PEMBERONTAKAN DI CILEGON

A. PEMBERONTAKAN DI CILEGON

Orang yang berpendirian loyal dapat mengambil alasan dari ayat: "Jangan kamu jatuhkan tanganmu ke dalam kebinasaan." (al-Baqarah, 195)

Mereka dapat menahan hati jangan sampai berontak, bersandar kepada ayat itu. Mereka dapat menyabarkan diri, karena herontak artinya ialah kebinasaan dan kehancuran.

Tetapi orang yang berfikir radikal berpendapat bahwa jalan yang harus yang ditempuh ialah bunyi Hadits. "Siapa di antaramu yang melihat perbuatan munkar, hendaklah ubah dengan tangan, tidak kuasa dengan tangan, dengan lidah, tidak kuasa dengan lidah, dengan hati dan dengan hati adalah selemah Iman.” Mereka tidak mau memilih yang selemah-lemah Iman.

Adapun tahlukah menurut mereka bukanlah kebinasaan lantaran menegakkan yang haq, mempertahankan Iman dan Agama. Mereka berpegang kepada keyakinan meskipun kita binasa, mati lantaran membela pokok kepercayaan agama, bukanlah itu mati, tetapi hidup di sisi Tuhan, sebab Sahid! Tetapi kalau sekiranya kita tidak menunjukkan bahwa kita tidak mau menara kita diruntuh, azan dan terahim dan shalawat dilarang atau dibiarkan saja pihak kekuasaan membela orang musyrik menyembah pohon kayu, yang tidak memberi manfaat dan tidak memberi mudarrat itu, itulah kebiasaan yang sebenarnya. Selanjutnya kelak orang akan lebih leluasa berbuat sesuka hatinya kepada agama kita!

Pendirian inilah yang dipegang oleh Haji Wasit. Maka bersama dengan Haji Ismail, disusunnyalah perlawanan. Kemurkaan rakyat karena

kelaparan, karena kematian kerbau, kebencian yang telah berkumpul-kumpul karena melihat keangkuhan pegawai pemerintah Belanda bangsa Bumiputera, dan sebab-sebab yang lain, adalah laksana bensin yang menunggu cetusan api saja!

Pangkal segala bencana yang menimpa ummat dan agama, ialah Belanda. Tetapi Belanda tidak akan dapat menindas rakyat demikian rupa, kalau sekiranya tidak mempunyai kakitangan, yaitu Ambtenar Bumiputera. Susunan Bestuur sejak dari Regen , Patih, Wedana, Asisten Wedana, sudah lama putus hubungannya ke bawah, dan hanya bergantung ke atas. Mereka mencari sebanyak- banyak pujian dari pemerintah di atas, pemerintah kafir yang tidak mengerti perasaan rakyat. Atau mengerti juga akan perasaan, tetapi dapat ditindas dengan memakai alat dari Kepala- kepala rakyat itu sendiri.

Maka kemurkaan hati para Ulama yang telah berkobar-kobar itu, di bawah pimpinan Haji Wasit sudah sampai ke puncaknya. Semua Belanda yang ada di Bantam dan semua pegawainya bangsa Bumiputera yang menjadi kakitangannya, haruslah disapu bersih! Dan sebuah pemerintahan agama akan gantinya harus segera didirikan di atas runtuhan pemerintah Belanda itu.

Pada hari Senen malam Selasa, tanggal 9 jalan 10 hari bulan Juli 1888, kira-kira pukul setengah empat parak-siang, bergeraklah pemberontak mengepung Cilegon. Haji Wasit dengan pengiringnya akan masuk dari sebelah Utara dan Haji Ismail dengan pengiringnya akan menyerang dari sebelah Selatan.

Yang menjadi tujuan pertama ialah Patih, Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan, yang berani memerintahkan meruntuh menara langgar dan melarang orang terahim dan shalawat, karena mengganggu telinga Tuan Asisten Residen! Untung baginya, karena Patih itu dalam perlop sakit dan sedang berobat di rumah sakit Serang.

