Bentuk Busana Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005

1. Bentuk Busana Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005

Tahun 2005 merupakan tahun pertama dilaksanakan upacara Tingalan Jumênêngandalêm untuk Paku Buwono XIII. Dalam upacara tersebut, selain menyaksikan tari bêdhäyä kêtawang selama dua jam,

Gambar: 1 Letak bagian busana Paku Buwono XIII tahun 2005 (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)

Panêmbahan (Setiadi, 2006: 24). Usai upacara, dilaksanakan kirab menggunakan kereta kuda kiai garudhä kêncänä. Busana yang dipakai Paku Buwono XIII adalah baju takwä berwarna magenta (ungu kemerahan) tua yang dihiasi ornamen lung-lungan diseluruh ujung pinggir kainnya. Jenis kain yang digunakan adalah thaisilk, yang

berkarakter mengkilat 21 .

Baju takwä merupakan salah satu jenis baju krowok yang memiliki ciri utama potongan setengah lingkaran dibagian belakang baju. Selain berfungsi sebagai mode (gaya Surakarta), bagian tersebut juga berfungsi untuk memperlihatkan keris secara sempurna (tidak terhalang lembaran kain baju). Bentuk baju takwä nyaris menyerupai baju bêskap, namun ujung baju depan bagian kanan lebih panjang dibanding dengan ujung kiri, ujung sisi depan tersebut berbentuk lancip atau meruncing. Jika digunakan dengan sempurna, bagian yang meruncing berada di posisi kiri. Baju takwä memiliki satu pengait (kancing baju) pada bagian dada kiri.

Warna magenta tua pada baju takwä berwarna dasar violet, dalam sebutan Jawa adalah wungu. Warna tersebut merupakan warna turunan dari warna merah dan biru, namun cenderung kearah warna merah atau juga bisa disebut pure magenta.

20 Almarhum KGPH Haryomataram adalah rektor pertama Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Ornamen lung yang menghiasi pinggir baju takwä memiliki ciri berupa tangkai tumbuhan menjalar lengkap dengan cabang tangkai, daun, dan bunga. Alur tangkainya berbentuk gelombang searah, dan cabangnya berpola ukêl. Ornamen tersebut digarap dengan teknik bordir benang emas berlatar hitam dengan lebar 3 sampai 4 cm.

Sebagai penutup tubuh bagian bawah, digunakan jarit yang juga disebut sinjang. Sinjang yang digunakan Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 bermotif parang garudhä dengan plisiran diujung kainnya. Batik tersebut merupakan perpaduan dua unsur motif utama dari motif parang dan motif garudhä yang memiliki latar klungsêt (coklat terang). Motif parang-nya tersusun sejajar dengan motif garudhä. Motif garudhä tersebut berbentuk satu sayap terbuka, sedangkan motif parang terbentuk didalam bidang menyerupai awan yang seolah berbatasan dengan wilayah motif garudhä. Sehingga kain batik garudhä nampak seperti

Gambar: 3 Bentuk detail ornamen lung (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)

Gambar: 2 Warna kain (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)

isian lain yaitu lung-lungan 22 , puspitä, dan gunung. Ujung bawah kain batik parang garudhä terdapat plisiran yang juga diisi dengan motif lung . Lebar plisiran kurang lebih 8 hingga 10 cm. Unsur warnanya batik tersebut terdiri dari coklat terang (klungsêt), coklat tua, dan hitam.

22 Motif lung pada kain batik parang garudhä berbeda dengan ornamen lung yang menghiasi baju takwä sinuwun tahun 2005. Motif isian lung tersebut memiliki daun daun kecil seperti kuncup, dan

juga memiliki bunga.

