Proses Sidang Panel Pertama
3.3. Proses Sidang Panel Pertama
Sesuai dengan Pasal 6 DSU, apabila proses konsultasi dinyatakan gagal, maka pihak yang bersengketa dapat memohon kepada DSB untuk membentuk Panel guna menyelesaikan sengketa perdagangan yang bersangkutan. Terkait dengan kasus ini, setelah konsultasi antara pihak Indonesia dan Korea Selatan dinyatakan gagal menyelesaikan sengketa tersebut, pada tanggal 16 Agustus 2004, Indonesia mengajukan permohonan kepada DSB untuk segera membentuk Panel. Panel tersebut terbentuk pada tanggal 27 September 2004, dan untuk komposisi
Panel ditetapkan pada tanggal 18 Oktober 2004 163 . Sidang Panel pertama diadakan pada tanggal 1 Februari 2005 dan tanggal 2 Februari 2005. Untuk sidang
Panel pertama pada tanggal 1 Februari 2005, dihadiri oleh para Panelis serta para pihak yang bersengketa sementara pada tanggal 2 Februari 2005 dihadiri oleh para
pihak yang bersengketa serta pihak ketiga dalam sidang Panel lanjutan 164 . Adapun dalam sidang ini, Panelis memberi kesempatan kepada para pihak untuk
menyampaikan argumen masing-masing. Argumen dari para pihak tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab berikutnya.
3.3.1. Argumen Indonesia 165 Dalam sidang Panel pertama, Indonesia meminta Panel untuk
memeriksa bahwa dalam pengenaan BMAD oleh Korea Selatan, terdapat tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan ADA, yaitu 166 :
163 Komposisi Panel yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa Indonesia dan Korea Selatan adalah Mr. Ole Lundby sebagai ketua Panel dan Ms. Deborah Milstein serta Ms. Leane
Naidin sebagai anggota Panel (WTDS312, hlm.1).
164 WTDS312, hlm.1
165 WTDS312, hlm. 16.
a. Pasal 6 ayat (8) ADA dengan menolak informasi penjualan domestik yang diberikan oleh Indah Kiat dan Pindo Deli;
b. Pasal 6 ayat (8) ADA dan Paragraph 3 Annex II dari ADA dengan menolak informasi penjualan domestik yang diberikan oleh Indah Kiat dan Pindo Deli dan laporan keuangan dari CMI;
c. Pasal 6 ayat (8) dan Paragraph 6 Annex II dari ADA dengan tidak menginformasikan kepada eksportir Indonesia mengenai alasan penolakan KTC terhadap informasi penjualan domestik yang diberikan oleh Indah Kiat dan Pindo Deli serta tidak memberikan kesempatan kepada Indah Kiat, Pindo Deli, dan Tjiwi Kimia untuk memberikan penjelasan lebih lanjut dalam jangka waktu yang ditentukan;
d. Pasal 6 ayat (8) dan Paragraph 7 Annex II dari ADA dengan tidak menggunakan kehati-hatian khusus dalam penggunaan sumber kedua untuk menetapkan Normal Value (Nilai Normal) dari Indah Kiat dan Pindo Deli serta Margin Dumping dari Tjiwi Kimia;
e. Pasal 6 ayat (10) dan 9 ayat (3) ADA dalam menentukan Margin Dumping bagi masing-masing eksportir dari Indonesia, dalam hal ini Indah Kiat, Pindo Deli, dan Tjiwi Kimia;
f. Pasal 2 ayat (2). 2 ayat (2.1), 2 ayat (2.2) dan 2 ayat (4) ADA dalam menentukan Nilai Normal untuk Indah Kiat dan Pindo Deli sehingga ada ketidakadilan dalam perbandingan Export Price (Harga Ekspor) dengan Indah Kiat dan Pindo Deli;
g. Pasal 5 ayat (8) ADA dengan tidak menghentikan proses penyelidikan terhadap Indah Kiat ketika Indah Kiat terbukti tidak melakukan dumping;
h. Pasal 6 ayat (4), ayat (9) dan Pasal 12 ayat (2) ADA dengan tidak mengungkapkan kepada eksportir mengenai cara penentuan Nilai
Normal terhadap eksportir tersebut dan penentuan Material Injury (Kerugian Material) 167 ;
