Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo

(1)

POLIGAMI PADA SUKU BANGSA KARO

( Kajian Kasus Tentang Perubahan Bentuk Perkawinan Poligami

ke Bentuk Monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe )

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Oleh :

Meri Sitorus

020905003

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI


(2)

(3)

ABSTRAK

Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo (Merry Sitorus, 2007). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 105 halaman, 8 tabel, 23 daftar pustaka dan 3 lampiran, yang terdiri dari surat penelitian, peta desa dan daftar istilah.

Penelitian ini mengkaji tentang pergeseran bentuk perkawinan poligami ke bentuk perkawinan monogami di Desa Sukanalu. Sekitar tahun 1950-an tingkat perkawinan poligami di desa ini cukup tinggi yaitu sekitar 75% dari jumlah laki-laki yang telah berumah tangga. Karena tingginya tingkat poligami itulah maka munculah istilah bagi perempuan Sukanalu yaitu Lembut Sukanalu, tingginya tingkat poligami di desa ini karena tidak adanya larangan dari adat yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka, baik dalam perkawinan maupun aspek yang lain. Faktor lain yang dianggap cukup besar pengaruhnya adalah nilai perkawinan poligami yang dijunjung tinggi oleh masyarakat khususnya kaum lelaki. Bila seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu dianggap lebih unggul, lebih berwibawa serta lebih terhormat di mata masyarakat dan menjadi suatu kebanggaan, untuk itu setiap laki-laki akan berusaha untuk mencapainya.

Penelitian yang dilakukan di Desa Sukanalu ini bertujuan untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang pada saat ini telah mengalami pergeseran ke bentuk perkawiann monogami. Hal yang dikaji yaitu latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami dan faktor-faktor yang memicu terjadinya pergeseran tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif yang bersifat deskriptif, metode wawancara dan life history method.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pada masyarakat Karo perkawinan dilangsungkan secara bertahap, sesuai dengan ketentuan hukum adat dan berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal. Perkawinan pada masyarakat Karo menganut sisitem kekerabatan, dimana isteri masuk ke dalam klen kekuasaan suami. Pada perkawinan yang pertama biasanya diadakan dengan pesta yang cukup meriah dan dengan pemberian tukur yang telah ditentukan sebelumnya, namun pada perkawinan kedua dan seterusnya cukup diadakan dengan makan bersama di dalam rumah saja dan dengan jumlah tukur yang diberikan seadanya. Alasan yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami yaitu karena faktor ekonomi, perjudian, longgarnya hubungan suami dan isteri, prestise sosial dan penghindaran status janda.

Kesimpulan penelitian ini yaitu seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman maka terjadi pula perubahan kecenderungan perkawinan, dari perkawinan poligami ke perkawinan monogami. Kecenderungan masyarakat untuk tidak berpoligami adalah karena timbulnya masalah yang sukar di pecahkan dalam rumah tangga. Masalah ekonomi rumah tangga merupakan satu masalah yang cukup pelik yang menjadikan kebanyakan pihak suami tidak sanggup dalam memenuhi tuntutan ini apalagi bila ia memepunayi isteri atau keluarga yang lebih dari satu


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena begitu besar kasih karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul “Poligami Pada Suku Bangsa Karo” suatu kajian antropologis tentang pergeseran perkawinan poligami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo.

Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan guna memperoleh gelar Sarjana Sosial.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku dekan FISIP-USU Medan 2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku pambantu dekan I atas fasilitas yang telah

diberikan kepada penulis.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku ketua Departemen Antropologi FISIP-USU.

4. Bapak Drs. Irfan Simatupang, Msi selaku sekretaris Departemen Antropologi FISIP-USU Medan.

5. Ibu Dra. Mariana Makmur, MA selaki Dosen Wali sekaligus Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dan dengan sabarnya memberikan motivasi, bimbingan dan arahannya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Penulis juga mengucapkan


(5)

6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan.

7. Informan penulis Bapak A. Sitepu (Kepala Desa Sukanalu), Bapak T. Bangun (Sekretaris Desa Sukanalu), Bapak S. Sutepu (Ketua Adat Desa Sukanalu), serta keluarga T. Ginting, keluarga S. Sembiring, dan keluarga J. Tarigan, mereka telah banyak memberikan waktu dan informasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Untuk kedua orang tuaku yang kucintai dan kusayangi, ayahanda Alm. J. Sitorus dan Ibunda T. Sibarani, yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik dan mencurahkan kasih saying dan perhatian serta doa yang tulus kepada penulis.

9. Untuk kakak-kakak dan adik-adikku yang berada di Jambi, walaupun berjauhan tetap selalu setia mendoakan, memberikan motivasi dan memantau setiap perkembangan skripsi penulis.

10. Teristimewa untuk orang terdekat penulis, E. T. Sinaga yang dengan segala kesabaran membantu, memberikan motivasi dan pengarahan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih buat cinta dan kasih sayangnya, pengertian dan kesetiannya yang mampu membuat penulis bertahan di saat-saat susah.

11. Untuk sahabat-sahabatku : Mila, Tere, Rudolf, Shintia, Dian, Susi, yang selama ini banyak membantu penulis mulai dari awal perkuliahan sampai


(6)

12. Untuk teman-teman satu kontrakan rumah dengan penulis: Deli, Jona, Gibson, Michael, Sinta, Kristo, terima kasih banyak ya atas kebersamaan dan keceriaan selama ini. Serta pihak-pihak yang tidak dapat penulis ucapakan satu persatu.

Dalam penulisan skipsi ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan yang disebabkan keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Medan,


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena begitu besar kasih karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul “Poligami Pada Suku Bangsa Karo” suatu kajian antropologis tentang pergeseran perkawinan poligami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo.

Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan guna memperoleh gelar Sarjana Sosial.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku dekan FISIP-USU Medan

2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku pambantu dekan I atas fasilitas yang telah

diberikan kepada penulis.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku ketua Departemen Antropologi

FISIP-USU.

4. Bapak Drs. Irfan Simatupang, Msi selaku sekretaris Departemen Antropologi

FISIP-USU Medan.

5. Ibu Dra. Mariana Makmur, MA selaki Dosen Wali sekaligus Dosen

Pembimbing yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dan dengan sabarnya memberikan motivasi, bimbingan dan arahannya


(8)

6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan.

7. Informan penulis Bapak A. Sitepu (Kepala Desa Sukanalu), Bapak T. Bangun

(Sekretaris Desa Sukanalu), Bapak S. Sutepu (Ketua Adat Desa Sukanalu), serta keluarga T. Ginting, keluarga S. Sembiring, dan keluarga J. Tarigan, mereka telah banyak memberikan waktu dan informasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Untuk kedua orang tuaku yang kucintai dan kusayangi, ayahanda Alm. J.

Sitorus dan Ibunda T. Sibarani, yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik dan mencurahkan kasih saying dan perhatian serta doa yang tulus kepada penulis.

9. Untuk kakak-kakak dan adik-adikku yang berada di Jambi, walaupun

berjauhan tetap selalu setia mendoakan, memberikan motivasi dan memantau setiap perkembangan skripsi penulis.

10. Teristimewa untuk orang terdekat penulis, E. T. Sinaga yang dengan segala

kesabaran membantu, memberikan motivasi dan pengarahan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih buat cinta dan kasih sayangnya, pengertian dan kesetiannya yang mampu membuat penulis bertahan di saat-saat susah.

11. Untuk sahabat-sahabatku : Mila, Tere, Rudolf, Shintia, Dian, Susi, yang

selama ini banyak membantu penulis mulai dari awal perkuliahan sampai sekarang. Terima kasih atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini, semoga tetap adem ayem sampai selamanya.


(9)

12. Untuk teman-teman satu kontrakan rumah dengan penulis: Deli, Jona, Gibson, Michael, Sinta, Kristo, terima kasih banyak ya atas kebersamaan dan keceriaan selama ini. Serta pihak-pihak yang tidak dapat penulis ucapakan satu persatu.

Dalam penulisan skipsi ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan yang disebabkan keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Medan,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vi

Abstrak ... vii

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian ... 10

1.4 Tujuan dan Manfaat Pnelitian ... 11

1.5 Tinjauan Pustaka ... 12

1.6 Perkawinan Menurut Hukum Adat Karo ... 15

1.7 Metodologi Penelitian ... 19

1.8 Kendala-Kendala di Lapangan ... 22

BAB II Gambaran Umum Desa Sukanalu ... 25

2.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah ... 25

2.2 Asal Usul dan Sejarah Terjadinya Desa ... 26

2.3 Pola Pemukiman ... 27

2.4 Sarana Transportasi ... 28

2.5 Sarana Kesehatan ... 29

2.6 Mata Pencaharian Penduduk ... 29

2.7 Keadaan Penduduk ... 31

BAB III Perkawinan Poligami Pada Masyarakat Karo ... 35

3.1 Pengertian Perkawinan ... 35


(11)

3.2.3 Tahapan Kegiatan Sesudah Perkawinan ... 49

3.3 Bentuk Perkawinan ... 53

3.4 Sahnya Perkawinan ... 57

3.5 Poligami Secara Umum Pada Masyarakat Karo ... 59

BAB IV Poligami di Desa Sukanalu ... 62

4.1 Kasus-kasus di Desa Sukanalu ... 63

4.1.1 Kasus I ... 63

4.1.2 Kasus II ... 65

4.1.3 Kasus III ... 67

4.1.4 Kasus IV ... 68

4.2. Data-Data Informan Pelaku Poligami ... 70

4.3 Perbandingan Perubahan Paradigma Berpikir Pelaku Poligami dan Pelaku Monogami ... 85

4.4 Dampak Poligami Terhadap Perempuan ... 90

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 93

5.1 Kesimpulan ... 93

5.2 Saran ... 97

Daftar Istilah Daftar Pustaka Lampiran


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pengelolaan Alam di Desa Sukanalu ... 25

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 31

Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Umur ... 33

Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 34

Tabel 5. Pelaku Poligami dan Alasannya ... 71

Tabel 6. Pelaku Monogami dan Alasannya ... 77

Tabel 7. Perbandingan Alasan Pelaku Poligami dan Monogami ... 81

Tabel 8. Perbandingan Perubahan Paradigma berpikir dari Pelaku Poligami Pelaku Monogami ... 85


(13)

ABSTRAK

Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo (Merry Sitorus, 2007). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 105 halaman, 8 tabel, 23 daftar pustaka dan 3 lampiran, yang terdiri dari surat penelitian, peta desa dan daftar istilah.

