KOTA MALAKA

II. KOTA MALAKA

Tidaklah berupaya Majapahit lagi hendak meruntuhkan Malaka sebagai saingannya yang terbesar di Selat Malaka. Puncak kemegahan Malaka adalah di zaman Sultan Manaur Syah, yang sampai berutus-utusan dengan Majapahit dan dengan Tiongkok. Sampailah Laksamana Hang Tuah mengepalai suatu perutusan menghadap Batara Majapahit, dan sampai Batara Majapahit mengirimkan puterinya menjadi istri kepada Sultan Manaur Syah, dan Maharaja Tiongkok pun mengirimkan puterinya pula bersama dayang-dayang inang pengasuh yang berpuluh-puluh banyaknya.

Di zaman baginda Manaur itulah disusun adat-istiadat Melayu, susunan istana dan kedudukan orang besar-besar. Bila hari Jum'at atau pada hari besar-besar Islam, Sultan pergi ke mesjid mengendarai gajah. Menyambut utusan dari luar negeripun diadakan adat-istiadatnya. Utusan- utusan dari Pasai, disamakan penyambutannya dengan utusan raja-raja besar yang lain, meskipun di kota Malaka telah naik, Pasai telah lama jatuh. Malaka tetap mengingat kelebihan Pasai, sebab dialah yang mula-mula menyambut kedatangan Islam. Bahkan kalau Ulama-ulama Malaka merasa musykil dalam satu hukum agama, ke Pasai-lah mereka pergi bertanya. Sebab itu maka hukum yang datang dari Pasai dipandang sebagai hukum yang tertinggi. Dari seluruh Nusantara kepulauan kita ini berduyunlah dagang santri datang ke Malaka. Ada pula dari Jawa, terutama Jawa Timur. Dan ada pula dari Bugis, sehingga ada pencatat sejarah yang berkata, bahwa Hang Tuah itu sendiri adalah seorang anak Bugis.

Pemerintahan yang Adil Teluknya indah, pelabuhannya dalam, sehingga kapal-kapal dagang bersilang siur dan memunggah muatan di Malaka. Air susah didapat, karena sangat dekat dari laut, sebab itu airnya asin. Hanya ada sebuah sumur, bernama "Perigi Bukit Cina", sebab tempatnya adalah di kaki Bukit Cina yang dikhususkan untuk kediaman dayang-dayang kiriman Maharaja Tiongkok itu. Air perigi itu sangat jernih dan sejuk, dan tidak sedikitpun ada rasa asin. Oleh sebab itu maka selain dari penduduk Malaka sendiri mengambil air dari sana, kapal-kapalpun mengambil persediaan air untuk berlayar dari perigi itu.

Di sanapun tumbuh pisang jarum (pisang lidi kata orang Minangkabau), amat manis dan tidak lekas ranum, sebab itu mudah dibawa berlayar. Hati orang dagangpun terobat karena pemerintahan Bendahara Sri Maharaja yang sangat adil dan amat menarik hati. Senantiasa beliau pergi ke pantai memperhatikan apa yang diperlukan oleh juragan-juragan dan nakhoda kapal. Lantaran itu maka menjadi buah tutur oranglah keindahan Malaka dan kesenangan di sana:

"Pisang jarum, Air Bukit Cina, Bendahara Sri Maharaja.” Pada tahun 1511 jatuhlah Malaka ke tangan Portugis, beberapa bulan saja sesudah Sultan

Mahmud Syah membunuh Bendahara yang baik budi itu, karena mengacuhkan fitnah orang. Sehingga seketika serangan datang, tidak ada lagi orang kuat yang dapat mempertahankan negeri.

Silih berganti Portugis, Belanda, Inggris, Belanda sebentar dan kemudian Inggris pula, sampai sekarang menduduki Malaka, yang dahulu menjadi pusat Kebudayaan Melayu. Sekarang menjadi sebuah kota kecil di pinggir laut, yang pelabuhannya telah dangkal, dan kebesarannya telah digantikan oleh Singapura.

Bila kita sampai ke Malaka, masih kedapatan gereja Portugis dan sisa kotanya. Masih kedapatan gedung bekas pusaka Belanda, dicat merah. Dan masih terdapat sebuah jalan yang bernama dahulunya "Heerenstraat", bekas tempat tinggal orang-orang besar Belanda.

Perigi Bukit Cina, meskipun telah 450 tahun masa berlalu, masih terdapat di tempat itu dan masih jernih airnya. Adapun "Bukit Cina "nya sendiri yang dahulu itu tempat tinggal dayang dan inang pengasuh kiriman Maharaja Tiongkok, telah menjadi sebuah tempat "semayam yang akhir" bagi orang-orang Cina di tempat itu.

Di sana terdapat keturunan Cina yang telah seumur dengan Malaka, di antaranya adalah Baba Tan Chen Lock sendiri, pemimpin Cina perantauan di Malaya. Mereka hidup sebagai kaum Baba peranakan di Indonesia juga. Lagu Malaka yang paling terkenal sampai sekarang ialah "Dondang Sayang". Lagu inipun dicintai oleh orang Cina peranakan Malaka. Seorang Cina peranakan Malaka yang meninggal belum lama ini mewasiatkan, jika dia mati, ketika memasukkan mayatnya ke kubur, hendaklah teman sahabatnya melepaskannya dengan lagu "Dondang Sayang". Lagu dondang sayang di Malaka, sama dengan lagu "Perak-perak" di Padang dan "Kuala Deli" di Deli.

Dan saya sendiri setiap sampai di Malaka senantiasa timbullah kenangan yang indah. Pada kedatangan saya yang pertama ke sana (1943), keluarlah syair dari 44 bait. Adapun datang yang sekarang, hanya keluar satu pantun saja. Negeri Malaka kaya sejarah Kenangan indah anak Melayu Kuatkan hati, tentukan arah Pegang pedoman jangan keliru.