i. Pasal 3 ayat (1) dan 3 ayat (4) ADA dengan tidak mempertimbangkan dengan layak mengenai faktor-faktor yang relevan dalam menyebabkan Kerugian Material;
j. Pasal 2 ayat (6), 3 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (7),
Pasal 6 ayat (2), ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) ADA dalam mendefinisikan PPC dan WF sebagai Like Product (Produk Sejenis) serta tidak memberikan informasi kepada eksportir mengenai penentuan Produk Sejenis tersebut;
k. Pasal 3 ayat (1) dan 3 ayat (5) ADA dengan gagalnya membuktikan
Causal Link (Hubungan Sebab Akibat) antara Kerugian Material yang diderita oleh industri domestik Korea Selatan dengan tindakan ekspor yang dilakukan oleh eksportir Indonesia; dan
l. Pasal 1 ADA dengan tidak memastikan bahwa tindakan anti
dumping hanya diterapkan terhadap situasi yang diatur dalam Pasal
VI GATT 168 dan berdasarkan pernyelidikan yang dimulai dan dilakukan sesuai dengan ketentuan ADA.
167 Berdasarkan ADA, kerugian harus diartikan sebagai kerugian (kecuali diatur ketentuan lain yang lebih rinci) material kepada industri domestik negara pengimpor, ancaman kerugian
kepada industri domestik negara pengimpor, atau menghambat pertumbuhan industri domestik negara pengimpor.
168 Pasal VI GATT di bawah judul Anti-dumping and Countervailing Duties pada intinya mengatur bahwa dalam pihak merasa bahwa ada tindakan dumping dari negara lain yang
menyebabkan kerugian, maka negara yang dirugikan tersbeut boleh melakukan tindakan ‘penghukuman’ (“contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country … is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or
Dapat disimpulkan bahwa pada intinya pihak Indonesia mempermasalahkan
2 (dua) hal utama sebagai berikut 169 :
A. Argumen Terkait Penentuan Dumping (determination of
dumping) 170 Terkait dengan argumen ini, Indonesia berpendapat bahwa KTC
bertindak tidak sesuai dengan ketentuan dalam ADA khususnya dalam hal penggunaan fakta yang diberikan oleh eksportir Indonesia sehingga hal ini
berpengaruh kepada perhitungan Nilai Normal 172 dan Harga Ekspor bagi Indah Kiat dan Pindo Deli serta serta Margin Dumping 173 bagi Tjiwi Kimia
yang dilakukan oleh KTC. Selain kesalahan dalam penggunaan fakta untuk menentukan Nilai Normal dan Margin Dumping, Indonesia juga berpendapat bahwa KTC juga melakukan kesalahan dalam hal menghitung
169 WTD312, hlm. 6-11.
170 Penentuan ada atau tidaknya suatu tindakan dumping dapat dilihat dengan menghitung Nilai Normal, Harga Ekspor, Constructed Export Price, perbandingan Nilai Normal dengan Harga
Ekspor, dan perhitungan mengenai Margin Dumping (ADA, Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4.2)).
171 Nilai Normal adalah harga Produk Sejenis dalam kegiatan perdagangan secara umum yang sebanding (comparable price) dengan harga di pasar domestik negara eksportir. Jika Nilai
Normal tidak dapat ditentukan melalui perbandingan dengan penjualan domestik, ADA juga mengatur 2 (dua) pilihan metode untuk menetapkan Nilai Normal, yaitu (1) perbandingan harga produk ekspor sejenis yang mewakili harga pasar domestik dengan harga di negara ketiga yang sepadan dengan harga dalam perdagangan secara umum dan (2) nilai normal yang diambil dari biaya produksi di negara asal (country of origin) dengan tambahan wajar untuk administrasi, penjualan dan biaya umum dan untuk keuntungan (ADA, Pasal 2 ayat (2)).
