Tinjauan Umum Retaliasi dalam Perdagangan Internasional
2.1. Tinjauan Umum Retaliasi dalam Perdagangan Internasional
Ketentuan penyelesaian sengketa perdagangan internasional, baik yang diatur dalam GATT maupun WTO tidak secara tegas menggunakan istilah
retaliasi 43 . Menurut H.S. Kartadjoemena, seorang mantan Duta Besar RI untuk GATT mengatakan bahwa istilah retaliasi adalah istilah yang lebih lunak daripada
44 istilah penangguhan konsesi 45 . Secara umum, retaliasi dapat diartikan sebagai tindakan suatu negara untuk menangguhkan konsesi kemudahan yang telah
diberikan kepada negara lain dan telah dinikmati oleh negara lain tersebut, sebagai balasan akibat adanya tindakan kebijakan perdagangan dari negara lain tersebut
yang merugikan kepentingan perdagangannya 46 . Dalam sistem perdagangan internasional, penggunaan retaliasi dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
43 Pasal XI DSU menggunakan istilah “Suspension of Concession” sementara dalam Pasal XXIII ayat (3) GATT, istilai retaliasi dapat disimpulkan dari kalimat “…suspend the application
to any other contracting party or parties of such concessions or other obligations under this Agreement…”
44 Kartadjoemena, Op.cit., hlm 328.
45 Dalam Laporan Panel untuk Kasus sengketa US-EC terkait Import Measures on Certain Products from The Eurpoean Communities (WTDS165R) tanggal 17 Juli 2000 menyatakan
bahwa terminologi “retaliation” atau “to retaliate” sering digunakan oleh Amerika Serikat. Terminologi “retaliation” atau “to retaliate” menurut Webster New Encyclopedia Dictionary didefinisikan sebagai “to return like for like, to get even” sedangkan menurut Black Law Dictionar (6th Ed.) retaliation merujuk kepada terminologi “Lex Talionis” yang berarti “The Law of retaliation; which requires the infliction upon a wrongdoer of the same injury which he has caused to Another (an eye for an eye principle)” Retaliasi juga berlaku dalam hukum internasional secara umum namun dalam hukum internaional, retaliasi tunduk kepada persyaratan tertentu seperti yang diatur dalam International Law Commision terkait dengan state responsibility, contohnya proporsionalitas, dll. Namun retaliasi dalam kerangka WTO tunduk terhadap apa yang diatur dalam DSU saja. (WTDS165R, hlm. 24).
46 Prasukma Kristioadi, “Analisa YuridisTerhadap Tindakan Retaliasi Dalam Sistem Penyelesaian Sengketa WTO (World Trade Organization),” (Skripsi S1 Universitas Indonesia, 46 Prasukma Kristioadi, “Analisa YuridisTerhadap Tindakan Retaliasi Dalam Sistem Penyelesaian Sengketa WTO (World Trade Organization),” (Skripsi S1 Universitas Indonesia,
b. Retaliasi yang dilakukan berdasarkan prosedur penyelesaian sengketa
Baik retaliasi yang dilakukan secara sepihak maupun retaliasi yang dilakukan berdasarkan prosedur penyelesaian sengketa, tujuan utama dari retaliasi adalah untuk mengamankan perdagangan negara anggota yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh penerapan retaliasi pada sengketa perdagangan
internasional, misalnya dalam kasus Banana 47 yang dimulai pada tahun 1995 mengenai kecaman terhadap kebijakan European Community (EC) yang sangat
rumit dalam perdagangan pisang dimana EC memberikan kekhususan dalam impor pisang dari negara bekas koloni negara yang tergabung dalam EC serta memberikan perlakuan khusus kepada importir pisang dari negara-negara bekas koloni tersebut.
Pada bulan September 1995, Amerika Serikat, Guatemala, Meksiko dan Honduras mengajukan permintaan konsultasi kepada DSB yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Panel DSB. Panel DSB tersebut kemudian mengeluarkan laporan yang isinya secara umum menyatakan bahwa EC dengan peraturan impor pisang telah melanggar beberapa peraturan yang diamanatkan dalam WTO. Terhadap laporan dari Panel DSB tersebut. EC kemudian mengajukan banding ke Appeallate Body (AB) atas laporan dan kesimpulan yang dihasilkan oleh Panel DSB. Di tingkat banding, AB mendukung keputusan yang telah dihasilkan oleh Panel DSB, dan memperkuat putusan tersebut di dalam Laporan AB sehingga dengan adanya keputusan tersebut maka EC harus memperbaiki peraturan impor pisang agar sesuai dengan ketentuan dalam WTO.
