Ketentuan Retaliasi dalam DSU
2.3. Ketentuan Retaliasi dalam DSU
2.3.1. Retaliasi DSU sebagai Penyempurnaan Ketentuan Retaliasi GATT
GATT merupakan upaya nyata pertama untuk menciptakan sebuah sistem regulasi yang terpadu dalam bidang perdagangan internasional. Meskipun pada sejarah awal pembentukannya, GATT dirancang untuk secara sementara mengatur perdagangan internasional, namun pada perkembangannya, GATT dapat menjalankan tugasnya dengan sangat baik dan bahkan menjadi entitas utama yang mengatur perdagangan internasional sejak tahun 1948 sampai 1994. GATT pada awal mulanya hanya berupa kesepakatan dan bukan organisasi fungsional sehingga penafsiran dan penerapan ketentuan GATT tidak selalu disepakati secara seragam oleh negara-negara anggota. Hal ini pada akhirnya berdampak pada timbulnya perselisihan antar negara anggota. Atas dasar hal tersebut, GATT pada akhirnya menyediakan prosedur untuk penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya bentuk asli dari retaliasi.
Namun dalam perkembangan, justru semakin banyak pelanggaran yang dilakukan oleh negara-negara anggota dan penyelesaian sengketa
GATT pun semakin lama semakin tidak efektif 81 . Mengingat pentingnya peran perdagangan internasional bagi perekonomian masing-masing negara
anggota, maka negara-negara anggota terus melakukan perbaikan khususnya mekanisme penyelesaian sengketa yang pada akhirnya melalui Uruguay Round, terbentuklah WTO Agreement yang merupakan penyempurnaan dari sistem penyelesaian sengketa yang sebelumnya diatur dalam GATT.
Terkait dengan retaliasi, penyempurnaan ketentuan GATT melalui WTO berdampak juga pada ketentuan realiasi. Terdapat 2 (dua) alasan
81 Meredith A. Crowley, “An introduction to the WTO and GATT”, http:www.chicagofed. orgdigital_assetspublicationseconomic_perspectives20034qeppart4.pdf , diunduh tanggal 20 81 Meredith A. Crowley, “An introduction to the WTO and GATT”, http:www.chicagofed. orgdigital_assetspublicationseconomic_perspectives20034qeppart4.pdf , diunduh tanggal 20
a. Tindakan retaliasi dalam GATT tidak dapat melindungi negara penggugat dalam hal negara penggugat adalah negara berkembang dan terbelakang serta; dan
b. Tindakan retaliasi tidak dapat dilaksanakan secara langsung (self- executing) dalam arti sebuah ‘legal victory’ tidak secara otomatis diperoleh berdasarkan putusan Council. Ada hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung ‘legal victory’ tersebut seperti misalnya kekuatan ekonomi dan politik. Terkait dengan hal tersebut, sangat jelas bahwa retaliasi dapat berjalan apabila dilaksanakan oleh negara maju.
Untuk itu, melalui penyempurnaan ketentuan perdagangan internasional dalam WTO, diharapkan ketentuan mengenai retaliasi pun juga mengalami penyempurnaan sehingga dapat mengakomodasi kepentingan seluruh negara anggota, baik negara maju, negara berkembang, bahkan negara terbelakang.
2.3.2. Retaliasi dalam DSU
2.3.2.1. Ketentuan Penyelesaian Sengketa dalam DSU
Mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO dibagi menjadi 2 (dua) tahap yaitu 83 :
82 R.E.Hudec, et al., A Statistical Profile of GATT Dispute Settlement Cases: 1948-89, (London: Routledge, 1993), hlm.183.
83 Integrated Database of Trade Disputes for Latin America and the Caribbean, “Dispute Settlement in The World Trade Organization,” http:idatd.eclac.clcontroversiassolucionesiTe
A. Tahap Pra-Litigasi:
1. Konsultasi Sama halnya dengan sistem penyelesaian sengketa dalam GATT,
tahap pertama yang harus dilakukan dalam sistem penyelesaian sengketa WTO adalah konsultasi antara para pihak yang bersengketa. Dalam tahap ini, para pihak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan tentang masalah terkait serta diharapkan dapat menemukan solusi yang memuaskan bagi para pihak tanpa menggunakan jalur litigasi. Jika permintaan
konsultasi dilakukan berdasarkan Covered Agreement 84 , maka pihak yang diminta berkonsultasi dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
hari dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan tersebut, para pihak harus melakukan
konsultasi 85 . Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari belum mengadakan konsultasi, maka pihak yang mengajukan
permohonan konsultasi dapat meminta untuk membentuk Panel 86 .