172 Harga Ekspor adalah harga Produk Sejenis yang dibayar atau dapat dibayarkan oleh pembeli independen pertama (first independent buyer) dalam perdagangan yang wajar.
(Directorate General of Anti Dumping and Allied Duties Ministry of Commerce India, “Anti Dumping –A Guide,” hlm.3, http:commerce.nic.intraderemediesAnti_Dum.pdf , diunduh tanggal 29 September 2014).
173 Margin Dumping mengacu pada perbedaan antara Nilai Normal dan Harga Ekspor produk yang sedang dalam penyelidikan. Margin Dumping biasanya ditetapkan atas dasar (1)
Perbandingan rata-rata Nilai Normal dengan rata-rata dengan rata-rata Harga Ekspor; atau (2) Perbandingan Nilai Normal dan Harga Ekspor normal untuk setiap transaksi. Selain 2 (dua) dasar penentuan di atas, penentuan Margin Dumping dapat dilakukan dengan perbandingan rata-rata Nilai Normal dengan harga setiap transaksi ekspor. Penentuan ini dilakukan dalam hal otoritas yang berwenang menangani masalah anti dumping, menemukan pola Harga Ekspor yang berbeda secara signifikan antara pembeli yang berbeda, wilayah yang berbeda, dan jangka waktu yang Perbandingan rata-rata Nilai Normal dengan rata-rata dengan rata-rata Harga Ekspor; atau (2) Perbandingan Nilai Normal dan Harga Ekspor normal untuk setiap transaksi. Selain 2 (dua) dasar penentuan di atas, penentuan Margin Dumping dapat dilakukan dengan perbandingan rata-rata Nilai Normal dengan harga setiap transaksi ekspor. Penentuan ini dilakukan dalam hal otoritas yang berwenang menangani masalah anti dumping, menemukan pola Harga Ekspor yang berbeda secara signifikan antara pembeli yang berbeda, wilayah yang berbeda, dan jangka waktu yang
terhadap Indah Kiat, Pindo Deli, dan Tjiwi Kimia. Penerapan margin dumping tunggal pada Penentuan Akhir penyelidikan KTC untuk ketiga eksportir tersebut dilakukan dengan menganggap ketiga eksportir tersebut
sebagai single economic entity 175 . Indonesia menilai keputusan KTC ini selain melanggar Pasal 6 ayat (10) ADA, juga merupakan keputusan yang
terlambat (belated decision) dan tidak konsisten karena pada Penentuan Awal, KTC telah menetapkan margin dumping untuk masing-masing eksportir. Indonesia juga keberatan dengan perlakuan KTC yang menerapkan margin dumping tunggal dengan alasan menghindari kemungkinan “circumvention” diantara ketiga eksportir tersebut, mengingat ketiga eksportir tersebut memiliki ketentuan, struktur biaya, dan strategi penjual yang berbeda dan juga ketentuan “circumvention” belum diatur
dalam ADA.
174 Harga Ekspor dan Nilai Normal Produk Sejenis harus dibandingkan pada tingkat perdagangan yang sama, untuk penjualan yang dilakukan dalam jangka waktu yang tidak terlalu
lama. Pemberian kelonggaran dalam jangka waktu dilakukan dalam hal adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi perbandingan harga penjualan domestik dan penjualan ekspor. Faktor-faktor tersebut antara lain ciri-ciri fisik, tingkat perdagangan, kuantitas, perpajakan, kondisi dan syarat penjualan. Perlu diperhatikan bahwa faktor-faktor tersebut hanya faktor indikatif. Faktor-faktor yang dapat dibuktikan pengaruhnya terhadap perbandingan harga harus ditentukan oleh otoritas.
