LAMBANG RASA KECEWA

VII. LAMBANG RASA KECEWA

Di belakang gedung Fakultas Muhammadiyah di Guguk Malintang Padangpanjang, yang jaraknya hanya beberapa meter saja, sebelum Indonesia Merdeka, berdirilah di sana sebuah tugu peringatan, yang tinggi menjulang langit. Di kaki tugu itu berdiri beberapa buah tangsi serdadu Hindia Belanda.

Bagi orang Belanda, tugu itu adalah lambang kenangan atas keberanian beberapa orang serdadu, seorang di antaranya orang Belanda dan berdua bangsa kita "juga". Yang pada akhir bulan Februari tahun 1841 telah membakar persediaan obat bedil yang tersimpan dalam gudang tempat tugu itu berdiri sekarang, seketika kaum pahlawan bangsa dari Batipuh datang menyerbu ke tangsi itu, karena hendak mengusir Belanda dari Padangdarat, di bawah pimpinan Datuk Pamuncak Regent Batipuh.

Kepala perlawanan, Datuk Pamuncak Regen Batipuh, adalah salah seorang dari kalangan penghulu-penghulu Minangkabau yang seketika terjadi Perang Paderi telah berpihak kepada Belanda dan menyatakan setia kepada Belanda, dan memberikan bantuan beratus-ratus anak buahnya seketika memerangi Paderi di segala front. Oleh karena jasanya, beliau diangkat menjadi Regen Batipuh, setelah berhasil Belanda mengalahkan Kaum Paderi. Pangkat Regen lebih tinggi daripada pangkat Laras yang diadakan oleh Belanda setelah diadakan peraturan menanam kopi, dan kopi itu mesti dijual dengan harga Rp 15,- sepikul kepada Kompeni, akan dijual oleh Kompeni di pasaran dunia Rp 75,- sepikul. Dan yang bergelar Regen itu tidaklah beberapa buah, hanya Batipuh, Tanatar dan Padang, dan dicoba juga sedikit di tempat yang lain.

Dengan besluit Gubernemen, pada tahun 1833 beliau diangkat menjadi Regen Batipuh, diberi gaji Rp 500,- sebulan dan diizinkan mengibarkan bendera Belanda di hadapan rumahnya. Regen Batipur menerima jabatan yang mulia itu dengan besar hati, sebab akan berdirilah kembali kemegahan Adat "Tuan Gadang" di Batipuh. Tetapi alangkah kecewa beliau setelah ternyata bahwa hanya gelar itulah yang diterimanya, sedang kekuasaannya disusuti. Di nagari-nagari yang berdekatan, yang mestinya bertalian adat dengan Batipuh, Belanda mengangkat Laras dan memberinya besluit pula, dan masing-masing berhubungan langsung dengan Belanda.

Dan lantaran masing-masingnya telah diberi besluit, dan berhubungan langsung dengan Belanda, tidaklah mereka hendak berhubungan dengan Batipuh lagi. Mereka telah merasa berdiri sendiri. Bahkan ditimbulkan kedengkian dalam kalangan mereka, apa benarlah kelebihan Datuk Pamuncak dari mereka.

Bertambah kecewa hati Regen setelah Residen mengangkat pula seorang Kontroleur (Tuan Kumandur) di Batipuh, katanya untuk membantu Regen mengatur negeri, padahal mencabut kuasa dari tangan Regen .

Kian lama kian timbullah rasa kecewa! Demikian jasa yang telah ditumpahkannya, namun balasan yang didapatnya tidaklah sepadan. Boleh dikatakan susu telah dibayar dengan sir tuba.

Dan kekecewaan hati Penghulunya, Tuan Gadangnya atau Regentnya telah dirasai pula oleh Hulubalang-hulubalang Batipuh, sehingga untuk menutup malu, mereka bersedia menghadapi segala kemungkinan.

"Daripada hidup bercermin bangkai, baik mati berkalang tanah."

Di Padang Panjang Belanda telah mendirikan tangsi yang besar, dan Padang Panjang adalah termasuk negeri Batipuh juga, termasuk wilayah Gunung, yang menurut adat bertali ke Batipuh. Untuk peringatan pertama, alamat perlawanan dimulai, seorang pedagang Cina.yang berdagang dari Padang Panjang ke Batusangkar, membawa banyak barang-barang, disamun orang di Pintu Angin, dan dibunuh. Sebab Cina itu adalah termasuk orang-orang yang dekat dengan Belanda. (22 Februari 1841).