Penelitian ini mengkaji tentang pergeseran bentuk perkawinan poligami ke bentuk perkawinan monogami di Desa Sukanalu. Sekitar tahun 1950-an tingkat perkawinan poligami di desa ini cukup tinggi yaitu sekitar 75% dari jumlah laki-laki yang telah berumah tangga. Karena tingginya tingkat poligami itulah maka munculah istilah bagi perempuan Sukanalu yaitu Lembut Sukanalu, tingginya tingkat poligami di desa ini karena tidak adanya larangan dari adat yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka, baik dalam perkawinan maupun aspek yang lain. Faktor lain yang dianggap cukup besar pengaruhnya adalah nilai perkawinan poligami yang dijunjung tinggi oleh masyarakat khususnya kaum lelaki. Bila seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu dianggap lebih unggul, lebih berwibawa serta lebih terhormat di mata masyarakat dan menjadi suatu kebanggaan, untuk itu setiap laki-laki akan berusaha untuk mencapainya.

Penelitian yang dilakukan di Desa Sukanalu ini bertujuan untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang pada saat ini telah mengalami pergeseran ke bentuk perkawiann monogami. Hal yang dikaji yaitu latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami dan faktor-faktor yang memicu terjadinya pergeseran tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif yang bersifat deskriptif, metode wawancara dan life history method.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pada masyarakat Karo perkawinan dilangsungkan secara bertahap, sesuai dengan ketentuan hukum adat dan berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal. Perkawinan pada masyarakat Karo menganut sisitem kekerabatan, dimana isteri masuk ke dalam klen kekuasaan suami. Pada perkawinan yang pertama biasanya diadakan dengan pesta yang cukup meriah dan dengan pemberian tukur yang telah ditentukan sebelumnya, namun pada perkawinan kedua dan seterusnya cukup diadakan dengan makan bersama di dalam rumah saja dan dengan jumlah tukur yang diberikan seadanya. Alasan yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami yaitu karena faktor ekonomi, perjudian, longgarnya hubungan suami dan isteri, prestise sosial dan penghindaran status janda.

Kesimpulan penelitian ini yaitu seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman maka terjadi pula perubahan kecenderungan perkawinan, dari perkawinan poligami ke perkawinan monogami. Kecenderungan masyarakat untuk tidak berpoligami adalah karena timbulnya masalah yang sukar di pecahkan dalam rumah tangga. Masalah ekonomi rumah tangga merupakan satu masalah yang cukup pelik yang menjadikan kebanyakan pihak suami tidak sanggup dalam memenuhi tuntutan ini apalagi bila ia memepunayi isteri atau keluarga yang lebih dari satu


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pengelolaan Alam di Desa Sukanalu ... 25

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 31

Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Umur ... 33

Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 34

Tabel 5. Pelaku Poligami dan Alasannya ... 71

Tabel 6. Pelaku Monogami dan Alasannya ... 77

Tabel 7. Perbandingan Alasan Pelaku Poligami dan Monogami ... 81

Tabel 8. Perbandingan Perubahan Paradigma berpikir dari Pelaku Poligami Pelaku Monogami ... 85


(15)

ABSTRAK

Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo (Merry Sitorus, 2007). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 105 halaman, 8 tabel, 23 daftar pustaka dan 3 lampiran, yang terdiri dari surat penelitian, peta desa dan daftar istilah.

Penelitian ini mengkaji tentang pergeseran bentuk perkawinan poligami ke bentuk perkawinan monogami di Desa Sukanalu. Sekitar tahun 1950-an tingkat perkawinan poligami di desa ini cukup tinggi yaitu sekitar 75% dari jumlah laki-laki yang telah berumah tangga. Karena tingginya tingkat poligami itulah maka munculah istilah bagi perempuan Sukanalu yaitu Lembut Sukanalu, tingginya tingkat poligami di desa ini karena tidak adanya larangan dari adat yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka, baik dalam perkawinan maupun aspek yang lain. Faktor lain yang dianggap cukup besar pengaruhnya adalah nilai perkawinan poligami yang dijunjung tinggi oleh masyarakat khususnya kaum lelaki. Bila seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu dianggap lebih unggul, lebih berwibawa serta lebih terhormat di mata masyarakat dan menjadi suatu kebanggaan, untuk itu setiap laki-laki akan berusaha untuk mencapainya.

Penelitian yang dilakukan di Desa Sukanalu ini bertujuan untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang pada saat ini telah mengalami pergeseran ke bentuk perkawiann monogami. Hal yang dikaji yaitu latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami dan faktor-faktor yang memicu terjadinya pergeseran tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif yang bersifat deskriptif, metode wawancara dan life history method.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pada masyarakat Karo perkawinan dilangsungkan secara bertahap, sesuai dengan ketentuan hukum adat dan berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal. Perkawinan pada masyarakat Karo menganut sisitem kekerabatan, dimana isteri masuk ke dalam klen kekuasaan suami. Pada perkawinan yang pertama biasanya diadakan dengan pesta yang cukup meriah dan dengan pemberian tukur yang telah ditentukan sebelumnya, namun pada perkawinan kedua dan seterusnya cukup diadakan dengan makan bersama di dalam rumah saja dan dengan jumlah tukur yang diberikan seadanya. Alasan yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami yaitu karena faktor ekonomi, perjudian, longgarnya hubungan suami dan isteri, prestise sosial dan penghindaran status janda.

Kesimpulan penelitian ini yaitu seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman maka terjadi pula perubahan kecenderungan perkawinan, dari perkawinan poligami ke perkawinan monogami. Kecenderungan masyarakat untuk tidak berpoligami adalah karena timbulnya masalah yang sukar di pecahkan dalam rumah tangga. Masalah ekonomi rumah tangga merupakan satu masalah yang cukup pelik yang menjadikan kebanyakan pihak suami tidak sanggup dalam memenuhi tuntutan ini apalagi bila ia memepunayi isteri atau keluarga yang lebih dari satu


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Penelitian tentang poligami pada masyarakat Desa Sukanalu yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Kira1 membuat penulis tertarik untuk mengangkat kembali topik yang sama di lokasi yang sama saat ini. Poligami bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Desa Sukanalu, bahkan pada tahun 1970-an, poligami menjadi tren yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukanalu, namun seiring berjalannya waktu, poligami surut dari masyarakat desa tersebut dan hal tersebut menjadi fokus dari penelitian Kira Sembiring.

Adapun maksud penulis dengan mengangkat kembali topik yang sama dan lokasi yang sama adalah untuk melihat dan memastikan apakah bentuk perubahan perkawinan poligami ke monogami yang terjadi pada masa lalu masih sama pada saat ini mengingat penelitian yang dilakukan 20 tahun yang lalu. Atau adakah hal-hal lain yang mungkin terlewatkan dan penulis bermaksud untuk meneliti kembali masalah ini. Selanjutnya pada Bab IV penulis akan menuliskan kasus-kasus poligami yang penulis dapatkan di lapangan, juga alasan-alasan dari key informan penulis melakukan poligami dan yang tidak melakukan perkawinan poligami pada dewasa ini. Selanjutnya untuk semakin mempermudah pembaca untuk membacanya peneliti juga akan memperbandingkan perubahan paradigma berfikir dari pelaku poligami dan pelaku monogami.


(17)

Apakah setelah puluhan tahun sejak maraknya poligami di desa itu, terjadi perubahan atas pola perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakatnya atau tetap tidak berubah sama sekali atau hanya terdapat modifikasi atas pola yang telah ada. Dalam penelitiannya, Kira telah memaparkan secara rinci bagaimana pola perkawinan yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukanalu, apakah yang menjadi latar belakang masyarakat Desa Sukanalu kerap melaksanakan perkawinan dengan pola poligami, serta faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan berpoligami berkurang seiring berjalannya waktu. Penulis saat ini juga akan turut membahas hal-hal tersebut, hanya saja informan yang akan dijadikan sumber informasi adalah masyarakat yang saat ini tinggal di Desa Sukanalu yang memiliki pola pikir yang diduga telah berbeda dengan masyarakat masa lalu, karena adanya perkembangan zaman serta informan kunci yang memang pelaku poligami dari masa lalu.

Adanya perbedaan pola pikir tentunya akan memberikan penjelasan yang berbeda atas sikap terhadap fenomena poligami di Desa Sukanalu. Selain itu ada Beberapa hal yang membedakan antara penelitian yang dilakukan oleh Kira Sembiring dengan yang peneliti saat ini lakukan, antara lain penelitian yang dilakukan Kira Sembiring tidak menampilkan informan kunci yang merupakan pelaku poligami pada masa lalu dan informan lainnya sebagai sumber informasi, sedangkan peneliti saat ini menampilkan informan kunci yang merupakan pelaku poligami pada masa lalu dan pelaku poligami pada saat sekarang ini, serta pelaku monogami.

Penelitian yang dilakukan oleh Kira Sembiring secara langsung menampilkan faktor-faktor yang menjadi penyebab perkawinan poligami masyarakat Desa Sukanalu


(18)

munculnya poligami yang kemudian dikelompokan menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya poligami

Kontroversial antara golongan yang pro dan kontra terhadap poligami kerap memenuhi media informasi baik cetak maupun elektronik. Bahkan tak jarang perseteruan terbuka terjadi untuk mendukung atau menolak poligami. Sekalipun orang yang mendukung tersebut adalah orang terpandang, namun mereka tidak segan untuk mengakui tindakan poligami yang telah dilakukannya dalam perkawinan. Saat ini topik poligami juga kerap disajikan kepada masyarakat lewat berbagai bentuk, seperti talk show, humor, seminar, bahkan film layar lebar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketertarikan masyarakat akan hal tersebut.

Poligami sebenarnya bukan lah isu yang baru dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu. Puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, sejarah telah mencatat praktik poligami dalam kehidupan seseorang. Sebut saja raja-raja China yang memiliki isteri serta selir-selirnya. Hal tersebut juga merupakan praktek poligami di masa lampau meskipun cara dan tujuan berpoligami itu berbeda. Begitu juga hal nya dengan kasus poligami yang terjadi di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo.

Desa ini memiliki imej poligami pada masa lampau. Begitu banyak nya kasus masa lalu tentang poligami membuat desa ini menjadi terkenal di Kabupaten Karo. Namun saat ini kasus-kasus serupa sudah semakin jarang ditemui, yang tinggal kasus lama dan sejumlah kecil kasus baru. Seiring waktu, imej poligami yang melekat pada masa lalu luntur. Berbicara mengenai poligami tentu erat kaitannya dengan perkawinan. Seperti yang dikemukakan oleh (Koentjaraningrat, 1982:75) yaitu saat peralihan yang


(19)

paling penting dalam lingkaran hidup semua manusia di dunia adalah peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga ialah perkawinan. Di pandang dari sudut kebudayaan tertentu, perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, yaitu kelakuan-kelakuan seks terutama dalam persetubuan sebagai kebutuhan biologis (Koentjaraningrat, 1997:90). Berkenaan dengan hal itu perkawinan dapat dilakukan antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan (monogami), atau antara satu orang laki-laki dengan beberapa orang perempuan (poligini) ataupun sebaliknya antara satu orang perempuan dengan beberapa orang laki-laki (poliandri) yang sering dikenal dengan perkawinan poligami.