175 Perlu diperhatikan bahwa dalam menentukan adanya dumping yang dilakukan oleh suatu negara ke negara lain adalah melalui analisa terhadap Nilai Normal, Harga Ekspor, serta
perbandingan antara Nilai Normal dan Harga Ekspor yang akan menghasilkan Margin Dumping. Terkait dengan Margin Dumping, EC dalam kasus Anti Dumping Duties on Imports of Cotton-type Bed Linen from India, menyatakan ada 2 (dua) jenis Margin Dumping yaitu Positive Margin Dumping dan Negative Margin Dumping. Positive Margin Dumping merupakan hasil perbandingan dimana Nilai Normal lebih tinggi daripada Harga Ekspor sedangkan Negative Margin Dumping adalah perbandingan dimana Nilai Normal lebih rendah daripada Harga Ekspor. Apabila pada perhitungan perbandingan Nilai Normal dan Harga Ekspor menghasilkan Positive Margin Dumping, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tindakan dumping terhadap kegiatan ekspor tersebut. (K.D.Raju, “The WTO Appellate Body Jurisprudence on Anti Dumping: A Critical Review” (Thesis Master of Philosophy in International Trade Law, Jawaharlal Nehru University),
B. Argumen Terkait Penentuan Kerugian Material dan Hubungan Sebab Akibat
Hal-hal yang mendasari gugatan di atas adalah tindakan KTC dalam menetapkan PPC dan WF sebagai Produk Sejenis 176 dan penentuan
Kerugian Material tidak sesuai dengan ketentuan ADA. Selain itu, menurut Indonesia, KTC tidak dapat membuktikan Hubungan Sebab Akibat antara Kerugian Material yang diderita dengan tindakan dumping yang dilakukan eksportir Indonesia serta dalam menentukan adanya Kerugian Material, KTC juga telah melakukan pelanggaran khususnya terhadap Pasal 6 ayat (1), ayat (4), dan ayat (9) ADA.
Dalam closing statement yang disampaikan Indonesia dalam sidang Panel pertama, pengenaan tindakan anti dumping seharusnya tidak digunakan secara oportunistik untuk memfasilitasi penerapan langkah- langkah yang bersifat proteksionis dan oleh karena itu, berdasarkan argumen-argumen
yang
disampaikan
sebelumnya,
Indonesia
memperlihatkan kepada Panel bahwa tindakan anti dumping Korea Selatan tidak sesuai dengan ketentuan ADA serta KTC selaku badan yang diberikan otoritas oleh pemerintah Korea Selatan, dalam penyelidikannya telah bertindak sewenang-wenang tanpa melihat bahwa dalam ADA sendiri telah diatur bagaimana penyelidikan tersebut seharusnya dilakukan. Melalui penjelasan-penjelasan tersebut, Indonesia percaya bahwa setelah melakukan evaluasi terhadap fakta dan terhadap ketentuan dalam ADA, Panel akan menyimpulkan bahwa Indonesia benar dalam menunjukkan bahwa KTC
176 Pengertian Produk Sejenis menurut Pasal 2 ayat (6) ADA “like product shall be interpreted to mean a product which is identical, i.e. alike in all respects to the product under
consideration, or in the absence of such a product, another product which, although not alike in all respects, has characteristics closely resembling those of the product under consideration.” Pada pelaksanaannya, banyak variasi yang mungkin mengenai penentuan Produk Sejenis namun prinsip dasarnya adalah bahwa perbandingan harus setepat mungkin. Akibatnya, variasi yang cukup berpengaruh pada harga atau biaya dari suatu produk biasanya akan diperlakukan sebagai model atau jenis yang berbeda. Untuk tujuan perhitungan, pemerintah biasanya akan membandingkan model yang sama atau sangat mirip atau jenis. (United Nation, “Training Module On The WTO Agreement On Anti-Dumping” (modul disampaikan dalam United Nations consideration, or in the absence of such a product, another product