Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Huku (1)

UNIVERSITAS INDONESIA

  Analisis Yuridis Penggunaan Hak Retaliasi dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Tuduhan Dumping Terhadap Produk Kertas Indonesia oleh Korea Selatan

Kasus DS312) SKRIPSI SARAH PATRICIA GULTOM 1106056226 FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM DEPOK JANUARI 2015

UNIVERSITAS INDONESIA

  Analisis Yuridis Penggunaan Hak Retaliasi dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Tuduhan Dumping Terhadap Produk Kertas Indonesia oleh Korea Selatan

Kasus DS312) SKRIPSI

  Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

SARAH PATRICIA GULTOM 1106056226 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

  i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

  Skripsi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

  Nama

  : Sarah Patricia Gultom

  NPM

  Tanda Tangan:

  Tanggal: 10 Januari 2015

HALAMAN PENGESAHAN

  Skripsi ini diajukan oleh : Nama

  : Sarah Patricia Gultom

  NPM

  Program Studi

  : Ilmu Hukum Kekhususan Hukum tentang Ekonomi

  dan Bisnis

  Judul Skripsi

  : Analisis Yuridis Penggunaan Hak Retaliasi dalam

  Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Tuduhan Anti Dumping Terhadap Produk Kertas Indonesia oleh Korea Selatan Kasus DS312)

  Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Tentang Hubungan Transnasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia

  Dewan Penguji: Pembimbing: Brian Amy Prastyo., S.H., M.L.I.

  (……………..)

  1. Penguji: Abdul Salam, S.H., M.H.

  (……………..)

  2. Penguji: Wenny Setiawati, S.H., M.LI.

  (……………..)

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus. yang telah memberikan berkat kesehatan, kekuatan, kesempatan, kesabaran, dan kemampuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi saya kepada:

  1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberkati saya selama menjalani masa perkuliahan, yang memberkati kedua orang tua saya sehingga dapat membiayai pendidikan saya, yang memberikan kesehatan sehingga dapat menjalani perkuliahan dengan lancar, yang memberikan saya teman-teman dan lingkungan yang membawa manfaat positif, yang memberikan inspirasi, kekuatan, kesabaran, dan keyakinan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dan perkuliahan dengan baik. I can do all things through Christ who strengthen me.

  2. Papa dan mama yang selalu mendukung serta memberikan kepercayaan atas segala keputusan yang saya ambil, yang selalu ada untuk memberikan masukan, nasihat, dan doa di saat saya membutuhkan, yang mengajarkan saya untuk menjadi dewasa namun tidak lupa untuk memperhatikan saya.

  3. Bang Brian Amy Prastyo, S.H., M.L.I. selaku dosen pembimbing. Terima kasih Bang Brian karena telah membimbing, memberi masukan-masukan, dan membantu saya dalam menyusun skripsi ini. Terima kasih atas waktu serta cemilan yang disediakan selama bimbingan. Tanpa Bang Brian, tidak mungkin skripsi saya ini selesai dengan cepat dan dapat tersusun dengan baik.

  4. Para narasumber dari Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, yaitu Pak Christhophorus Barutu (Kasubdit Fasilitasi dan Aturan Perdagangan), Pak Jeremy Albert Gabriel Kumajas dari bagian Direktorat Pengamanan Perdagangan, Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Mas Budi, Mas Bayu, Mas Afri yang dengan ikhlas meluangkan waktu untuk berdiskusi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bang Ryan Abraham sebagai abang yang paling berjasa dalam membantu saya untuk bertemu dengan para narasumber. Sukses untuk perdagangan Indonesia. Jesus bless you all.

  5. Tim pengajar PK4 FHUI yang telah mengajarkan saya tentang hukum ekonomi dan bisnis serta terima kasih secara khusus kepada Ibu Rouli Anita Valentina selaku dosen pengajar mata kuliah hukum perdagangan internasional karena telah memberikan inspirasi dalam penulisan skripsi ini dan Bang Hadi Purnama yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi.

  6. Kim Taeyeon, Kwon Yuri, Choi Sooyoung, Kim Hyoyeon, Lee Sun Kyu a.k.a. Sunny, Jung Soo Young a.k.a. Jessica, Tiffany Hwang, Seo Joo Hyun, dan Im Yoona (Girls’Generation) yang selalu memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi. Saranghaeo unnies. OT9 is always OT9!

  7. Teman-teman kesayangan, Rindi Danika Sari yang menjadi teman curhat mengenai artis-artis Korea di saat sedang lelah mengerjakan skripsi (we’re K-Popers and we proud of it), Nabella Annisa Putri yang selalu berhasil membuat saya ingin makan (my mom must be very grateful to you because you make me not like a chopstick anymore), Permata Mis Lusitania yang entah mengapa selalu berhasil membuat otak saya ‘encer’ kembali jika saya mendapat kesulitan dalam pengerjaan skripsi (I’ll miss that RSCM, coffee toffe and GI 7. Teman-teman kesayangan, Rindi Danika Sari yang menjadi teman curhat mengenai artis-artis Korea di saat sedang lelah mengerjakan skripsi (we’re K-Popers and we proud of it), Nabella Annisa Putri yang selalu berhasil membuat saya ingin makan (my mom must be very grateful to you because you make me not like a chopstick anymore), Permata Mis Lusitania yang entah mengapa selalu berhasil membuat otak saya ‘encer’ kembali jika saya mendapat kesulitan dalam pengerjaan skripsi (I’ll miss that RSCM, coffee toffe and GI

  8. Archie Michael Hasudungan Batubara yang memberikan dukungan moral, rela jadi editor skripsi di tengah kesibukan sebagai lawyer ibu kota, dan segala dukungan lainnya. 감사합니다

  9. Ario Pamungkas dan Muhammad Rafiqi Ramadhan yang selalu menemani selama bimbingan, teman ngelawak-ngelawak garing di saat galau skripsi, dan teman curhat selama pembuatan skripsi, dan teman pas ngejar-ngejar Bang Brian. Meskipun kalian sering bilang gue bawel, tapi gue yakin kalian seneng dibawelin sama gue. Makasih banget banget banget buat kalian berdua! 사랑해

10. Anak Bang Brian: Ario Pamungkas, Rafiqi Ramadhan, Karina,

  Fachrunisa ‘Bundo’, Bang Sigit, Sonia, Prisi, Shabrina, dan teman- teman sesama bimbingan yang lain yang saya tidak ingat namanya. Terima kasih atas dukungannya. I’ll miss “RS Bunda Margonda moment.”