Perkawinan yang mencakup adat dan upacara merupakan unsur kebudayaan yang dihayati dari masa ke masa dan akan ada dalam masyarakat yang berbudaya, walau dalam batas ruang dan waktu akan mengalami perubahan-perubahan. Dalam adat dan upacara perkawinan ini juga terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang sangat luas dan kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam masyarakat dan juga mengatur dan mengukuhkan suatu bentuk hubungan yang sangat esensial antara manusia yang berlainan jenis.

Upacara perkawinan yang ada dalam kehidupan suatu masyarakat akan berlangsung pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupannya. Tahap-tahap pertumbuhan sepanjang hidup induvidu akan mempengaruhi dan membawa perubahan-perubahan terhadap individu itu sendiri, baik biologi, sosial budaya maupun jiwanya. Oleh karena itu tiap tingkat pertumbuhan yang membawa setiap individu memasuki tingkat dan lingkungan sosial yang baru yang lebih merupakan saat-saat yang penuh bahagia dan


(20)

Meskipun perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Tuhan, tiap individu mempunyai tujuan dan alasan yang berbeda-beda untuk melaksanakan suatu perkawinan yaitu sebagai pengatur hubungan seks, memberi status sosial dalam kehidupan kerabat, memberi hak milik akan anak-anak, gengsi, dan memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat (Keesing, 1981:152).

Sehubungan dengan hal itu Pasurdi suparlan (1981:171) juga mengemukakan bahwa perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan, dan tentu saja berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu perkawinan bukan hanya mewujudkan adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status kelahiran anak-anak mereka saja, tetapi yang melibatkan hubungan di antara kerabat-kerabat masing-masing pasangan tersebut.

Sebenarnya praktik poligami bukanlah persoalan teks, ataupun berkah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun struktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priyayi, poligami tak lain dari bentuk pembenda matian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial laki-laki.

Masalah poligami dipandang cukup krusial dalam pandangan feminis. Menurut kelompok feminisme ini, betapa tidak, bagaimana sakit hatinya perempuan yang


(21)

dikhianati cintanya oleh orang yang disayangi. Belum lagi bila suami bersikap tidak adil dan lebih cenderung kepada isteri lainnya, menyebabkan perempuan (isteri pertamanya) ditelantarkan begitu pun anak-anaknya. Alasan inilah yang digunakan untuk menolak hukum kebolehan poligami. Kaum feminis mengingkari kebolehan poligami dan mencoba mengharamkannya. Keputusan haram lahir dari fakta yang menunjukkan bahwa pelaku poligami umumnya berlaku tidak adil dan menyebabkan perempuan teraniaya. Dengan demikian poligami harus dilarang karena ekses yang ditimbulkannya berupa ketidakadilan bagi isteri dan anak-anak.

Selanjutnya ketidakadilan poligami dinilai dari tidak etisnya alasan ketidakmampuan isteri untuk bisa memperoleh keturunan yang sering dijadikan alasan mengajukan poligami. Keadaan isteri yang mandul harus dibuktikan secara medis bukan hanya klaim suami saja. Kalaupun isteri terbukti mandul, bukankah akan sangat menyakitkan hatinya jika kekurangan fisik yang telah diberikan oleh sang Pencipta itu dijadikan dalih agar suami bisa kawin lagi.

Dalam fakta lain menunjukkan tidak sedikit isteri yang mendorong suaminya kawin lagi agar ia mempunyai keturunan. Fakta menunjukkan ada banyak keluarga yang melakukan poligami, mereka hidup rukun dan damai, harmonis dan saling membantu.

Jadi, masalah yang seringkali muncul sebenarnya bukan karena poligami itu sendiri, melainkan karena pelaku poligami dalam hal ini seorang suami tidak menjalankan konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Saat ia memutuskan untuk berpoligami, seharusnya ia memahami dan menjalankan konsekuensinya. Ia harus mampu menghidupi lebih dari satu keluarga. Orang-orang yang berada di bawah


(22)

memenuhi konsekuensi dari berpoligami dan berbuat tidak adil seperti menelantarkan isteri pertama dan anak-anaknya, yang disalahkan bukan hukum kebolehan poligami. Melainkan pelaku poligami itu sendiri.

Hal yang mencolok dari dampak poligami itu sendiri di Desa Sukanalu adalah persaingan antara isteri tua dengan isteri muda dalam mencari perhatian suami, yang sering berujung pada pertengkaran dalam rumah tangga. Isteri yang lebih muda biasanya akan memenangkan pertikaian dan memperoleh perhatian lebih dari suami. Kebanyakkan isteri yang lebih muda menganggap dirinya lebih unggul tentang segala hal yang dapat menimbulkan rasa bangga serta tidak mau perduli dengan pandangan keluarga serta penduduk disekitarnya. Walaupun pandangan masyarakat terhadap isteri kedua atau ketiga adalah suatu perbuatan yang memalukan terutama bagi orang tua serta sering dipergunjingkan masyarakat. Sementara isteri pertama merasa sebagai manusia lemah, penuh kekurangan dan tidak mampu dalam mengurus rumah tangga

Perkawinan poligami di desa ini biasanya tidak mendapat restu dari orang tua khususnya orang tua pihak perempuan. Sering terjadi orang tua pihak perempuan secara terpaksa harus menerima uang jujur dengan jumlah ala kadarnya saja (sesuai dengan keinginan pihak laki-laki) yang tanpa lebih dulu dimusyawarahkan. Perkawinan seperti ini jarang dilaksanakan dengan meriah, cukup dengan makan bersama dalam rumah saja.

Perkawinan dalam masyarakat tidak selalu sama akan tetapi dapat dijumpai perbedaan-perbedaan dalam tata cara pelaksanaan, namun demikian makna dan tujuannya sama. Pada masyarakat Karo (Darwan Prinst 2004 :7), proses perkawinan ada dua cara yaitu:


(23)

1. Arah Adat (menurut adat), yaitu suatu proses perkawinan dimana peranan orang tua lebih dominan, artinya pihak orang tualah yang lebih mengusahakan agar pekawinan itu dapat dilaksanakan. Peranan orang tua di sini mulai dari petandaken atau perkenalan calon mempelai, mbaba belo selambar atau pertunangan/ peminangan dan sampai upacara perkawinan.

2. Arah Ture (dengan persetujuan kedua mempelai saja), yaitu perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan kehendak kedua belah pihak calon mempelai dan orang tua tidak mempunyai peran dari awal tetapi orangtua selalu mengikuti pembicaraan mereka sehingga pada akhirnya orangtua menyelenggarakan perkawinan mereka.

Menurut Darwan Prinst (2004), fungsi perkawinan pada masyarakat Karo adalah Melanjutkan hubungan kekeluargaan, menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada hubungan kekeluargaan, melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak laki – laki dan perempuan, menjaga kemurnian dari suatu keturunan, menghindari berpindahnya harta kekayaan pada keluarga lain, mempertahankan dan memperluas hubungan kekeluargaan.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti telah diuraikan di atas bahwa tujuan utama dari perkawinan bagi masyarakat Karo adalah mendapatkan keturunan. Hal ini sangatlah penting dalam mempertahankan garis keturunan berupa merga. Oleh karena itu, bagi suku bangsa Karo yang menganut sisitem patrilineal, anak laki-laki sangatlah penting. Yang menjadi


(24)

yang notabene sebagai penerus merga? Apakah hal ini layak menjadi sebuah dalih untuk melangsungkan perkawinan poligami? Pertanyaan lain, mengapa seorang perempuan bersedia di jadikan isteri muda dalam sebuah rumah tangga? Dan secara global masalah penelitian ini akan mengkaji sebab-sebab terjadinya perubahan perkawinan dari poligami ke perkawinan monogami.

1.3 Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami di Desa Sukanalu pada masa lalu. Apakah ada hal-hal yang istimewa yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami dalam kehidupan bermasyarakat di desa itu?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkawinan poligami tersebut? Apakah ada faktor yang berasal dari dalam desa atau dari luar desa?

3. Bagaimana pandangan masyarakat tentang perkawinan poligami dan pelaku perkawinan poligami? Mungkin akan timbul pro dan kontra namun bagaimana pandangan masyarakat secara umum?

4. Bagaimana perkawinan poligami itu di langsungkan, apakah akan dilangsungkan seperti perkawinan pertama?

5. Apa yang menjadi motivasi perempuan sehingga mau dipoligami atau dijadikan isteri kedua atau isteri muda?


(25)

7. Faktor-faktor yang memicu pergeseran bentuk perkawinan poligami ke perkawinan monogami di desa tersebut pada masa sekarang?

Lokasi penelitin ini dilakukan di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. Desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini mempunyai tingkat poligami yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa tetangganya. Di Desa Sukanalu sendiri kurang lebih 75% dari rumah tangga melakukan poligami khususnya poligini, sedangkan di desa-desa tetangganya hanya sekitar 10%. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikkan tersendiri desa tersebut bila di bandingkan dengan desa-desa lainnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman serta perubahan pandangan perempuan-perempuan di desa tersebut akan makna perkawinan, perilaku ini mengalami pergeseran ke perkawinan monogami. Karena itulah peneliti tertarik dan memutuskan Desa Sukanalu sebagai lokasi penelitian.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya suatu perubahan dalam kehidupan suatu masyarakat, khususnya untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang telah mengalami perubahan pada masyarakat Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe.

Secara umum penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam memperkaya literatur dan khasanah pengetahuan tentang konsep perkawinan yang berlaku dalam sistem adat masyarakat Karo.


(26)

1.5 Tinjauan Pustaka

Suku bangsa Karo sebagaimana suku bangsa lain mempunyai tata cara perkawinan yang khas. Namun pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan pengenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan (Perkawinan) dan upacara pensakralan.

Ada beberapa sarjana hukum adat berpendapat bahwa suku Karo digolongkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Namun bila memperhatikan hal tersebut dengan merujuk pada perkembangan hukum sekarang khususnya pada bidang perkawinan, maka suku Karo tidak hanya memperhatikan garis keturunan dari bapak saja, tetapi juga garis keturunan dari ibu, sebagaimana telah disebutkan Sempa Sitepu bahwa “Suku Karo sudah merupakan berkerabatan parental dan bilateral, artinya tidak hanya menghitung dari garis keturunan ayah saja tetapi juga garis keturunan sang ibu sehingga diberi gelar bebere. Dalam hubungan kekeluargaan pada masyarakat Karo, Hilam Hadikusuma mengatakan bahwa “ …yang

selalu dituakan dan dihormati adalah merga pemberi anak dara, karena dianggap

sebagai dibata idah ( dewa yang nampak )”

Pengaruh sistem kekerabatan terhadap keluarga dan anak-anak

( Soerjono Soekanto, 2003 ) adalah :

Perkawinan dalam sistem ini akan mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi warga masyarakat dari pihak suaminya. Sebagaimana konsekuensinya dan keadaan itu maka anak – anak yang akan lahir dalam suatu perkawinan akan menarik garis keturunan pihak ayahnya dan akan menjadi anggota masyarakat hukum adat dimana ayahnya juga menjadi anggotanya.