Dengan sorak Tahlil yang dahsyat dan seram, pemberontak telah masuk ke dalam kota Cilegon mencari musuh-musuhnya, orang yang mereka pandang menghalangi agama. Karena serangan itu datang dengan tiba-tiba, maka yang terlepas dari bahaya maut hanyalah orang-orang yang kebetulan tak ada dalam kota! Yang lebih dahulu hendak dibongkar ialah gudang garam pemerintah, yang terletak dalam pasar dan akan dibagi-bagikan segala isinya kepada rakyat. Kemudian itu dibuka pula pintu penjara dan dikeluarkan dari dalam orang-orang tahanan dan orang-rantai, diajak bersama-sama memberontak.

Apabila saat sudah sangat panik, pertimbangan orang-orang yang marah itu sudah kurang kendali fikiran, sudah dikalahkan oleh perasaan, sehingga pemimpin tidak dapat lagi mengendalikan pengikut. Seorang penjahat bernama Kasidin membunuh wedana yang datang ke alun-alun hendak mencari perdamaian.

Asisten Residen Goebels yang tidak mau diganggu, sedang tidur enak oleh suara azan Shubuh, terahim dan shalawat itu, mati karena luka-luka berat, demikian juga anaknya dua orang yang masih kecil-kecil dibunuhi oleh perusuh yang sudah tak terkendalikan. Kemudian mereka bunuh pula Tuan Bachet dan kedua gadis, seorang anaknya dan seorang kemenakannya ditawan.

Sehari semalam lamanya kekacauan tidak dapat diatasi. Tetapi seorang babu dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kepada pihak yang lebih atas, sehingga Regen bersama-sama dengan Kontroleur berangkat segera dari Serang bersama-sama dengan 40 orang serdadu di bawah pimpinan Letnan Satu Bartlemy.

Tidaklah akan kita ceritakan sampai kepada soal sekecil-kecilnya, bagaimana hebat dan dahsyatnya pemberontakan Cilegon itu sebagai akibat daripada hati yang sangat panas. Banyak Belanda dan istrinya yang mati, turut pula anak-anaknya. Demikian juga pegawai pemerintah bangsa kita sendiri. Dan sudahlah dapat diramalkan lebih dahulu, bahwa kekuasaan dan kekuatan pemerintah Belanda akan segera dapat memadamkan pemberontakan itu. Setelah datang bantuan dari Serang dan dari tempat lain, di bawah komando pimpinan yang tahu taktik perang, pemberontakan sudah dapat dipadamkan. Bergelimpangan pula mayat para pemberontak di tanah lapang di Cilegon.

Adapun pemimpin-pemimpinnya, ada yang menjadi korban dalam pertempuran, sebagai Haji Wasit sendiri dan mana yang terang bersalah membunuh orang, siapa-siapa yang dibunuh dan berapa orang, setelah habis pemeriksaan dan terang salahnya, lalu dihukum gantung.

Meskipun pemerintah ini pemerintah penjajah, namun rasa satria dan menghormati keyakinan orang yang melawannya, masih tetap ada padanya. Pemimpin-pemimpin pemberontak yang tidak turut bersalah membunuh orang, yang berjuang karena keyakinan, tetapi kalah dalam perjuangan, tidak dihukum gantung, tetapi dibuang. Haji Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda. Haji Haris dibuang ke Bukittinggi. Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo. Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton. Haji Ismail dibuang ke Flores.

Sangatlah berkesan kerusuhan di Cilegon itu, atas taktik kaum Kolonial memerintah. Sejak itu keluarlah instruksi kepada segenap Ambtenar, baik yang bangsa Belanda, apatah lagi yang bangsa "Bumiputera", agar selalu berhati-hati menjaga perasaan agama penduduk. Harus dijaga hati Kiyahi-kiyahi yang amat berpengaruh kepada pengikutnya itu. Jangan terburu nafsu menjalankan suatu peraturan, sebelum ditinjau kehendak dan perasaan penduduk. Sebaliknya keluarlah perkataan "fanatik”. Orang yang keras memegang aturan agama, Kiyahi yang taat dan mempunyai banyak pengikut, dicap "fanatik"! Prof. Dr. Snock Hourgronye menyediakan dirinya mempelajari seluk beluk keyakinan kaum Muslimin di Indonesia, dan mencari jalan, betapa menghilangkan dengan berangsur-angsur perasaan "fanatik"itu.

