Pendapat Pihak Ketiga

3.5. Pendapat Pihak Ketiga

  Dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO, keberadaan pihak ketiga dalam setiap kasus yang sedang ditangani adalah suatu keharusan guna membantu

  Panel dalam memberikan keputusan 200 . Pihak-pihak ketiga dalam sengketa Indonesia dan Korea Selatan adalah Kanada, Cina, EC, Jepang, dan Amerika

  Serikat. Argumen masing-masing pihak ketiga terkait kasus ini adalah sebagai berikut:

A. 201 Kanada Kanada memfokuskan kepada penerapan hukum yang tepat terhadap

  definisi dari Produk Sejenis dan Produk yang Disengketakan. Berdasarkan

  200 DSU, Pasal 10.

  Pasal 2 ayat (6) ADA, KTC selaku otoritas penyelidikan, harus menentukan Produk yang Disengketakan. Panel, berdasarkan Pasal 17 ayat (6) ADA juga memiliki tugas untuk menentukan apakah ketentuan yang dibuat oleh KTC mengenai interpretasi Produk Sejenis dan Produk yang Disengketakan telah sesuai dengan Pasal 2 ayat (6) ADA. Pasal 2 ayat (6) ADA sendiri menentukan bahwa Produk Sejenis adalah produk yang memiliki kesamaan karakteristik dengan Produk yang Disengketakan.

  Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa, terminologi Produk Sejenis dalam ADA pada intinya memiliki 2 (dua) fungsi yaitu dalam hal menentukan adanya dumping dan dalam menentukan Kerugian Material. Dalam konteks penentuan dumping, istilah Produk Sejenis mengacu kepada produk yang dijuak di pasar domestik dari negara pengekspor. Harga penjualan Produk Sejenis di pasar domestik negara pengekspor tersebut yang akan menjadi dasar perhitungan Nilai Normal. Sedangkan dalam konteks penentuan Kerugian Material, istilah Produk Sejenis mengacu kepada produk yang dihasilkan oleh industri domestik dari negara yang diduga mengalami Kerugian Material, dalam hal ini adalah negara tujuan ekspor.

B. 202 Cina Cina memahami bahwa Pasal 6 ayat (8) ADA adalah “pemicu” dalam

  penggunaan istilah ‘fakta-fakta yang ada’ sebagai informasi yang dibutuhkan dalam proses penyelidikan. Cina dengan ini membatasi pendapatnya hanya terhadap keadaan yang melibatkan informasi utama dalam penyelesaian sengketa. Cina juga berpendapat bahwa sebenarnya dalam ADA tidak mendefinisikan secara jelas mengenai informasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, otoritas penyelidik harus secara bijak dan tetap berpedoman pada batasan dan syarat prosedural yang diatur dalam ADA dalam memberikan definisi terkait informasi yang dibutuhkan.

  Batasan-batasan yang dimaksud adalah (1) otoritas penyelidikan tidak boleh meminta informasi yang tidak relevan; (2) otoritas penyelidikan tidak boleh meminta informasi yang menciptakan beban tambahan bagi negara tergugat; dan (3) ketika meminta informasi, otoritas penyelidikan wajib bertindak dengan cara yang wajar, objektif, dan tidak memihak. Sedangkan mengenai syarat prosedural yang diatur dalam ADA adalah (1) otoritas penyelidikan harus menentukan informasi yang diperlukan untuk keperluan penyelidikan dan memberikan instruksi kepada pihak yang berkepentingan mengenai apa dan sampai sejauh mana informasi yang harus diberikan untuk keperluan penyelidikan; dan (2) otoritas penyelidikan tidak boleh mengabaikan informasi yang diberikan pihak yang terkait, bahkan jika informasi tersebut tidak sesuai dengan permintaan otoritas penyelidikan. Namun pihak terkait dalam memberikan informasi harus menunjukan itikad baik dan memberikan kemampuan terbaiknya dalam menyelesaikan sengketa.

  Selanjutnya, Cina juga berpendapat bahwa apabila ada beberapa permintaan informasi yang belum disampaikan, otoritas penyelidikan tidak boleh menolak keseluruhan informasi terlepas dari keakuratan informasi tersebut.

C. 203 European Community (EC) EC berpendapat bahwa KTC tidak memiliki wewenang untuk

  memperlakukan perusahaan yang berbeda tetapi masih memiliki keterkaitan, sebagai satu eksportir atau produsen. EC percaya bahwa pemahaman yang berbeda mengenai fakta yang ada harus ditangani bersama. Terkait dengan pengertian fakta yang ada, EC mempertanyakan kesesuaian interpretasi KTC mengenai fakta yang ada, baik terhadap Indah Kiat, Pindo Deli, dan Tjiwi Kimia. EC menekankan bahwa keseimbangan yang adil harus dicapai dengan cara memperhatikan kepentingan KTC memperlakukan perusahaan yang berbeda tetapi masih memiliki keterkaitan, sebagai satu eksportir atau produsen. EC percaya bahwa pemahaman yang berbeda mengenai fakta yang ada harus ditangani bersama. Terkait dengan pengertian fakta yang ada, EC mempertanyakan kesesuaian interpretasi KTC mengenai fakta yang ada, baik terhadap Indah Kiat, Pindo Deli, dan Tjiwi Kimia. EC menekankan bahwa keseimbangan yang adil harus dicapai dengan cara memperhatikan kepentingan KTC

