7. Faktor-faktor yang memicu pergeseran bentuk perkawinan poligami ke perkawinan monogami di desa tersebut pada masa sekarang?
Lokasi penelitin ini dilakukan di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. Desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini
mempunyai tingkat poligami yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa tetangganya. Di Desa Sukanalu sendiri kurang lebih 75 dari rumah tangga
melakukan poligami khususnya poligini, sedangkan di desa-desa tetangganya hanya sekitar 10. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikkan tersendiri desa tersebut
bila di bandingkan dengan desa-desa lainnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman serta perubahan pandangan perempuan-perempuan di desa tersebut akan
makna perkawinan, perilaku ini mengalami pergeseran ke perkawinan monogami. Karena itulah peneliti tertarik dan memutuskan Desa Sukanalu sebagai lokasi
penelitian.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya suatu perubahan dalam kehidupan suatu masyarakat, khususnya untuk mencari dan mendeskripsikan
sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang telah mengalami perubahan pada masyarakat Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe.
Secara umum penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam memperkaya literatur dan khasanah pengetahuan tentang konsep perkawinan yang berlaku dalam
sistem adat masyarakat Karo.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Tinjauan Pustaka
Suku bangsa Karo sebagaimana suku bangsa lain mempunyai tata cara perkawinan yang khas. Namun pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan
pengenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan Perkawinan dan upacara pensakralan.
Ada beberapa sarjana hukum adat berpendapat bahwa suku Karo digolongkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Namun bila
memperhatikan hal tersebut dengan merujuk pada perkembangan hukum sekarang khususnya pada bidang perkawinan, maka suku Karo tidak hanya memperhatikan
garis keturunan dari bapak saja, tetapi juga garis keturunan dari ibu, sebagaimana telah disebutkan Sempa Sitepu bahwa “Suku Karo sudah merupakan berkerabatan
parental dan bilateral, artinya tidak hanya menghitung dari garis keturunan ayah saja tetapi juga garis keturunan sang ibu sehingga diberi gelar bebere. Dalam hubungan
kekeluargaan pada masyarakat Karo, Hilam Hadikusuma mengatakan bahwa “ …yang selalu dituakan dan dihormati adalah merga pemberi anak dara, karena dianggap
sebagai dibata idah dewa yang nampak ” Pengaruh sistem kekerabatan
terhadap keluarga dan anak-anak
Soerjono Soekanto, 2003 adalah : Perkawinan dalam sistem ini akan mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi
warga masyarakat dari pihak suaminya. Sebagaimana konsekuensinya dan keadaan itu maka anak – anak yang akan lahir dalam suatu perkawinan akan
menarik garis keturunan pihak ayahnya dan akan menjadi anggota masyarakat hukum adat dimana ayahnya juga menjadi anggotanya.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai sistem kekerabatan ini, Harahap 1995: 154-155 mengatakan bahwa “Sistem kekeluargaan sekarang sudah mengarah kepada sistem kekeluargaan
parental, meskipun dalam kehidupan sehari hari stelsel kekeluargaan patrilineal atau matrilineal masih diakui eksistensinya, namun sepanjang masalah warisan telah terjadi
pergeseran dan stelsel patrilineal kearah parental “masyarakat Karo menganut sistem kemasyarakatan patriarchat yaitu masyarakat yang diperintah secara kekeluargaan”.