(27)

Mengenai sistem kekerabatan ini, Harahap (1995: 154-155) mengatakan bahwa “Sistem kekeluargaan sekarang sudah mengarah kepada sistem kekeluargaan parental, meskipun dalam kehidupan sehari hari stelsel kekeluargaan patrilineal atau matrilineal masih diakui eksistensinya, namun sepanjang masalah warisan telah terjadi pergeseran dan stelsel patrilineal kearah parental “masyarakat Karo menganut sistem kemasyarakatan patriarchat yaitu masyarakat yang diperintah secara kekeluargaan”. Hal mana terlihat dari kedudukan atau jabatan adat dalam masyarakat yang memiliki keunikkan tersendiri bila dibandingkan dengan kedudukan atau jabatan pada masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia.

Kedudukan atau jabatan dalam masyarakat Karo terdiri dari kalimbubu, senina, atau sembuyak dan anak beru yang biasanya disebut dengan sangkep sitelu. Kedudukan atau jabatan ini memilii fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya yaitu kalimbubu adalah pihak yang menyerahkan anak dara untuk dinikahkan dan sebagai pihak yang mengesahkan utusan dalam pertemuan–pertemuan (runggun) keluarga atau kerabat. Jadi, kalimbubu ini dapat dibagi atas beberapa golongan yaitu: kalimbubu banana/kalimbubu tanah (ketururunan dari orang yang dianggap sebagi pembuka kampung atau manteki kuta) puang kalimbubu (Kalimbubu dari kalimbubu). Sementara senina atau sada ninina adalah orang yang satu keturunan yang timbul dari merga atau bebere yang sama. Senina ini terdiri dari siperemen dan sipengalon serta sendalanen.

Anak beru adalah pihak yang bertindak sebagai penerima anak dara yang berfungsi sebagai perantara pembicaraan dalam pertemuan–pertemuan adat yang bertugas untuk meneyelesaikan pekerjaan dalam kerja–kerja adat. Anak beru ini terdiri


(28)

dari anak beru tua, anak beru menteri (anak beru dari anak beru), anak beru singerana, anak beru ncekuh baka tutup, anak beru iangkip, dan anak beru taneh.

Jabatan atau kedudukan adat sebagaimana tersebut diatas dapat melekat secara seluruhnya maupun sebagian saja pada satu orang. Sebagaimana disebutkan Sempa Sitepu bahwa “sebab pada orat tutur pada masyarakat Karo sering ada pergantian”, misal pada suatu ketika si A menjadi kalimbubu, tetapi pada pesta adat yang lain si A dapat menjadi anak beru. Disinilah terlihat keunikkan kedudukan atau jabatan yang dimiliki oleh masyarakat adat Karo tersebut.

Kedudukan atau jabatan bagaimana orang bersikap dan bertindak terhadap orang lain dan juga menentukan dimana seseorang itu mengambil tempat dalam melaksanakan upacara adat maupun runggun. Artinya kedudukan atau jabatan adat tersebut tidak menunjukan hubungan kekerabatan diantara anggota masyarakat. Dengan demikian maka pada masyrakat Karo tidak ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, karena masing masing pribadi duduk pada kelompoknya masing masing seperti kalimbubu, senina, anak beru semuanya duduk ditengah tengah kelompok masing masing.

Berpijak dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dapat dibayangkan begitu pentingnya struktur merga dalam kehidupan masyarakat Karo dan setiap anggota keluarga atau keturunan dari suatu marga selalu memakai marga sebagai identitas yang dibubuhkan setelah nama kecil anggota keluarga tersebut dan yang diperhitungkan melalui garis bapak. Hal ini menandakan bahwa kelompok orang orang tersebut merupakan keturunan dari seorang kakek bersama yang bersifat patrilineal.


(29)

Sehubungan dengan itu Sitepu mengatakan bahwa “marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannnya masih mempunyai kakek bersama”. Mungkin secara nyata tidak dapat lagi dirinci rentetan bersama akan tetapi ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama sudah terjalin hubungan darah sehingga dimuat menjadi suatu persyaratan kawin bagi masyarakat Karo yaitu dengan adanya larangan kawin bagi laki laki dan perempuan.

Menurut pergaulan hidup masyarakat Karo memperlihatkan bahwa setiap orang Karo dianggap sebagai kerabat karena laki-laki dan perempuan menempatkan seseorang ke dalam satu diantara kategori yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo, yaitu Kalimbubu, anak beru, senina. Ketiga kategori ini merupakan satu kesatuan yang selalu diwujudkan sebagai ketiga yang lengkap dengan istilah sangkep sitelu atau rakut sitelu. Menurut hukum adat pada masyarakat Karo, kesatuan sangkep sitelu atau rakut sitelu inilah yang merupakan syarat bagi kehidupan bersama manusia, karena ikatan kekerabatan ini tidak bersifat perorangan tetapi mencakup golongan yang berkerabat secara luas sehingga masyarakat Karo dapat menghubungkan dirinya satu sama lainya dalam sistem kekerabatan.

1.6 Perkawinan menurut hukum adat Karo

Menurut adat Karo perkawinan yang ideal ialah perkawinan yang eksogami, tetapi masyarakat Karo di sana masih banyak menginginkan perkawinan impal, yaitu antara

mereka yang mempunyai hubungan keluarga saling silang baik impal kandung maupun


(30)

Seiring dengan itu, Sitepu mengatakan bahwa perkawinan jujur adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang–barang magis atau sejumlah uang dari keluarga laki-laki kepada pihak perempuan, dimana hal ini menurut beliau adalah berfungsi untuk pengganti atau sebagai pembeli (tukur) atas berpindahnya si perempuan ke dalam klen si laki-laki dan untuk mempetahankan susunan kekeluargaan berhukum kebapakan (patrilineal). Lebih jauh dikatakan bahwa apabila dalam suatu perkawinan, jujurnya tidak dibayar, maka perkawinan itu dianggap tidak sah secara adat.

Sitepu mengatakan bahwa proses pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Karo berlangsung dalam beberapa tahap yaitu,:

1. Mbaba belo selambar, mulai dilaksanakan musyawarah adat (runggun) atau sangkep sitelu pihak calon pengantin perempuan (sinereh) dan pada acara ini disampaikan lamaran yang dilanjutkan dengan pembicaraan yang disebut dengan ringgit-ringgit gantang tumba atau ersinget–ersinget. Setelah itu menurut Sitepu akan dilanjutkan dengan melakukan pemberian penindih puduh atau pemeberian tanda pengikat oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Sehingga dengan demikian, apabila pihak perempuan yang ingkar maka akibat hukumnya adalah pihak perempuan harus membayar dua kali lipat uang penindih puduh tersebut kepada pihak laki laki. Pada acara ini juga perlu dilakukan sijalapen, yaitu pengumuman dari anak beru kedua belah pihak tentang nama kedua calon mempelai, nama kedua orang tua, nama anak beru tertua, termasuk tanggal dan waktu pelaksanaan nganting manuk.

2. Ngembah manuk atau nganting manuk, yaitu untuk mematangkan hasil musyawarah yang dilakukan pada acara mbaba belo selambar yang dilanjutkan dengan mufakat


(31)

tentang cara pelaksanaan peresmian perkawinan. Disini para sangkep sitelu dari kedua pihak bermusyawarah tentang kewajiban-kewajiban adat (hutang adat) yang menyangkut besarnya uang jujur. Besarnya acara pesta, tempat diadakannya pesta, menentukan orang–orang yang bertindak sebagai pengundang dan lain-lain. Setelah itu disepakati maka dibuatlah janji untuk menentukan hari dan tanggal pelaksanaan pesta.

3. Pesta atau erdemu bayu, yaitu pelaksanaan pesta perkawinan. Dalam pesta

perkawinan tersebut diadakan adat pembayaran jujur (unjuken) yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai kelompok penerima jujur dengan dihadiri oleh seluruh kaum kerabat yang kedudukanya masing masing dikelompokan dalam kategori senina, anak beru dan kalimbubu

4. Mukul, setelah selesai pesta perkawinan maka pengantin perempuan dibawa oleh kerabat laki–laki atau kesuatu rumah yang dihunjuk pengantin laki-laki, maka pada malam hari diadakan acara mukul atau memecahkan tinaro (memecahkan telur) atau pengrebun, yaitu menetapkan kelompok yang dilarang berbicara langsung. Dalam beberapa hari kemudian, setelah pengantin perempuan tinggal dirumah pengantin laki–laki, maka kedua pengantin di antar oleh orang tua pengantin perempuan, dengan tujuan untuk mengambil pakaian atau barang-barang pengantin yang masih tinggal di rumah orang tuanya.

. Pelamaran atau peminangan pada masyarakat patrilineal, pihak yang

mengajukan adalah pihak keluarga laki-laki yang dijalankan oleh seseorang atau beberapa orang sebagai utusan. Seseorang atau beberapa orang yang menjadi utusan


(32)

adalah orang- orang yang sekerabat dengan pihak keluarga laki-laki dan bahkan yang sering terjadi untuk melakukan pelamaran adalah orangtuanya sendiri.

Bertalian dengan hal tersebut diatas, maka pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut adat, sebagaimana dikemukakan oleh Wila Chandrawila Supriadi (2002), adalah “memperoleh keturunan dan dengan demikian tiba pada pembentukan keluarga”. Oleh karena itu dapat di ketahui bahwa prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:

• Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga

hubungan kekerabatan yang rukun dan damai serta bahagia dan kekal

• Perkawinan tidak saja harus dilaksanakan menurut hukum agama dan atau

kepercayaannya, tetapi harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat menurut hukum adat.

• Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan beberapa

perempuan sebagai isteri yang kedudukannya msing-masing ditentukan menurut hukum adat, dalam arti menganut azas poligami.

• Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat, karena

masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarkat adat.

• Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur atau yang masih dengan usia anak, tetapi perkawinan itu harus mendapat izin dari orang tua dan keluarga.

• Keseimbangan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan adat yang hidup


(33)

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat dskriptif yang menggambarkan kecenderungan perubahan bentuk perkawinan dari poligami ke monogami pada masyarakat desa Sukanalu. Sebagaimana yang dikemukakan

Koentjaraningrat (1983:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala dan adanya hubungan tertentu antara gejala yang satu dengan yang lain.

Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dipergunakan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang bagaimana kecenderungan perubahan bemtuk perkawinan itu terjadi pada suku bangsa Karo di Desa Sukanalu. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara.

Metode wawancara atau interview method, mencangkup cara yang dipergunakan kalau seseorang untuk suatu tujuan atau tugas tertentu mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan atau responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu (Koentjaraningrat, 1990).