11. Mikha Chandra Tampubolon yang selalu bersedia jadi tempat curhat

  di kala galau melanda. You always have hundred ways to cheer me up! Cepetan jadi dokter yang sukses ya bang supaya bisa bantu anak-anak di Pulau Seribu. Jesus bless you.

12. Teman-teman PK 4 yang super! Semoga kalian semua lulus dengan

  nilai memuaskan dan menjadi juris masa depan yang tidak hanya cerdas tapi juga memiliki hati nurani. Masa depan bangsa ada di tangan kita, Kawan.

13. Teman-teman yang tersebar di segala PK yang secara tidak langsung

  berjasa selama perkuliahan saya di FHUI. Terima kasih kepada Joshua Vincent (lo masih ada utang traktir sama gue ya), Tiffany Efny, Sri B.

  Mega, Camila, Adit, Shara, Fian, teman-teman course HDR angkatan

  15, dan teman-teman lain yang tidak sempat disebutkan namanya. Semoga sukses untuk kalian semua.

14. Partai Libra! Teman-teman kosan yang super baik, seru, sabar dan

  benar-benar kayak keluarga Adel, Meutia, Nina, Rima, Fitri, Ace, Lita, Kak Kiki, dan Kak Meike! Terima kasih ya, kalian buat aku bahagia di kosan.

15. Kepada teman-teman SMA Taruna Nusantara angkatan 19 (Lentera)

  khususnya Arya Khresna yang sudah membantu mencarikan sumber bacaan dan segenap keluarga Ikastara. Thanks for being my second family. Semoga sukses untuk kita semua dan semoga kita semua dapat selalu memberikan karya yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara, dan dunia.

16. Kepada Biro Pendidikan sub-program S1 Reguler, Prof Satya

  Arinanto selaku Pembimbing Akademik, dan seluruh jajaran.

17. Kepada Pak Jon PK4, bapak-bapak foto copy dan print Barel, serta

  kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan dalam penulisan skripsi ini.

  Akhir kata, saya berharap Tuhan Yesus Kristus berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Sekali lagi terima kasih kepada semua pihak atas doa dan dukungannya bagi penulis. May Jesus bless you all.

  Depok, Januari 2015

  Penulis

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Sebagai Sivitas Akademik Universitas Indonesia, Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

  Nama

  : Sarah Patricia Gultom

  NPM

  Program Studi

  : Ilmu Hukum

  Program Kekhususan : Hukum tentang Ekonomi dan Bisnis Fakultas

  : Hukum

  Jenis Karya

  : Skripsi

  Demi Pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Royalti Non-Ekslusif (Non-Exlusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

  Analisis Yuridis Penggunaan Hak Retaliasi dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Tuduhan Anti Dumping terhadap Produk Kertas Indonesia oleh Korea Selatan Kasus DS312)

  Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non- Ekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih mediaformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulispencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

  Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

  Dibuat di

  : Depok

  Pada Tanggal : 15 Januari 2015

  Yang menyatakan,

  (Sarah Patricia Gultom)

ABSTRAK

  Nama

  : Sarah Patricia Gultom

  Program Studi

  : Ilmu Hukum

  Judul

  :Analisis Yuridis Penggunaan Hak Retaliasi dalam

  Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Tuduhan Anti Dumping Terhadap Produk Kertas Indonesia oleh Korea Selatan Kasus DS312)

  Kegiatan perdagangan internasional yang timbul akibat adanya globalisasi tidak hanya bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan negara namunnya juga berdampak pada timbulnya sengketa ketika terjadi benturan kepentingan antara negara yang melakukan hubungan perdagangan. Untuk itu World Trade Organization (WTO) telah mengakomodasi dalam hal terjadinya sengketa perdagangan internasional melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam Understanding On Rules And Procedures Governing The Settlement Of Disputes (DSU). Salah satu ketentuan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam DSU adalah mengenai retaliasi. Retaliasi yang secara khusus diatur dalam Pasal 22 DSU adalah hak bagi negara yang dimenangkan oleh putusan Panel Dispute Settlement Body (DSB) untuk melakukan tindakan balasan terhadap negara yang dinyatakan kalah oleh putusan Panel DSB dalam hal tidak adanya implementasi putusan Panel DSB dalam jangka waktu yang wajar. Terdapat beberapa pandangan negatif terhadap ketentuan retaliasi, salah satunya mengenai ketidakefektivitasan retaliasi apabila dilaksanakan oleh negara berkembang dan negara terbelakang yang bersengketa melawan negara maju. Namun dalam praktiknya, terdapat negara berkembang yang berhasil melaksanakan retaliasi terhadap negara berkembang, yaitu dalam kasus Byrd Amendment. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO yang tergolong negara berkembang juga pernah terlibat sengketa perdagangan internasional dengan negara maju, yaitu Korea Selatan dalam kasus tuduhan dumping terhadap produk kertas Indonesia (Kasus DS312). Panel DSB dalam putusannya memenangkan Indonesia dan oleh karena itu Korea Selatan harus menyesuaikan ketentuan anti dumping dengan Anti Dumping Agreement (ADA). Terhadap putusan Panel DSB tersebut, Korea Selatan tidak melaksanakannya sampai jangka waktu yang wajar. Dari kasus di atas, skripsi ini akan menganalisis mengenai legalitas Indonesia berkaitan dengan hak retaliasi yang diatur dalam Pasal 22 DSU serta pertimbangan-pertimbangan yang diambil Indonesia dalam hal tidak dilaksanakannya retaliasi dalam Kasus DS312.