Hal mana terlihat dari kedudukan atau jabatan adat dalam masyarakat yang memiliki keunikkan tersendiri bila dibandingkan dengan kedudukan atau jabatan pada
masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia. Kedudukan atau jabatan dalam masyarakat Karo terdiri dari kalimbubu, senina,
atau sembuyak dan anak beru yang biasanya disebut dengan sangkep sitelu. Kedudukan atau jabatan ini memilii fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya yaitu
kalimbubu adalah pihak yang menyerahkan anak dara untuk dinikahkan dan sebagai
pihak yang mengesahkan utusan dalam pertemuan–pertemuan runggun keluarga atau kerabat. Jadi, kalimbubu ini dapat dibagi atas beberapa golongan yaitu: kalimbubu
bananakalimbubu tanah ketururunan dari orang yang dianggap sebagi pembuka
kampung atau manteki kuta puang kalimbubu Kalimbubu dari kalimbubu. Sementara senina
atau sada ninina adalah orang yang satu keturunan yang timbul dari merga atau bebere
yang sama. Senina ini terdiri dari siperemen dan sipengalon serta sendalanen. Anak beru
adalah pihak yang bertindak sebagai penerima anak dara yang berfungsi sebagai perantara pembicaraan dalam pertemuan–pertemuan adat yang
bertugas untuk meneyelesaikan pekerjaan dalam kerja–kerja adat. Anak beru ini terdiri
Universitas Sumatera Utara
dari anak beru tua, anak beru menteri anak beru dari anak beru, anak beru singerana, anak beru ncekuh baka tutup, anak beru iangkip,
dan anak beru taneh. Jabatan atau kedudukan adat sebagaimana tersebut diatas dapat melekat secara
seluruhnya maupun sebagian saja pada satu orang. Sebagaimana disebutkan Sempa Sitepu bahwa “sebab pada orat tutur pada masyarakat Karo sering ada pergantian”,
misal pada suatu ketika si A menjadi kalimbubu, tetapi pada pesta adat yang lain si A dapat menjadi anak beru. Disinilah terlihat keunikkan kedudukan atau jabatan yang
dimiliki oleh masyarakat adat Karo tersebut. Kedudukan atau jabatan bagaimana orang bersikap dan bertindak terhadap orang
lain dan juga menentukan dimana seseorang itu mengambil tempat dalam melaksanakan upacara adat maupun runggun. Artinya kedudukan atau jabatan adat tersebut tidak
menunjukan hubungan kekerabatan diantara anggota masyarakat. Dengan demikian maka pada masyrakat Karo tidak ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi,
karena masing masing pribadi duduk pada kelompoknya masing masing seperti kalimbubu, senina, anak beru
semuanya duduk ditengah tengah kelompok masing masing.
Berpijak dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dapat dibayangkan begitu pentingnya struktur merga dalam kehidupan masyarakat Karo dan setiap anggota
keluarga atau keturunan dari suatu marga selalu memakai marga sebagai identitas yang dibubuhkan setelah nama kecil anggota keluarga tersebut dan yang diperhitungkan
melalui garis bapak. Hal ini menandakan bahwa kelompok orang orang tersebut merupakan keturunan dari seorang kakek bersama yang bersifat patrilineal.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan itu Sitepu mengatakan bahwa “marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannnya masih mempunyai kakek
bersama”. Mungkin secara nyata tidak dapat lagi dirinci rentetan bersama akan tetapi ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama
sudah terjalin hubungan darah sehingga dimuat menjadi suatu persyaratan kawin bagi masyarakat Karo yaitu dengan adanya larangan kawin bagi laki laki dan perempuan.
Menurut pergaulan hidup masyarakat Karo memperlihatkan bahwa setiap orang Karo dianggap sebagai kerabat karena laki-laki dan perempuan menempatkan seseorang
ke dalam satu diantara kategori yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo, yaitu Kalimbubu, anak beru, senina. Ketiga kategori ini merupakan satu kesatuan yang
selalu diwujudkan sebagai ketiga yang lengkap dengan istilah sangkep sitelu atau rakut sitelu
. Menurut hukum adat pada masyarakat Karo, kesatuan sangkep sitelu atau rakut sitelu
inilah yang merupakan syarat bagi kehidupan bersama manusia, karena ikatan kekerabatan ini tidak bersifat perorangan tetapi mencakup golongan yang berkerabat
secara luas sehingga masyarakat Karo dapat menghubungkan dirinya satu sama lainya dalam sistem kekerabatan.
1.6 Perkawinan menurut hukum adat Karo