Busana Keraton Surakarta

1) Sinjang /jarit

Sinjang adalah bahasa krämä dari jarit, yaitu kain batik yang Sinjang adalah bahasa krämä dari jarit, yaitu kain batik yang

2) Kampüh /dodot

Kampüh atau dodot adalah sehelai kain yang lebar, terdiri dari dua bagian kain yang disambung memanjang. (Soedibyo,2003:61) Ditegaskan pula oleh Honggopuro (2002:84), kampuh atau dodotan adalah busana penutup tubuh bagian bawah yang lebarnya dua kali ukuran sinjang/jarit dengan panjang 3,75 m sampai dengan 4 m.

Gambar: 12 Contoh sinjang/jarit (Soeratman,2003: 97)

dua jenis yaitu kampüh blênggên dan kampüh lugas. Kampüh blênggên adalah yang pinggirnya memakai gombyok yang terbuat dari benang lusi dari kain tersebut. Dalam tatanan berbusana di dalam keraton Surakarta kedua kampüh atau dodot ini dikenakan dalam pisowanan. Karena motif batik dalam kampüh atau dodot tersebut menunjukkan tinggi rendahnya golongan. Tatanan dalam berbusana yang menggunakan motif kain batik sebagai tanda kepangkatan seperti itu sebenarnya telah ada sejak kerajaan Mataram masa Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada saat itu motif batik digunakan sebagai tanda golongan keprajuritan. Tatanan itu kemudian dikembangkan lagi oleh Paku Buwono IV di Surakarta, dan disempurnakan oleh Paku Buwono X dengan menambah motif lain untuk golongan kepangkatan yang dibuthkan kerajaan. (Honggopuro, 2002:63)

Kampüh blênggên mempunyai ciri di sepanjang pinggir panjangnya dibuat gombyokan (rumbai) dari benang kain yang dilepas tenunannya (pakan)-nya. Panjang gombyokan ini kurang lebih 10 cm. motif batik untuk kampuh ini adalah jenis parang- parangan. Seperti parang rusak, yang dipergunakan oleh raja atau putra dan kerabatnya. Selain itu juga dipergunakan motif batik semen latar putih, kain dodot jenis ini dapat dipergunakan oleh para abdidalêm yang berpangkat Bupati Anom yang bergelar Raden Tumênggung ke atas.

Kampuh blênggên ini dibagi dua jenis, yaitu kampüh blênggên memakai blumbangan dan kampüh blênggên lugas. Yang dimaksud dengan memakai blumbangan adalah pada bagian tengah kain kampuh terdapat bagian yang tidak di batik (polos) berbentuk belah ketupat. Bagian polos tersebut bisa berwarna putih, namun dapat pula berwarna lain sesuai dengan keinginan. Kampüh blumbangan ini hanya untuk agêmandalem raja dan para putra kerabat. Sedangkan kampüh blênggên lugas adalah kampüh yang tidak memakai blumbangan.

2) Kampüh Lugas

Kampüh luga s adalah kampüh yang dipakai untuk golongan abdidalêm berpangkat pênèwu/mantri ke bawah. Ujung kain Kampüh luga s adalah kampüh yang dipakai untuk golongan abdidalêm berpangkat pênèwu/mantri ke bawah. Ujung kain

Kampüh atau dodotan dalam penggunaannya terdapat 5 cara pengetrapan. Tata cara pengetrapan kampuh tersebut berdasar pada tingkat kedudukan dari ornag yang memakainya. Kelima cara pengetrapan tersebut adalah: grêbongkandhêm, ngumbar kunca, sampir kuncä, kêpuh sampir , dan kêpuh ukêl (Honggopuro, 2002:48)

d. Celana Cindhè

Celana cindhè adalah celana yang digunakan dalam berbusana kampuhan . Panjangnya sebatas mata kaki, berbahan sutera, dringin atau cindhè sekar. (Soedibyo, 2003:79) Celana ini dipakai oleh raja jika mengenakan busana kebesaran Jawa. Celana tersebut juga dipakai oleh pangeran putra sêntana, pepatih dalêm, para bupati dan bupati anom yang memakai sebutan ariyä. Celana untuk bupati anom tanpa

Gambar: 15 kampuh alas-alasan (Soedibyo,2003:62)

Gambar:

14 kampuh blumbangan (Soedibyo,2003:62) 14 kampuh blumbangan (Soedibyo,2003:62)

1) Celana cindhè gubêg adalah celana cindhè yang motifnya semua sama, tidak memakai tumpal. Jenis ini dipakai oleh raja, pangeran dan sentanaadalem yang berpangkat Riyä Nginggil, termasuk para menantu Raja.

2) Celana cindhè sorot adalah celana dengan motif cindhè tetapi pada bagian bawah memakai motif tumpal. Ini hanya dipakai untuk para abdidalêm yang berpangkat Bupati (KRT) dan Bupati Anom (RT) dan yang sederajat.