Gambar: 4 Detail motif (Sumber: Setiadi, 2006:24)

Motif garudhä Motif puspitä/bunga

Motif parang

Motif gunung

Plisir

Motif lung-lungan

sebagai mahkota raja dengan ciri-ciri tertentu sebagai wujud simbolisnya. Oleh karena itu, penutup kepala raja disebut juga sebagai kulük kanigaran . Ciri-ciri kulük yaitu berwarna hitam, terbuat dari bahan beludru dengan garis-garis dari emas yang menghiasi sekelilingnya. Kulük berbentuk seperti tabung, namun pada bagian atasnya tertutup, yang memiliki luas jari-jari lebih sempit dari pada bagian bawahnya. Bagian bawah kulük berfungsi sebagai tempat kepala, sehingga luas bagian bawah kulük disesuaikan dengan luas

keliling kepala. Garis-garis yang terbuat dari emas disebut lungsèn 23 . Lungsèn berjumlah 10, tersusun menyebar menyerupai cahaya dengan sisi atas bagian tengah sebagai pusatnya. Panjang lungsèn menyebar dari pusat (atas) hingga setengah dari panjang sisi kulük namun salah satu lungsènnya memanjang hingga ujung bawah kuluk, yang disebut

Punjêr 24 . Sedangkan garis horizontal yang melingkar di bagian ujung bawah dan tengah disebut karah. Dalam menggunakan kulük haruslah trêp /rapi, tidak boleh miring (njêplak).

Sebagai pengikat sinjang digunakan setagèn atau peningsêt, yang merupakan kain tenun polos dengan panjang 5 sampai 6 m dan

23 Garis-garis pada kulük yang disebut lungsèn berdasrakan wawancara dengan Hartoyo, pada 27 Februari 2012 23 Garis-garis pada kulük yang disebut lungsèn berdasrakan wawancara dengan Hartoyo, pada 27 Februari 2012

Setelah pêningsêt atau setagèn dipasang, maka dikenakan sabuk. Sabuk yang digunakan terbuat dari kain tenun berbenang sutra dan bermotif (sêmbagi) geometris, yang disebut sabuk cindhè. Sabuk ini berfungsi sebagai penutup sêtagèn/peningsêt, dan juga untuk menyengkelitkan keris. Panjang sabuk adalah 6m dengan lebar 15 cm. Cara penggunaannya dililitkan pada perut bagian atas sampai perut bagian bawah, namun pada bagian ujungnya (rumbai emas) dibiarkan

terurai sampai setengah dari panjang paha kanan 26 .

Motif sabuk Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 berkarakter geometris dengan alur gelombang sehingga membentuk pola zig-zag. Motif tersebut tidak tertata melebar namun memanjang. Wilayah sekitar motif utama terdapat motif menyerupai bidang belah ketupat dengan satu titik ditengahnya. Disekitar motif tersebut terdapat motif selingan berupa belah ketupat namun berukuran lebih kecil yang secara variatif menghiasi ruang kosong diantara motif utama. Motif-motif tersebut berwarna kuning dengan outline warna merah, sedangkan latarnya berwarna merah tua (soga).

25 Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 Januari 2012.

sabuk Paku Buwono XIII yang digunakan pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 bermotif puspitä berlatar merah tua.

Namun berbeda dengan keterangan Bapak Hartoyo 28 , sabuk sinuwun bermotif Tirtä Tèjä dengan latar merah tua. Dua pendapat yang berbeda tersebut memiliki kekaburan dalam kebenaran bentuk motifnya, sehingga yang tergambar dalam motif sabuk tersebut tak dapat diketahui secara jelas. Motif puspitä secara bahasa berarti motif bunga, sehingga visualisasinya tidak akan jauh dari bentuk menyerupai bunga. Begitu pula dengan motif tirtä tèjä secara bahasa tirtä berarti air , sedangkan tèjä berarti cahaya, visualisasinya juga tidak akan jauh dari bentuk air dan cahaya. Bentuk zig-zag yang terdapat pada sabuk

tersebut lebih mengarah pada bentuk air (tirtä) 29 , sedangkan motif puspitä (bunga) visualisasinya tidak menyerupai/mendekati rupa puspitä (bunga). Motif puspitä lebih jelas tergambarkan pada motif sabuk pada gambar 29 hal 105. Oleh karena itu motif sabuk Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 lebih tepat disebut sebagai motif tirtä tèjä.

27 wawancara dengan GRAy. Koes Murtiyah Wirabumi, pada 20 Januari 2012.

28 wawancara dengan Hartoyo, pada 27 februari 2012.