84 Yang dimaksud dengan covered agreements adalah agreement yang termasuk dalam Appendix 1 Agreements Covered By The Understanding, yaitu:
a. Agreement Establishing the World Trade Organization b. Multilateral Trade Agreements
Annex 1A: Multilateral Agreements on Trade in Goods Annex 1B: General Agreement on Trade in Services Annex 1C: Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights
Annex 2: Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes c. Plurilateral Trade Agreements
Annex 4: Agreement on Trade in Civil Aircraft Agreement on Government Procurement International Dairy Agreement International Bovine Meat Agreement
85 DSU, Pasal 4 ayat (3).
2. Jasa-Jasa Baik (Good Offices), Konsiliasi, dan Mediasi 87 Para pihak secara sukarela dapat menyetujui untuk mengikuti cara
lain untuk menyelesaikan sengketa yang berupa jasa-jasa baik (good offices), konsiliasi, dan mediasi 88 . Permintaan untuk
pelaksanaan dan penghentian pelaksanaan jasa-jasa baik, konsiliasi, dan mediasi dapat dilakukan setiap saat 89 dan apabila
dihentikan, maka pihak penggugat dapat meminta untuk pembentukan Panel 90 . Selain itu, pembentukan Panel dapat
dilakukan apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari, para pihak menganggap bahwa jasa-jasa baik, konsiliasi, dan mediasi gagal
menyelesaikan sengketa 91 .
B. Tahap Litigasi
1. Panel Jika sengketa tidak dapat diselesaikan melalui tahap non litigasi,
maka DSU mensyaratkan pembentukan Panel DSB 92 paling lambat saat pertemuan DSB kecuali jika DSB berdasarkan konsensus tidak
menyetujui pembentukan Panel DSB tersebut 93 . Dalam hal pihak
87 Seiring dengan perkembangan penyelesaian sengketa perdagangan internasional, jasa-jasa baik, konsiliasi dan mediasi, konsultasi dianggap sebagai instrumen non-yudisial atau diplomatik
utama dalam sistem penyelesaian sengketa WTO (“Dispute Settlement in The World Trade Organization,”
http:idatd.eclac.clcontroversiassolucionesiTemplate-OMC-explicacion.pdf ,
diunduh tanggal 19 September 2014).
88 DSU Pasal 5 ayat (1).
89 DSU, Pasal 5 ayat (3).
90 Ibid.
91 DSU, Pasal 5 ayat (4).
92 Panel DSB terdiri dari 3 (tiga) orang yang dapat berasal dari unsur pemerintah maupun non pemerintah serta harus memiliki kemampuan di bidang perdagangan internasional dan politik
internasional. Pemilihan anggota Panel dapat dilakukan dengan membuat daftar calon Panelis yang memenuhi kriteria namun apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai calon Panelis tersebut, maka General Director WTO (setelah berkonsultasi dengan Ketua DSB dan Ketua Komite terkait atau Ketua Council) dapat menunjuk para Panelis untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
penggugat mengajukan permohonan pembentukan Panel, penggugat harus menyampaikan justifikasi secara rinci. Pelaksanaan Panel dalam ketentuan WTO tetap mengacu pada
Pasal XI dan XXIII GATT 94 di samping tata laksana lainnya yaitu 95 :
a. Panel DSB harus menyelesaikan tugas dan membuat laporan Panel DSB dalam waktu 6 (enam) bulan dan untuk keadaan
mendesak, dalam waktu 3 (tiga) bulan 96 .
b. Laporan Panel DSB akan dipertimbangkan oleh DSB untuk disahkan dalam waktu 20 (dua puluh) hari setelah laporan
tersebut disampaikan kepada negara-negara anggota 97 .
c. Dalam waktu 60 (enam puluh) hari setelah dikeluarkannya laporan Panel DSB, laporan tersebut harus disahkan kecuali DSB memutuskan secara konsensus, untuk tidak mengesahkan laporan tersebut atau salah satu pihak
menyatakan untuk mengadakan banding (appeal) 98 .
2. Banding (Appeal) Prosedur banding dilaksanakan oleh Appelate Body (AB). Berbeda
dengan Panel, AB adalah standing body of jurists yang dibentuk untuk memastikan konsistensi penerapan hukum dari laporan atau
putusan Panel DSB 99 . Laporan hasil banding yang dibuat oleh AB harus didasarkan pada keterangan dan pendapat dari para pihak dan
94 Prosedur pelaksanaan Panel diatur dalam Appendix 3 DSU Agreement mengenai Working Procedur.
95 Kartadjoemena, Op.cit., hlm.325.
96 DSU, Pasal 12 ayat (9).
97 DSU, Pasal 16 ayat (1).
98 DSU., Pasal 16 ayat (4).
99 Kewenangan AB yang demikian dikarenakan permohonan banding sendiri hanya terbatas pada masalah hukum yang terdapat pada laporan Panel dan interpretasi hukum yang dibuat oleh 99 Kewenangan AB yang demikian dikarenakan permohonan banding sendiri hanya terbatas pada masalah hukum yang terdapat pada laporan Panel dan interpretasi hukum yang dibuat oleh
membatalkan laporan Panel DSB baik sebagian maupun seluruhnya serta laporan AB bersifat final 101 . Banding harus
dilaksanakan dalam jangka waktu yang tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari 102 sejak tanggal diberitahukan permohonan banding
secara resmi oleh pihak. Laporan hasil banding harus disahkan oleh DSB dan secara tidak bersyarat (unconditionally) juga harus
disetujui oleh para pihak kecuali DSB memutuskan sebaliknya 103 . Apabila laporan hasil banding disahkan, maka dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari, para phak harus memberitahu kepada sidang DSB mengenai komitmen untuk melaksanakan hasil laporan tersebut dan apabila pihak kesulitan untuk melaksanakannya, maka pihak tersebut diberikan perpanjangan waktu yang pantas untuk
mulai melaksanakannya 104 .
