Perkawinan menurut hukum adat Karo

Sehubungan dengan itu Sitepu mengatakan bahwa “marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannnya masih mempunyai kakek bersama”. Mungkin secara nyata tidak dapat lagi dirinci rentetan bersama akan tetapi ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama sudah terjalin hubungan darah sehingga dimuat menjadi suatu persyaratan kawin bagi masyarakat Karo yaitu dengan adanya larangan kawin bagi laki laki dan perempuan. Menurut pergaulan hidup masyarakat Karo memperlihatkan bahwa setiap orang Karo dianggap sebagai kerabat karena laki-laki dan perempuan menempatkan seseorang ke dalam satu diantara kategori yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo, yaitu Kalimbubu, anak beru, senina. Ketiga kategori ini merupakan satu kesatuan yang selalu diwujudkan sebagai ketiga yang lengkap dengan istilah sangkep sitelu atau rakut sitelu . Menurut hukum adat pada masyarakat Karo, kesatuan sangkep sitelu atau rakut sitelu inilah yang merupakan syarat bagi kehidupan bersama manusia, karena ikatan kekerabatan ini tidak bersifat perorangan tetapi mencakup golongan yang berkerabat secara luas sehingga masyarakat Karo dapat menghubungkan dirinya satu sama lainya dalam sistem kekerabatan.

1.6 Perkawinan menurut hukum adat Karo

Menurut adat Karo perkawinan yang ideal ialah perkawinan yang eksogami, tetapi masyarakat Karo di sana masih banyak menginginkan perkawinan impal, yaitu antara mereka yang mempunyai hubungan keluarga saling silang baik impal kandung maupun impal semerga, dan perkawinan masyarakat Karo dilangsungkan dengan tukur jujur. Universitas Sumatera Utara Seiring dengan itu, Sitepu mengatakan bahwa perkawinan jujur adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang–barang magis atau sejumlah uang dari keluarga laki-laki kepada pihak perempuan, dimana hal ini menurut beliau adalah berfungsi untuk pengganti atau sebagai pembeli tukur atas berpindahnya si perempuan ke dalam klen si laki-laki dan untuk mempetahankan susunan kekeluargaan berhukum kebapakan patrilineal. Lebih jauh dikatakan bahwa apabila dalam suatu perkawinan, jujurnya tidak dibayar, maka perkawinan itu dianggap tidak sah secara adat. Sitepu mengatakan bahwa proses pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Karo berlangsung dalam beberapa tahap yaitu,: 1. Mbaba belo selambar, mulai dilaksanakan musyawarah adat runggun atau sangkep sitelu pihak calon pengantin perempuan sinereh dan pada acara ini disampaikan lamaran yang dilanjutkan dengan pembicaraan yang disebut dengan ringgit-ringgit gantang tumba atau ersinget–ersinget. Setelah itu menurut Sitepu akan dilanjutkan dengan melakukan pemberian penindih puduh atau pemeberian tanda pengikat oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Sehingga dengan demikian, apabila pihak perempuan yang ingkar maka akibat hukumnya adalah pihak perempuan harus membayar dua kali lipat uang penindih puduh tersebut kepada pihak laki laki. Pada acara ini juga perlu dilakukan sijalapen, yaitu pengumuman dari anak beru kedua belah pihak tentang nama kedua calon mempelai, nama kedua orang tua, nama anak beru tertua , termasuk tanggal dan waktu pelaksanaan nganting manuk. 2. Ngembah manuk atau nganting manuk, yaitu untuk mematangkan hasil musyawarah yang dilakukan pada acara mbaba belo selambar yang dilanjutkan dengan mufakat Universitas Sumatera Utara tentang cara pelaksanaan peresmian perkawinan. Disini para sangkep sitelu dari kedua pihak bermusyawarah tentang kewajiban-kewajiban adat hutang adat yang menyangkut besarnya uang jujur. Besarnya acara pesta, tempat diadakannya pesta, menentukan orang–orang yang bertindak sebagai pengundang dan lain-lain. Setelah itu disepakati maka dibuatlah janji untuk menentukan hari dan tanggal pelaksanaan pesta. 3. Pesta atau erdemu bayu, yaitu pelaksanaan pesta perkawinan. Dalam pesta perkawinan tersebut diadakan adat pembayaran jujur unjuken yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai kelompok penerima jujur dengan dihadiri oleh seluruh kaum kerabat yang kedudukanya masing masing dikelompokan dalam kategori senina, anak beru dan kalimbubu 4. Mukul, setelah selesai pesta perkawinan maka pengantin perempuan dibawa oleh kerabat laki–laki atau kesuatu rumah yang dihunjuk pengantin laki-laki, maka pada malam hari diadakan acara mukul atau memecahkan tinaro memecahkan telur atau pengrebun, yaitu menetapkan kelompok yang dilarang berbicara langsung. Dalam beberapa hari kemudian, setelah pengantin perempuan tinggal dirumah pengantin laki–laki, maka kedua pengantin di antar oleh orang tua pengantin perempuan, dengan tujuan untuk mengambil pakaian atau barang-barang pengantin yang masih tinggal di rumah orang tuanya. . Pelamaran atau peminangan pada masyarakat patrilineal, pihak yang mengajukan adalah pihak keluarga laki-laki yang dijalankan oleh seseorang atau beberapa orang sebagai utusan. Seseorang atau beberapa orang yang menjadi utusan Universitas Sumatera Utara adalah orang- orang yang sekerabat dengan pihak keluarga laki-laki dan bahkan yang sering terjadi untuk melakukan pelamaran adalah orangtuanya sendiri. Bertalian dengan hal tersebut diatas, maka pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut adat, sebagaimana dikemukakan oleh Wila Chandrawila Supriadi 2002, adalah “memperoleh keturunan dan dengan demikian tiba pada pembentukan keluarga”. Oleh karena itu dapat di ketahui bahwa prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut: • Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga hubungan kekerabatan yang rukun dan damai serta bahagia dan kekal • Perkawinan tidak saja harus dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaannya, tetapi harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat menurut hukum adat. • Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan beberapa perempuan sebagai isteri yang kedudukannya msing-masing ditentukan menurut hukum adat, dalam arti menganut azas poligami. • Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat, karena masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarkat adat. • Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur atau yang masih dengan usia anak, tetapi perkawinan itu harus mendapat izin dari orang tua dan keluarga. • Keseimbangan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan adat yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan Universitas Sumatera Utara

1.6 Metodologi Penelitian