which, although not alike in all respects, has characteristics closely resembling those of the product under consideration.” Pada pelaksanaannya, banyak variasi yang mungkin mengenai penentuan Produk Sejenis namun prinsip dasarnya adalah bahwa perbandingan harus setepat mungkin. Akibatnya, variasi yang cukup berpengaruh pada harga atau biaya dari suatu produk biasanya akan diperlakukan sebagai model atau jenis yang berbeda. Untuk tujuan perhitungan, pemerintah biasanya akan membandingkan model yang sama atau sangat mirip atau jenis. (United Nation, “Training Module On The WTO Agreement On Anti-Dumping” (modul disampaikan dalam United Nations
3.3.2. Argumen Korea Selatan 178 Sebagai pihak yang dinilai telah melakukan tindakan anti dumping
yang tidak adil dan sewenang-wenang, Korea Selatan menyadari pentingnya perbedaan pendapat ini diselesaikan melalui penyelesaian sengketa WTO. Namun Korea Selatan tidak dapat menerima argumen yang diajukan oleh Indonesia. Korea Selatan berpendapat bahwa Indonesia tidak dapat melihat Kerugian Material yang ditimbulkan oleh eksportir Indonesia terhadap industri domestik Korea Selatan. Korea Selatan berpendapat bahwa argumen Indonesia mengenai penentuan Kerugian Material yang tidak tepat digunakan oleh Indonesia untuk menyerang Korea Selatan. Apabila Panel dapat menilai secara objektif, maka Panel akan melihat bahwa tindakan anti dumping yang dilakukan Korea Selatan telah sesuai dengan ketentuan dalam ADA.
Terhadap argumen-argumen Indonesia tersebut, Korea Selatan memberikan bantahan sebagai berikut:
A. Penggunaan fakta oleh KTC sebagai dasar dalam pengenaan tindakan anti dumping terhadap Indonesia sudah adil dan tidak
sewenang-wenang 179 Dalam argumennya, Indonesia berpendapat bahwa KTC tidak
memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk membela kepentingannya. Namun menurut Korea Selatan, argumen tersebut tidak tepat karena dalam pelaksanaannya, prosedur penyelidikan yang dilakukan KTC, selaku badan yang memiliki otoritas dari pemerintah Korea Selatan untuk melakukan penyelidikan anti dumping, sudah memberikan kesempatan bagi semua
177 WTDS312, hlm. 21.
178 WTDS312, hlm. 27-29.
pihak untuk memberikan informasi serta argumen. Contohnya pada saat penentuan awal (preliminary determination) KTC telah mengeluarkan penjelasan tertulis tentang keputusannya tentang dumping dan Kerugian Material yang juga menyertakan 2 (dua) laporan tambahan dari KTC Office of Investigation.
Korea Selatan berargumen justru pihak Indonesia yang sengaja tidak mau bekerja sama agar penyelidikan tidak dapat berjalan lancar seperti contohnya sikap Tjiwi Kimia yang tidak mau menanggapi kuesioner dari KTC. Secara umum Korea Selatan menyimpulkan bahwa eksportir tersebut telah diberi kesempatan lebih dari cukup untuk mempertahankan kepentingan mereka sehingga KTC tidak dapat dinyatakan bersalah karena justru sikap SMG yang menghambat investigasi dengan menahan informasi yang diperlukan.
B. Penentuan dumping yang dilakukan KTC sudah sesuai dengan
ketentuan ADA 180
1. Penentuan Nilai Normal dan Harga Ekspor
Indonesia berargumen bahwa KTC harus menetapkan Harga Ekspor dan Nilai Normal Tjiwi Kimia yang mencerminkan informasi yang disampaikan oleh eksportir lain sebagai tanggapan atas kuesioner KTC, meski Tjiwi Kimia tidak bekerja sama dengan KTC dalam melakukan penyelidikan. Bertentangan dengan argumen Indonesia,
Paragraph 7 Lampiran II ADA 181 secara khusus memberi kuasa kepada otoritas untuk memenuhi hasil yang kurang menguntungkan