2.3.2.2. Ketentuan Prosedur Retaliasi dalam DSU
Dilihat dari fungsi retaliasi dalam sistem penyelesaian sengketa perdagangan internasional, maka pembahasan mengenai retaliasi tidak terlepas dari bagaimana penerapan sebuah putusan atau rekomendasi dari DSB. Pada tahap implementasi, apabila diperlukan dapat melibatkan arbiter yang berfungsi untuk menentukan jangka waktu yang wajar di mana pihak yang kalah harus melaksanakan putusan
100 Marc L. Busch and Eric Reinhardt, The WTO Dispute Settlement Mechanism and Developing Countries, (Georgetown: Department for Infrastructure and Economic Cooperation,
2004), hlm. 2.
101 Ibid. dan DSU Pasal 17 ayat (13).
102 DSU, Pasal 17 ayat (5).
103 DSU, Pasal 17 ayat (14).
atau rekomendasi DSB 105 . Dalam waktu 6 (enam) bulan setelah periode waktu yang wajar ditetapkan, proses pemantauan dimulai.
Pada tahap ini, pihak yang kalah harus menyerahkan laporan status berkala kepada DSB 106 . Pemantauan berakhir ketika DSB setuju
bahwa keputusan telah dilaksanakan namun dalam praktiknya, pemantauan berakhir ketika para pihak yang bersengketa setuju bahwa
putusan atau rekomendasi tersebut telah dipenuhi 107 . Apabila dalam jangka waktu yang wajar, Defendant Party tidak melaksanakan
putusan atau rekomendasi DSB, maka Complainant Party dapat meminta kompensasi dan apabila tidak ada kesepakatan mengenai kompensasi, maka Complainant Party dapat meminta otorisasi pelaksanaan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya. Penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya ini yang disebut dengan retaliasi.
Mekanisme retaliasi dalam WTO diatur dalam Pasal 22 DSU di bawah judul Compensation and Suspension of Concession dan secara spesifik mengenai pengertian retaliasi dapat ditemukan dalam Pasal 22 ayat (1) DSU yang berbunyi:
“Compensation and the suspension of concessions or other obligations are temporary measures available in the event that the recommendations and rulings are not implemented within a
reasonable period of time…”
Pasal 22 ayat (1) DSU menetapkan bahwa kompensasi dan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya (retaliasi) 108 dianggap
105 DSU, Pasal 21.
106 DSU, Pasal 21 ayat (6).
107 Amin Alavi, Legalization of Development in The WTO; Between Law and Politics, (The Netherlands: Kluwer Law International, 2009), hlm. 123.
108 Penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya biasanya terjadi dalam praktik perdagangan internasional adalah dalam bentuk pengenaan tarif atau hambatan perdagangan lainnya, atas dasar 108 Penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya biasanya terjadi dalam praktik perdagangan internasional adalah dalam bentuk pengenaan tarif atau hambatan perdagangan lainnya, atas dasar
Sebelum dilakukannya tindakan retaliasi, terlebih dulu para pihak harus menegosiasikan mengenai kemungkinan pengenaan
kompensasi 109 selambat-lambatnya sebelum berakhirnya jangka waktu yang wajar 110 pelaksanaan putusan atau rekomendasi DSB. Dari sudut
pandang ekonomi, pelaksanaan kompensasi lebih tepat digunakan daripada penangguhan konsesi. Namun, kompensasi juga memiliki kelemahan bagi Complainant Party terutama dari sudut pandang
industri Complainant Party 111 yang terkait dengan sengketa, kelemahan tersebut adalah kompensasi berupa pengurangan hambatan
tidak secara efektif menghilangkan ketidakpatuhan Defendant Party. Jika tidak ada kesepakatan mengenai kompensasi dalam waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal berakhirnya jangka waktu yang wajar, pihak penggugat dapat meminta otorisasi dari DSB untuk melakukan
retaliasi yang termasuk dalam Covered Agreements 112 .
bersangkutan merupakan tindakan yang diskriminasi terhadap anggota yang tidak patuh saja, dan tidak terhadap anggota lain yang berhak atas manfaat lanjutan dari perjanjian WTO.
109 DSU, Pasal 22 ayat (2).
110 Mengenai “reasonable period of time” dalam Pasal 22 ayat (1) DSU, terdapat 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan acuan untuk menetapkan jangka waktu yang wajar, yaitu:
a. periode yang diusulkan oleh anggota yang bersangkutan, asalkan disetujui oleh DSB;
b. Dalam hal tidak adanya persetujuan DSB, maka jangka waktu yang wajar ditetapkan berdasarkan waktu disepakati bersama oleh para pihak yang bersengketa dalam waktu 45 hari dari penerapan laporan;
c. Dalam hal tidak ada perjanjian tersebut, periode ditentukan melalui arbitrase dalam waktu
90 hari sejak mengadopsi laporan (David Palmeter dan Petros C.Mavroidids, Dispute Settlement in the World Trade Organization, Practice and Procedure, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 236).