  Kata Kunci: Perdagangan Internasional, GATT, WTO, anti dumping, Korea Selatan, dispute settlement, retaliasi.

ABSTRACT

  Name

  : Sarah Patricia Gultom

  Study Program

  : Law

  Tittle

  :Juridical Analysis In Using of Retaliation Rights in

  International Trade Dispute Settlement (A Case Study of Dumping Accusation Against Indonesian Paper Products by South Korea Case DS312 )

  International trade arising from globalization is not is beneficial only to fulfill needs of the country but also have an impact on the possibility of disputes when there is a conflict of interest between countries that conduct trading activities. Hence the World Trade Organization (WTO) has been accommodating in terms of international trade disputes through the dispute settlement mechanism set out in the Understanding On Rules And Procedures Governing the Settlement Of Disputes (DSU). One of the provisions on dispute settlement mechanism set out in the DSU is about retaliation. Retaliation which specifically provided for in Article

  22 DSU is right for the country, which was won by decision of the Dispute Settlement Panel Body (DSB) to retaliate against countries that lost by decision of the DSB panel in the absence of implementation of the DSB panel decision in a reasonable time period . There are some negative opinions against retaliation provisions, one of the less effectiveness of retaliation if implemented by developing countries and least developed countries in the dispute against developed countries. However, in practice, there is a developing country that successfully implement retaliation against developing countries, ie in the case of the Byrd Amendment. Indonesia as one of the WTO member countries classified as the developing countries has also been involved in international trade disputes with developed countries, ie South Korea in case of dumping charges against Indonesian paper products (Case DS312). DSB panel in its decision won Indonesia and therefore South Korea should adjust the anti-dumping provisions of the Anti-Dumping Agreement (ADA). In practice, South Korea did not implement the decision of the DSB panel until a reasonable time period. From the above case, this thesis will analyze the legality of Indonesia with regard to the rights of retaliation under Article 22 DSU and the considerations taken by Indonesia in terms of non-performance of retaliation in case DS312.

  Keyword: International Trade, GATT, WTO, anti-dumping, South Korea, dispute settlement, retaliation.

DAFTAR SINGKATAN

1. AB Appeallate Body

  2. ACP

  Africa, Caribbean, Pacific

  3. ACWL

  Advirsory Centre on WTO Law

  4. ADA

  Agreement on Implementation Of Article VI of The General Agreement on Tariffs and Trade Anti Dumping Agreement

5. AF April Fine

  6. Atperindag

  Atase Perindustrian dan Perdagangan

  7. BMAD

  Bea Masuk Anti Dumping

  8. CBP

  United States Customs and Border Protection

  9. CDSOA

  The Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000

  10. CMI

  Cakrawala Mega Indah

  11. CVD

  Countervailing Duty

  12. Deperindag

  Departemen Perindustrian dan Perdagangan

  13. DPP

  Direktorat Pengamanan Perdagangan

  14. DSB

  Dispute Settlement Body

  15. DSU

  Understanding on Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes (Dispute Settlement Understanding

  16. EC

  European Community

  17. GATS

  General Agreement on Trade and Services

  18. GATT

  General Agreements on Tariff and Trade

  19. JTF-EC

  Indonesia-Korea Joint Task Force on Economic Cooperation

  20. KPI

  Kerjasama Perdagangan Internasional

  21. KTC

  Korea Trade Commission

  22. PPC

  Plain Paper Copier

  23. SCM

  Agreement on Subsidies and Countervailing Measures

  24. SMG

  Sinar Mas Group

  25. SPS

  Sanitary and Phitosanitary Agreement

  26. TRIMs

  Agreement on Trade-Related Investment Measures

  27. WF

  Uncoated Wood-Free Printing Paper

  28. WLTF

  Working Level Task Force

  29. WLTFM

  Working Level Task Force Meeting

  30. WTO

  World Trade Organization

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Setiap negara di dunia memiliki karakteristik masing-masing yang berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan, salah satunya adalah terhadap pemenuhan kebutuhan domestik dari negara yang bersangkutan. Perbedaan karakteristik ini juga mendorong setiap negara untuk bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Untuk itu dibutuhkan globalisasi sebagai penghubung kepentingan antar negara tersebut.

  Globalisasi saat ini merupakan hal yang tidak asing lagi bagi masyarakat internasional, tidak terkecuali globalisasi dalam bidang ekonomi. Robin Cohen dan Paul Kennedy berpendapat bahwa konsep globalisasi dipahami sebagai seperangkat transformasi kultur antar bangsa yang membentuk jaringan mendunia serta saling memperkuat dunia dalam bidang (1) perubahan dalam konsep ruang dan waktu seperti internet serta alat komunikasi global lainnya; (2) peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa; (3) meningkatnya masalah bersama seperti masalah lingkungan, masalah kriminallitas dan lain sebagainya; serta (4) pasar dan produksi ekonomi berupa pertumbuhan perdagangan yang

  berakibat pada ketergantungan lintas negara 1 Lebih lanjut, Joseph Stiglitz, seorang ahli ekonomi dari World Bank, mendefinisikan konsep globalisasi sebagai:

  “The closer integration of the countries and peoples of the world has been brought about by the enormous reduction of costs of transportation and

  communication, and the breaking down of artificial barriers to the flow of goods, capital, knowledge and (to a lesser extent) people across border” 2

  1 Jacob Tagarirofa dan David Tobias, “Globalisation and Development Inequalities: Challenges and Prospects for ‘A

  Just

  Development’”,

  http:www.gjournals.org

  GJSCGJSC20PDF

  2013May02261349920Tagarirofa20and20Tobias.pdf ,

  diunduh

  tanggal 12 September 2014.

