SALIK BUTA & PENGAJIAN TUBUH

VI. SALIK BUTA & PENGAJIAN TUBUH

Maka ramai dan makmurlah negeri Aceh. Bersemarak Agama Islam, terutama di zaman Iskandarmuda dan Iskandar Istani itu. Tercapai cota Iskandarmuda agar Aceh menjadi "Serambi Mekkah". Nama Aceh telah masyhur ke atas angin. Terkenallah bahwa Raja-raja Aceh itu amat sayang kepada Ulama, amat gembira memajukan ilmu pengetahuan Islam. Kemasyhuran Aceh sampai ke Hindustan, sampai ke Mekkah dan Mesir dan sampai ke Turki. Sultan menyediakan belanja yang seakan-akan tidak berbatas banyaknya untuk membelanjai perkembangan ilmu pengetahuan.

Iskandarmuda sendiri boleh dikatakan tidak berhenti berperang. Dalam perjalanan dibawanya Ulama seorang dua, untuk menjadi muallim mengajari para pahlawan. Dan di Aceh sendiri ramailah penuntut ilmu datang dari segala pelosok tanah Indonesia. Ada yang datang dari Minangkabau, Tanah Melayu, Makassar, Banten dan Jawa Timur. Itu pula sebabnya maka di zaman kedua orang Sultan Iskandar itu datang Syekh Hamzah, Syekh Syamsuddin, Syekh Fadiullah Burhanpuri, Syekh Rijaal, semua dari Hindustan. Dan datang pula dari Mekkah Tuan Syekh Abu' l Khair dan Syekh Muhammad AI Yamin.

Dipelajarilah Ilmu Fiqhi menurut Mazhab Syafi'i sedalam-dalamnya. Apatah lagi bahasa Arab dengan segala alat kelengkapannya (keengkapannya): nahwu, saraf, manthiq maani. Malahan maju pulalah mengarang dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu, sehingga perkembangan bahasa Melayu sekarang ini, yang telah menjadi bahasa Indonesia, haruslah distudi dengan mendalam tentang peranan yang diambil oleh Ulama-ulama di Aceh.

Dalam pada itu maju pula Ilmu Tasawuf! Dalam pada itu macam puyang murni, senantiasa tumbuh keinginan dan kerinduan mengenal

(Ma'rifat) Allah, Ilmul Kalam (Sifat 20) yang mengajarkan dan mengasah fikiran untuk (Ma'rifat) Allah, Ilmul Kalam (Sifat 20) yang mengajarkan dan mengasah fikiran untuk

Dibicarakan perkara Wujud. Mana wujud yang pasti dan mana wujud yang mungkin. Kemudian timbullah hasil penyelidikan bahwasanya yang pasti ada hanyalah yang tidak diikat oleh ruang dan tidak ditentukan oleh waktu. Itulah Wujud yang Mutlaq, dan itulah Allah!

Kian lama kian terasalah bahwasanya Allah menurut Ilmul Kalam tidaklah memuaskan dahaga jiwa. Hanya otak yang cerdas mengakui adanya Allah, tetapi jiwa merasa kosong. Aku tidak mau hanya sekedar berpengetahuan bahwa Allah Ta'ala Ada, dengan otakku. Aku merasai adanya Allah dengan jiwaku! Meskipun ada Ilmul Kalam atau tidak ada samasekali!

Hati nuraniku merasa rindu-dendam kepadaNya, bahkan merasai 'asyiq" dan cinta! Kalau boleh aku ingin Fana (lebur) ke dalam-Nya, supaya aku Baqaa (kekal) selama-lamanya. Inilah rasa atau zauq yang menjadi pokok pangkal Tasawuf. Nabi Muhammad menunjukkan pelbagai rupa ajaran bagaimana cara mendekati Tuhan, namun

demikian masih ada Insan yang belum puas. Dia hendak mencari lagi, supaya lebih terobat rendu- dendam ini.

Maka berbagai rupalah usaha dan ikhtiar buat "ma'rifat" kepada Allah. Rabi'atul 'Adawiyah, guru Tasawuf wanita itu mengajarkan cinta . Abi Yazid Bustami mengajarkan 'Isyiq. Al Hallaj mengajarkan "berpaduan" di antara AKU dan Dia! Al Ghazali menyuruh berhati-hati, jangan sampai terperosok ke jalan lain, di dalam mencari hubungan dengan Dia.