(less favourable result) ketika pihak yang berkepentingan tidak
180 Ibid., hlm. 13-15.
181 Paragraph 7 Annex II ADA mengatur bahwa dalam hal “…In such cases, the authorities should, where practicable, check the information from other independent sources at their disposal,
such … and from the information obtained from other interested parties during the investigation. It is clear, however, that if an interested party does not cooperate and thus relevant information is being withheld from the authorities, this situation could lead to a result which is less favourable to such … and from the information obtained from other interested parties during the investigation. It is clear, however, that if an interested party does not cooperate and thus relevant information is being withheld from the authorities, this situation could lead to a result which is less favourable to
Mengenai penolakan informasi yang diberikan oleh CMI, Indonesia berargumen bahwa tindakan tersebut tidak tepat karena informasi yang diberikan CMI berpengaruh terhadap penentuan Nilai Normal dan Harga Ekspor. Korea Selatan berpendapat bahwa Indonesia tidak mempertimbangkan akibat dari penolakan tersebut terhadap hasil verifikasi yang dibuat oleh KTC. Meskipun pada akhirnya CMI mau menyerahkan laporan keuangannya kepada KTC, namun keterlambatan tersebut tidak bisa memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh penolakan sebelumnya. Apabila tetap digunakan justru akan menghambat proses penyelidikan karena KTC harus melakukan verifikasi ulang.
Mengenai penggunaan Constructed Value 182 sebagai dasar penentuan Nilai Normal, Indonesia berargumen bahwa tindakan
tersebut tidak tepat mengingat Pasal 2 ayat (2) ADA telah mengatur tata cara dalam menentukan Nilai Normal. Namun penggunaan
182 Constructed value digunakan dalam hal (1) tidak ada Harga Ekspor atau (2) Harga Ekspor tidak dapat ditetapkan karena adanya penggabungan atau pengaturan kompensasi antara
eksportir dan importir atau pihak ketiga untuk menentukan Nilai Normal. Harga Ekspor tersebut dapat ditentukan atas dasar harga di mana Produk Sejenis yang diimpor, dijual kembali kepada pembeli independen yang dapat digunakan Jika Produk Sejenis tidak dijual kembali kepada pemebli independen atau tidak dijual dalam kondisi seperti halnya produk tersebut diimpor, maka
Constructed Value sebagai penetuan Nilai Normal merupakan konsekuensi langsung dari penolakan SMG untuk memberikan data yang lengkap dan untuk memungkinkan verifikasi. Selain itu penggunaan Constructed Value telah sesuai dengan ADA, karena penggunaan Constructed Value memungkinkan KTC untuk mengurangi ketergantungan pada data-data sekunder.
2. Penentuan Margin Dumping
Mengenai penentuan dumping yang dilakukan KTC, KTC menanggapi perihal keberatan Indonesia terhadap sikap KTC yang memberlakukan Margin Dumping tunggal (single dumping margin) terhadap SMG. Indonesia berpendapat bahwa KTC seharusnya menetapkan Margin Dumping yang terpisah untuk SMG berdasarkan Pasal 6 ayat (10) ADA. Terhadap pendapat ini, Korea Selatan
berpendapat bahwa Pasal 6 ayat (10) ADA 183 tidak berbicara dalam konteks “perusahaan”. Dalam pasal 6 ayat (10) ADA disebutkan
bahwa “sebagai sebuah peraturan”, pemerintah dapat “menentukan Margin Dumping untuk setiap eksportir atau produsen dari product under consideration (Produk yang Disengketakan)”. Korea Selatan berpendapat bahwa tidak ada dalam ketentuan tersebut yang menghalangi otoritas penyelidikan (dalam hal ini adalah KTC) dalam hal penerapan definisi fungsional "eksportir". Dengan demikian memperlakukan perusahaan terpisah yang bertindak sebagai satu kesatuan juga termasuk "eksportir atau produsen" yang diatur dalam Pasal 6 ayat (10) ADA.
3. Penentuan Kerugian Material yang Dilakukan KTC Telah Sesuai dengan Ketentuan dalam ADA 184
183 Pasal 6 ayat (1) ADA “as a rule, the authorities shall determine an individual margin of dumping for each known exporter or producer…of the product under investigation.”
