DONGENG KAUM TASAWUF MENDEWAKAN RAJA (1)

II. DONGENG KAUM TASAWUF MENDEWAKAN RAJA (1)

Sudah menjadi adat dan dongeng turun temurun di negeri-negeri Timur, bahwasanya raja adalah suci, baginda adalah keturunan dewa. Beliau tidak sama dengan manusia kebanyakan ini. Dengan jalan demikian maka perintah, atau titah yang baginda turunkan kepada rakyatnya, hendaklah dipandang suci dan tidak boleh dibantah.

Kepercayaan ini merata di mana-mana di negeri Timur. Di zaman masih dikungkung oleh animisme, kepercayaan kepada kekuasaan gaib roh nenek

moyang, rajapun dipandang sebagai dukun besar, yang sanggup mengatur hubungan antara rakyat di alam kenyataan, dengan roh nenek moyang di alam keinderaan.

Dengan demikian maka orang Bugis menganut kepercayaan, bahwasanya raja mereka yang suci "Sawirigading" adalah keturunan Batara Guru, yang turun ke dunia dari dalam rumpun buluh- kuning. Demikian pula orang Minangkabau membuat sejarah rajanya Sutan Rumandung dan Bunda Kandung. Bangsanya baginda adalah keturunan Anak Indra Jati, dan kemudiannya bagindapun tidaklah mati, hanya naik ke "langit" dengan menaiki perahu Nabi Nuh!

Setelah agama Hindu tersebar di tanah air kita, jelaslah dinyatakan bahwasanya Raja adalah titisan daripada Dewa. Airlangga dipandang sebagai titisan daripada Dewa Wisynu. Kartanegara setelah melihat bahwa dalam negerinya ada dua agama, yaitu agama Syiwa dan agama Budha, lalu "membuat " ideologi dari kerajaannya bersandar kepada paduan "Syiwa-Budha”. Dan raja adalah titisan daripada dewa-dewa persembahan itu. Kemudian KerajaanTumapel dan Singasari redup dan naik Kerajaan Majapahit. Di zaman Majapahit lebih dipererat "Tuah" Raja tadi. Bahwa raja bukanlah insan bisa, tetapi keturunan dari Kahyangan, titisan daripada Arjuna dan Abimanyu

Dengan mempertinggi "tuah" raja, sangguplah rakyat diperintah. Sehingga menentang mata raja sajapun tidak boleh apatah lagi akan duduk berhadapan dengan baginda. Di hadapan istana diadakan "Seba", yaitu tempat duduk berhenti menunggu keizinan masuk ke dalam puri istana, buat menjunjung duli, sehingga sebelum masuk sajapun diri sudah rasa tertekan oleh kebesaran baginda. "Tuah" Majapahit inilah yang dipergunakan oleh Gajah Mada buat menaklukkan seluruh Indonesia.

Sebagaimana diketahui, sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, terlebih dahulu Kerajaan Islam telah berdiri di Pasai. Betapa akan menyesuaikan kepercayaan Islam yang memandang bahwa manusia tidaklah keturunan dewa, hanya keturunan Adam, dengan memelihara "tuah" raja? Pasai mencatat sejarah yang sederhana saja. Merah Silu Raja Pasai yang mula-mula masuk Islam dan bergelar Al Malikush Shaleh, tidaklah sempat didewakan. Tersebut saja dalam "Sejarah Melayu" bahwasanya Merah Silu itu hanyalah seorang nelayan pengail ikan di laut Aceh! Dan pencatat sejarah yang kemudian mencoba-coba membuat supaya raja-raja Pasai itu di "dewa"kan pula. Lalu dicatat bahwasanya Raja Islam Aceh yang mula-mula itu bertemu di dalam hutan belantara sedang dipelihara oleh seekor gajah!