Alangkah banyaknya guru-guru yang telah menghadapkan jurusan fikiran ke lapangan Tasawuf ini. Terutama di dalam abad-abad ketujuh Hijriyah yakni di abad jatuhnya Baghdad! (656 Hijriyah), dan seterusnya.

Rupanya pembicaraan Tasawuf ini sampai juga ke Aceh. Datanglah beberapa orang Ulama ahli Tasawuf dari Mekkah sendiri, di antaranya Syekh Abu'l

Khair dan Syekh Muhammad Al Yamin, keduanya mengajarkan: "Siapa yang mengenal akan dirinya, niscaya kenallah dia akan Tuhannya." Oleh sebab itu mencari Tuhan ialah dari pintu diri. Diri ini adalah hijab (dinding) yang

membatas engkau dengan Tuhanmu! Dan berkata pula Syekh Muhammad Fadlullah Al Burhanpuri: "Sesungguhnya segala yang ujud (ada) ini, dipandang dari segi adanya. Dialah 'sin Al Haaq Allah Ta'ala, dan daripada segi 'sin, adalah lainnya. "

Bersama dengan itu datang pulalah dua orang Ulama dari Hindustan yang lain, yaitu Hamzah dan Saifur Rijaal. Diadu pengajian dalam rahasia di antara Syekh dari Mekkah dengan Syekh dari Hindustan, rupanya dapatlah persesuaian. Hamzah rupanya lebih alim lagi pendeta. Cintanya kepada Allah adalah laksana cintanya Al Hallaj:

"Kita alam ini hanyalah bayang-bayang belaka daripada Tuhan. Betapakah dapat diceraikan di antara bayang-bayang dengan yang empunya bayang?" Datang pula muridnya Syamsuddin Sumatrani, diapun berkata. bahwasanya "kembalikan" sesuatu kepada pangkalnya, pulangkan insan pada asalnya, barulah bertemu hakikat Tasawuf. Nama yang berbilang, adapun hakikat hanya satu. Allah, Adam dan Muhammad, semuanya adalah satu belaka pada hakikatnya. Apabila diadakan zikir yang sejati zikir, - kata Syamsuddin - maka nafikanlah diri, jangan lagi diingat akan adanya diri. Yang ada hanyalah Yang Sebenarnya Ada! Ada Aku dalam AdaNya.

"Tidak ada Aku kecuali Dia. " Lanjutkan lagi.

"Tidak ada Dia kecuali Aku. " Akhirnya engkau akan sampai kepada. "Saya Dia "

Di kala Iskandarmuda Mahkota Alam masih lagi hayat, meskipun baginda tahu akan pengajian itu, biarkan ada pengajian begitu! Tidak mengapa! Karena suatu faham akan dibantah oleh faham yang lain!

Tetapi setelah Raja Perkasa itu mangkat, pengajian Hamzah dan Syamsuddin telah tersebar kepada orang awam. Orang awam telah memperkatakan Tharikat, syari'at, ma'rifat dan hakikat. Mereka mengerjakan Suluk, sebab itu bernamalah mereka Salik! Mata pandangan mereka tertuju hanya kepada satu belaka, yaitu Allah! Dan Allah dalam diri! Buta mereka dari yang lain, nyalang mata mereka kepada Yang Esa! Maka disebutlah mereka oleh orang Aceh SALIK BUTA! Pengajian mereka bernama "WUJUDIYAH" (Existensialisme).

Tak perlu ke sawah ke ladang lagi, karena hati sudah ma'rifat! Tidak perlu sembahyang lagi, karena Syari' at hanya bagi orang mubtadi (cara mula-mula menempuh jalan). Mereka mengerjakan zikir sampai jauh malam. "Allah, Allah, Allah," akhirnya kacau-balaulah di antara laki-Iaki dengan perempuan! Mereka merasa diri Tuhan!