  2 Erman Rajagukguk, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional” dalam Modul Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm.

  Reduksi batas antar negara di satu sisi membawa keuntungan bagi masyarakat internasional, yaitu dapat memenuhi kebutuhan domestik melalui perdagangan antar negara. Namun di sisi lain juga dapat membawa kerugian terutama ketika terdapat benturan kepentingan dan perbedaan kebijakan di bidang perdagangan di antara masing-masing negara sehingga menimbulkan sengketa. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah mekanisme yang mengatur kewenangan menangani perkara dalam hal terjadinya sengketa antar negara, khususnya di bidang perdagangan.

  General Agreemments on Tariff and Trade (GATT) 1947 sebagai agreements pertama yang khusus menangani bidang perdagangan internasional, telah mengakomodasi kebutuhan negara-negara yang terikat di dalamnya (CONTRACTING PARTIES) untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional yang terjadi di antara mereka. Ketentuan tersebut secara khusus diatur dalam Pasal XI dan Pasal XXIII, walaupun ketentuan mengenai penyelesaian sengketa juga tersebar di pasal-pasal lainnya. Sistem penyelesaian sengketa GATT merupakan salah satu pilar utama dalam sistem perdagangan internasional karena sistem inilah yang menjaga ketertiban dalam kegiatan perdagangan internasional melalui penerapan komitmen yang dirumuskan secara

  internasional 3 . Terkait dengan tujuan utama dari penyelesaian sengketa GATT, John Howard Jackson mengungkapkan pendapatnya bahwa dalam penerapannya,

  harus dipertimbangkan kembali apakah tujuan penyelesaian sengketa adalah untuk tujuan jangka pendek berupa penyelesaian secara singkat atau untuk tujuan jangka panjang yaitu dengan meningkatkan integritas negara anggota dalam mematuhi

  komitmen GATT 4 .

  3 H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO, dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI-Press, 1998), hlm. 314.

  penerapan penyelesaikan

  sengketa harus

  mempertimbangkan apakah “A number of interesting policy issues are raised by the experience of the [dispute settlement] procedure, not the least of which is the question of what should be the fundamental objective of the system - to solve the instant dispute (by conciliation, obfuscation, power threats or other means), or to promote certain longer-term goals... The historical question

  Pasal XI GATT menegaskan bahwa setiap sengketa diselesaikan dengan konsultasi dan perundingan untuk mencari pemecahan masalah yang terbaik bagi pihak-pihak yang bersengketa atau dengan kata lain, mekanisme penyelesaian sengketa dalam GATT menghindari dilakukannya tindakan pembalasan (retaliasi) secara sepihak, khususnya dari pihak yang merasa dirugikan. Namun di sisi lain, dalam Pasal XXIII ayat (2) GATT di bawah judul Nullification or Impairment, justru mengakomodasi tindakan retaliasi tersebut.

  Pada awal penerapan GATT, terdapat pertentangan mengenai pelaksanaan retaliasi. Pandangan pertama menyatakan bahwa retaliasi tidak memerlukan pengaturan. Pendapat ini didasarkan pada kasus Dairy pada tahun 1995, yang mana dalam menyelesaikan masalah, contracting parties (dalam kasus ini adalah Belanda) yang merasa dirugikan dapat melakukan pembatalan perjanjian terhadap violating parties (dalam kasus ini adalah Amerika Serikat) agar kebijakan nasional terkait perdagangan internasional dapat diterapkan secara optimal. Pendangan kedua menyatakan bahwa pelaksanaan retaliasi harus diatur dan diawasi, mengingat meskipun dalam Pasal XXIII telah mengatur ukuran dari kerugian itu sendiri. Namun tidak ada mekanisme yang memuaskan untuk meninjau pelaksanaannya dan dengan demikian, negara yang dirugikan tidak

  memperoleh ganti rugi yang sesuai dengan kerugian yang mereka derita 5 .

Terlepas dari kedua pandangan tersebut, GATT telah mengakui adanya konsep retaliasi dan mengatur pelaksanaan retaliasi. Retaliasi 6 menurut GATT

  adalah tinakan penghukuman berupa penangguhan atau pembatalan kewajiban oleh contracting parties yang dirugikan terhadap violating parties apabila tidak

  diberikan kompensasi atas kerugian yang dideritanya 7 . Dalam pelaksanaannya,

  integrity”, Chad P. Bown, “The Economics of The Trade Disputes, The GATT’s Article XXIII, and The WTO’s Dispute Settlement Understanding”, http:people.brandeis.edu~cbownpapers dispute.pdf , diunduh tanggal 12 September 2014.

  5 Ibid.

  6 Ketentuan Pasal XXIII GATT menggunakan istilah penangguhan konsesi (suspension of concessions) untuk mendefinisikan konsep retaliasi.

  retaliasi jarang sekali digunakan 8 . CONTRACTING PARTIES pada umumnya lebih memilih menggunakan tekanan moral (moral pressure) daripada langkah-

  langkah hukum koersif untuk memaksakan violating parties agar melaksanakan kewajibannya 9 .

World Trade Organization (WTO) yang merupakan final act 10 dari Uruguay Round 1986-1993, merupakan penyempurnaan dari mekanisme perdagangan

  internasional yang sudah diatur dalam GATT 11 , termasuk di dalamnya mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Hal ini disebabkan karena

  terdapat beberapa kelemahan dalam penyelesaian sengketa yang diatur dalam GATT, yaitu 12 :

  1. Mekanisme penyelesaian sengketa GATT dianggap memakan waktu terlalu lama, terutama saat penyusunan Panel. Selain itu, adanya berbagai perjanjian khusus yang meskipun diadministrasikan oleh GATT, namun hal tersebut merupakan perjanjian tersendiri dengan mekanisme penyelesaian yang tersendiri.