Mendengar berita itu bersiaplah Belanda sejak dari Padang, untuk memadamkan pemberontakan. Pada tanggal 24 Februari 1841 mulailah kaum pemberontak dari Batipuh, pukul 5 pagi

menyerang benteng Kompeni di Padangpanjang. Mereka mulai mengepung benteng dan tangsi. Suatu perlawanan yang hebat terjadi. Dengan gagah perkasanya pahlawan-pahlawan dari Batipuh menyerbu, dan Belanda bertahan dalam benteng, dan bantuan dari Padang belum juga datang. 47 orang serdadu Belanda bersama 44 orang anak-anak dan perempuan terkepung di dalam.

Waktu fajar tanggal 24 Februari 1841, telah membayang Matahari akan terbit dari balik Gunung Merapi "semarak Alam Minangkabau", dan rasa ngeri seluruh isi tangsi mendengarkan pahlawan yang mengepung menyerukan sorak "Allahu Akbar!" Ketika menyerang Guguk Malintang itu tidak pecah lagi di antara Kaum Adat dengan Kaum Agama, sehingga dalam hitungan sejarah Belanda, pertempuran di Guguk Malintang masih dalam rentetan Perang Paderi juga. Yah, Kaum Adat dan Kaum Agama telah bersatu kembali di saat yang telah percuma persatuan! Negeri mereka telah kalah!

Oleh karena kepungan belum berhenti dan bantuan dari Padang belum juga datang, dengan diam-diam beberapa serdadu Belanda yang berani pada malam yang kedua telah dapat mengeluarkan perempuan dan anak-anak yang 44 orang itu dengan diam-diam dan sembunyi, lalu dari sebelah Barat, berjalan dengan sangat hening melalui Sungai Andok, diiringkan oleh serdadu- serdadu yang telah kehabisan peluru dan lapar. Setelah selesai orang-orang itu diselamatkan, maka serdadu yang tinggal, seorang Belanda dan dua orang serdadu bangsa kita "juga" itu, bertahan di dalam benteng dengan keyakinan bantuan dari Padang akan datang juga.

Pahlawan Batipuh melihat sudah lemah pertahanan dan bedil tidak banyak berbunyi lagi, menyangka bahwa pertahanan ini telah lemah. Mereka akan memulai serangan umum yang menentukan.

Setelah serangan umum itu dimulai dan bantuan dari Padang tidak juga datang, dan pahlawan- pahlawan Batipuh yang gagah berani telah nampak memimpin pasukannya hendak memanjat dinding benteng, tidak ada jalan lain lagi bagi mereka, hanyalah membakar benteng itu, sehingga meletuslah mesiu dan obat bedil yang ada di dalam, hancur porak poranda, dan mereka sendiri pun ikut mati. Pahlawan Batipuh tidak mendapat apa-apa lagi. Dan dua hari di belakang barulah bantuan yang ditunggu itu datang.

Perlawanan dapat dikalahkan dan dipatahkan. Regen Batipuh Datuk Pamuncak yang dengan terus terang mengakui, bahwa semuanya berlaku atas anjuran beliau, ditangkap dan dibuang ke "Betawi" (Jakarta).

Dan di bekas benteng dan gudang mesiu terbakar itu, Belanda mendirikan logo peringatan, yang pada setiap tanggal 28 Februari diperingati besar-besaran di Padangpanjang, disaksikan oleh rakyat dengan rasa dendam dan kecewa. Bagi Belanda dianya adalah logo peringatan bagi keberanian dan kesetiaan tiga orang serdadu kepada Belanda, dan bagi bangsa Indonesia Minangkabau di Batipuh, adalah lambang yang lebih mendalam maknanya. Yaitu: "Jangan tertipu oleh janji yang maluk-muluk, karena setiap janji yang muluk-muluk, kadang-kadang hanyalah buat membujuk supaya kita menyerahkan leher kita akan disembelih.”

Pada waktu penulis masih kecil di Padangpanjang, hampir setiap tahun menyaksikan serdadu berpakaian kebesaran, berbaris dengan penuh khidmat ke tempat itu, bunyi musik talu bertalu. Dan di zaman Jepang Batu Peringatan itu telah mereka runtuhkan . . . .

Sekarang bekas toga peringatan itu masih ada, sebuah munggu ketinggian tidak berapa meter jauhnya dari Gedung Fakultas Muhammadiyah, tempat penulis memberikan kuliah-kuliah Islam. Guguk Malintang (Padangpanjang), swat tahun 1957.