Waktu itulah muncul seorang Ulama Besar, yang kemudiannya akan berjasa besar menyiarkan Mazhab Syafi'i dan membanteras Tasawuf yang salah.

Beliau pun sebagai Hamzah dan Syamsuddin, sama-sama berasal dari Hindustan. Beliaupun penganut Tharikat Qadariyah, yang disebut berasal dari ajaran Said Abdulkadir Al Jailany, tetapi beliau menolak faham Wujudiyah!

Beliau banteras faham itu dan beliau tegakkan faham Salaf, faham yang diterima daripada Nabi dan sahabat-sahabatnya, yang disebut juga Faham Ahlis Sunnah wal Jama' ah. (Penyelidik Barat menamai Faham itu Orthodox, yaitu arti asal dari kalimat Salaf. Sehingga orang-orang Indonesia yang "mencoba-coba" membicarakan hal ini sebelum mengetahui pokok fikiran Islamy, kerapkali mengartikan bahwa faham beliau ini Kolot dan Faham Hamzah itulah "modernisasi ").

Beliau itulah Syekh Nuruddin bin Muhammad Jailany bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar Raniri. Beliau banteras faham itu dalam tabligh-tablighnya, dalam karangan-karangannya, dalam fatwanya, sehingga gegerlah masyarakat Aceh karenanya. Di zaman pemerintahan Iskandar Istani pertengkaran ini sampai ke puncaknya, sampai Kerajaan Aceh mencampuri soal itu dan memanggil Syekh Nuruddin meminta fatwanya yang tegas. Kalau ternyata Faham Hamzah itu bertentangan dengan pokok syari'at, maka Kerajaan akan mengambil sikap tegas! Dan Syekh Nuruddin berani bertanggung jawab, bersoal jawab di mana saja!

Kata setengah riwayat yang diterima dari mulut ke mulut di Aceh, bahwasanya kedua Syekh dari Mekkah, Abu'l Khair dan Muhammad Al Yamin telah pulang ke negerinya. Syekh Hamzah orang Fansur itu sedang menebarkan Tharikatnya ke Pariaman, Minangkabau, sedang Syekh Syamsuddin, murid Hamzah telah lama wafat! Yang dapat dihadirkan hanya beberapa guru yang menjalankan Tharikat Wujudiyah itu di Aceh dan berpuluh-puluh pengikut yang lain.

Diadakanlah pertemuan besar di istana, di hadapan Sultan Iskandar Istani sendiri. Diadakan bahas hujjah. Syekh Nuruddin menetapkan kafirnya faham demikian! Karena alam terjadi bukanlah sebagai bayang-bayang dari Allah, tetapi tercipta atas kehendak Allah dengan kalimatNya "KUN". Zat Allah adalah Qadim dan Zat Alam adalah Hadits, terjadi Alam atas kehendakNya!

Itu yang diterima dari Nabi saw. Adapun kepercayaan lain itu adalah pengaruh faham ZINDIQ yang masuk dari luar ke dalam Islam, setelah banyak tukang bid'ah mencampur aduk Islam dengan ajaran agama lain.

Niscaya tidaklah ada yang berani berdebat bertantangan dengan Ulama yang kuat hujahnya itu. Suaranya keras melengking dan keningnya sempit lekas marah! Sebagaimana bawaan Ulama-ulama dari India, walaupun sudah lama makan sirih dan pinang cara Aceh! Apatah lagi ilmu itu selama ini dirahasiakan, tidak dibuka kepada Ulama! Sekarang beliau buka, beliau kupas, dan akhirnya dengan tegas dia memohon kepada Sultan agar kerajaan menentukan sikap tegas, supaya negeri jangan Niscaya tidaklah ada yang berani berdebat bertantangan dengan Ulama yang kuat hujahnya itu. Suaranya keras melengking dan keningnya sempit lekas marah! Sebagaimana bawaan Ulama-ulama dari India, walaupun sudah lama makan sirih dan pinang cara Aceh! Apatah lagi ilmu itu selama ini dirahasiakan, tidak dibuka kepada Ulama! Sekarang beliau buka, beliau kupas, dan akhirnya dengan tegas dia memohon kepada Sultan agar kerajaan menentukan sikap tegas, supaya negeri jangan

Beliau usulkan supaya orang belajar Tauhid terlebih dahulu sampai matang, barulah dibolehkan belajar Tharikat atau masuk Suluk. Beliau usulkan supaya para Ulama yang memegang teguh syari'at diberi kesempatan terus mengarang buku-buku yang berguna bagi menuntun kepada jalan yang benar!