  2. Adanya perbedaan pemahaman mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pada berbagai forum sehingga proses tersebut memakan waktu yang lama hanya untuk memperdebatkan mekanisme apa yang akan digunakan.

  8 Brian V. Kennedy, “Law and Its Limitation in the GATT Multilateral Trade System by

  Law, http:digital

  commons.law.umaryland.edumjilvol11iss19 , diakses tanggal 12 September 2014.

  9 Anwarul Hoda, Dispute Settlement in the WTO, Developing Countries, and India, (New Delhi: Indian Council for Research on International Economic Relations, 2012), hlm. 13.

  10 The Final Act merupakan hasil dari Uruguay Round yang terdiri dari final act itu sendiri, The Agreement Establishing the World Trade Organization (The WTO Agreement) dan perjanjian-

  perjanjian yang menjadi annexnya. Final Act yang mulai didistribusikan sejak tanggal 15 Desember 1993 menggunakan istilah Multilateral Trade Organization tetapi sesuai kesepakatan negara peserta, istilah tersebut diubah dalam final act dan seluruh annexnya dengan sebutan World Trade Organization (WTO).

  11 Marc L. Busch dan Eric Reinhardt, The Evolution of GATT WTO Dispute Settlement, Jurnal Hukum Unversity of Georgetown, hlm.176.

  12 Maslihat Nur Hidayati, “Analisis tentang Sistem Penyelesaian Sengketa Dagan

  3. Seringkali timbul kesulitan untuk mencari anggota Panel yang tepat untuk kasus yang timbul. Hal ini mengingat belum adanya pemahaman yang merata mengenai isu dalam dunia perdagangan internasional.

4. Lambatnya pemutusan dari Laporan Panel yang diserahkan kepada Council yang bertindak atas nama CONTRACTING PARTIES.

  5. Pihak yang kalah dalam sengketa dapat mencegah diterimanya Laporan Panel kepada Council karena adanya ketentuan bahwa keputusan Council yang diambil secara konsensus, juga melibatkan negara yang bersengketa dalam proses pengambilan keputusan terkait kasus yang sedang dibahas.

  6. Adanya anggota Panel yang dalam Laporan Panel mengemukakan pandangan secara tidak jelas sehingga menimbulkan keputusan yang tidak berlandaskan pada argumentasi hukum yang kuat.

  7. Adanya tekanan yang tidak wajar serta pengambilan langkah-langkah yang bersifat unilateral dari salah satu pihak yang bersengketa,

  khususnya jika pihak tersebut merupakan negara besar 13 . Hal ini terjadi mengingat adanya posisi yang tidak seimbang di antara

CONTRACTING PARTIES.

  8. Pihak yang bersengketa selalu dapat menunda proses pemeriksaan oleh Panel atau pengambilan keputusan oleh CONTRACTING

  PARTIES 14 .

  9. 15 Kurang efektifnya penerapan sanksi .

  10. Pihak yang kalah mengambil waktu yang terlalu lama untuk

  menyesuaikan ketentuannya dengan ketentuan dalam GATT walaupun

  13 Tim Kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Pengkajian Hukum tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Dagang dalam WTO (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum

  Nasional, Departemen Kehakiman RI, 19971998), hlm. 23-24.

  14 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hlm. 116.

  telah berjanji untuk melakukannya pada waktu sidang penyelesaian sengketa 16 .

  Selain itu, proses penyelesaian sengketa melalui GATT, khususnya pada sekitar tahun 1960, menitikberatkan pada proses diplomasi 17 . Bahkan pada akhirnya,

  usaha pemerintah untuk mengangkat persoalan perdagangan internasional dari segi hukum pun ditentang. Penurunan penerapan penyelesaian sengketa ini

  diperburuk dengan maraknya proteksionisme 18 yang membahayakan sistem perdagangan liberal yang telah berusaha ditegakkan oleh GATT 19 .

  Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa setelah terbentuknya WTO, diatur lebih khusus dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the

  Settlement of Disputes (Dispute Settlement Understanding DSU) 20 . Sebagai peraturan yang menyempurnakan GATT 21 , DSU tetap mencantumkan prinsip-

  prinsip-prinsip perdagangan internasional di dalamnya, di samping peraturan- peraturan baru yang tidak diatur dalam GATT. Sebagai ketentuan

  16 John Howard Jackson, Restructuring the GATT System, (London: Royal Institute of International Affairs, 1990), hlm. 65.

  17 Maslihati Nur Hidayati, Op.cit., hlm.7.

  18 Robert E. Hudec berpendapat bahwa peran kewajiban GATT adalah untuk "meningkatkan kekuatan politik" secara luas, mengatur kepentingan domestik yang mendukung

  liberalisasi perdagangan. Salah satu cara untuk melaksanakan kewajiban tersebut adalah dengan memberikan argumen hukum dan kebijakan untuk pejabat pemerintah dan pihak berkepentingan lain yang berusaha untuk mengatasi kekuatan proteksionisme, Jeffry L. Dunnof, “Hudec’s Method’s and Ours,” Minnesota Journal of International Law, http:www.minnjil.org?p=1061 , diakses tanggal 12 September 2014.

  19 Hata, Op.cit., hlm. 108.

  20 DSU dianggap sebagai pencapaian yang paling signifikan dari negosiasi Uruguay Round. DSU ini diharapkan mampu menerapkan sistem penyelesaian sengketa yang paling maju di

  setiap rezim perjanjian yang ada, Marc L.Busch dan Eric Reinhardt, Op.cit., hlm 154-155.