111 Rumusan Pasal 22 ayat (2) DSU menggunakan istilah “any party having invoked the dispute settlement procedures” namun dalam tulisan ini yang dimaksud adalah pihak tergugat
yang dinyatakan kalah oleh putusn DSB.
Pasal 22 ayat (2) DSU tidak secara jelas mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi agar dapat meminta otorisasi dalam hal akan melakukan retaliasi. Mengenai syarat minimal pengajuan otorisasi retaliasi dapat dilihat dalam putusan arbiter dalam kasus
Hormones antara Amerika Serikat dan EC 113 yaitu:
1. Permintaan otorisasi retaliasi harus menetapkan tingkat tertentu dari pelaksanaan retaliasi 114 .
2. Permintaan otorisasi retaliasi harus menentukan di sektor mana retaliasi akan dilaksanakan 115 .
Apabila Complainant Party telah mengajukan permohonan otorisasi untuk melaksanakan retaliasi, maka dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah habisnya jangka waktu yang wajar untuk penerapan putusan atau rekomendasi DSB dan tidak adanya kesepakatan mengenai kompensasi, DSB harus memberikan otorisasi pelaksanaan retaliasi apabila retaliasi dilaksanakan masih dalam lingkup Covered Agreements dan tidak ada penolakan secara
konsensus 116 . Dalam pelaksanaan retaliasi, tidak jarang timbul sengketa mengenai seberapa jauh retaliasi boleh dilaksanakan (level of
suspension), prinsip, serta prosedur retaliasi. Dalam hal terjadinya sengketa, maka dapat diselesaikan melakui arbitrase 117 . Keputusan
hasil arbitrase ini bersifat final dan oleh karena itu, keputusan tersebut
113 Decision by the Arbitrators, European Communities-Measures Concerning Meat and Meat Products, Original complaint by the United States, recourse to arbitration by the EU under
article 22.6 DSU (WTDS26ARB).
114 Contoh tingkat spesifik dari pelasanaan retaliasi adalah retaliasi yang dilakukan setara dengan setara dengan hilangnya keuntungan yang disebabkan karena inkonsistensi terhadap
ketentuan WTO (Pasal 22 ayat (4) DSU).
115 Sektor spesifik yang dimaksud dapat dilihat dalam Pasal 22 ayat (3) DSU, yaitu pelaksanaan retaliasi dilakuka terhadap sektor yang sama maupun cross retaliation (baik cross
sector realiation maupun cross agreement retaliation).
116 DSU, Pasal 22 ayat (6).
harus segera diberitahukan kepada DSB untuk diadopsi 118 . Setelah keputusan tersebut diadopsi dan tidak ada konsensus yang menolak
pemberian otorisasi tersebut, DSB harus memberikan otorisasi kepada Complainant Party untuk melaksanakan retaliasi sesuai dengan keputusan arbitarse.
Mengingat tindakan retaliasi adalah tindak yang bersifat sementara (temporarily action) serta digunakan dalam hal terjadi ketidakpatuhan terhadap putusan atau rekomendasi DSB, maka retaliasi dapat dihentikan dalam keadaan tertentu. Keadaan yang paling memungkinkan untuk menghentikan retaliasi adalah saat adanya kepatuhan dari Defendant Party Sesuai dengan fungsi DSB, dalam hal sudah terjadi kepatuhan oleh pihak yang kalah, maka DSB tetap harus melakukan pengawasan terhadap penerapan dari putusan atau rekomendasi DSB tersebut.
2.3.3. Tujuan Retaliasi DSU
Pasal 22 ayat (2) DSU mengatur bahwa retaliasi:
“If the Member concerned fails to bring the measure found to be inconsistent with a covered agreement into compliance therewith or otherwise comply with the recommendations and rulings within the reasonable period of ... any party having invoked the dispute settlement procedures may request authorization from the DSB to suspend the application to the Member concerned of concessions or other obligations under the covered agreements.”
Sedangkan dalam Pasal 22 ayat (4), (7), dan (8) DSU mengatur bahwa retaliasi:
“The level of the suspension of concessions or other obligations authorized by the DSB shall be equivalent to the level of the nullification or impairment ... shall determine whether the level of such suspension is equivalent to the level of nullification or impairment ... and shall be temporary and shall only be applied until “The level of the suspension of concessions or other obligations authorized by the DSB shall be equivalent to the level of the nullification or impairment ... shall determine whether the level of such suspension is equivalent to the level of nullification or impairment ... and shall be temporary and shall only be applied until
Dari 2 (dua) ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa tujuan retaliasi dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu dari sudut pandang negara pelaksana retaliasi (Retaliating Country) dan negara yang dikenakan retaliasi (Non Compliance Country). Dua tujuan tersebut yaitu:
a. Sudut Pandang Non Compliance Country dengan Meningkatkan Kepatuhan (inducing complance)
Dua tujuan besar yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan retaliasi perdagangan, dalam hal ini didefinisikan sebagai kompensasi dibandingkan dengan sanksi. Sanksi ini dapat bertujuan untuk mendorong kepatuhan atau penyeragaman aturan atau setidaknya melalui penyelesaian bilateral yang disepakati. Retaliasi dalam bentuk pengenaan sanksi selain bertujuan untuk mendorong kepatuhan, dapat juga digunakan untuk pencegahan dalam hal kemungkinan pelanggaran di masa yang akan datang. Pasal 22 ayat (2) dan (8) dari DSU menyatakan sifat sementara dari retaliasi. Sifat sementara dari retaliasi menunjukan bahwa pada dasarnya retaliasi digunakan untuk memaksa agar negara anggota melaksanakan putusan Panel DSB dan menyesuaikan kebijakan perdagangan internasional sesuai dengan ketenuan WTO. Kasus Banana III yang melibatkan Amerika Serikat dan EC - Pisang menyatakan bahwa sifat sementara menunjukkan bahwa tujuan
retaliasi adalah untuk mendorong kepatuhan 119 . Amerika Serikat
119 “Accordingly, the authorization to suspend concessions or other obligations is a temporary measure pending full implementation by the Member concerned. We agree with the
United States that this temporary nature indicates that it is the purpose of countermeasures to induce compliance. But this purpose does not mean that the DSB should grant authorization to suspend concessions beyond what is equivalent to the level of nullification or impairment. In our
Singkatnya, sifat sementara retaliasi menunjukkan bahwa DSU memiliki preferensi yang kuat untuk peningkatan kepatuhan dan retaliasi adalah ukuran alternatif dapat diterapkan sampai kepatuhan terjadi.
