USAHA PERTAMA MEREBUT MALAKA

III. USAHA PERTAMA MEREBUT MALAKA

Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, Kerajaan Melayu Malaka adalah Kerajaan Islam yang besar dan jaya, lebih besar daripada Kerajaan Pasai yang terdahulu daripadanya beberapa tahun. Pasai jatuh karena serangan Majapahit pada tahun 1360.

Dari tahun 1400, sampai tahun 1511, Malaka telah berdiri dengan jayanya. Di sana terdapat beberapa Sultan Melayu yang besar, sebagai Alaiddin Ri'ayat Syah, Mansur Syah dan lain-lain. Demikian kebesaran Mansur Syah, sehingga Batara Majapahit dan Maharaja Cina mengirim puteri- puterinya kepada baginda, untuk dijadikan istri.

Pada zaman Sultan Mahmud Syah, Raja Malaka yang akhir, hiduplah nama Malaka menjadi buah bibir orang dagang yang datang dari mana-mana.. Orang Arab sampai menamai Malaka itu "Mulaqat", artinya tempat pertemuan segala dagang. Di waktu itu hiduplah seorang ahli negara yang besar, Bendahara Sri Maharaja, dan seorang ahli perang di laut dan di darat, Laksamana Hang Tuah.

Tetapi oleh karena Sultan Mahmud Syah seorang Sultan yang tidak mempedulikan kerajaan, yang hanya sudi mendengarkan bisik hasutan, dari pegawai istana, maka orang-orang besar itu baginda singkirkan dan baginda bunuh.

Tahun 1509 Portugis telah mengirimkan angkatannya ke Malaka, sebagai suatu Perutusan Mahabbah, (Goodwill Mission) dan pada leher Bendahara Sri Maharaja dikalungkan mereka Tahun 1509 Portugis telah mengirimkan angkatannya ke Malaka, sebagai suatu Perutusan Mahabbah, (Goodwill Mission) dan pada leher Bendahara Sri Maharaja dikalungkan mereka

Tahun 1511 Portugis datang kembali, bukan lagi sebagai Goodwill Mission (perutusan mahabbah), tetapi buat berperang. Padahal Hang Tuah tak ada lagi. Bendahara Sri Maharaja pun telah dibunuh Sultan setahun yang lalu.

Jatuhlah Malaka karena tidak ada lagi ahli siaaat perang yang bijak. Jatuh Malaka karena pengkhianatan penduduknya sendiri, karena tidak tahan kelaliman raja. Kejatuhan Malaka tersebut, di sudut hati anak Melayu sarupai sekarang ini, dipandang sebagai suatu perkabungan sejarah yang tidak akan terlupakan.

Tetapi syukurlah, karena setelah Malaka jatuh, dua Kerajaan Islam telah berdiri pula. Kerajaan Demak di Jawa dan Kerajaan Aceh di Sumatera.

Aceh akan bertugas menjadi pelopor perkembangan Islam di Sumatera. Dan Demak di bawah pemerintahan Patih Unus yang bergelar Pangeran Seberang Lor, naik menjadi Raja setelah ayahnya Raden Patah mangkat, pun akan jadi Pahlawan Islam.

Demi Patih Unus mendengar bahwa Malaka telah jatuh ke tangan bangsa Portugis, disusunnyalah satu angkatan laut yang besar, terdiri daripada berpuluh-puluh kapal layar, dan mempunyai angkatan laut tidak kurang dari dua laksa orang, setahun setelah Malaka jatuh, yaitu tahun 1512.

Sayang sekali percobaan beliau gagal, sebab kedudukan Portugis sudah kuat di Malaka. Dua kali beliau mencoba, tetapi kedua kalinya gagal. Namun begitu pengharapan akan pertolongan dari Jawa tetaplah tinggal dalam jiwa anak Melayu, sehingga tinggaliah dalam bibir mereka sebuah pantun: "Jika roboh kola Malaka, mari di Jawa kita dirikan. Jika sungguh bagai dikata, badan dan nyawa saya serahkan.”

Pantun ini telah beratus tahun jadi buah mulut orang Melayu, walaupun di sini dikuasai Belanda dan di sana dikuasai Portugis, Belanda dan Inggris! Nasib Demak tidaklah begitu baik setelah mangkatnya Pangeran Seberang Lor. Saudara ayahnya, Pangeran Terenggano menjadi Raja Demak setelah Patih Unus mangkat. Sebab Patih Unus sendiri tidak mempunyai putera. Salah seorang menantu Pangeran Terenggano, Joko Tingkir merebut kekuasaan daripada mertuanya dan memindahkan kebesaran Demak ke Pajang.