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang segala hal yang berkaitan dengan realitas poligami di Desa Sukanalu serta untuk memperoleh sebanyak mungkin data-data tentang budaya serta perilaku suku bangsa Karo di Desa Sukanalu.

Wawancara ini dilakukan terhadap informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa. Dalam penelitian ini peneliti memilih kepala Desa Sukanalu yakni Bapak I. Sitepu (46 tahun) dan ketua adat Bapak T. Bangun (67 tahun) sebagai informan


(34)

sangat mengerti tentang permasalahan yang ingin diteliti. Oleh sebab itu, informan pangkal hendaklah memenuhi kriteria tertentu, seperti memiliki wawasan yang luas mengenai keadaan Desa Sukanalu, di kenal baik oleh warga penduduk, mampu mengintroduksikan peneliti dngan informan-informan lainnya dan yang juga cukup penting adalah bahwa informan pangkal bukan merupakan orang yang dibenci oleh sebagian besar masyarakat Desa Sukanalu.

Sementara itu, informan kunci merupakan orang-orang yang paham sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang diteliti, yakni perilaku poligami di Desa Sukanalu. Informan kunci adalah orang-orang/keluarga yang melakukan perkawinan poligami atau orang-orang yang mengetahui tentang seluk beluk terjadinya poligami di Desa Sukanalu. Dalam hal ini peneliti telah mendapat data-data dari: Bapak J. Tarigan (67 tahun), Bapak M. Sembiring (72 tahun), Bapak S. Sembiring (74 tahun), T. Ginting (69 ahun), P. Karo-karo (64 tahun), sebagai suami yang melakukan poligami. Serta Ibu S. br. Ginting (60 tahun), Ibu M. br. Pinem (66tahun), Ibu J. br. Manalu (68 tahun), Ibu R. br. Barus (64 tahun), Ibu M. br. Sitepu (59 tahun) yang merupakan isteri tua dari pelaku poligami yang telah disebutkan sebelumnya. Terhadap mereka dikumpulkan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan metode life history method.

Sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang diwawancarai untuk melengkapi keterangan dari informan kunci. Dalam penelitian ini, informan biasa yang diwawancarai adalah orang-orang yang mengetahui tentang poligami yang terjadi di desa ini. Dalam hal ini peneliti memperoleh data-data dari: T. Perangin-angin (38 tahun), W. br. Karo-karo (32 tahun) yang keduanya merupakan warga Sukanalu sendiri.


(35)

Sementara K. Br. Pinem (34 tahun), dan M. Br. Kaban (30 tahun) berasal dari desa tetangga yaitu Desa Tiga Panah. Dipilih sebagai informan biasa karena masing-masing mereka merupakan anak dari isteri kedua dan terhadap mereka peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan wawancara biasa.

Life history method merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian di bidang Antropologi Budaya, yang memiliki keunikkan tersendiri dalam memperdalam pengertian terhadap masyarakat tertentu. Metode ini dapat dilakukan dengan observasi, dan wawancara yang dilakukan terhadap individu yang menjadi informan ataupun menjadi objek dari suatu penelitian. Tentu saja hal ini bersifat subjektif dan belum tentu sesuai dengan keadaan masyarakat yang menjadi topik penelitian. Namun sesuai dengan keunikkan metode ini, yang memang bukan untuk memberikan keterangan detail mengenai suatu realitas yang terjadi dalam masyarakat yang diteliti. Tetapi justru memberikan keterangan atas bagian dari realitas itu sendiri (Koentjaraningrat. 1990).

Pokok-pokok pertanyaan yang diajukan peneliti kepada informan pangkal adalah seputar latar belakang berdirinya desa serta awal terjadinya poligami di desa tersebut. Sedangkan kepada informan kunci, pokok pertanyaan yang diajukan adalah tentang bagaimana pengalaman informan sebagai pelaku poligami, atau sebagai isteri yang di poligami, apa yang menjadi motivasi pelaku poligami dalam memutuskan untuk poligami di dalam rumah tangganya, motivasi isteri sehingga mau menerima diri mereka untuk dipoligami serta dampaknya terhadap diri mereka sendiri. Sedangkan untuk informan biasa diajukan pertanyaan tentang alasan mereka tidak mau melakukan


(36)

poligami dalam rumah tangganya dan pengetahuan tentang poligami yang mereka ketahui di Desa Sukanalu ini.

1.8 Kendala-kendala di Lapangan

Hal pertama dan utama yang menjadi kendala penulis di lapangan yaitu bahasa. Penulis tidak tahu bahasa Karo, sementara penduduk di sana lebih menyukai bahasa Karo sebagai bahasa sehari-harinya, sementara penggunaan bahasa Indonesia mereka tidak selancar bahasa Karo, karena itu penggunaan bahasa Indonesia untuk komunikasi sehari-hari sesama mereka tidak pernah dilakukan. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka penulis selalu membawa guide yaitu teman penulis sendiri yang sangat mengerti bahasa Karo sebagai perantaraan penulis dengan orang-orang yang ingin penulis jumpai. Dari keadaan yang seperti itu tampak bahwa orang-orang yang penulis jumpai lebih merespon teman penulis dari pada penulis sendiri. Hal ini membuat penulis sedih. Tapi hal itu merupakan awal dimana penulis harus bisa mengatasi kesulitan itu dengan cara tetap melakukan komunikasi walaupun harus menggunakan bahasa Indonesia agar penulis tidak kelihatan canggung di hadapan mereka.

Selanjutnya yang menjadi kendala yaitu para informan kunci yang usianya diatas 80-an yang juga merupakan pelaku poligami sudah sangat jarang ditemukan, karena mereka sudah meninggal. Dan keluarganya sangat tertutup sekali dengan kehadiran orang asing seperti penulis yang hendak melakukan penelitian. Untuk itu penulis mencari laki-laki yang berpoligami yang usianya sekitar 50-an keatas yang ditunjukkan oleh kepala desa dan dari informasi teman penulis sendiri.


(37)

Hal lain yang bisa membuat penulis tersenyum sendiri yaitu tentang Kepala Desa sebagai pemimpin formal dan informal dimana beliau sama sekali tidak mengetahui asal usul terjadinya desa, dan masalah poligami yang dulunya marak dilakukan, sampai keadaan penduduk di desa ini sangat sedikit yang beliau ketahui. Informasi mengenai desa ini banyak penulis dapatkan dari penduduk yang telah berusia lanjut, sampai penduduk yang berada di luar lokasi penelitian. Namun penulis harus tetap bisa menghargai dan memandangnya sebagai kepala desa yang dipercayai oleh warganya. Karena bagaimanapun peran kepala desa cukup mempunyai andil sebagai akses penulis untuk bisa bertemu dengan calon-calon informan yang sesuai dengan kriteria yang penulis tetapkan.

Dalam melakukan penelitian tak jarang penulis mengalami kesulitan-kesulitan, yaitu berupa sikap diacuhkan, pengusiran secara halus, sampai pembatalan janji wawancara yang dilakukan sepihak oleh informan yang telah penulis hubungi terlebih dahulu. Biasanya penulis melakukan penelitian ke Desa Sukanalu yaitu pada waktu sore sampai malam hari. Karena pada waktu-waktu itulah, rata-rata penduduk desa yang bekerja sebagai petani sudah ada di rumahnya setelah dari pagi hingga siang hari bekerja ke sawah atau ladang.

Penulis sama sekali tidak pernah tinggal dirumah sekretaris desa, walaupun telah mendapat ijin sebelumnya dari pihak yang bersangkutan. Karena penulis merasa takut akan cerita-cerita mistik yang ada di desa tersebut. Yaitu bahwa warga laki-lakinya mau mengguna-gunai orang asing yang datang ketempat itu. Setiap kali selesai melakukan penelitian penulis langsung pergi untuk menginap ke rumah keluarganya teman penulis


(38)

Selama berada di Desa Sukanalu penulis selalu berusaha sesopan mungkin dan seramah mungkin agar tidak ada pihak-pihak merasa kecawa atas kehadirann penulis. Walaupun kadang-kadang penulis merasa bahwa banyak sekali mata-mata yang memandang sinis dan tajam kepada penulis, khususnya laki-laki yang masih berusia muda atau sebaya dengan penulis. karena menurut informasi yang penulis dengar bahwa di desa itu masih banyak penduduk yang memiliki ilmu-ilmu yang berbau mistik


(39)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.I Identifikasi Wilayah 2.1.1 Lokasi Desa Sukanalu

Desa Sukanalu termasuk dalam wilayah kecamatan Barus Jahe, kabupaten Karo, propinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Sukanalu adalah 724,2 Ha, berada pada

ketinggian kurang lebih 1200 m di atas permukaan laut. Dengan suhu minimum 180 C

dan suhu maksimum 320 C, serta kurang lebih 960 - 850 Bujur timur, dan antara 30 4’ dan 30 25’ Lintang Utara. Luas daerah tersebut telah termasuk di dalamnya hutan, perumahan serta lahan pertanian yang terdapat di desa tersebut Desa Sukanalu terdiri atas empat dusun, 8 RW dan 17 RT.

Jarak dari Desa Sukanalu ke ibukota Kecamatan Barus Jahe sekitar 5 kilometer, sedangkan ke ibukota Kabupaten Karo yaitu Kaban Jahe sekitar 12 kilometer dan jarak ke kota Medan yang merupakan ibukota propinsi sekitar 88 kilometer. Kaban Jahe merupakan pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan, sedangkan pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan kecamatan adalah Tiga Jumpa yang berjarak lebih kurang 2 kilometer dari Desa Sukanalu.

Batas-batas Desa Sukanalu adalah sebagai berikut;

• Sebelah barat berbatasan dengan kota Sebaraya dan Desa Tiga Panah

• Sebelah timur berbatasan dengan Desa Barus Jahe


(40)

Perincian tentang pengelolaan alam Desa Sukanalu dengan masing-masing luasnya dapat kita lihat dalam tabel II-1:

Tabel II-1

Pengelolaan alam Desa Sukanalu

No Fungsi tanah Luas lahan ( Ha ) %

1 Perumahan/ bangunan 10,7 1,48

2 Pertanian 692 95,55

3 Pekuburan 1,5 0,21

4 Tanah kosong 20 2,76

jumlah 724,2 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Sukanalu tahun 2006

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa sebagian besar Desa Sukanalu merupakan lahan pertanian atau perladangan dan daerah persawahan. Tanahnya yang subur sehingga menguntungkan bagi masyarakat dapat kita lihat bahwa sebagian besar Sukanalu merupakan lahan pertanian atau perladangan dan daerah persawahan. Tanahnya yang subur sehingga menguntungkan masyarakat.

2.1.2 Sejarah Desa Sukanalu

Desa Sukanalu didirikan tahun 1210 oleh seorang pemuda bermarga Sitepu.