b. Sudut Pandang Retaliating Country dengan Mengembalikan Kerugian yang Hilang Akibat Tindakan Non Compliance Country (rebalancing)
Penerapan retaliasi berupa pemberian sanksi sejalan dengan tujuan mendorong kepatuhan, namun dalam praktik tidak semua negara dapat menjalankan retaliasi berupa pemberian hukuman. Selain itu, arbiter dalam Kasus Byrd Amendment yang melibatkan Amerika Serikat sebagai tergugat, berpendapat bahwa peningkatan kepatuhan dianggap inkonsistensi persyaratan kesetaraan tingkat retaliasi dengan kerugian yang diderita oleh retaliating country. Arbiter dalam putusannya
menyatakan bahwa 120 :
“By relying on ”inducing compliance‟ as the benchmark for selection of the most appropriate approach we also run the risk of losing sight of the requirement of Article 22.4 that the level of suspension be equivalent to the level of nullification or impairment.”
Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) dan (7) menunjukkan bahwa retaliasi memiliki lebih menunjukan sifatnya yang memberikan kompensasi, dan bukan memberikan hukuman. Dengan adanya sifat kompensatoris tersebut, DSU mengakui tujuan lain dari retaliasi adalah untuk mengembalikan keseimbangan konsesi yang timbul dari ketidakpatuhan, atau singkatnya adalah tujuan penyeimbangan.
Arbitrators: European Communities - Regime For The Importation, Sale And Distribution of Bananas - Recourse to Arbitration by The European Communities Under Article 22.6 of The DSU (WTDS27ARB), paragraph 6.3).
120 Decision By The Arbitrator: United States – Continued Dumping And Subsidy Offset Act Of 2000 (Original Complaint By Brazil) Recourse to Arbitration by the United States under Article
Dua tujuan retaliasi tersebut dapat disimpulkan dalam tabel sebagai berikut 121 :
Compensation (Focus on Victim)
Sanction (Focus on Violator)
Rebalance damages
Inducing compliance
Selain 2 (dua) tujuan utama retalisi yang dijelaskan di atas, tujuan retaliasi juga dapat berupa pencapaian pemecahan masalah yang saling menguntungkan. Tercapainya pemecahan masalah yang saling menguntungkan memiliki lingkup yang lebih luas daripada kepatuhan. Mendorong kepatuhan yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) DSU memiliki mencapai ukuran yang konsisten dan selaras, sedangkan solusi yang disetujui bersama bisa datang dalam bentuk ganti rugi kompensasi. Namun kompensasi ini berbeda dengan kompensasi yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) DSU. Pemecahan masalah yang saling menguntungkan adalah solusi akhir, sedangkan kompensasi yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) DSU bersifat sementara. Dengan kata lain, kompensasi berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dan (2) DSU tidak menggantikan implementasi penuh untuk mencapai ukuran yang konsisten dan selaras.
Nota antara Amerika Serikat dan EC pada kasus Hormones Beef, yang terdiri dari 3 (tiga) tahap, menawarkan solusi definitif yang bisa disepakati
pada tahap ketiga 122 . Nota ini memberikan solusi permanen di antara Amerika Serikat dan E 123 . Pemecahan masalah yang saling menguntungkan
121 Bown dan Pauwelyn, Op.cit., hlm 38.
122 “Memorandum of Understanding Between The United States of America and The European Commission Regarding The Importation of Beef from Animals not Ttreated with Certain
Growth-Hormones and Increased Duties Applied by The United States to Certain Products of The European Communites,” https:www.ustr.govsitesdefaultfilesasset_upload_file254_ 15654.pdf , diunduh tanggal 12 November 2014.