Dan kelaknya Adipati Mataram, Ki Gede Pamanahan dapat pula merebut lambang-lambang kebesaran kerajaan dan memindahkannya pula ke Mataram. Sedang Portugis di Malaka bertambah kuat dan Belanda di Jawa telah masuk pula. Kemudiannya (1641) Belanda dapat berserikat dengan Johor dan Aceh merebut Malaka dari

tangan Portugis. Tetapi karena Belandalah yang lebih kuat dari ketiga persekutuan itu, Belandalah yang menguasai Malaka.

Setelah Belanda menguasai Malaka pula, maka Pahlawan Riau (Raja Aji) telah mencoba pula merebut Malaka dari tangan Belanda, itupun gagal dan beliau tewas dalam perjuangan itu. Sebab itu, tidaklah patut kita heran, jika sampai sekarang putera Melayu merasa kian sehari kian dekat kepada kita, Pekik Merdeka kita, terdengar di sana. Tengku Abdurrahman telah datang ke Indonesia, dan sebelum itu telah datang pula Dr. Burhanuddin, seketika Konferensi Asia/Afrika di Bandung.

Betapa tidak! Di dalam Kerajaan Johor, tidak kurang, daripada 40.000 orang dari tanah Jawa, dalam Kerajaan Selangor 70.000. Dalam Kerajaan Negeri Sembilan, tidak kurang daripada 200.000 keturunan Minangkabau. Sultan Pahang dan Terenggano berasal dari Riau, Sultan Johor dan Selangor berasal dari Bugis. Sultan Perak ada pertalian dengan Aceh dan Deli. Di Kedah ada perkampungan Aceh. Yang Dipertuan Negeri Sembilan, adalah keturunan Raja Minangkabau.

Gerakan Kebangsaan Melayu Baru, bukanlah hendak mengembalikan atau melanjutkan susunan adat beraja cara lama. Mereka hendak menegakkan Kebangsaan Melayu dan Kemerdekaan Melayu yang Demokratis! Mereka belum merasa terpisah hati dengan Indonesia. Cuma "nasib "lah yang memisahkan selama ini. Dan mereka yakin akan berjumpa kembali.

Apabila kita perhatikan pantun anak Melayu tertulis di atas tadi, dalam suku pertama tersebut. "Jika roboh kola Malaka, mari di Jawa kita dirikan.” Seakan-akan yang berkata demikian, ialah kita anak Melayu yang telah mendirikan Indonesia

Merdeka ini. Seakan-akan dalam susun permulaan itu kita berkata, bahwa berdirinya Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta (Jawa), adalah lanjutan cita Kerajaan Malaka yang telah roboh itu!

Maka menjawablah putera Melayu di Semenanjong: "jika sungguh bagai dikata, badan nyawa saya serahkan.” Apakah kita berkata "sungguh-sungguh?" Apakah benar Republik Indonesia ini sebagai lanjutan

pembela laut dan darat Indonesia dan pelindung agamanya? Sebagai Malaka dahulu? Atau hanya pelindung candi-candi dan berhala-berhala? Yang telah lama tidak dikenal lagi oleh orang Melayu?

Jika saudara melawat ke Malaka itu sekarang ini, saudara akan bertemu di tepi lautnya sebuah "Salib Besi" yang mula ditancapkan oleh Alfonso de Albuequerque, seketika mulai menginjakkan kakinya di Pantai Malaka. Orang Melayu belum dapat menghindarkan "Salib Besi" itu, karena negeri mereka masih dijajah Inggris.

Dan bila saudara naik ke atas Bukit Cina, tempat semayam Hang Lipu, Puteri Maharaja Tiongkok dan segala dayang inang pengasuhnya, atau pergi ke benteng Santa Johanna, kelihatanlah laut Selat Malaka yang indah, tempat bersilang siur kapal-kapal bangsa kita ratus dan ratusan tahun yang lampau. Seketika saya melawat ke sana pada tahun 1943 dapatlah saya menyusun kata sampai

44 bait, yang berpangkal. "Di atas runtuhan Malaka lama, aku termenung seorang diri. Mengenang Melayu kola jayanya, masa kebesaran nenek bahari.”

Dan Dr. Burhanuddin, salah seorang pemimpin Melayu, keturunan dari Sungai Jambu Batusangkar di pihak ayah dan putera Melayu di Parit Perak di pihak ibu, tatkala mencari ilham di Malaka pada tahun 1946 bersyair pula: "Di atas rubuhan kola Malaka Kita bangunkan jiwa merdeka Bersatulah Melayu seluruh baka Membela Hak Keadilan pusaka.'