Pemuda ini berasal dari Desa Sukanalu Teran, Kecamatan Simpang Empat, yang terletak dibawah kaki Gunung Sinabung. Dalam adat masyarakat Karo pada saat itu,


(41)

seorang pemuda yang sudah cukup umur namun belum membina rumah tanga tidak diperbolehkan untuk tinggal di rumah.

Sang pemuda yang harus menaati adat yang berlaku melakukan perjalanan panjang selama berhari-hari dihutan luar Desa Sukanalu Teran tersebut. Tanpa sengaja sang pemuda menemukan tempat yang mirip dengan desanya itu dan kemudian mendirikan desa baru. Desa baru tersebut dinamakan Desa Sukanalu di kemudian hari. Hal tersebut dikarenakan lingkungan fisik seperti tanah, tanaman-tanaman yang ada di desa baru tersebut mirip dengan yang ada di Desa Sukanalu Teran.

Setelah pemuda tersebut menemukan desa baru itu, sang pemuda kembali ke desa asalnya yaitu Desa Sukanalu Teran dan mengajak beberapa saudaranya yang bermarga Sitepu untuk mendirikan desa baru di tempat yang baru ditemukan pemuda bermarga Sitepu tersebut. Setelah desa tersebut dibangun, marga-marga lain pun berdatangan untuk mencari tempat tinggal yang cukup berpotensi menghidupi mereka. Marga –marga tersebut antaraq lain adalah marga Tarigan, Ginting dan Barus. Mereka datang dari Desa Sukanalu Teran dan ada pula yang dari desa – desa lainya.

Marga Sitepu yang dianggap sebagai penemu dan pendiri desa ini, kemudian ditetapkan sebagai merga taneh, sedangkan merga Barus dan Ginting ditetapkan sebagai Kalimbubu (kelompok yang memberikan anak gadis). Merga Tarigan ditetapkan sebagai Anak Beru ( Kelompok pengambil anak beru) dan merga Karo-karo ditetapkan sebagai Senina ( kelompok semarga)


(42)

2.2. Tata Pemukiman

Pola pemukiman masyarakat desa ini adalah mengelompok padat dimana sebagian besar masyarakat terkonsentrasi tinggal pada suatu bagian desa sedangkan bagian lainnya digunakan sebagai lahan pertanian dan untuk aktivitas kehidupan lainya. Pada saat ini, desa ini sudah tertata dengan cukup teratur, dimana hampir setiap kegiatan dilakukan ditempat yang sama sehingga dapat dilakukan dengan lebih efisien, bahkan desa ini telah dijadikan desa percontohan bagi desa-desa lainnya di Kabupaten Karo.

Untuk sumber airnya sendiri, sebagian besar masyarakat di desa ini sudah dapat memanfaatkan air bersih dari PDAM sepanjang tahun. Sebagian besar rumah warga juga sudah memiliki WC dan kamar mandi sendiri, namun masih ada juga sebagian kecil yang memanfaatkan air hujan dan air sungai pada kemarau panjang.

2.3. Mata Pencaharian Penduduk

Kesuburan tanah Desa Sukanalu menjadikan mayoritas penduduk desa ini kedalam tipe masyarakat agraris. Penduduk Desa Sukanalu sebagian besar hidup dengan bertani. Lebih spesifik lagi, penduduk sebagian besar bertani ladang dengan komoditas tanaman hortikultur seperti sayur-sayuaran, buah-buahan.

Pada umumnya petani didesa ini akan mengikutsertakan keluarganya untuk turut bekerja diladang. Meskipun pada kenyataannya anak yang masih kecil tidak terlalu membantu, namun dengan berada diladang dan mengambil sebagian kecil pekerjaan tentunya hal tersebut telah membantu petani. Selain itu, dengan membantu orang tuanya, anak tersebut juga telah belajar untuk bertani dikemudian hari.


(43)

Pada umumnya pekerjaan disektor pertanian, tidak terus menerus membutuhkan perhatian dan tenaga. Ada saat dimana petani dan keluarganya tidak mempunyai sesuatu untuk dikerjakan, misalnya pada saat petani menunggu panen, maka petani biasanya akan mengambil pekerjaan lain seperti menjadi buruh tani diladang orang lain (aron). Meskipun pada awalnya aron berarti gotong royong, namun pada saat ini kata tersebut labih bermakna sebagai tenaga upahan. Dengan melakukan pekerjaan ini, petani mempunyai tambahan penghasilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebelum masa panen datang.

Selain bertani, penduduk desa ini juga ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, pegawai swasta, bahkan berwiraswasta. Namun, meskipun mereka mempunyai pekerjaan, terkadang mereka juga memiliki ladang yang dikerjakan sendiri untuk menambah penghasilan atau sekedar menyalurkan hobi saja. Biasanya yang mereka lakukan tidak seserius yang dilakukan oleh petani asli, dan tentu saja hasilnya untuk dikonsumsi sendiri.

Berbeda halnya dengan petani yang memang pekerjaan utamanya adalah bertani, mereka menjual hasil taninya keluar kota atau untuk memudahkan mereka kerap menjualya langsung ke pedagang pengumpul yang datang ke ladang mereka masing-masing. Tetapi ada juga sebagian yang menjualnya langsung kepada konsumen di ibukota kabupaten. Lebih jelasnya dapat kita lihat data penduduk sesuai dengan mata pencahariannya pada tabel II-2 :


(44)

Tabel II-2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) %

1 Pegawai Negeri Sipil 55 1,78

2 Pensiunan 15 0,49

3 Wiraswasta 250 8,11

4 Buruh 55 1,78

5 Bertani 154 50,71

6 Tidak Bekerja 1145 37,13

Jumlah 3084 100

Sumber: Kantor kepala Desa Sukanalu tahun 2006

2.4 Sarana dan Prasarana Serta Infra Sruktur Sosial 2.4.1. Sarana Transportasi

Sarana transportasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Desa Sukanalu. Hal ini dikarenakan hasil – hasil pertanian yang diproduksi oleh masyarakat Sukanalu sebagian besar dijual kepada konsumen yang berada diluar desa Sukanalu bahkan sampai ke Kota Medan yang Jauh dari Desa Sukanalu.

Tanpa adanya sarana transportasi yang layak tentu saja pemasaran hasil-hasil pertanian tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Selain tu sarana transportasi juga sangat menentukan perkembangan desa itu sendiri. Dengan adanya sarana transportasi yang baik tentu saja akses dari luar menjadi lebih mudah sehingga dapat dilaksanakan pembangunan itu sendiri. Untuk mendukung semua hal tersebut, desa ini


(45)

memiliki sarana transportasi berupa jalan beraspal sepanjang 5 km yang berada ditengah desa yang merupakan jalan lintas dari ibukota Kecamatan Barus Jahe hingga keluar Desa Sukanalu, 4 km jalan berbatu, 30 km jalan bertanah serta 1 buah jembatan.

Kondisi dari semua jalan tersebut secara keseluruhan baik dan dapat digunakan dengan baik, meskipun ada sedikit yang berlubang. Masyarakat desa juga menyadari akan pentingnya jalan bagi kehidupan, sehingga mereka terkadang sring melakukan perawatan terhadap jalan seperti dengan menimbun jalan yang berlubang, membersihkan pinggir jalan dari rerumputan dan lain sebagainya.

2.4.2. Sarana Kesehatan

Beberapa sarana kesehatan yang terdapat di Desa Sukanalu antara lain adalah Puskesmas, klinik bersalin dan BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) yang masing-masing berjumlah satu buah. Sarana kesehatan tersebut dalam keadaan baik, fisiknya serta pelayanannya meskipun tenaga ahlinya masih belum mencukupi. Berdasarkan pengamatan penulis, sarana kesehatan di Desa Sukanalu sudah cukup memadai karena hanya ada satu orang bidan dan di bantu oleh beberapa perawat yang bertugas di dalamnya.

Pada hari-hari biasa, Puskesmas dan BKIA mulai dibuka pada pukul 08.00-14.00 WIB, sedangkan pada hari-haru besar tutup. Namun terkadang bila terdapat situasi yang cukup darurat maka petugas akan bersedia melayani apakah itu di puskesmas sendiri bahkan untuk dipanggil ke rumah pasien.


(46)

2.5 Keadaan Penduduk

Penduduk Desa Sukanalu pada tahun 2006 berjumlah 3084 jiwa dan terdiri dari 955 kepala keluarga. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin terdapat selisih yang cukup tajam yakni dengan jumlah laki-laku sebanyak 1359 jiwa dan perempuan sebanyak 1725 jiwa.

Penduduk Desa Sukanalu termasuk tipe yang heterogen, dimana terdapat begitu banyak karakter yang membedakan penduduk secara keseluruhan. Perbedaan tersebut meliputi suku, agama. Suku mayoritas di Desa Sukanalu ini adalah suku Batak Karo, yang sisanya yang berjumlah tidak banyak seperti suku Batak Toba, Simalungun, Jawa. Meskipun perbedaan tersebut ada ditengah-tengah masyarakat, namun penduduk dapat menjalin hubungan yang harmonis. Hal ini terjadi dikarenakan penduduk pendatang yang bukan suku Batak Karo mampu beradaptasi dengan penduduk yang Suku batak Karo. Wujud-wujud adaptasi ini dapat dilihat dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Meskipun bukan suku batak Karo namun mereka dapat berbahasa Karo dengan fasih. Selain itu, suku Batak Toba ataupun Simalungun juga terkadang merubah marganya menjadi marga Karo yang memang disamakan dengan marganya.

Komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianutnya, menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Desa Sukanalu menganut agama Kristen Protestan yang berjumlah 1493 jiwa dan kemudian dilanjuti dengan Kristen Katolik sebanyak 1418 jiwa dan yang terakhir adalah agama Islam sebanyak 153 jiwa. Namun ada juga yang mengaku tidak menganut agama apapun yakni sebanyak 20 jiwa.

Untuk melaksanakan ibadah masing-masing, di desa ini terdapat rumah-rumah ibadah Kristen ada 4 buah gereja yaitu 1 buah gereja GBKP, 1 buah gereja Katholik, 1


(47)

buah gereja GPDI, 1 buah gereja Pantekosta. Sedangkan bagi pemeluk agama Islam ada 1 buah Musholah.