123 Kesepakatan Amerika Serikat dan EC dalam penyelesaian sengketa ini adalah penetapan kuota impor daging sapi berkualitas tinggi sebesar 45.000 ton dan Amerika Serikat akan mencabut 123 Kesepakatan Amerika Serikat dan EC dalam penyelesaian sengketa ini adalah penetapan kuota impor daging sapi berkualitas tinggi sebesar 45.000 ton dan Amerika Serikat akan mencabut
Tujuan retaliasi tersebut dapat diketahui dengan berbagai cara, antara lain 124 :
a. Tujuan retaliasi dapat diketahui melalui cara “Reverse Enginering” 125 dan berdasarkan tingkat analisis retaliasi yang
diperbolehkan berdasarkan tujuan tersirat retaliasi dan sistem penyelesaian sengketa pada umumnya.
b. Tujuan retaliasi dapat diketahui dengan mengamati latar belakang sejarah dan perubahan prosedur retaliasi sejak diatur dalam GATT hingga diatur dalam DSU.
c. Tujuan retaliasi dapat diketahui dari pertimbangan arbiter ketika arbiter setuju untuk memberikan otorisasi kepada negara anggota yang dirugikan untuk melaksanakan retaliasi.
d. Tujuan retaliasi dapat diketahui dari apa yang retaliating country inginkan dari pelaksanaan retaliasi atau dari bagaimana mereka merancang bentuk retaliasi sehingga dapat disimpulkan apa yang ingin dicapai oleh retaliating country melalui retaliasi tersebut.
124 Bown dan Pauwelyn, Op.cit., hlm 42.
125 Reverse engineering sebenarnya istlah yang digunakan dalam bidang teknik. Istilah ini merupakan sebuah pendekatan cara berpkit di mana seorang untuk menemukan atau
mengembangkan pemahaman tentang hubungan fungsional komponen atau untuk mendapatkan informasi tentang jenis bahan yang digunakan untuk membuat komponen dalam hal ketiadaan pengetahuan awal mengenai hubungan tersebut. Tujuannya adalah untuk mengembangkan gambaran tingkat tinggi dari suatu sistem tanpa pengetahuan awal. (David Page, Andreas Koschan, dan Mongi Abid, “Methodologies and Techniques for Reverse Engineering–The Potential for
Penentuan tujuan yang menjadi dasar dilakukannya retaliasi, menjadi penting mengingat sifat retaliasi yang diskriminatif. Pentingnya menentukan tujuan retaliasi adalah:
a. Ketika arbiter diminta untuk memutuskan untuk menyetujui tingkat retaliasi yang sesuai dengan standar yang diatur dalam Pasal 22 ayat (4) DSU, arbiter akan menetapkan nilai yang tinggi terhadap tingkat retaliasi jika arbiter berpendapat bahwa tujuan retaliasi adalah sebagai ‘hukuman’ atau ‘meningkatkan kepatuhan’ daripada jika arbiter melihat bahwa tujuan retaliasi adalah sebagai
‘ganti rugi’ 126 .
b. Tujuan retaliasi juga berpengaruh terhadap apa yang diambil sebagai tolak ukur untuk menghitung jumlah kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran (original violation) serta tingkat retaliasi yang seharusnya dilakukan atas adanya kerugian akibat pelanggaran tersebut. Jika tujuan retaliasi adalah untuk mengompensasi negara korban pelanggaran (dalam hal ini Complainant Party), maka tolak ukur yang paling tepat untuk menilai kerugian adalah kerugian ekonomi (economic harm) atau kehilangan keuntungan yang diderita oleh negara korban pelanggaran. Namun jika tujuan dari suspensi adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang lebih luas terhadap konsesi perdagangan antara kedua negara, maka tolak ukur yang lebih tepat adalah dampak terhadap perdagangan atau nilai perdagangan
bilateral yang hilang yang disebabkan oleh pelanggaran. 127 .
c. Dalam hal tujuan retaliasi adalah sebagai hukuman dan untuk meningkatkan kepatuhan, maka negara yang dirugikan lebih tepat jika melakukan retaliasi terhadap sektor dan produk yang paling
126 Bown dan Pauwelyn, Op.cit., hlm. 38.
memberikan dampak bagi negara anggota yang tidak konsisten dengan ketentuan WTO, misalnya terhadap politically-sensitive products atau cross retaliation terhadap intellectual property rights. Sebaliknya jika tujuan retaliasi adalah sebagai ganti rugi, maka negara yang dirugikan lebih tepat jika melakukan retaliasi terhadap sektor atau produk yang bersaing dengan industri
domestik negara yang melakukan pelanggaran 128 , misalnya retaliasi dalam kasus US-EC Hormones Beef dimana produk
agrikultur dari EC dilarang masuk ke dalam Amerika Serikat.
d. Tujuan retaliasi juga dapat digunakan untuk penentuan waktu dimulainya retaliasi (guide questions of timing). Jika tujuan retaliasi adalah untuk meningkatkan kepatuhan, maka waktu yang tepat untuk memulai retaliasi adalah ketika ditetapkannya kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan WTO atau setidaknya ketika ditemukannya ketidaksesuaian dalam
pengadopsian putusan WTO 129 . Pentingnya menetapkan tujuan retaliasi WTO juga terkait dengan pertimbangan dalam
pelaksanaan cross retaliastion 130 .