Korea Selatan meragukan argumen Indonesia mengenai isu yang berkaitan dengan penentuan Kerugian Material. Korea Selatan memandang bahwa keberatan utama Indonesia adalah bahwa Indonesia ingin agar KTC menetapkan standar yang berbeda untuk setiap faktor yang dipertimbangkan. Argumen tersebut tidak memberikan dasar untuk menyatakan bahwa penentuan Kerugian Material oleh KTC ini tidak sesuai dengan ketentuan ADA. Berkenaan dengan penentuan Kerugian Material, Indonesia berargumen bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang membuat penentuan Kerugian Material oleh KTC menjadi tidak konsisten, yaitu:
a. 185 Definisi Produk Sejenis KTC mendefinisikan semua kertas jenis WF sebagai Produk
yang Disengketakan. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (6) ADA, KTC mengidentifikasi Produk Sejenis sebagai produk hasil industri domestik Korea Selatan yang paling serupa dengan Produk yang Disengketakan. Indonesia berpendapat bahwa KTC seharusnya melihat apakah Produk yang Disengketakan terdiri dari lebih dari 1 (satu) macam Produk Sejenis. Namun menurut Korea Selatan, argumen itu, tidak sesuai dengan definiri Produk Sejenis dalam Pasal 2 ayat (6) ADA, yang mengatur bahwa definisi Produk Sejenis flows directly dari definisi Produk yang Disengketakan. Indonesia juga tidak mempermasalahkan tentang definisi KTC terhadap definisi Produk yang Disengketakan sehingga, Indonesia tidak memiliki dasar untuk keberatan terhadap hal ini. Selanjutnya, meskipun pada akhirnya Indonesia mempermasalahkan definisi tersebut, Korea Selatan tetap pada pernyataannya. Indonesia sendiri tidak menyampaikan bukti untuk mendukung argumennya kepada KTC untuk mendukung klaim Indonesia. Para produsen Indonesia hanya menyimpulkan secara luas bahwa terdapat yang Disengketakan. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (6) ADA, KTC mengidentifikasi Produk Sejenis sebagai produk hasil industri domestik Korea Selatan yang paling serupa dengan Produk yang Disengketakan. Indonesia berpendapat bahwa KTC seharusnya melihat apakah Produk yang Disengketakan terdiri dari lebih dari 1 (satu) macam Produk Sejenis. Namun menurut Korea Selatan, argumen itu, tidak sesuai dengan definiri Produk Sejenis dalam Pasal 2 ayat (6) ADA, yang mengatur bahwa definisi Produk Sejenis flows directly dari definisi Produk yang Disengketakan. Indonesia juga tidak mempermasalahkan tentang definisi KTC terhadap definisi Produk yang Disengketakan sehingga, Indonesia tidak memiliki dasar untuk keberatan terhadap hal ini. Selanjutnya, meskipun pada akhirnya Indonesia mempermasalahkan definisi tersebut, Korea Selatan tetap pada pernyataannya. Indonesia sendiri tidak menyampaikan bukti untuk mendukung argumennya kepada KTC untuk mendukung klaim Indonesia. Para produsen Indonesia hanya menyimpulkan secara luas bahwa terdapat
b. 186 Analisis terhadap Volume Impor dan Price Effects Menurut Korea Selatan, data statistik yang menunjukan
penurunan volume impor sampai pertengahan tahun 2003 karena apabila dilihat volume impor secara keseluruhan pada tahun 2003 justru lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya (pada tahun 2002, volume impor sebesar 176.522 ton sementara tahun 2003 sebesar 177.548 ton). Selain dari volume, impor pada tahun 2003 memiliki pangsa pasar yang lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tentu sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) ADA yang secara eksplisit memungkinkan otoritas penyelidik untuk menentukan Kerugian Material berdasarkan peningkatan volume impor relatif terhadap konsumsi, bahkan jika impor telah mengalami penurunan secara absolut. Terhadap analisis price effects, Indonesia