  21 Penyempurnaan mekanisme penyelesaian sengketa dalam DSU terlihat dalam mekanisme yang terstruktur dan tata cara yang seragam yang sebelumnya tidak ada dalam GATT. Dalam

  sistem yang baru juga memasukkan prinsip-prinsip yang dapat mempercepat jangka waktu penyelesaian sengketa, memudahkan jalannya proses penyelesaian, memunculkan eksistensi Badan Banding (Appelate Body), serta menentukan bahwa keputusan maupun rekomendasi yang dihasilkan akan mengikat para pihak yang bersengketa, H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan (Jakarta: UI Press, 1996), hlm.

  penyempurnaan, maka ketentuan mengenai retaliasi dalam DSU juga mengalami penyempurnaan. Pengaturan mengenai retaliasi dalam DSU diatur dalam Pasal 22

  di bawah judul Compensation and the Suspension of Concession 22 . Perbedaan pengaturan mengenai retaliasi dalam DSU dan GATT adalah pelaksanaan retaliasi

  dalam DSU sebagai tindakan balasan dalam hal terjadinya non implementation 23 dari putusan atau rekomendasi dari Panel Dispute Settlement Body (DSB) 24 dan dalam pelaksanaannya harus terlebih dahulu meminta otorisasi kepada DSB 25 .

  Sedangkan pengaturan retaliasi dalam GATT, ketentuan mengenai adanya otorisasi justru merupakan inisiatif dan CONTRACTING PARTIES setelah melihat dan mempertimbangkan adanya keadaan yang mengakibatkan kerugian yang

  cukup serius 26 akibat tidak dilaksanakannya kewajiban dalam perjanjian oleh violating parties. Hal ini didasarkan pada perbedaan konsep mengenai sengketa

  dalam GATT dan DSU 27 . Dalam konteks DSU, retaliasi yang diakomodasi dalam

  22 Meskipun GATT dianggap kurang efektif dalam mengatur perdagangan internasional, namun GATT telah berkontribusi besar dalam hal pembentukan konsep dasar dari perdagangan

  internasional itu sendiri. Hal itu terbukti dengan tetap dicantumkannya GATT dalam Annex 2 DSU.

  23 DSU, Pasal XI ayat (2).

  24 Dispute Settlement Body (DSB) WTO adalah institusi khusus yang dibentuk untuk menjalankan aturan dan prosedur penyelesaian sengketa dengan kewenangan yang meliputi

  pembentukan dan pengangkatan Panel serta menjaga dan mengawasai pelaksanaan keputusan dan rekomendasi Panel, Adijaya Yusuf, “Prinsip-Prinsip GATT dan WTO Dispute Settlement Body,” (makalah disampaikan dalam Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta 15-16 September 2004), hlm. 160.

  25 DSU, Pasal XI ayat (4).

  26 “...If the CONTRACTING PARTIES consider that the circumstances are serious enough

  to justify such action, they may authorize a contracting party or parties to suspend the application to any other contracting party or parties of such concessions or other obligations under this Agreement as they determine to be appropriate in the circumstances...” (Pasal XXIII ayat (2) GATT)

  27 Sengketa menurut DSU adalah ketika suatu negara anggota menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan

  yang kemudian merugikan kepentingan negara anggota lain (Robert Read, “Dispute Settlement, Compensation,

  WTO,”

  http:www.lancaster.ac.ukstaffecarar

  dispute20settlement.doc , diunduh tanggal 12 September 2014 dan Yetty Komalasari Dewi, “Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement) di World Trade Organization” dalam Modul Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 109). Sedangkan konsep sengketa menurut GATT terjadi dalam hal ketentuan dalam GATT tidak dilaksanakan atau dihambat pelaksanaannya atau hasil yang dicapai dari tujuan perjanjian

  Pasal 22, digunakan sebagai upaya terakhir terhadap pihak yang dinyatakan kalah dalam putusan atau rekomendasi Panel DSB agar putusan tersebut dapat dilaksanakan dengan optimal dan efektif.

  Mengenai penggunaan retaliasi dalam rangkaian proses penyelesaian sengketa perdagangan dalam WTO, terdapat pertentangan pendapat dari para ahli terkait efektivitas pelaksanaan retaliasi khususnya apabila retaliasi ini diterapkan oleh negara berkembang yang berkedudukan sebagai negara penggugat (Complainant Party). Terdapat 2 (dua) pendapat utama yang sering menjadi

  pembahasan dalam berbagai literatur 28 , yaitu:

  a. Pendapat ahli yang setuju dengan pengaturan retaliasi serta menitikberatkan retaliasi sebagai concessions rebalancing. Pendapat ini berfokus pada tujuan retaliasi untuk menyeimbangkan kembali antara kerugian yang dialami oleh Complainant Party akibat tindakan negara tergugat (Defendant Party) yang tidak melaksanakan putusan atau rekomendasi Panel DSB.

  b. Pendapat ahli yang menyatakan bahwa pengaturan retaliasi kurang tepat. Adapun hal-hal yang menyebabkan pengaturan retaliasi

  dianggap kurang tepat antara lain 29 :

  i.

  Retaliasi pada akhirnya akan cenderung sebagai tindakan proteksi daripada liberalisasi perdagangan. Jika retaliasi digunakan untuk mendorong kepatuhan, maka retaliasi dapat membantu mencapai tujuan WTO. Namun hal tersebut akan menjadi kontraproduktif jika penggunaan retaliasi yang difokuskan lebih untuk mendorong kepatuhan karena unsur

  bertentangan dengan ketentuan perjanjian ini atau kehadiran situasi lainnya (GATT, Loc.cit., Pasal

  XI ayat (1)).

  28 Jide Nzelibe, The Case Against Reforming The WTO Enforcement Mechanism, Jurnal Northwestern University - School of Law, hlm. 1.

  pemberian sanksi yang kuat (strong punitive elements) justru dapat memicu perang perdagangan.

  ii.