Pada akhirnya, penilaian mengenai efektivitas dari sistem penyelesaian sengketa WTO secara umum tergantung secara khusus kepada tujuan dari retaliasi WTO dan tujuan sistem penyelesaian WTO secara
umum 131 . Tanpa adanya pengaturan mengenai tujuan atau benchmark, maka akan terus timbul perdebatan mengenai efektifitas dari sistem ini.
128 Ibid.
129 Ibid., hlm. 40.
130 Ibid., hlm. 40-41.
2.3.4. Ketentuan Tingkat Pelaksanaan Retaliasi (Level of Suspension)
Sebagai salah satu tindakan formal, beban pembuktian dalam Pasal 22 ayat (6) untuk proses arbitrase sama halnya dari beban pembuktian dalam proses Panel dalam WTO. Baik negara anggota yang dianggap bertindak sesuai dengan kewajibannya dalam WTO maupun yang dianggap sebaliknya, memiliki beban pembuktian yang sama. Terkait dengan permintaan otorisasi pelaksanaan retaliasi, arbiter biasanya akan meminta Retaliating Country untuk memberikan perhitungan metodologis mengenai apa saja yang akan dikenakan tindakan retaliasi. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat bahaya yang akan ditimbulkan apabila retaliasi dilaksanakan hanya sebagai ‘pemuas’ bagi Retaliating Country dan digunakan sebagai alat penekan bagi Non Compliance Country.
Beberapa ukuran mengenai tingkat pelaksanaan retaliasi dapat dilihat dalam kasus Banana dan kasus Hormones. Dalam kasus Banana 132 antara
EC dengan Amerika Serikat, Amerika Serikat mengikutsertakan ke dalam permohonan otorisasi retaliasi, daftar produk yang menurut Amerika Serikat sepadan dengan nilai kerugian yang diderita Amerika Serikat akibat tidak
dilaksanakannya putusan atau rekomendasi DSB oleh EC 133 . Hal yang sama juga dilakukan dalam kasus Hormones, di mana Amerika Serikat dan
Kanada menyertakan daftar produk yang mencakup jumlah perdagangan yang jauh lebih tinggi (products that covered a significantly higher amount of trade) daripada retaliasi yang seharusnya dilakukan dengan alasan bahwa tidak ada penetapan sebelumnya terhadap daftar produk tersebut yang dapat
dikenakan retaliasi 134 . EC keberatan, meminta bahwa Amerika Serikat dan Kanada akan diminta untuk menyerahkan daftar seimbang antara kerugian
yang ditimbulkan dengan retaliasi yang dilaksanakan namun keberatan
132 Banana Case merupakan kasus pertama yang memohon otorisasi pelaksanaan retaliasi berdasarkan Pasal 22 ayat (2) DSU.
133 Hal ini tidak secara langsung berasal dari keputusan dalam kasus Banana namun menjadi bahan pertimbangan bagi arbiter dalam kasus Hormones.
tersebut ditolak karena pada dasarnya DSU sendiri tidak mengatur syarat seperti itu 135 . Namun untuk melindungi kepentingan negara yang dikenakan
tindakan retaliasi, retaliasi dibatasi terhadap produk yang terkait dengan pelaksanaan tindakan retaliasi saja. Dalam hal retaliasi dilaksanakan terhadap konsesi tarif, arbiter dalam kasus Hormones berpendapat bahwa hanya produk yang terkait dalam permohonan retaliasi saja yang dapat dikenakan tindakan retaliasi.
Dari 2 (dua) contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya DSU tidak mengatur mengenai pengukuran seberapa jauh retaliasi dapat dilaksanakan. Hal ini dikembalikan kepada kebutuhan dari negara
pemohon otorisasi dengan menyertakan daftar 136 hal-hal apa saja yang akan dikenakan retaliasi. Namun mengingat fungsi retaliasi yang hanya dapat
digunakan sampai Non Compliance Country melaksanakan putusal Panel DSB, maka penentuan daftar tersebut harus diperhitungkan dengan perhitungan yang wajar serta didasarkan pada jumlah kerugian yang diderita saja.
2.3.5. Berakhirnya Retaliasi
Mengenai berakhirnya retaliasi diatur dalam Pasal 22 ayat (8) DSU yang berbunyi:
“The suspension of concessions or other obligations shall be temporary and shall only be applied until such time as the measure found to
be inconsistent with a covered agreement has been removed, or the Member that must implement recommendations or rulings provides a solution to the nullification or impairment of benefits, or a mutually satisfactory solution is reached.”
135 Ibid.
136 Meskipun sejauh ini pelaksanaan retaliasi berpedoman pada daftar produk yang dilampirkan oleh pemohon retaliasi, namun karena DSU sendiri tidak mengaturnya, maka daftar
produk tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Namun untuk alasan yang praktis: perincian produk target potensial berfungsi untuk memberitahukan elemen sektor swasta di wilayah dari anggota yang bersangkutan yang diperlukan untuk “membayar” keuntungan yang
Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa retaliasi dapat berakhir karena 3 (tiga) hal, yaitu 137 :
1. Pihak yang dituntut bertindak sesuai dengan putusan atau rekomendasi DSB.
2. Pihak yang dituntut untuk melaksanakan putusan atau rekomendasi DSB telah memberikan solusi terhadap hilangnya kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