Kadang-kadang orang pun berusaha hendak menunjukkan, bahwa dia tidak fanatik lagi. Dia "luas pergaulan" dan "tolerans", sehingga Pangeran Ahmad Jayadiningrat menceritakan di dalam "Kenang-Kenangan"nya, bahwa sejak pemberontakan Cilegon itu, kaum Ambtenar yang dahulunya teguh kuat memegang adat istiadat Jawa yang berpangkal pada ajaran Islam, selalu berusaha menampakkan ke muka umum, bahwa aturan agama itu tidaklah dipegangnya teguh lagi! Mereka tidak "fanatik" lagi. Buktinya ialah, bahwa di dalam pesta-pesta sudah mulai diedarkan sampanye dan brendi! Malahan seorang haji yang telah lama di Mekkah, lalu pulang dan membuka perniagaan kopra di zaman Pangeran Ahmad menjadi Regen di Serang mengadakan sebuah pesta, mengundang orang-orang berpangkat tinggi dan orang-orang Cina kaya, sudah mulai makan memakai sendok dan garpu dan mulai pula mengedarkan sampanye dan brendi!

Adapun haji-haji yang dibuang itu, hanya merasai sebentar saja kesedihan, karena diasingkan dari kampung halaman. Demi setelah mereka sampai di tempat pengasingan itu, tidaklah lama kemudian, mereka pun telah dapat menyesuaikan diri. Mereka memanglah orang-orang Alim ikutan, sehingga di tempat-tempat kediaman baru itu, mereka segera telah menjadi guru-guru agama, yang diikuti orang.

Haji Arsyad Thawil yang dibuang ke Gorontalo, setelah beberapa tahun kemudian, telah dicabut pembuangannya dan dibolehkan pulang ke Bantam. Tetapi tidak lama dia di Bantam, terpaksa kembali ke Gorontalo, sebab murid-muridnya mendesak dia, supaya dia lekas kembali. Beliau adalah salah seorang penyiar Islam yang amat berjasa di daerah itu.

Adapun Haji Haris yang dibuang ke Bukittinggi, suraunya berhadap-hadapan dengan surau Inyik Syekh Mohammad Jamil Jambek, disayangi dan disegani oleh penduduk. Ramai sekali sejum'at, murid-murid belajar kepada beliau. Nama beliau kurang diingat orang, hanya panggilannya saja, karena telah terbiasa di Indonesia ini nama Ulama di-"pantangkan" menyebutnya. Di Bukittinggi beliau disebut "Engku Syekh Bantam”. Sampai sekarang, jalan raya di hadapan surau tempat beliau mengajar, masih memakai nama "Jalan Syekh Bantam”.

Pada bulan Agustus 1959 Sdr. Syadeli Hassan, pemimpin Masyumi yang terkenal di daerah Bantam pergi ke Banda Naira menziarahi kuburan neneknya Haji Abdurrahman. Sebagai juga Syekh-syekh yang lain, nama beliau ini terlukis dalam hati kaum Muslimin di Banda dan kuburannya diziarahi orang.

Dengan kehendak Allah Ta'ala, anak cucu dari para pemimpin itu masih tetap menjadi pelopor revolusi di daerah Bantam; Almarhum Kiyai Haji Sjam'un, pemimpin revolusi 1945 di Bantam, yang sempat belajar ilmu perang di zaman Jepang, sehingga diangkat jadi Daidanco, adalah cucu dari Haji Wasit ! Dan didapati juga keturunan mereka yang di Flares, Ambon dan Buton !

Dan pada tahun 1888 itu pula, tahun pemberontakan Cilegon, wafatlah di Mekkah guru dari sekalian guru-guru itu. (Syekh Masysikhina), Tuan Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawiy. Boleh dikatakan bahwa dari beliaulah sebagian besar diterima ajaran keteguhan Iman itu. Dan nama Syekh Nawawi Bantam, bukan saja masyhur di Indonesia, bahkan di seluruh tanah Arab, terutama dalam kalangan yang bermazhab Syafi'i, oleh sebab karangan-karangan beliau dalam bahasa Arab tersiar di mana-mana dan diketahui dalam kalangan Ulama Al Azhar.

Dan nama Syekh Nawawi inilah satu-satunya nama Ulama Indonesia yang tertulis di dalam "Dairatu Ma'rif', tambahan dari Kamus bahasa Arab yang masyhur, yaitu "Al-Munjid”. (Cetakan 1955).

(Cuma sayang sekali penyusun Ensiklopedi Al-Munjid itu tidak tahu rupanya, di mana letak negeri Bantam, sehingga ditulisnya di India).