DARI RUNTUHAN BANTAM LAMA

VIII. DARI RUNTUHAN BANTAM LAMA

Minggu yang lalu melawatlah saya ke Bantam. Dapatlah saya kesempatan melihat runtuhan dan bekas sebuah Kerajaan Islam yang besar zaman purba. Dari jauh kelihatanlah menara mesjid Bantam, berdiri dengan megahnya, mengarah lampu suar memberi petunjuk bagi perahu-perahu dan bahtera yang berlayar di laut. Meskipun yang kita dapati sekarang adalah satu desa sunyi, satu runtuhan batu-batu, namun khayal kita dapatlah menjalar, menyeruak awan dan mega sejarah.

Kalau sekiranya pasir dan runtuhan batu-batu dapat berkata, tentu dia akan mengatakan bahwa di sinilah dahulu pahlawan "Kemenangan Allah" (Fatahillah) mendarat, melalui ombak dan gelombang membawa tentara Islam dari Demak. Di sini pula dahulu puteranya Hasanuddin menjadi Sultan Bantam yang pertama. Dan dia pun tidak henti-hentinya mengembangkan agama Rasulullah, ke daerah Jawa Barat dan sampai juga menyeberang ke Sumatera, ke kampung dan daerah Selebar (Bengkulu), sampai kawin dengan puteri Sultan Indrapura.

Di pinggir Utara Mesjid Bantam, atau Mesjid sultan-sultan Bantam itu terdapatlah "Sabakingking "(bumi dukacita), tempat Hasanuddin bersemayam buat selama-lamanya. Di kiri kanan beliau bersemayamlah beberapa sultan yang lain, demikian juga beberapa orang besar-besar dan puteri-puteri.

Di hadapan perkuburan dan mesjid kelihatan runtuhan-runtuhan istana besar Bantam yang menurut riwayat dikerjakan oleh tukang-tukang orang Belanda dan Prancis menurut contoh rumah- rumah besar orang Eropa. Istana itu didirikan atas perintah Maulana Yusuf, Sultan Bantam yang kedua, putera Hasanuddin.

Penunjuk jalan saya, Sdr. Taher Hanaf wedana Pontang berkata bahwa sebelum revolusi Indonesia batu-batu bekas istana itu tidaklah kelihatan. Karena sejak kesultanan Bantam bertambah runtuh dan hilang pamornya, terutama sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels telah dibiarkan begitu saja, sehingga rumputnya menjadi panjang. Akhirnya menjadi belukar dan akhirnya menjadi rimba raya. Kayu-kayu yang besar tumbuh, dan uratnya bersilang siur sehingga batu-batu runtuhan itu hilang tak kelihatan lagi. Setelah revolusi basar Indonesia, barulah pemuda-pemuda membersihkan hutan belukar itu. Jelaslah sekarang gambaran dari kebesaran yang lama.

Kami pun melihat "Sultan Kanal”, yaitu bekas bandar galian air yang digali atas perintah Maulana Yusuf juga. Karena pada zaman pemerintahan beliaulah rakyat diajar bersawah, sehingga Bantam kaya dengan padi. Dan kesuburan ekonomi dengan sendirinya menimbulkan kesuburan agama. Hanya antara 2 a 3 meter saja dari kanal buatan sultan Belanda membuat galian air yang lain, supaya nama Sultan hilang dari ingatan. Tetapi Kanal buatan sultan yang sudah berusia 350 tahun itu masih ada, dipenuhi oleh kiambang dan seroja, sehingga jelas dapat dilihat bekas pekerjaan besar itu, sekurang-kurangnya untuk jadi kenang-kenangan.

Sultan Yusuf, atau Maulana Yusuf banyak benar meninggalkan jejak jasa di Bantam. Sultan Yusuflah yang menaklukkan Kerajaan Hindu Pajajaran sehingga tak bangkit lagi. Kamipun ziarah ke makam beliau, tidak jauh di luar kota Bantam. Juru kunci menerangkan bahwa yang disamping beliau adalah makam puteranya Maulana Muhammad yang mangkat dalam perjuangan di Sungai Musi Palembang. Dan di samping itu lagi kuburan Pangeran Jepara. Termenunglah saya sejenak, sesudah di masa hidup demikian hebat keinginan Pangeran Jepara hendak merebut kekuasaan, namun setelah mati, mau atau tidak mau, mereka diperdekatkan orang juga.

Kami pun pergi ke Tirtayasa, sebuah desa yang lebih muram lagi di luar Bantam. Di sana terdapat makam Sultan Ageng Tirtayasa, terkenal nama beliau Abul Fathi Abdul Fatah,

pahlawan besar Bantam, pahlawan besar Islam, pahlawan besar tanah air di awal abad ke-18 yang terpaksa berperang dengan puteranya sendiri, Sultan Haji yang mendapat bantuan dari Kompeni.

Tirtayasa dipilih oleh Sultan Abul Fathi Abdul Fatah menjadi ibukota Bantam Islam yang merdeka setelah beliau lihat di Bantam sendiri telah masuk pengaruh kehidupan Eropa. Dan putera harapannya Sultan Haji yang telah diberikannya hak memegang kekuasaan beberapa lamanya, telah diutusnya berlayar ke Mekkah, tidaklah membawa perubahan kemajuan agama, tetapi telah kena ketularan semangat mewah ajaran Kompeni pula.

Akhirnya pecahlah perang di antara ayah dan anak. Ayah kalah dan mati dalam buangan Kompeni. Dan anak terpaksa menyandarkan kekuasaan kepada Kompeni.

Saya bertanya kepada penunjuk jalan, yang manakah kuburan beliau Sultan Ageng Tirtayasa, karena terdapat beberapa kubur. Penunjuk jalan tidak dapat menunjukkan. Maka teringatlah saya kisah Diogenes di kuburan Philipus raja Macedonia. Waktu itu raja Iskandar Zulkarnaen datang dan bertanya: "Mengapa orang tua di sini?" Diagones menjawab: "Di sini, berkubur ayah Tuanku dan budak-budaknya, saya lihat kubur telah runtuh dan tulang berserak. Namun saya tidak dapat menyisihkan mana yang tulang ayah Tuanku dan mana tulang budak-budaknya. Karena sama saja.”

Rupanya dibawalah tulang-tulang beliau dari Jakarta ke Bantam, setelah lama beliau mangkat. Sultan-sultan Bantam! Telah hampir seluruh negeri yang bersultan baik lama atau yang masih

ada, belum saya pernah bertemu yang sedemikian besar pengaruh sultan-sultan yang telah mangkat sejak 300 tahun, bersemayam dalam hati dan kenangan rakyatnya sebagai di Bantam.

Sampai sekarang masih ada orang yang datang ziarah setia, bahkan minta diakui jadi rakyat Bantam. Kenang-kenangan dan kesetiaan adalah baik. Tetapi kita harus memandang ke muka, meneruskan langkah. Di Cirebon pun ada belahan kenangan Bantam, yang sejarahnya berasal dari satu nenek "kesepuhan”, "kanoman”, dan "kecerbonan”, namun kenangan lain dan kenyataan lain.

Zaman itu telah lama berlalu, dia gilang gemilang buat masa lampau. Kita sekarang tengah membuat lanjutan sejarah, yang anak cucu kita 300 tahun lagi, harus mengingatnya sebagai sejarah yang gemilang pula.

Kita tidak akan pulang ke zaman lampau, kita menuju zaman depan.