Secara umum bila ditinjau berdasarkan usia dan jenis kelamin jumlah penduduk yang terbanyak terdapat pada penduduk yang berusia produktif yaitu yang berumur 20-35 tahun dan 20-35 -49 tahun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel yang tersedia:

Tabel II-3

Komposisi Penduduk Menurut Umur

No Umur ( Tahun ) Jumlah ( jiwa ) %

1 0-1 105 3,41

2 1-3 95 3,08

3 3-5 165 5,36

4 5-15 399 12,94

5 15-20 381 12,35

6 20-35 751 24,33

7 35-49 582 18,87

8 50-60 456 14,79

9 60 keatas 150 4,87

Jumlah 3084 100

Komposisi penduduk desa berdasarkan tingkat pendidikannya menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Desa Sukanalu sudah mengenyam pendidikan. Mulai


(48)

tingkat perguruan tinggi. Namun tetap saja masih ada yang belum pernah mengenyam pendidikan apapun yang menyebabkan mereka masih buta huruf saat ini. Biasanya mereka yang buta huruf adalah mereka yang sudah terlalu tua yang sudah sulit untuk mengikuti proses belajar lagi. Untuk lebih jelasnya, komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel II-4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Jenis Pendidikan Jumlah ( Jiwa ) %

1 Sekolah Dasar 1053 34,14

2 SLTP 337 10,93

3 SLTA 637 20,65

4 Akademi 53 1,72

5 Perguruan Tinggii 45 1,46

6 Kejar paket A 150 4,86

7 Buta Huruf 444 14,40

8 Belum sekolah 364 11,80

9 SLB 1 0,04


(49)

BAB III

PERKAWINAN POLIGAMI PADA MASYARAKAT KARO

3.1 Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan pada masyarakat Karo yaitu adanya ikatan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) selain itu juga mempunyai arti yang luas karena perkawinan itu bukan hanya masalah antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki tetapi menjadi masalah kedua keluarga besar kedua belah pihak tersebut. Dengan kata lain bahwa apabila seorang laki-laki akan kawin, di dalam menentukan siapa yang akan menjadi calon isterinya, bukan hanya si laki-laki tersebut, tetapi yang menentukan ikut juga keluarga atau orang tua si laki-laki tersebut. Demikian juga dengan seorang perempuan di dalam menentukan siapa yang akan menjadi calon suaminya, bukan hanya terserah kepada perempuan tersebut, tetapi keluarga dan orang tua juga ikut menentukan. Malah kadang-kadang suatu perkawinan bisa tidak jadi dilaksanakan apabila salah satu orang tua dari pihak-pihak yang mau kawin tidak setuju. Hal ini di sebabkan salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk memperluas kekeluargaan (pebelang kade-kade).

Selain itu perkawinan juga mempunyai tujuan melanjutkan/meneruskan

keturunan generasi laki-laki/marga, karena hanya anak laki-laki saja yang dapat

mneruskan garis marga. Fenomena sosial, nilai-nilai serta adat kebiasaan di dalam masyarakat telah melegitimasi bahwa kedudukan dari anak laki-laki berada pada level


(50)

bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Sangatlah wajar apabila kedua belah pihak mengharapkan kehadiran seorang anak laki-laki yang secara adat dapat diartikan sebagai pewaris marga dan juga kedudukan sebagai orang yang dapat melindungi saudara perempuan mereka. Walaupun anak laki-laki tersebut masih kecil ia dapat dijadikan benang merah yang menghubungkan ikatan kerabat antara suatu keluarga dengan saudara laki-laki ayahnya (father brother) serta orang-orang yang semarga dengan ayahnya. Semua anak laki-laki mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan ayahnya, sama-sama menjadi Kalimbubu dari saudara perempuan ayah (father sister atau bibi-bengkila beserta anaknya) dan saudara perempuan mereka sendiri. Namun bukan berarti anak perempuan tidak mempunyai arti pada masyarakat Karo, kedudukan anak perempuan pada masyarakat Karo demikian pentingnya, karena dari anak perempuan lahir ikatan kekeluargaan sebagai anak beru

Suku bangsa Karo mengenal adanya konsep yang melukiskan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai matahari dan bulan. Hal ini dapat dilihat pada setiap upacara perkawinan adat, oleh pihak sangkep sitelu yang berbicara memberikan nasehat dan doa restu selalu mengharapkan agar pengantin memperoleh anak dengan istilah matahari (anak laki-laki ) dan bulan (anak perempuan)

Laki-laki yang mengikatkan diri dengan seorang perempuan dinamakan suami, sedangkan perempuan yang juga mengikatkan diri dengan seorang laki-laki dinamakan isteri. Pada masyarakat Karo, suami disebut perbulangen dan isteri disebut ndahara. Perbulangen berasal dari kata bulang yang artinya topi. Oleh karena itu pada masyarakat Karo suami dilambangkan dengan topi yang berfungsi untuk melindungi


(51)

kepala, yang diartikan sebagai pelindung bagi isteri dan anak-anaknya (pelindung keluarga).

Disamping arti dan tujuan dari perkawinan pada masyarakat Karo seperti yang

telah diuraikan di atas yaitu memperluas kekeluargaan (pebelang kade-kade) dan

meneruskan marga, maka masyarakat Karo juga menganut sistem perkawinan yang exogami yaitu pada prinsipnya seseorang harus kawin dengan orang lain yang berasal dari klen (marga) yang berlainan. Dengan kata lain bahwa orang berasal dari klen yang sama dilarang untuk melakukan perkawinan kecuali marga Sembiring dan Perangin-angin.

Syarat-syarat perkawinan yang ditetapkan oleh hukum adat berbeda-beda menurut daerah masing-masing. Bagi suku bangsa Karo, secara umum perkawinan itu

mulai dianggap sah, setelah selesai pembayaran uang jujur (unjuken) pada waktu

pelaksanaan pesta perkawinan baik pesta itu diadakan secara besar-besaran ataupun secara sederhana.

Oleh karena adanya pembayaran uang jujur pada masyarakat Karo maka bentuk perkawinannya di kenal dengan bentuk hukum kebapaan yang berarti sifat yang terpenting dalam perkawinan ini adalah dengan pembayaran uang jujur.

Menurut Hadikusuma (1994) perkawinan adat mengenal beberapa bentuk, sebagaiman dikemukakan berikut:

…..dalam masyarakat patrilineal berlaku perkawinan dengan pembayaran uang jujur, dalam masyarakat matrilineal berlaku adat perkawinan semanda, dan dalam masyarakat parental atau bilateral


(52)

Perkawinan dengan pembayaran uang jujur (unjuken) adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang-barang magis atau sejumlah uang dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang berfungsi

sebagai pengganti atau sebagai pembeli (tukur) atas berpindahnya si perempuan ke

dalam klen si laki-laki (mengembalikan keseimbangan magis di keluarga pihak perempuan )

Perkawinan jujur ini adalah salah satu bentuk perkawinan mempertahankan susunan kekeluargaan berhukum kebapaan (patrilineal), hal ini dilatarbelakangi bahwa dengan dilakukannya pembayaran uang jujur maka si isteri (perempuan) akan dibawa masuk ke dalam pihak keluarga si suami (laki-laki). Hubungan dengan marga orang tuanya menjadi terputus. Dengan demikian nantinya apabila si perempuan melahirkan anak, maka si anak tidak akan meneruskan marga dari si perempuan itu melainkan menuruti marga dari laki-laki yang menjadi suaminya.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa perkawinan yang tidak disertai adanya

pembayaran uang jujur pada dasarnya tidak sah menurut adat. Akan tetapi ada juga

perkawinan yang dilaksanakan perkawinan tanpa pembayaran uang jujur dan

perkawinan itu dianggap sah oleh adat. Hal ini kita jumpai dalam perkawinan lakoman dan perkawinan gancih abu.

Perkawinan lakoman adalah perkawinan antara seorang janda yang suaminya

meninggal dengan saudara laki-laki suaminya. Perkawinan gancih abu adalah suatu

perkawinan terhadap suami yang isterinya meninggal dengan saudara perempuan isterinya.


(53)

Pada perkawinan lakoman dan perkawinan gancih abu, penyerahan jujur tidak dilakukan lagi karena kedua belah pihak yang akan kawin masih ada di dalam

lingkungan keluarga masing-masing dan cukup hanya disahkan oleh pihak kalimbubu

dengan membawa manuk megersing (ayam kuning) yang akan diserahkan kepada pihak

kalimbubu.

3.2. Proses Pelaksanaan Perkawinan di Desa Sukanalu 3.2.1 Tahapan Persiapan/Kegiatan Sebelum Perkawinan

Menurut ketua adat setempat yaitu Bapak T. Bangun bahwa untuk menentukan isteri bagi seorang laki dapat dilakukan apabila dalam suatu keluarga ada anak laki-laki dewasa dan telah cukup umur untuk dikawinkan.

Pada umumnya orang tua dan calon mempelai melakukan perundingan atau diskusi untuk mencari gadis dari marga dan kampung apa yang cocok menjadi menantunya atau isteri untuk anak laki-lakinya itu. Pembicaraan tentang hal itu

dilakukan di rumah keluarga tersebut dan yang dinamakan ndarami diberu (mencari

gadis) yang dipilih untuk dilamar. Dalam acara ini salah seorang ibu dari pihak laki-laki sebagai perantara pergi ke kampung keluarga perempuan meneliti secara diam-diam mengenai beberapa hal tentang si gadis seperti kecantikkannya, cacat cela pada jasmaninya, serta kemungkinan kesediaannya atau keinginan orang tua si gadis untuk menerima peminangan dari pihak keluarga pemuda yang bersangkutan. Apabila hal tersebut telah diketahui maka pemuda tersebut melakukan naki-naki (jalan-jalan atau main-main) ke kampung tempat si gadis yang dimaksud dengan tujuan untuk saling


(54)

Cara mengungkapkan rasa sukanya pada si gadis, si pemuda tidak boleh mengungkapkannya secara langsung, tetapi dengan kata-kata pantun atau puisi,

bercanda atau sindiran, teka-teki atau dalam bentuk lagu. Menurut informan, naki-naki pada masyarakat Karo ada dua, yaitu:

1. Naki-naki secara adat, artinya keinginan mencari seorang gadis sudah merupakan tekad dari keluarga pihak laki-laki. Naki-naki secara adat dilakukan jika pihak laki-laki berasal dari luar kampung keluarga pihak perempuan, sehingga pelaksanaanya pertama-tama si pemuda berusaha mempelajari struktur di dalam kampung si gadis tersebut dengan berusaha mengetahui siapa raja atau yang mendirikan kampung itu yang disebut dengan marga taneh serta mencari tahu anak beru kuta (saudara perempuan ayah anak laki-laki) pendiri kampung itu. Setelah di ketahui semuanya

itu, si pemuda dapat mendekati anak beru kuta supaya menolongnya untuk

mendekati si gadis tersebut.

2. Naki-naki di luar adat, artinya keinginan mencari gadis di luar sepengetahuan orang tua pihak laki-laki tetapi dilakukan melalui seorang perantara sebagai penghubung secara rahasia. Oleh karena bersifat rahasia, maka penghubung tersebut berusaha mempertemukan si pemuda dan si gadis secara tidak langsung, misalnya dengan mengajak si gadis pergi ke suatu tempat, dan pada saat itu si pemuda mengamati si gadis dari rumahnya atau dari tempat yang strategis dan setelah menemukan gadis yang sesuai dengan penglihatan pemuda tadi, maka si pemuda tersebut menyelidiki sendiri mengenai kecantikan, wajah dan kelakuan si gadis yang disukainya itu, serta menyelidiki kemungkinan kesediaan atau persetujuan orang tua si gadis untuk


(55)

menerima lamaran si pemuda yang bersangkutan. Setelah itu, maka di beritahukan kepada keluarga si gadis dan si pemuda untuk mempersiapkan segala acara untuk melaksanakan perkawinan.

