KESEDIHAN BANTAM YANG PERTAMA

III. KESEDIHAN BANTAM YANG PERTAMA

SETELAH Maulana Muhammad, Kanjeng Ratu Bantam mencapai usia dewasa, dipegangnya sendirilah pemerintahan Bantam. Tetapi keadaan di Indonesia ketika itu telah jauh perbedaan dari zaman lampau. Agama Islam berkembang dengan pesatnya di seluruh Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam sebagai pendukung kemajuan Islam telah berdiri dengan megahnya. Pendeknya seluruh abad keenambelas itu, dalam sejarah Islam di Indonesia boleh disebut abad perkembangan Islam. Mataram dirajai oleh pahlawan besar Senapati. Aceh telah mengembangkan kuasanya. Meskipun Portugis dengan kefanatikan Agama Katholik yang sangat keras mencoba hendak mengalahkan Islam, sambil menghisap kekayaan anak-negeri namun dengan adanya Mataram di Jawa Tengah, Bantam di Jawa Barat, Aceh di Sumatera, dapatlah perluasan Portugis, dibatasi. Di bagian Maluku Portugis berhadapan dengan tiga Kerajaan Islam, yaitu Ternate, Bacan dan Tidore.

Tetapi di akhir abad keenambelas, menjelang abad ketujuhbelas, Belanda pula yang telah mendapat jalan ke "Hindu”. Cornelis de Houtman telah melabuhkan kapal-kapal dagangnya di pelabuhan Bantam (1596). Tetapi Houtman yang congkak dan sombong itu, menemui ajalnya seketika dia hendak mencobakan kesombongannya di Aceh. Rencong menembus perutnya.

Ratu Bantam ingin hendak menaklukkan Palembang. Palembang ketika itu diperintah oleh bangsawan-bangsawan keturunan Demak, yang menyingkirkan diri ke Paiembang seketika Pajang mengalahkan Demak. Gedeng Sura dipandang sebagai nenek-moyang daripada sultan-sultan Palembang, yang akan datang kemudian.

Tanah Palembang kaya dengan hasil bumi, terutama lada. Dan apabila Bantam dapat menaklukkan Palembang Maulana Muhammad berfikir, terpeganglah dalam tangannya kunci-kunci Selat Malaka. Dan kemudian Sumatera bagian Selatan dan Sumatera bagian Tengah, akan dapat pula di bawah kuasa baginda. Tentu saja Islam akan dapat disiarkan kepada suku-suku di Sumatera, yang belum memeluk Islam, yaitu Komering, Pasemah dan Rejang.

Niscayalah Bangka dan Beliton pun jatuh ke bawah kuasa Bantam. Baginda belum mengira apa kelak yang akan terjadi dengan kapal-kapal Belanda yang telah pernah berlabuh di pelabuhan Bantam itu. Beliau belum membayangkan apa yang akan terjadi di belakang hari. Sedang di negeri Belanda, meskipun perjalanan Houtman gagal yang bermula dan sedikit mendapat hasil, maka di Niscayalah Bangka dan Beliton pun jatuh ke bawah kuasa Bantam. Baginda belum mengira apa kelak yang akan terjadi dengan kapal-kapal Belanda yang telah pernah berlabuh di pelabuhan Bantam itu. Beliau belum membayangkan apa yang akan terjadi di belakang hari. Sedang di negeri Belanda, meskipun perjalanan Houtman gagal yang bermula dan sedikit mendapat hasil, maka di

Maka beliau susunlah sebuah armada, dan beliau sendiri yang memimpin armada itu hendak menaklukkan Palembang, (1605). Kata setengah riwayat, dua kali Bantam menyerang Palembang! Maka penuhlah sungai Musi yang bersejarah itu dengan perahu-perahu besar, yang akan menentukan nasib Palembang. Tetapi meskipun Palembang di kala itu belum sekuat Bantam, namun hati Rajanya dan penduduknya, kuat dan teguh mempertahankan kehormatannya. Dari segi agama mereka memandang, bahwa serangan Ratu Bantam tidaklah pantas, sebab mereka pun orang Islam. Keturunan cikal-bakal pun boleh dikatakan sama yaitu sama-sama dari Demak. Maka bersiaplah Palembang mempertahankan diri, dan dahsyatlah serangan Bantam. Nyarislah jatuh kota Palembang, saking dahsyatnya serangan. Dan Kanjeng Ratu Bantam, Maulana Muhammad pun memimpin peperangan itu dengan gagah perkasanya. Baginda berdiri di atas buritan perahu besar memegang komando daripada 199 perahu yang lain, dengan tempik soraknya hendak menghancurleburkan pertahanan Palembang.

Malang! Telah hampir terdesaklah Palembang, dan nyarislah mereka menyerah kalah, dan sudah

melayang-layanglah dalam fikiran orang besar-besar, rasa putus asa dan menyerah.

Malang! - Demikian melihat bahwa angkatan perang Baginda telah naik semangat perjuangan yang hebat itu, disertai tempik sorak dan bangkai orang-orang yang kena peluru bergelimpangan di darat dan dalam perahu-perahu, dan sorak sorai orang yang bertahanpun sudah hampir senyap, dikalahkan sorak yang menyerang, baginda pun telah mulai hendak memerintahkan supaya perahu rapat ke tepi, dan baginda sendiri telah bersiap dengan keris terhunus hendak mendarat, tiba-tiba di antara beratus-ratus bedil yang meletus dari tepi, melayang pelurunya ke atas perahu kenaikan baginda. Dengan tidak tersangka-sangka sedikit juga, baginda pun rehab terbaring. ”Aku iuka!"

Melihat Maulana Sultan telah jatuh, orang besar-besar dan pahlawan-pahlawan perang yang ada di sekeliling baginda, terhentilah meneruskan peperangan. Darah telah membusa dari dada beliau, tepat benar kenanya!

Maka senyaplah bunyi bedil. Terhentilah orang yang di perahu menyerang ke luar, dan terhenti pula orang yang di luar menembakkan bedilnya ke perahu. Suasana dalam sebentar waktu saja pun bertukar, daripada dahsyat perang kepada kesepian berkabung. Sudah teradat bagi satria-satria suku-suku bangsa Indonesia, menghormati pahlawan dan menjadi semangat satria, walaupun musuh! Orang Palembang yang tadinya telah terdesak itu tidak meneruskan perangnya lagi. Merekapun turut menghormati dan merasakan sedih atas kematian pahlawan dan sultan yang perkasa lagi muda itu.

Dengan berangsur-angsur pahlawan-pahlawan Bantam yang tinggal, mengundurkan perahunya dari Sungai Musi, kembali ke lautan lepas dan pulang ke Bantam membawa jenazah Maulana Sultan yang dicintai itu, lalu dimakamkan dekat neneknya di "Sabakingking", dalam usia 35 tahun! (1605).

Kesedihan yang pertama bagi Bantam. Kita katakan yang pertama, karena akan banyak lagi kesedihan lain yang akan menimpa. Nama "Sabakingking", artinya bumi yang penuh dengan dukacita, sudah selayaknya diberikan bagi seluruh Bantam, bukan saja bagi tanah pekuburan raja-rajanya.

Sebab, setelah Maulana Muhammad, yang kadang-kadang diberi gelar Penembahan, atau Kanjeng Ratu Sultan, hanya meninggalkan seorang putera yang masih kecil, usia lima bulan, yaitu Abul Mafakhir.

Maka terpaksalah sebelum baginda dewasa, Kerajaan dipegang oleh Mangkubumi Jayanegara, dan kelak digantikan oleh Pangeran Aria Ranamanggala.