  Retaliasi tidak sepenuhnya berhasil untuk meningkatkan kepatuhan negara anggota. Hal ini dapat dilihat dari sering terjadinya sengketa perdagangan internasional yang melibatkan Amerika Serikat dan European Community (EC). Perilaku kedua negara tersebut akhirnya menimbulkan pertanyaan kemampuan WTO untuk menerapkan sistem perdagangan yang berbasis pada aturan. Selain itu sifat retaliasi yang tidak berlaku surut menyebabkan Defendant Party memperlambat proses penyelesaian sengketa.

  iii.

  Retaliasi dapat melemahkan kedaulatan nasional dengan proses penyelesaian sengketa yang mendorong aktivisme yudisial yang.

  iv.

  Retaliasi dianggap sebagai sistem yang tidak adil. Hal ini didasarkan pada adanya bahwa tindakan retaliasi cenderung tidak efektif atau bahkan mitra dagang mereka mungkin membalas melalui perdagangan atau cara lain. Hal ini dikarenakan retaliasi yang didasarkan pada persuasi kekuasaan dan bukan kekuatan persuasi.

  Mengenai pandangan negatif tentang efektivitas penerapan retaliasi, lebih jauh diungkapkan bahwa retaliasi dianggap kurang efektif apabila dilaksanakan oleh negara anggota yang tergolong negara berkembang dan negara terbelakang

  karena 30 :

  30 Chad P. Bown dan Joost Pauwelyn, ed., The Law, Economics, and Politics of Retaliation 30 Chad P. Bown dan Joost Pauwelyn, ed., The Law, Economics, and Politics of Retaliation

  b. Dari segi mekanisme pelaksanaan retaliasi Adanya anggapan bahwa sangat sulit memperoleh ukuran yang tepat dalam menentukan tingkat pelaksanaan retaliasi (level of suspension).

  c. Penerapan oleh negara berkembang dan negara terbelakang Retaliasi tidak dapat dilaksanakan secara efektif meskipun negara berkembang atau negara terbelakang menjadi pihak yang dimenangkan oleh Panel DSB dalam sengketa perdagangan internasional.

  Terhadap pandangan ini, Nottage menyatakan setuju bahwa aturan mengenai retaliasi dalam DSU tidak seimbang terhadap negara berkembang dan terbelakang sebagai sarana untuk meningkatkan kepatuhan negara-negara anggota WTO lainnya, khususnya kepatuhan dari negara-negara maju. Namun di sisi lain, Nottage juga tidak setuju bahwa kelemahan dari retaliasi tersebut menghilangkan fungsi dari sistem penyelesaian sengketa WTO bagi negara berkembang. Alasan utama untuk pendapatnya tersebut adalah bahwa dalam praktik penyelesaian sengketa GATT dan WTO, menunjukkan tingginya tingkat kepatuhan terhadap putusan penyelesaian sengketa bahkan ketika negara-negara berkembang berada

  dalam posisi sebagai Complainant Party 31 .

  Apabila melihat penerapan nyata dari retaliasi tersebut, sejauh ini dari 17 (tujuh belas) otorisasi untuk melaksanakan retaliasi, 8 (delapan) diantaranya dilakukan oleh negara berkembang. Salah satu contoh negara berkembang yang Apabila melihat penerapan nyata dari retaliasi tersebut, sejauh ini dari 17 (tujuh belas) otorisasi untuk melaksanakan retaliasi, 8 (delapan) diantaranya dilakukan oleh negara berkembang. Salah satu contoh negara berkembang yang

32 (Defendant Party) 33 dalam kasus Byrd Amendment .

  Sebagai negara berkembang, Indonesia telah menunjukkan sikap positif terhadap pengaturan perdagangan internasional. Hal ini dibuktikan dengan keanggotaan Indonesia dalam GATT pada tanggal 24 Februari 1950 dan kemudian resmi menjadi anggota WTO serta meratifikasi perjanjian perdagangan internasional tersebut dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan The Agreement Establishing the World Trade Organization. Dengan ratifikasi tersebut, maka secara hukum, semua perjanjian dan ketentuan WTO wajib dilaksanakan, termasuk juga ketentuan penyelesaian sengketa.

  Indonesia sebagai negara anggota WTO yang digolongkan sebagai negara berkembang juga pernah terlibat dalam sengketa perdagangan internasional melawan negara maju, yaitu dalam kasus tuduhan dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan terhadap produk kertas yang diimpor dari Indonesia sehingga merugikan produsen kertas domestik Korea Selatan. Akibat adanya tuduhan tersebut, 4 (empat) eksportir kertas Indonesia ke Korea Selatan dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) oleh Korean Trade Commission (KTC). BMAD yang dikenakan oleh Korea Selatan kepada eksportir kertas Indonesia ini merugikan Indonesia dan menghambat perdagangan kertas Indonesia ke Korea Selatan.

  Kasus ini dimulai pada bulan September 2002, di mana 5 (lima) produsen kertas domestik Korea Selatan memohon kepada KTC untuk melakukan penyelidikan dumping terhadap impor kertas jenis business information paper dan wood-free printing paper yang berasal dan Indonesia dan Cina. Terhadap

  32 Ibid., hlm. 10.

  33 Byrd Amendment adalah hukum Amerika Serikat yang mengatur distribusi bea masuk impor hasil dari anti dumping (AD) atau countervailing duty (CVD) yang dimohonkan oleh para

  pemohon dan pihak lain yang berkepentingan dalam penyelidikan terkait dengan adanya dugaan praktik anti dumping oleh importer dari negara lain. (Jeanne J. Grimmett dan Vivian C. Jones, “CRS Report for Congress: The Continued Dumping and Subsidy Offset Act (“Byrd Amendment”)”, http:fpc.state.govdocumentsorganization57503.pdf , diunduh tanggal 13

  Indonesia, KTC mengirimkan kuesioner kepada 4 (empat) perusahaan kertas Indonesia, yaitu PT Pindo Deli Pulp dan Kertas Mills (Pindo Deli), PT Riau Andalan Kertas (April Fine), PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk. (Indah Kiat), dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia (Tjiwi Kimia).