- Demikianlah tersebut dalam catatan sejarah "Raja-raja Pasai". Oleh sebab itu percobaan men"dewa"kan Raja-raja Pasai adalah kurang berhasil. Bagaimana dengan keturunan Raja-raja Melayu Malaka? Kerajaan Melayu Islam di Malaka telah berdiri pada awal qurun ketigabelas, yaitu kira-kira pada

tahun 1400. Tersebutlah perkataan bahwasanya Raja-raja Melayu Malaka itu berasal dari Singapura

(Tumasik), dan Raja-raja Melayu Hindu Tumasik itu berasal dari Palembang, dari Bukit Seguntang Mahameru!

Raja mesti di"tuah"kan. Padahal dalam pelajaran agama Islam tidak ada kepercayaan yang demikian. Padahal sisa zaman jahiliyah belumlah hapus samasekali. "Tuah" Raja mesti ditegakkan supaya rakyat dapat diatur dan diperintah, taat patuh dan setia. Apa akal?

"Syukurlah!" Mereka tidak kekurangan bahan dari Islam sendiri untuk memberi "Tuah" pada raja. Pelajaran Tasawuf telah masuk bersama masuknya pelajaran Fiqhi dan lain-lain. Dalam buku- buku kaum Shufi nampaknya ada bahan-bahan yang dapat memberi "tuah" pada raja. Apakah pelajaran Shufiyah yang seperti demikian benar-benar mempunyai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran asli Agama Agama Islam, itu bukanlah soal!

Satu di antaranya yang terpenting, tersebut dalam beberapa buah Tasawuf itu bahwasanya Nabi Khidhir masih hidup, dan baru akan mati setelah hari akan kiamat. Nabi Khidhir adalah seorang Nabi yang besar dan merangkap menjadi Wali Quthub. Wali Quthub itu tujuh orang banyaknya. Mereka diwakilkan Tuhan buat mengatur dunia ini. Setiap malam mereka mengadakan "inspeksi" pada seluruh dunia menyelidiki penderitaan ummat manusia. Sehabis "komisi" itu merekapun mengadakan "conferensi" (rapat) membicarakan dan melaporkan penglihatan masing-masing. Dan Nabi Khidhir bergelar pula "Mudawil Kalum"; artinya yang mengobat luka hati manusia!

Dalam setengah tafsir ahli Tasawuf pula, adalah Nabi Khidhir itu menjadi wazir daripada Sultan Iskandar Zul Qarnain. Dan Sultan Iskandar Zul Qarnain itupun telah pernah masuk ke dalam laut di dalam usahanya mencari tempat terbit Matahari. Dan tersebut pula dalam sejarah yang benar dari Iskandar Zul Qarnain bahwa baginda pernah datang ke Benua Hindi. Di dalam sejarah yang sebenarnya, Iskandar Zul Qarnain telah mengalahkan Darus Maharaja Persia dan telah turun melalui pegunungan Indus, terus masuk ke dataran Hindi dan sampai ke tepi sungai Gangga. Dan dalam sejarah yang sebenarnya tersebut pula bahwa beliau anak Raja Macedonia, putera dari Philifus, dan murid dari Aristoteles.

Maka masuklah ajaran Tasawuf ke Indonesia dan tersebarlah kitab-kitab karangan Ibnu Arabi dan karangan Abdul Karim Jailany (keturunan Abdul Kadir Jailany). Penuhlah kitab-kitab mereka itu dengan khayal-khayalan tentang Nabi Khidhir dan Iskandar Zul Qarnain itu. Apatah lagi tempat kisah kedua pribadi itu berdekat pula dalam Al Qur' an, berturut-turut dikisahkan di dalam Surat Al Kahfi. Maka mudahlah bagi yang hendak mengkhayalkan menyusun ceritera bahwasanya Nabi Khidhir itu adalah Wazir Besar dari Sultan Iskandar Zul Qarnain. Dikatakanlah bahwasanya Iskandar Zul Qarnain itu adalah Nabi Allah juga.