Selanjutnya ketua adat menjelaskan bahwa acara yang dilakukan adalah :

1) Erbahan Pudun

Acara yang dilakukan sebelum perkawinan atau setelah naki-naki adalah membuat janji antara seorang pemuda sebagai tanda kesungguhan hatinya pada si gadis tadi, yang dalam bahasa Karo disebut dengan istilah erbahan pudun. Pada saat erbahan pudun mereka berdua secara bersama-sama sudah memutuskan tentang waktu pelaksanaan perkawinan, bentuk perkawinan yang akan dilaksanakan misalnya kawin secara adat atau dengan nangkih (kawin lari), bentuk pestanya seperti pesta di tanah lapang atau pesta sedang cukup di halaman rumah atau pesta kecil di dalam rumah, materi perkawinan meliputi tukur (jujur atau mas kawin) dan memberi sejumlah materi sebagai tanda jadi yang disebut dengan penindih pudun yang merupakan konsekuensi terhadap rencana perkawinan yang direncanakan. Pelaksana erbahan pudun ini adalah anak beru si pemuda dan si gadis, senina (orang semarga) si pemuda dan si gadis, orang tua si pemuda dan si gadis serta si pemuda dan si gadis yang bersangkutan. Pada acara erbahan pudun ini, pihak si pemuda meninggalkan penindih pudun berupa uang kepada keluarga si gadis.


(56)

ingkar janji atau melanggar janjinya maka si gadis harus mengembalikan penindih pudun kepada si pemuda sebesar dua kali lipat dari jumlah penindih pudun yang telah diterimanya. Ketentuan ini masih berlaku dan tetap dipertahankan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Karo dalam melangsungkan perkawinan .

2) Ngembah belo selambar atau mbaba belo selambar

Setelah acara erbahan pudun dilakukan, maka selanjutnya dilakukan acara

Ngembah belo selambar yaitu menanyakan kembali janji yang telah mereka ikat bersama dengan seizin orang tua si gadis atau dengan kata lain ngembah belo selambar yang merupakan suatu acara meminang gadis menurut hukum adat Karo. Biasanya acara ini dilaksanakan di rumah kalimbubu (saudara laki-laki ibu) si gadis yang dilakukan pada sore hari atau malam hari. Yang melaksanakan acara ini adalah orang tua si pemuda, orang tua si gadis, senina (saudara satu marga), anak beru, kalimbubu, anak beru kuta (anak pendiri kampung), serta si pemuda dan si gadis yang bersangkutan.

Keperluan yang diperlengkapi dalam acara ngembah belo selambar adalah

kampil (tempat sirih) di mana sirih tersebut terdiri dari daun sirih, gambir, pinang, kapur

sirih, tembakau dan juga dipersiapkan uang penading (mas kawin), tabung (tempat

rokok) beras piher tendi (beras mencibro), pinggan tempat uang, beras dan beberapa ekor ayam. Sirih, pinang, gambir, kapur sirih dan tembakau dimasukan ke dalam kampil menjadi satu tempat sebagai persyaratan utama pada acara ngembah belo selambar ini.


(57)

Selanjutnya menurut ketua adat, untuk mengawali acara ngembah belo selambar ini terlebih dahulu diadakan acara makan bersama. Makanan tersebut adalah makanan yang di bawa oleh pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan, bisa yang di masak di rumah si pemuda dan bisa juga yang di masak di rumah si gadis. Setelah acara makan

bersama, dilanjutkan dengan acara adat yang ditandai dengan penyerahan kampil

kepada ibu si gadis dan tabung kepada ayah si gadis, di mana penyerahan ini dilakukan oleh anak beru pihak laki-laki. Selanjutnya dibicarakan mengenai rencana pelaksanaan acara makan bersama antara anak beru, senina dan kalimbubu untuk menentukan tukur, hari perkawinan, orang-orang yang diundang dan yang mengundang yang diistilahkan dengan acara ngembah manuk atau nganting manuk.

3) Ngembah manuk atau nganting manuk

Acara ngembah manuk atau nganting manuk merupakan kelanjutan dari

kesepakatan yang telah ditentukan dalam acara ngembah belo selambar di mana acara

ini dilaksanakan di rumah kalimbubu dan biasanya dilaksanakan pada malam hari,

sedangkan acara perkawinannya dilaksanakan keesokan paginya. Yang bertanggung jawab dalam menyediakan perlengkapan pada acara ini adalah pihak laki-laki sedangkan pihak perempuan hanya membantu seperlunya saja. Kemudian acara ngembah manuk ini di dahului dengan makan bersama dan yang makan terlebih dahulu adalah keluarga pihak perempuan sebagai tanda penghormatan kepada kalimbubu.

Dalam melaksanakan musyawarah melalui acara ngembah manuk ini di tentukan


(1)

laki-laki di Desa Sukanalu, pada saat ini telah mengalami perluasan makna, dimana sebutuan lembut Sukanalu juga turut digunakan untuk menyebut perempuan-perempuan yang bersedia dipoligami atau dijadikan istri simpanan, meski perempuan tersebut bukan berasal dari Desa Sukanalu. Lembut Sukanalu sering digunakan sebagai cemooh buat perempuan yang dianggap berkelakuan kurang baik. Saat ini sebutan lembut Sukanalusudah dikenal luas di Tanah Karo.

5.2 SARAN

Mengingat karena masyarakat diseluruh daerah di Indonesia menganut sistem kekerabatan yang berbeda-beda, dan berhubung karena negara Indonesia adalah negara hukum, khususnya pada masyarakat Karo di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo, maka peneliti menyarankan pemerintah desa supaya berperan aktif mendata dan mencatat dalam buku daftar perkawinan setiap anggota masyarakat ayng telah melangsungkan perkawinan menurut hukum adat, karena menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suatu perkawinan hanya sah apabila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing pihak dan menurut hukum adat perkawinan itu sah apabila uang jujurnya telah dibayar lunas pada saat perkawinan dilangsungkan menurut ketentuan tersebut, maka diharapkan kepada pemerintah desa, supaya mencatatnya dalam buku daftar perkawinan yang ada di Desa Sukanalu khususnya tanpa menunggu laporan dari para pihak.

Melihat alasan yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan poligami di Desa Sukanalu, serta akibat yang telah terjadi dari perkawinan poligami tersebut, maka peneliti juga menyarankan kepada para suami dan isteri untuk tetap memilih


(2)

perkawinan monogami sebagai perkawinan yang paling ideal dalam kehidupan berumah-tangga. Peneliti juga menyarankan agar suami dan isteri dapat lebih menerima pasangannya dengan segala kekurangan dan kelebihannya dengan besar hati serta terus menyayangi istri serta keluarga yang telah dibentuknya itu, sehingga perceraian sedapat mungkin dielakkan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Payung. 1987. Perubahan Sosio-Budaya: Masalah Teori dan Urgensi. Bulletin Antropologi. Yogyakarta, Gajah Mada.

Daeng, Hans, 2000, Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Jakarta, Pustaka Pelaajar.

Hadikusuma, H. Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Cetakan Pertama, Bandung.

2003, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 1999, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Haviland, William, 1998, Antropologi Edisi Keempat Jilid 2, Jakarta, Erlangga. Ihromi, T.O (ed), 1984, Pokok-pokok Antropologi Budaya.Jakarta. Gramedia.

Herskovits, J. Melville, Organisasi Sosial: Struktur Masyarakat. Dalam Pokok-pokok Antropologi Budaya. T.O. Ihromi (ed). Jakarta, Gramedia.

Keesing, Roger, 1989, Antropologi Budaya Suatu Prespektif Kontemporer. Jakarta, Erlangga.

Koentjaraningrat, 1977, Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Dian Rahayu 1985, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.

Moleong, Lexy, J, 2004, Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung. Prinst, Darwin, 2004, Adat Karo, Bina Media Perintis, Medan Sitepu, Runtung, 1998,

Pemilikan dan Pemanfaatan Harta Bawaan dalam Suatu Perkawinan Pada Masyarakat Muslim Karo, Tesis, Program Pasca Sarjana, USU, Medan.


(4)

Sembiring, Kira, 1989, Perubahan Poligami Pada Suku Karo Di Desa Sukanalu, FISIP USU, Medan.

Sitepu, Sempa, 1995, Sejarah Pijer Nggeluh Suku Karo Indonesia, Adiyu, Medan. Soekanto, Soejono, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.

Grafindo Persada, Jakarta.

Spradley, James, 1997, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Supriadi, Wila Candrawila, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, CV. Mandar Maju, Bandung.


(5)

DAFTAR ISTILAH

• Impal: anak perempuan dari saudara laki-laki Ibu

• Kalimbubu: pihak yang menyerahkan anak gadis untuk dinikahkan dan sebagai pihak yang mengesahkan utusan-utusan dalam pertemuan-pertemuan keluarga atau kerabat.

• Anak beru: pihak yang bertindak sebagai penerima anak dara yang berfungsi sebagai perantara pembicaraan dalam pertemuan-pertemuan adat yang bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan dalam kerja-kerja adat.

• Senina: keluarga semarga. • Nengget: membuat terkejut.

• Lembut Sukanalu: selimut (penghangat) Sukanalu. • Bagi diberu: seperti perempuan.

• Bebere: marga Ibu yang diturunkan ke anak. • Dibata idah: Tuhan yang terlihat.

• Sangkep sitelu: tiga ikatan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo. • Sinereh: calon pengantin perempuan

• Ersinget-ersinget: mengundang orang untuk datang ke suatu pesta secara lisan.

• Penindih puduh: pemberian tanda pengikat oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

• Kesain: halaman.


(6)

• Rumah walu jabu: rumah yang terdiri dari delapan kelapan rumah tangga. • Pebelang kade-kade: memperluas kekeluargaan /meneruskan merga. • Unjuken: pembayaran uang jujur.

• Naki-naki: jalan-jalan ke kampung si perempuan dengan tujuan untuk saling kenal satu sama lain.

• Ndarami di beru: mencari perempuan untuk dilamar.

• Tukur/jujur: suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang-barang magis atau sejumlah uang dari keluarga laki-laki kepada pihak perempuan, dimana hal ini berfungsi sebagai pengganti atas berpindahnya si perempuan ke dalam klen si laki-laki.

• Nangkih: kawin lari.

• Anak beru siempo: pihak keluarga laki-laki.

• Gendang guro-guro aron: acara hiburan bagi semua masyarakat.

• Gendang pejabu-jabuken: pesta tarian kaum muda-mudi yang diadakan sehabis panen atau pada saat tidak adanya kesibukan di sawah atau di ladang.

• Kuta kemulihen: kampung asal atau kampung yang didirikan. • Merga silima: klen yang lima.