  Mengenai Pasal 6 ayat (10) ADA, istilah ‘masing-masing eksportir atau produsen’ harus diterjemahkan secara tepat karena istilah tersebut

  mengandung makna otonom. EC mencatat bahwa istilah eksportir berbeda dengan korporasi. Dalam hal ini, EC sependapat dengan KTC bahwa hukum korporasi Indonesia tidak dapat digunakan dalam kasus ini. Terkait dengan pengertian Produk yang Disengketakan, EC juga berpendapat bahwa tindakan KTC yang mengkategorikan PPC dan WF sebagai satu Produk yang Disengketakan telah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (6) serta Pasal 3 ADA. EC juga berpendapat bahwa apabila PPC dan WF tidak dikategorikan ke dalam satu kelompok Produk yang Disengketakan, maka KTC harus memisahkan pertimbangan efek dari impor PPC terhadap produsen domestik PPC di Korea Selatan dengan efek dari impor WF terhadap produsen domestik WF di Korea Selatan.

D. 204 Jepang Sesuai dengan ADA, pembahasan tentang Produk yang Disengketakan

  merupakan unsur dasar dalam proses penyelidikan khususnya dalam menentukan adanya dumping dan dalam menentukan Kerugian Material yang diderita. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) ADA, dumping adalah:

  “For the purpose of this Agreement, a product is to be considered as being dumped, i.e. introduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country.”

  Sedangkan penentuan Kerugian Material menurut Pasal 3 ayat (1) ADA adalah:

  “A determination of injury for purposes of Article VI of GATT 1994 shall be based on positive evidence and involve an objective examination of

  both (a) the volume of the dumped imports and the effect of the dumped imports on prices in the domestik market for like products, and (b) the consequent impact of these imports on domestik producers of such products.”

  Berbeda dengan pendapat Cina, Jepang berpendapat bahwa penentuan dumping serta Kerugian Material yang didasarkan pada gabungan produk yang terpisah, tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) ADA. Hal ini dikarenakan ketika lingkup penyelidikan mencakup 2 (dua) produk berbeda, otoritas penyelidikan harus membuat penentuan dumping dan Kerugian Material yang berbeda bagi setiap produk tersebut. Dalam hal ini, Jepang melihat bahwa penggabungan PPC dan WF yang dilakukan KTC tidak tepat. Oleh karena itu, Jepang memberi saran kepada Panel untuk menganalisis secara lengkap mengenai definisi Produk yang Disengketakan dan kemudian meninjau apakah KTC telah mendefinisikan Produk yang Disengketakan dan Produk Sejenis secara tepat. Apabila Panel menemukan bahwa PPC dan WF adalah produk yang berbeda, maka penentuan dumping dan Kerugian Material yang dilakukan KTC harus dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan ADA.

E. 205 Amerika Serikat Dalam sidang Panel kedua, Amerika Serikat menyatakan 3 (tiga) isu

  utama, yaitu (1) apakah temuan KTC terhadap 2 (dua) atau lebih entitas hukum merupakan eksportir atau produsen yang dimaksud dalam ADA; (2) apakah Pasal 2 ayat (2) ADA membatasi kewajiban KTC dalam hal memilih fakta yang ada untuk digunakan dalam menghitung Nilai Normal ketika pihak Indonesia tidak memberikan data yang dibutuhkan KTC; dan (3) bagaimana mendefinisikan Produk yang Disengketakan dan Produk Sejenis untuk dapat menentukan Kerugian Material.

  Dalam argumennya, Indonesia keberatan atas tindakan KTC yang memperlakukan eksportir Indonesia sebagai satu entitas ekonomi. Amerika

  Serikat tidak sependapat dengan argumen tersebut. Pasal 6 ayat (10) ADA tidak memberikan batasan kepada otoritas penyelidikan untuk mendefinisikan eksportir atau produsen dalam penyelidikan dumping sehingga argumen Indonesia tersebut tidak memiliki dasar hukum. Lebih lanjut Amerika Serikat berpendapat bahwa eksportir atau produsen yang dimaksud dalam ADA, mencerminkan fungsi komersial, yang artinya berfokus kepada entitas yang melakukan kegiatan produksi atau kegiatan ekspor dan bukan dalam konteks korporasi atau badan hukum seperti yang dinyatakan Indonesia dalam argumennya. Dengan demikian jika terdapat kegiatan yang dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) entitas ekonomi namun sangat berkaitan secara fungsi komersial, maka dapat diperlakukan sebagai eksportir atau produsen tunggal.

  Terkait dengan definisi Produk yang Disengketakan dan Produk Sejenis, Amerika Serikat sependapat dengan Kanada. Menurut Amerika Serikat ADA tidak memberikan batasan kepada otoritas penyelidikan dalam hal mempertimbangkan karakteristik suatu produk (baik spesifikasi teknis maupun dari segi kualitas produk) dan karakteristik pasar. Amerika Serikat juga sependapat dengan penjelasan Korea Selatan bahwa untuk tujuan penentuan Kerugian Material, definisi Produk Sejenis harus mempertimbangkan adanya kesamaan dengan Produk yang Disengketakan serta dalam menganalisis Produk Sejenis, dibutuhkan perbandingan secara keseluruhan antara Produk yang Disengketakan dengan Produk Sejenis tersebut.