  Terhadap pengenaan BMAD tersebut, Indonesia merasa keberatan karena karena pihak Indonesia berpendapat bahwa 4 (empat) eksportir kertas Indonesia tersebut tidak melakukan dumping sehingga tidak tepat apabila Korea Selatan mengenakan BMAD terhadap 4 (empat) eksportir kertas Indonesia tersebut. Setelah perundingan bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan terkait sengketa ini tidak menghasilkan kesepakatan, Indonesia akhirnya memutuskan untuk

  membawa sengketa ini ke WTO 34 . Dalam sengketa tuduhan dumping ini, Panel DSB memenangkan Indonesia karena Indonesia terbukti tidak melakukan praktik

  dumping sehingga Korea Selatan harus mencabut pengenaan BMAD terhadap 4 (empat) eksportir kertas Indonesia namun pada kenyataannya, Korea Selatan tidak melaksanakan putusan tersebut sampai batas waktu yang ditentukan. Terhadap tindakan Korea Selatan ini, Indonesia dapat menggunakan haknya untuk melaksanakan retaliasi namun pada kenyataannya, Indonesia tidak melakukannya untuk memaksa Korea Selatan agar melaksanakan putusan Panel DSB tersebut.

  Oleh karena itu, penulis menyusun Skripsi dengan judul "Analisis Yuridis

Penggunaan Hak Retaliasi dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Tuduhan Anti Dumping Terhadap Produk

  Kertas Indonesia oleh Korea Selatan Kasus DS312)" untuk dapat mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan dilakukannya retaliasi berdasarkan kasus- kasus sengketa perdagangan internasional khususnya yang melibatkan negara berkembang melawan negara maju, sehingga dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai apa yang menjadi pertimbangan Indonesia untuk tidak melakukan retaliasi dalam kasus DS312. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut juga dapat dilihat efektivitas ketentuan

  34 Nur Suci Savitri, “Pengaruh Sengketa Dagang Indonesia dan Korea Selatan Terhadap Ekspor Kertas Indonesia 2002-2004,” (Skripsi S1 Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, 34 Nur Suci Savitri, “Pengaruh Sengketa Dagang Indonesia dan Korea Selatan Terhadap Ekspor Kertas Indonesia 2002-2004,” (Skripsi S1 Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta,

  Penyusunan Skripsi ini adalah dalam rangka menelaah ketentuan retaliasi dalam Pasal XI dan Pasal XXIII GATT serta Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) sehingga penerapan ketentuan yang berupa hukum tertulis tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi pengusaha Indonesia selaku negara anggota WTO serta negara yang termasuk dalam golongan negara berkembang dan negara terbelakang.

1.2. Pokok Permasalahan

1. Bagaimana pengaturan mengenai retaliasi dalam GATT dan WTO Agreement?

  2. Bagaimana putusan Panel DSB terhadap Indonesia dalam kasus Tuduhan Dumping terhadap Produk Kertas Indonesia oleh Korea Selatan (Kasus DS312)?

3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Indonesia sehingga Indonesia memutuskan untuk tidak melakukan retaliasi?

1.3. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan Umum

  Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme retaliasi sebagai upaya bagi negara anggota WTO dalam mengoptimalkan hasil putusan DSB dengan cara ‘memaksa’ kepada negara yang dinyatakan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme retaliasi sebagai upaya bagi negara anggota WTO dalam mengoptimalkan hasil putusan DSB dengan cara ‘memaksa’ kepada negara yang dinyatakan

  Penelitian ini juga menelaah hal-hal yang menjadi pertimbangan Indonesia untuk tidak melaksanakan retaliasi dalam kasus tuduhan dumping produk kertas Indonesia oleh Korea Selatan (kasus DS312). Untuk itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai nature dari retaliasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan internasional, tujuan adanya mekanisme retaliasi dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional, serta pentingnya mengetahui tujuan retaliasi sehingga pada akhirnya dapat terwujudnya kepastian hukum serta dapat diterapkannya asas-asas dalam ketentuan perjanjian internasional secara konsisten oleh negara-negara anggota WTO.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaturan mengenai retaliasi dalam WTO Agreement dalam GATT dan WTO Agreement.

  2. Mengetahui putusan Panel DSB terhadap Indonesia dalam kasus Tuduhan Anti Dumping terhadap Produk Kertas Indonesia oleh Korea Selatan (Kasus DS312).

3. Menjelaskan hal yang menjadi dasar pertimbangan Indonesia sehingga Indonesia memutuskan untuk tidak melakukan retaliasi.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoretis

  Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Dari pengertian tersebut, penelitian ini bermanfaat bagi Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Dari pengertian tersebut, penelitian ini bermanfaat bagi

1.4.2. Manfaat Praktis

  1. Penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah Indonesia khususnya Kementrian Perdagangan Republik Indonesia agar dapat mengambil langkah yang tepat serta tetap mempertahankan kepentingan pengusaha dalam negeri domestik dalam hal terjadinya sengketa antara Indonesia selaku negara anggota WTO dengan negara anggota WTO lainnya.

  2. Penelitian ini bermanfaat bagi para pengusaha dalam negeri domestik sehingga mendapatkan kepastian hukum apabila terjadi sengketa perdagangan internasional antara Indonesia selaku negara anggota WTO dengan negara anggota WTO lainnya.

  3. Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat sebagai konsumen produk barang, baik yang produk impor maupun produk ekspor, sehingga tidak menimbulkan dan mengalami kerugian yang mungkin timbul apabila sengketa perdagangan internasional antara Indonesia selaku negara anggota WTO dengan negara anggota WTO lainnya tidak dapat diselesaikan dengan baik.

1.5. Tinjauan Pustaka

  Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa buku dan literatur yang menjadi referensi yang terkait dengan penyelesaian sengketa perdagangan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa buku dan literatur yang menjadi referensi yang terkait dengan penyelesaian sengketa perdagangan