Kasus ini juga sempat dilanjutkan ke tahap arbitrase untuk menentukan jangka waktu bagi EC dalam menyesuaikan peraturan impornya dengan ketentuan WTO. Arbiter memutuskan waktu yang diberikan bagi EC untuk menyesuaikan ketentuan impornya adalah 15 (lima belas) bulan. EC setuju untuk memberi
47 Freddy Josep Pelawi, “Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO,” 47 Freddy Josep Pelawi, “Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO,”
Daftar produk yang dikenakan tarif tambahan oleh Amerika Serikat ini adalah suatu bentuk retaliasi yang dijalankan oleh Amerika Serikat mengingat sengketa yang dilakukan antara EC dan negara mitra dagang lainnya tidak menghasilkan kesepakatan bahwa EC akan merevisi ketentuan impor dagangnya khusus untuk produk buah pisang.
Selain pembagian pelaksanaan retaliasi berdasarkan penggunaannya, berdasarkan Pasal 22 ayat (3) DSU, bentuk pelaksanaan retaliasi juga dapat dibagi
3 (tiga), yaitu:
a. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk yang sama;
b. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk berbeda namun tetap sektor dan bidang yang sama 48 ; dan
c. Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor dan bidang yang berbeda dengan bidang dimana negara yang bersangkutan dirugikan
(cross retaliation) 49 . Cross retaliation ini dibagi kembali menjadi 2 (dua), yaitu:
48 Pasal 22 ayat (3) huruf a DSU mengatur bahwa “…the complaining party should first seek to suspend concessions or other obligations with respect to the same sector(s) as that in
which the panel or Appellate Body has found a violation or other nullification or impairment”
49 Pada prinsipnya, pelaksanaan cross retaliation harus diawali dengan pelaksanaan retaliasi pada sektor yang sama dan kemudian dapat dilanjutkan dengan retaliasi terhadap sektor yang
berbeda namun masih di bawah perjanjian yang sama (cross-sector retaliation). Apabila tindakan cross-sector retaliation masih tidak efektif dan jika terdapat kondisi yang cukup serius, maka pihak dapat dapat melaksanakan retaliasi terhadap perjanjian yang berbeda (cross-agreement retaliation). Terhadap kedua istilah tersebut, baik cross-sector retaliation maupun cross-agreement retaliation ini lah yang dimaksud dengan cross retaliation (YE Siyu, “The Legal Analysis of The
Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor yang berbeda
namun tetap di bawah perjanjian yang sama 50 ; Retaliasi yang dilakukan terhadap produk dari sektor berbeda dan
di bawah perjanjian yang berbeda 51 . Meskipun terdapat pembagian seperti yang dijelaskan di atas, namun
penulis berpendapat bahwa hal tersebut tidak menghilangkan tujuan utama adanya mekanisme retaliasi bahkan dengan adanya retaliasi yang dilakukan dengan lintas sektor dan bidang perdagangan, justru semakin menunjukkan komitmen setiap negara untuk melindungi perdagangan negaranya. Pembagian tersebut bagi negara-negara maju juga dapat dijadikan alat untuk semakin memperkuat perdagangan negaranya dengan menekan perdagangan negara-negara lain yang secara ekonomi tidak sekuat negara-negara maju. Dalam praktik, pembagian ini menyebabkan instrumen retaliasi sangat jarang dilakukan oleh negara anggota. Hal ini dikarenakan selain adanya kecenderungan untuk memberikan tekanan besar apabila retaliasi dilakukan oleh negara maju terhadap negara berkembang serta diragukan efektivitasnya apabila dilaksanakan oleh negara berkembang atau terbelakang terhadap negara maju, alasan lain yang mungkin dapat diterima adalah tingginya nuansa politis dalam penerapan retaliasi suatu negara anggota kepada negara anggota lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan retaliasi harus kembali dicermati tujuan utamanya agar dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan keseimbangan kepentingan perdagangan suatu negara dengan kepentingan perdagangan secara internasional.