3. Adanya penyelesaian masalah yang disepakati bersama dan saling menguntungkan.
Terhadap penentuan berakhirnya tindakan retaliasi, AB menyatakan bahwa 3 (tiga) kondisi dalam Pasal 22 ayat (8) bersifat alternatif 138 agar
penerapan dari retaliasi ini sendiri tidak disalahgunakan oleh pihak penggugat untuk mengambil tindakan-tindakan lain yang tidak sah untuk menekan pihak yang kalah agar melaksanakan putusan atau rekomendasi DSB. Berdasarkan pendapat AB tersebut, dapat diartikan bahwa setelah pelanggaran telah berhenti, maka retaliasi harus berhenti pada saat yang
sama 139 . Jadi ketika pelanggaran berakhir, hak (right) untuk melakukan retaliasi dan pemberian hak (entitlement) untuk melakukan retaliasi juga
harus berakhir. Hal ini merupakan indikasi bahwa hak untuk membalas dan
137 Farzan Sabet, Kai Kan, dan Thibault Fresquet (Graduate Institute of International and Development Studies), “Retaliation under the WTO system: When does Nullification or
Impairment
Begin?”, http:graduateinstitute.chfileslivesitesiheidfilessitescteisharedCTEI
Law20ClinicMemoranda202011Memo-Retaliation_under_the_WTO.pdf , diunduh tanggal
21 September 2014.
138 Hal ini merupakan pendapat AB dalam Report of The Appelate Body dalam kasus Hormone Dispute antara Amerika Serikat dengan European Community dalam tingkat Banding (
Continued Suspension Of Obligations). Dalam laporannya, AB berpendapat bahwa “the three conditions in Article 22.8 are alternatives to each other…they are alternatives leading to the same result, that is, the termination of the suspension of concessions and final resolution of a dispute.”
139 Pasal 22 ayat (8) DSU memberikan penekanan pada keserentakan antara pelanggaran dan retaliasi serta telah dengan jelas memberikan acuan waktu kapan retaliasi harus berhenti yaitu 139 Pasal 22 ayat (8) DSU memberikan penekanan pada keserentakan antara pelanggaran dan retaliasi serta telah dengan jelas memberikan acuan waktu kapan retaliasi harus berhenti yaitu
dilakukan oleh negara anggota.
140 Sifat contemporaneous dari retaliasi adalah bahwa hak untuk melakukan retaliasi ada
Bagan 2.2. Proses Penyelesaian Sengketa dalam WTO 141 :
Para pihak melakukan konsultasi (Pasal 4 DSU)
Pembentukan Panel oleh DSB (Pasal 6 DSU)
Panel Examination yang dilakukan dengan para pihak (Pasal 12 DSU) atau apabila ada, dilakukan dengan pihak
ketiga (Pasal 10 DSU)
Laporan Panel kepada para pihak (Pasal 12 ayat (8)
DSU) dan kepada DSB (Pasal 12 ayat (9) DSU)
DSB mengadopsi Laporan Panel untuk dibuatkan putusan atau rekomendasi (termasuk ketika ada perubahan laporan
Panel saat di tigkat banding melalui Appeallate Report)
Penerapan putusan atau rekomendasi DSB oleh pihak yang
kalah serta memberitahu jangka waktu penerapan dalam
perhitungan yang wajar (Pasal 21 ayat (3) DSU)
Pihak yang kalah
Dalam hal pihak yang kalah
melaksanakan putusan
tidak melaksanakan putusan
atau rekomendasi DSB
atau rekomendasi DSB
Jika tidak ada kesepakatan mengenai
Para pihak dapat merundingkan
kompensasi, maka pihak penggugat dapat
mengenai kompensasi (Pasal 22
meminta otorisasi kepada DSB untuk
ayat (2) DSU)
melaksanakan retaliasi
Bagan 2.3.Proses Retaliasi dalam Sistem Penyelesaian Sengketa WTO 142 : Rekomendasi atau
Putusan DSB
Tergugat meminta kepada
Pihak yang kalah (Tergugat)
penggugat untuk bernegosiasi
tidak melaksanakan Putusan
guna mencapai kesepakatan mengenai kompensasi
atau Rekomendasi DSB
Pihak yang dirugikan
Tidak tercapainya kesepakatan
(Penggugat Complainant
mengenai kompensasi dalam 20
Country) dapat meminta
(dua puluh) hari setelah tanggal
otorisasi DSB untuk
habisnya waktu implementasi
DSB memberikan otorisasi untuk penangguhan dalam waktu 30 (tiga
Timbul sengketa
puluh) hari setelah habisnya jangka
mengenai tingkat dan
waktu implementasi sepanjang
prinsip serta prosedur
termasuk dalam Covered Agreement
retaliasi
dan tidak ditolak dengan konsensus
Keputusan hasil arbitrase harus
Diselesaikan melalui
segera diberitahukan kepada DSB
Arbitrase (Pasal 22 : 6) dan
(Pasal 22 : 7)
keputusan arbiter bersifat final (Pasal 22 : 7)
DSB akan memberikan otorisasi
untuk penangguhan atas
DSB melanjutkan
permintaan pihak penggugat sesuai
pengawasannya terhadap
dengan keputusan arbitrase dan
implementasi rekomendasi
tidak ada konsensus yang menolak
atau putusan yang diadopsi