Tidak ada di kalangan pengikut Wujudiyah yang dapat menegakkan alasan, karena memang ilmu Tasawuf pada hakikatnya bukanlah ilmu, melainkan rasa (zauq), sehingga Al Ghazali sendiri memesan berkali-kali supaya apa yang dirasai di dalam kasyaf jangan diajarkan kepada orang "awam", tetapi simpanlah sendiri!

Maka musyawaratlah Sultan dengan abangnya Panglima Polim, dan Permaisurinya Sri Ratu Shafiyatuddin dan beberapa Ulama yang lain, mengambil sikap tegas. Akhirnya keluarlah keputusan Kerajaan menyatakan larangan kepada faham Wujudiyah atau "Salik Buta! Diperintahkan membakar kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin, disuruh bongkar tempat- tempat kaum itu mengerjakan Suluk.

Pengikutnya disuruh taubat. Mana yang tidak mau taubat, dibunuh. Maka ada yang taubat dan ada yang dibunuh. Kata setengah riwayat, Hamzah mati dibunuh sebagaimana membunuh Al Hallaj di Baghdad

dahulu. Dan kata setengahnya lagi, menurut riwayat yang saya terima dari Tuan Haji Harun Ath Thubuhi Al Faryamani di Padang Panjang, Hamzah ketika itu sedang berada di Pariaman. Mendengar keputusan Pemerintah Aceh itu dia tidak berani pulang lagi ke Aceh! Dia meneruskan mengajarkan Tharikat itu sampai ke Calau Sijunjung, dan di sanalah dia meninggal. Kata Tuan Haji Harun tersebut, maqamnya ada di Calau dan Tharikatnya sampai sekarang masih ada dianut orang di sana dimasyhurkan orang Tuanku Calau.

Maka ajaran Hamzah Fansuri itu dikenal di beberapa negeri dengan nama "Pengajian Tubuh", disebut juga Marlabat karena menurut Wujud itu melalui proses tujuh tingkat, ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam misal, alam ajsam, dan alam insan.

Dan tersebar pula ajaran ini ke daerah Jawa, namanya disebut dalam Primbon Jawa "Kiyahi Hamzah" dan ajarannya disebut "Kawula Gusti". Tersebar pula ajaran ini ke Makassar, dinamai "Tharikat Haji Paloppo". Adapun Syekh Nuruddin Ar Raniri, karena sikapnya yang gagah perkasa mempertahankan

sunnah, atau Mazhab Salaf, yang disebut dalam istilah Orientalis Barat ORTHODOX, karena ketegasan dan kekerasan sikapnya itu, di zaman Sultanah Taju'l Alam Shafiyatuddin, diangkatlah beliau menjadi Mufti Kerajaan Aceh. Waktu itulah dikarangnya buku At Tibyan fi ma'rifatd aa'yan. (Penjelasan, untuk mengetahui agama-agama), khusus membantah Faham Wujudiyah, diceriterakannya dalam buku itu pertentangannya dengan Kaum Wujudiyah!

D i waktu itu pula dikarangnya kitab "Ash Shirathal Mustaqim" tentang hal Ilmu Fiqhi. Dan dari buku inilah Syekh Arsyad Mufti Banjar mengambil dasar mengarang kitabnya "Sabilal Muhtadin" yang terkenal itu.

Dalam kitab Ash Shirathal Mustaqim itu, Syekh Nuruddin menjelaskan fahamnya bahwa seorang Muslim tidak sah sembanyang menjadi ma'mum di belakang orang yang berfaham Wujudiyah!

Atas perintah Sultanah Taju'l Alam kitab-kitab karangan Syekh Nuruddin disalin banyak-banyak dan dikirim ke seluruh rantau jajahan takluk negeri Aceh, akan adanya. Wallahu a'lam bish shawabi, wailahil marji'u wal maabu!