Tetapi di dalam Al Qur'an sendiri tidaklah sepatah juapun menyebut nama Khidhir. Yang disebut hanyalah "seorang hamba Kami yang shaleh. "

Tidak pula disebut "Iskandar”. Yang disebut hanyalah "Zul Qarnain”. Oleh sebab itu ada juga ahli tafsir yang tidak mau memastikan bahwa "hamba Kami yang shaleh" itu adalah Khidhir. Dan ada juga ahli tafsir yang tidak mau menjelaskan "Zul Qarnain" (Yang empunya dua tanduk) itu adalah Iskandar anak raja Macedonia (Yunani) yang sudah terang tidak memeluk agama Tauhid. Bahkan gurunya bukanlah seorang Nabi, melainkan Failasuf Yunani yang terkenal, Aristoteles murid Plato!

Padahal penyusun dongeng "Sejarah Melayu" tidaklah mau melepaskan kesempatan mengambil fantasi daripada tafsiran dan khayal orang Shufi itu untuk men"dewa"kan Raja-raja Melayu. "Alkisah", maka tersebutlah perkataan bahwasanya Raja Iskandar Zul Qarnain datang dari Macedonia ke negeri Hindi, lalu berperang dengan Raja Kida Hindi. Dalah peperangan yang sangat dahsyat hebat itu kalahlah tentara Raja Kida Hindi. Tetapi meskipun raja itu kalah, tidaklah dia dihinakan oleh Sultan Iskandar dan kasih sayanglah Raja Kida Hindi kepadanya. Akhirnya dikawinkannyalah Raja Iskandar itu dengan puterinya yang sangat cantik bernama Puteii Syahru Bariyah. Yang menjadi Kadhinya ialah Nabi Khidhir sendiri. Setelah bergaul dengan istrinya itu beberapa bulan saja, Raja Iskandar pun pulanglah ke negerinya, dan istri itu ditinggalkannya dengan ayahnya Raja Kida Hindi. Kemudian barulah diketahui bahwa puteri itu dalam hamil, ketika ditinggalkannya oleh Raja Iskandar. Setelah genap bulannya lahirlah seorang anak laki-laki, lalu diberi nama oleh nenekandanya dengan Aristun Syah.

Setelah Raja Kida Hindi mangkat, maka cucunya Aristun Syah anak Iskandar itulah menggantikannya menjadi raja, dan turun temurunlah menjadi raja, sampai kepada seorang cucunya bernama Raja Suran, Raja di negeri Keling. Dan salah seorang daripada keturunan itu kawin dengan puteri dari Nusyirwan Adil.

Lalu dikisahkan pulalah perjalanan Raja Suran keturunan Aristun Syah, keturunan Iskandar Zul Qarnain itu. Bahwasanya dia adalah Raja Benua Keling yang gagah perkasa, membawa tentaranya yang sangat besar jumlahnya, "rupa rakyat seperti laut tatkala pasang penuh, rupa gajah dan kuda seperti pulau, rupa tunggal panji-panji seperti hutan, rupa senjata berlapis-lapis, rupa cemara tombak seperti bunga lalang. . . maka kelihatanlah rakyat Raja Suran seperti hutan rupanya."Yang jadi tujuannya ialah mengalahkan negeri Cina. Tetapi di tengah perjalanan telah dikalahkannya negeri Siam dan beberapa negeri yang lain.

Lalu diceriterakan pula bahwa Raja Suran itu masuk ke dalam laut dengan sebuah keranda kaca. Di dalam laut berjumpalah dia dengan raja buat seluruh lautan. Itulah Raja Aftabul Ardh! Tiga tahun lamanya baginda tinggal di dalam dasar laut, sampai kawin dengan puteri Raja Aftabul Ardh, yaitu Tuan Puri Mahtabu'l Bahr. Sampai dia beranak tiga orang dengan puteri itu. Setelah genap tiga tahun baginda dalam laut, dan telah beroleh putera tiga orang, bagiadapun kembali ke atas dunia kita ini dengan mengendarai seekor kuda semberani dan berjumpa kembali dengan rakyatnya.