Gambar: 5 Motif sabuk yang mendekati bentuk bunga/puspitä (Sumber: dokumentasi pribadi)

Gambar: 6 Motif tirtä tèjä pada sabuk Paku Buwono XIII(Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)

Gambar: 7 Ilustrasi motif sabuk motif tirtä tèjä (Sumber: Dokumentasi pribadi berdasarkan penuturan Hartoyo) Gambar: 7 Ilustrasi motif sabuk motif tirtä tèjä (Sumber: Dokumentasi pribadi berdasarkan penuturan Hartoyo)

Pengunci èpèk disebut timang berbentuk seperti gesper. Timang Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 terbuat dari emas yang dihiasi berlian-berlian diatasnya. Setelah dikunci dengan timang, èpèk memiliki sisa beberapa cm, sisa èpèk tersebut lalu dikaitkan dengan lêrêp pada bagian èpèk yang telah melingkar di pinggang. Lêrêp juga terbuat dari bahan yang sama dengan timang, namun memiliki ukuran yang lebih kecil karena hanya

Gambar: 8 Èpèk Paku Buwono XIII (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)

Karena baju krowok yang digunakan adalah takwä, maka timang tertutup oleh bagian bawah baju takwä, sehingga yang tampak hanya lêrêp- nya saja.

Keris yang digunakan Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 adalah keris Gayaman. Keris tersebut memiliki wärängkä yang lebih sederhana dibanding wärängkä keris Ladrang . Wärängkä keris Gayaman membentuk bidang yang hampir menyerupai bidang oval. Posisi keris berada dibagian pinggang belakang, yang disengkelitkan pada sabuk cindhè. Posisi

penyengkelitan kerisnya condong kekanan, hingga bagian mèndhok 30 terlihat lebih banyak turun kebawah, cara penyengkelitan keris ini disebut nêtêp. Bentuk pamor keris ini tidak diketahui, namun menurut

keterangan KGPH Puger 31 keris tersebut bernama Kyai Agêng Sêpuh.

30 Mèndhok merupakan salah satu bagian keris yang berfungsi sebagai sarung wilahan.

Gambar: 9 Keris Gayaman (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)

berwarna hitam berbahan beludru, diatasnya dihiasi ornamen lung- lungan . Ornamen lung-lungan tersebut dikomposisikan sesuai bidang selop. Sêlop berbentuk seperti sepatu, namun hanya bagian ujung depan saja yang tertutup. Apabila ditarik sebuah garis dibagian tengah sisi atas sêlop, maka akan muncul dua bidang kanan dan kiri, pada bagian itulah posisi ornamen lung-lungan berada. Susunan ornamen pada sêlop berbentuk pencerminan, yaitu susunan ornamen bidang kanan dan susunan ornamen bidang kiri yang sama namun berhadapan. Bagian tengahnya terdapat tulisan PB XIII, dan diantara tulisan PB dan

XIII terdapat simbol panunggül (mahkota).

Asessoris yang dikenakan Paku Buwono XIII pada saat Tingalan Jumênêngandalêm berupa kalung ulür yang terbuat dari emas murni. Asessoris tersebut berbentuk menyerupai rantai, namun setiap

Gambar: 10 Bentuk sêlop (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012) Gambar: 10 Bentuk sêlop (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)

Asessoris lain yang digunakan berupa bros berbentuk bunga mawar, terbuat dari tembaga berhiaskan berlian diatasnya. Bentuk mawar pada bros tersusun dari lima kelopak bunga mawar yang telah digayakan/stilasi. Lima kelopak bunga tersebut disusun secara radiasi, dengan pusatnya berupa lingkaran kecil ditengahnya. Letak penggunaan bros menempel pada baju takwa bagian dada kiri.

Paku Buwono XIII saat Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 menggunakan lencana penghargaan yaitu bintang Sri Kabadyä. Lencana tersebut terbuat dari emas 32 dipadu dengan sehelai kain berwarna kuning, dan warna merah yang membentuk garis kecil pada sisi kanan dan kirinya. Bintang Sri Kabadyä diletakkan pada dada kanan bagian atas, dibawah bros bunga mawar. Selain asessoris bros

Gambar: 11 Bros berbentuk bunga mawar (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012) Gambar: 11 Bros berbentuk bunga mawar (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)