di sekolah. Apapun aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru, harusnya aktivitas tersebut mampu memfasilitasi siswa untuk mengarahkan pada pembentukan karakter.


(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada April-Agustus 2013, adapun tempat penelitian yaitu bertempat di SMK Negeri 16 Jakarta yang beralamat di Jalan Amir Hamzah, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginteprestasikan apa yang ada atau mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang berkembang, proses yang sedang berlansung, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang.1 Penelitian deskripsi berusaha memberikan dengan sistematis dan cermat fakta-fakta aktual, gejala, kejadian dan sifat populasi atau daerah tertentu.

1

Mahmud. Metode Penelitian Pendidikan (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2011) hlm 100


(55)

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data digunakan sebagai upaya memperole informasi sebanyak-banyaknya dari beberapa bagian dari populasi. “Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah”: 2

1. Observasi adalah suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan. Sehingga penulis dapat mengetahui gambaran keadaan tempat penelitian sekaligus untuk menghimpun data penelitian.

Hal-hal yang akan diobservasi meliputi:

a. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada mata pelajaran kewirausahaan.

b. Fasilitas pembelajaran (kelas, koperasi, laboratorium).

c. Dukungan sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan karakter.

2. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau menggunakan pedoman (guide) wawancara. Wawancara digunakan untuk memperdalam informasi yang dibutuhkan dalam penyeleseian penelitian ini.

Informan yang akan diwawancarai adala:

a. Guru mata pelajaran Kewirausahaan SMK Negeri 16 Jakarta Siswa

SMK Negeri 16 Jakarta

b. Wakil Kepala Sekolah Bid. Kurikulum SMK Negeri 16 Jakarta

3. Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data-data pendukun dalam penumpulan data dari teknik wawancara dan observasi. Dokumentasi

2


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

KARAKTER KREATIFITAS DAN KEMANDIRIAN PADA SISWA (Studi Kasus Pada Proses Pembelajaran Mata Pelajaran Prakarya dan Karakter Kreatifitas Dan Kemandirian Pada Siswa (Studi Kasus Pada Proses Pembelajaran Mata Pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan Pada Siswa K

0 3 10

PENDAHULUAN Karakter Kreatifitas Dan Kemandirian Pada Siswa (Studi Kasus Pada Proses Pembelajaran Mata Pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan Pada Siswa Kelas XI Di SMA Negeri 8 Surakarta).

0 3 9

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER KURIKULUM 2013 PADA MATA PELAJARAN PRAKARYA DAN KEWIRAUSAHAAN DI SMK NEGERI 9 Implementasi Pendidikan Karakter Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Prakarya Dan Kewirausahaan Di SMK Negeri 9 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2

0 3 14

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER KURIKULUM 2013 PADA MATA PELAJARAN PRAKARYA DAN KEWIRAUSAHAAN DI SMK Implementasi Pendidikan Karakter Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Prakarya Dan Kewirausahaan Di SMK Negeri 9 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016.

0 3 16

PENDAHULUAN Implementasi Pendidikan Karakter Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Prakarya Dan Kewirausahaan Di SMK Negeri 9 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016.

0 4 6

PENGELOLAAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PRAKTIK KEWIRAUSAHAAN DI SMK NEGERI 6 SURAKARTA Pengelolaan Pendidikan Karakter Dalam Praktik Kewirausahaan Di SMK Negeri 6 Surakarta.

0 0 17

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN PRODUKTIF DI SMK NEGERI 3 SURAKARTA Pengelolaan Pembelajaran Mata Pelajaran Produktif di SMK Negeri 3 Surakarta.

0 2 16

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN PRODUKTIF DI SMK NEGERI 3 SURAKARTA Pengelolaan Pembelajaran Mata Pelajaran Produktif di SMK Negeri 3 Surakarta.

0 3 20

Analisis pelaksanaan pendidikan karakter di sma negeri 3 semarang (studi pada kelompok mata pelajaran ips) COVER

0 0 16

MATA PELAJARAN HITUNG DAGANG (STUDI PADA SMK NEGERI 14 JAKARTA)

0 1 8