Dengan puteri orang dunia beliau beranak pula tiga orang laki-laki, dan seorang perempuan. Yang perempuan Tuan Puteri Candani Wasis dipinang oleh Raja Hiran dikawinkan dengan puteranya. Dan ketiga anak laki-laki itu ialah Paldu Tani. Dia ini dirajakan oleh ayahnya di negeri Andam Negara, yang seorang lagi Nila Manan dirajakan di negeri Bija Negara dan yang paling tua bernama Bicitram Syah dirajakan di negeri Candu Kani. Tetapi oleh karena Bicitram Syah merasa bahwa dialah putera yang tua, sedang negeri yang diserahkan ayahnya kepadanya hanyalah sebuah negeri kecil, sedihlah hati haginda, lalu baginda membuang diri meninggalkan kampung halaman dengan 20 buah kapal. Tetapi oleh karena angin ribut terlalu besar, cerai berailah kapal itu, ada yang ansur berbalik pulang, dan ada yang tenggelam di laut, sampai tidak ada kabar beritanya lagi.

Beberapa masa kemudian, adalah di negeri Palembang dua orang perempuan berhuma di atas Bukit Seguntang Mahameru. Tiba-tiba pada suatu malam mereka melihat padi yang mereka tanam di puncak bukit itu telah terang benderang laksana api, sehingga timbullah cemas mereka. Pagi-pagi setelah mereka bangun tidur, pergilah mereka segera mendaki bukit itu hendak melihat perhumaan mereka yang terang semalam itu. Maka kelihatanlah suatu hal yang amat ajaib. Buah padi mereka telah menjadi emas, batangnya menjadi suasa tembaga dan daunnya menjadi perak belaka. Di sana mereka dapati tiga orang. Seorang di antaranya memakai pakaian kerajaan dan kepalanya memakai mahkota dan mengenderai seekor lembu. Lalu mereka bertanya siapakah mereka. Maka merekapun memberitahukan diri, bahwasanya mereka adalah keturunan Sultan Iskandar Zul Qarnain, nasak dari Nusyirwan Adil Raja Masyrik dan Maghrib, dan pancar dari Sulaiman Alaihissalam: Nama yang mengendarai lembu itu ialah Bicitram Syah, dan yang seorang lagi bernama Nila Utama, dan seorang lagi bernama Karna Pandita! Dan mahkota yang dipakai oleh Bicitram Syah di kepalanya itulah alamat bahwa baginda keturunan Iskandar Zul Qarnain.

Tiba-tiba lembu yang dikenderai baginda itupun memuntahkan buih. Dari buih itu keluarlah seorang manusia laki-laki dinamai Bat dan destarnya terlalu besar. Lalu diapun berdatang sembah kepada Bicitram Syah dan memanggilkan gelar kerajaannya, yaitu Sang Suparba Taramberi Tribuana!

Maka sampailah berita itu kepada Demang Lebar Daun, raja yang asal dari negeri Palembang. Akhirnya dikawinkannyalah Sang Suparba itu dengan puterinya Wan Sendari, dan diakuilah Sang Suparba sebagai Raja dalam negeri Melayu.

Beberapa lama kemudian, Sang Suparba pun meneruskan perjalanannya menuju Bintan. Di tengah perjalanan dia singgah di Teluk Sapat Kuantan. Di sana bertemu dengan orang Minangkabau. Lalu dia diakui pula menjadi Raja di Minangkabau, sebab dapat membunuh ular Sakti Muna (si Kati Muna). Diteruskannya perjalanannya lanjut ke Bintan. Di sana bertemu raja perempuan di Bintan Permaisuri Iskandar Syah dan kawin dengan puterinya. Dari sana Beberapa lama kemudian, Sang Suparba pun meneruskan perjalanannya menuju Bintan. Di tengah perjalanan dia singgah di Teluk Sapat Kuantan. Di sana bertemu dengan orang Minangkabau. Lalu dia diakui pula menjadi Raja di Minangkabau, sebab dapat membunuh ular Sakti Muna (si Kati Muna). Diteruskannya perjalanannya lanjut ke Bintan. Di sana bertemu raja perempuan di Bintan Permaisuri Iskandar Syah dan kawin dengan puterinya. Dari sana

Demikianlah susunan ceriteranya. Yang sudah terang bahwa ceritera atau dongeng ini tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan sejarah. Nanti akan kita kupas betapa pengaruh pelajaran Tasawuf di dalamnya.