NAN TONGGA MEGAT JEBANG

IV. NAN TONGGA MEGAT JEBANG

Setelah Portugis menaklukkan Kerajaan Melayu Malaka di tahun 1511, dia pun telah mencoba meluaskan kuasanya ke Pesisir-pesisir pantai pulau Sumatera, sehingga pernah pula didudukinya Pasai dan pernah ditaklukkannya negeri Tiku dan Pariaman. Di tempat-tempat yang dikuasainya didirikannyaiah loji-loji perniagaan.

Kalau sekiranya tidaklah berdiri Kerajaan Demak dan Bantam di Jawa dan Kerajaan Aceh di Sumatera, tidaklah akan dapat dihambat perluasan kekuasaan Portugis itu. Dan di awal abad ketujuhbelas, datang pula saingannya yang besar, yaitu Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris.

Untuk menunjukkan kekejaman dan kejahatan Portugis, timbullah sebuah kisah bikinan rakyat, yang tidak tentu siapa pengarangnya pada mulanya. Di Tanah Melayu cerita itu bernama "Anggun Cik Tunggal" dan di Pesisir Minangkabau bernama "Nan Tongga Megat Jebang."

Di dalam hikayat itu digambarkanlah dengan susun kata yang penuh sindiran, dan diceritakan dari mulut ke mulut, bagaimana buruk dan jahatnya bangsa yang menjajah negeri Melayu itu. Susunan Hikayat Anggun Cik Tunggal dengan Nan Tongga Megat Jebang, hanya berbeda sedikit saja, sedangkan isinya sama.

Dihikayatkanlah bagaimana buruk dan ganas rupa Raja Badurad Putih, dengan kapal perompaknya yang datang dari negeri Tambangpapan. Raja Badurai Putih itu dikatakan sifat- sifatnya.;

"Tujuh hasta bidang dadanya, tujuh cap pokok lengannya, gerahamnya Embun, Puteri Emas Manah dan Puteri Gondam Ganto Sori. Mungkin nama keempat puteri itu adalah kiasan daripada empat kekayaan bumi tanah air yang

sangat diperlukan oleh penjajah. Pertama pinang bersama dengan rempah-rempah yang lain. Kedua Kasah Embun, artinya hasil pertenunan (tektil) anak negeri. Ketiga Emas Manah, yaitu emas amanah dan simpanan kekayaan. Keempat Gondam Ganto Sori, yaitu hasil-hasil bumi yang lain.

Semuanya mesti diserahkan dengan tidak bersyarat. Dan Raja Pariaman tidaklah mau menyerahkannya, sehingga negeri diserang dan dihancurkan dengan meriam dari laut sehingga hancur lebur menjadi "padang jarak, padang tekukur."

Setelah negeri dapat dikalahkan dan segala puteri telah dapat ditawan dan anak raja-raja dijadikan budak, sangatlah sakit hati Raja Badurai Putih, karena dua orang puteri tidak dapat ditawannya, karena dapat menyembunyikan dirinya, yaitu Gondam Ganto Sori dan Puteri Ganto Permai. Sebab dari permulaan kisah, dari kedua puteri inilah kelak akan timbal ceritera "Nan Tongga Megaa Jebang" yang akan menuntut bela atas keruntuhan negeri nenek moyangnya yang telah hancur itu.

Dalam sejarah yang sewajarnya, memanglah beberapa waktu lamanya negeri Tiku dan Pariaman menjadi wilayah jajahan Portugis, sampai Kerajaan Aceh menjadi kuat, sampai Airbangis, Tiku, Pariaman dan Padang, dan Bandarsepuluh, semuanya dapat dirampas kembali oleh Aceh dan berdiri Kerajaan Indrapura dengan teguh megahnya. Dan pengaruh Aceh itu sampai sekarang amat nyata di sebelah Pariaman. Hanya di sana saja di Minangkabau orang mengambil gelar keturunan daripada ayahnya, yaitu gelar Sidi (Said), Bagindo dan Sutan.

Pada wajah orang-orang yang bergelar "Sidi" yang asli di Pariaman masih terbayang rupa orang Arab. Dan sebuah pelabuhan di Bandarsepuluh, diberi nama oleh Portugis "Salido ", artinya ialah jalan keluar!

Nan Tongga Megat Jebang dihikayatkan mengembara mencari sanak saudaranya yang telah ditawan musuh, sampai dapat menuntut bela dan sampai dapat mendirikan Kerajaan Pariaman yang baru di atas runtuhan yang lama, yaitu di Padusunan. Dalam susunan ceritera, nampak dikisahkan bahwa bagaimana kehancuran yang telah diderita, namun akhirnya mesti bangun juga.

Demikian halus disusun ceritera itu, ditambah dan dibungai oleh tukang-tukang Kaba (ahli hikayat) yang datang di belakang. Yang membuat bermula masih sadar apa yang diceriterakannya, Demikian halus disusun ceritera itu, ditambah dan dibungai oleh tukang-tukang Kaba (ahli hikayat) yang datang di belakang. Yang membuat bermula masih sadar apa yang diceriterakannya,

Raja Badurai Putih sudah terang tergabung dari tiga kalimat yang mempunyai arti yang dalam. Raja sebagai lambang daripada kekuasaan yang tidak berbatas. Badarai adalah kata asing "Viceroy "yang dimelayukan. Dan Putih ialah warna daripada bangsa penjajah "kulit putih", dan di Semananjung Tanah Melayu sampai sekarang masih disebutkan "orang putih" waktu Portugis mulai menginjak Malaka, disebut orang mereka itu "Benggali Putih”.

"Tujah pasta bidang dadanya", melambangkan badannya yang besar." Tujuh cap pokok lengannya", sebab biasanya lengan mereka diukir-ukir.”Gerahamnya empat serumpun" melambangkan rakusnya, sebab "segantang memakan daging, dua capak lekat di giginya." Dan mereka itu mempunyai "Tujuh berhala di dalamnya.”

Raja Badurai Putih itu mempunyai dua orang saudara. Beberapa hasil rampasan yang didapat diserahkan sebagiannya kepada kedua saudaranya itu. Saudara yang pertama ialah "Raja Si Patokah," dan hasil sebagian lagi diserahkan kepada saudaranya "Raja Si Anggarai”.

Raja Si Patokah adalah lambang daripada nama Portugis! Dan Raja Si Anggarai lambang daripada Inggris!

Demikianlah, apabila bangsa kita telah merasa lemah, tak dapat melawan lagi, mereka perbuat ceritera. Di dalam ceritera itu diisikanlah sindiran dan rasa benci kepada musuh, dihinakan dan ditunjukkan kejahatannya, sehingga anak cucu mengerti, dan pada suatu masa kelak "malu yang tercoreng di kening" itu akan dapat dihapuskan juga dengan kedatangan "Nan Tongga!"

Dalam Hikayat "Cindur Matoh yang menuliskan kisah dongeng raja-raja Minangkabau, sambil bernyanyi ditunjukkan sifat tabiat bangsa Belanda: "Bagai Belanda meminta tanah, dari bahu hendak ke kepala.”

Penyelidikan atas ceritera-ceritera semacam ini, yang pada lahirnya sebagai dongeng yang tidak dapat diselidiki kebenarannya, bolehlah kita mencari kepandaian bangsa kita menyembunyikan maksud yang sebenarnya, dalam kata sindiran yang halus, dan diturunkan kepada anak cucu oleh "tukang-tukang kaba."Dengan menggesek rehab atau salung atau bangsi, disambut bertalu-talu dengan sorak sorai tanda kegirangan . . . .