berpendapat bahwa terjadinya penurunan harga merupakan hal yang ganjil dalam kasus ini karena data menunjukan bahwa dalam beberapan tahun, harga rata-rata penjualan impor dumping justru lebih tinggi daripada harga penjualan dalam negeri. Namun Korea Selatan berpendapat meskipun tidak terjadi penurunan harga, tidak berarti bahwa Indonesia tidak melakukan penekanan harga sampai pada tingkat tertentu atau mencegah terjadinya peningkatan harga. KTC menemukan bahwa telah terjadi penurunan volume impor sampai pertengahan tahun 2003 karena apabila dilihat volume impor secara keseluruhan pada tahun 2003 justru lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya (pada tahun 2002, volume impor sebesar 176.522 ton sementara tahun 2003 sebesar 177.548 ton). Selain dari volume, impor pada tahun 2003 memiliki pangsa pasar yang lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tentu sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) ADA yang secara eksplisit memungkinkan otoritas penyelidik untuk menentukan Kerugian Material berdasarkan peningkatan volume impor relatif terhadap konsumsi, bahkan jika impor telah mengalami penurunan secara absolut. Terhadap analisis price effects, Indonesia berpendapat bahwa terjadinya penurunan harga merupakan hal yang ganjil dalam kasus ini karena data menunjukan bahwa dalam beberapan tahun, harga rata-rata penjualan impor dumping justru lebih tinggi daripada harga penjualan dalam negeri. Namun Korea Selatan berpendapat meskipun tidak terjadi penurunan harga, tidak berarti bahwa Indonesia tidak melakukan penekanan harga sampai pada tingkat tertentu atau mencegah terjadinya peningkatan harga. KTC menemukan bahwa telah terjadi
c. Pertimbangan terhadap Faktor-Faktor yang Relevan terhadap penentuan Kerugian Material 187
Indonesia
berargumen
bahwa
KTC seharusnya
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap Kerugian Material tersebut, namun Indonesia belum mengidentifikasikan faktor apa yang termasuk “faktor lain” dan apa yang termasuk “faktor utama”. Pada pelaksanaannya KTC telah memeriksa semua faktor utama yang berpengaruh terhadap Kerugian Material. Argumen Indonesia yang menyatakan bahwa pemeriksaan KTC terhadap faktor utama akan memberikan hasil yang berbeda juga tidak dapat dibenarkan karena pada kenyataannya memang terjadi Kerugian Material pada industri domestik Korea Selatan.
d. 188 Hubungan Sebab Akibat antar Impor dan Kerugian Material Indonesia berargumen bahwa faktor-faktor yang telah diperiksa
KTC bukan penyebab Kerugian Material terhadap industri domestik Korea Selatan. Terhadap argumen tersebut, Korea Selatan berpendapat bahwa Indonesia berusaha mencari kesalahan dari pemeriksaan yang dilakukan oleh KTC namun sayangnya tidak meyakinkan. Sebaliknya, fakta menunjukan bahwa impor dumping dari Indonesia mengalami peningkatan pangsa pasar setiap tahun sementara terhadap harga produk
187 WTDS312, hlm 40.
impor dumping, terjadi penurunan setiap tahunnya. Akibatnya industri domestik Korea Selatan tidak mampu meningkatkan harga pada tingkat yang menguntungkan. Oleh karena itu, faktor-faktor yang diperiksa KTC merupakan penyebab terjadinya Kerugian Material.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, Korea Selatan berkesimpulan bahwa gugatan Indonesia didasarkan pada keyakinannya bahwa eksportir SMG adalah ‘korban’ tindakan pemerintah Korea Selatan yang sewenang- wenang. Namun fakta menunjukan bahwa justru tindakan SMG yang membuat SMG berada dalam posisi seperti ini. Secara keseluruhan, perlakuan KTC terhadap SMG cukup ringan dan sepenuhnya konsisten dengan batas yang ditentukan oleh ADA. Oleh karena itu, Panel harus menolak semua gugatan Indonesia.