3) Celana selain cindhè, celana ini dapat dibuat dari bahan selain cindhè , ada yang terbuat dari kain bathik halus, dringin, suträ, kasting , bêludru, limar ataupun sêmbagi. Jenis kain dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat Bupati Anom (RT) keatas, untuk busana harian. Sedangkan celana yang terbuat dari bahan laken dipakai untuk para abdidalêm yang berpangkat Panewu/Mantri dan Lurah apabila ada pasowanan Agêng. (Honggopuro, 2002:88) 3) Celana selain cindhè, celana ini dapat dibuat dari bahan selain cindhè , ada yang terbuat dari kain bathik halus, dringin, suträ, kasting , bêludru, limar ataupun sêmbagi. Jenis kain dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat Bupati Anom (RT) keatas, untuk busana harian. Sedangkan celana yang terbuat dari bahan laken dipakai untuk para abdidalêm yang berpangkat Panewu/Mantri dan Lurah apabila ada pasowanan Agêng. (Honggopuro, 2002:88)

Setagèn disebut juga paningsêt, yang fungsinya untuk mengencangkan pemakaian kain jarik. Setagèn terbuat dari bahan tenunan dari benang besar, ukuran setagèn lebar 10 hingga 12 cm dengan panjang 5 hingga 6 m. (Honggopuro, 2002:73)

f. Sabuk

Sabuk dalam busana Jawa, dipergunakan di pinggang dengan fungsi sebagai penutup dan pengikat setagèn. Keberadaan sabuk dipinggang tersebut juga dipergunakan untuk nyêngkêlit atau menyelipkan keris. Sabuk tersebut terbuat dari bahan kain tenun yang disebut dringin dan kembangan atau sembagi.selain itu juga bermotif cindhè dari bahan sutera yang asli dari India.

Gambar: 16 celana cindhè berbahan sutera asli (Soedibyo, 2003:78)

Gambar: 17 Berbagai macam motif Sabuk (Wirastodipuro,2003:65)

Ukuran sabuk adalah lebar 15cm dengan panjang 5 sampai dengan 6 m atau cukup untuk dilingkarkan ke tubuh sampai lima sap. Cara pemakaian sabuk, dilingkarkan di perut dan pinggang dari kanan ke kiri mulai dari atas dibuat bersap-sap turun ke bawah sehingga rapi. (Honggopuro, 2002:71)

g. Èpèk, Timang, dan Lêrêp

Èpèk terbuat dari kain beludru, dahulu ada yang terbuat dari bahan rambut kuda yang dianyam. Ukuran èpèk berlebar 5,5 cm dengan panjang 125 cm. Èpèk dipergunakan untuk mengencangkan sabuk, sehingga èpèk dipakai setelah mengenakan sabuk. Posisi penggunaan èpèk kurang lebih 3 cm dari pinggir sabuk yang paling bawah.

Timang , terbuat dari logam, seperti emas, perunggu, perak, ataupun besi dengan bentuk tipis. Timang berfungsi sebagai pengunci èpèk supaya tidak kendor atau mêlorot.

Lêrêp , adalah setelan dari timang yang dipergunakan untuk menutup sisa panjang èpèk saat dipakai. Lêrêp ini terbuat dari logam yang sejenis dengan timang. Bagi orang yang mampu, baik timang maupun lêrêp diberi hiasan batu permata, seperti intan atau berlian.

Ada dua jenis èpèk yang dipergunakan dlam pakaian Jawa,

yaitu:

1) Èpèk Bordir, yaitu èpèk yang dibordir dengan benang emas berbentuk sêkaran, untu walang, atau modangan. Apabila dikenakan untuk pasowanan hanya dipakai oleh para putra dan sentanadalêm.

2) Èpèk Polos, yaitu èpèk tanpa kembangan atau bordiran. Èpèk ini dipakai oleh para abdidalêm dari Bupati Riyä Nginggil sampai golongan pangkat yang terendah.

Gambar: 18 timang dan lêrêp (Wirastodipuro,2003:68)

Cara penggunaan sabuk dan èpèk terdapat perpaduan warna yang dinilai serasi untuk berbusana Jawa. Selain mencerminkan keserasian perpaduan warna tersebut juga mencerminkan sebuah watak, untuk itu setiap perpaduan memiliki nama sebutan sendiri- sendiri. Perlu diperhatikan bahwa dalam pasowanan keraton abdidalêm yang berpangkat KRHT (Kangjêng Radèn Haryo Tumênggung) ke bawah tidak boleh mengenakan èpèk yang memakai kembangan yang dibordir untu walang atau hiasan-hiasan lainnya. (Honggopuro, 2002:71-73)

h. Keris

Keris dalam bahasa Jawa krama disebut dhuwüng atau wangkingan , wujudnya senjata tajam yang dimasukkan kedalam warängkä . Sebagai pelengkap dalam berbusana Jawa sehingga dikatakan Jawi-Jangkêp. Diselipkan (nyêngkêlit ) dibelakang punggung dimasukkan ke dalam sabuk pada sap kedua atau ketiga.

Dilihat dari bentuk warängkä, kêris ada dua macam:

1) Ladrangan.

2) Gayaman.

Terdiri dari beberapa bagian:

a) Ukiran

Ukiran adalah pegangan pada bilahan besi, yang terbuat dari kayu, biasanya dari: kayu trênggänä, kêmuning, sawo dll.

b) Mèndhak

Mèndhak berfungsi sebagai ganjêl tegaknya ukiran yang masuk pada besi bilahan. Dapur (tipe) nya bermacam-macam, seperti: angkup, pandhu, parijotho, bajan, atau widhêngan. Supaya ukiran tidak lepas diberi karah dari besi (logam) yang disebut sêlut. Sêlut atau karah dibuat disamping sebagai ganjêl

Gambar: 20 Bentuk keris

Ladrang dan

Gayaman

(Wirastodipuro, 2003:74)

Gambar: 21 Bentuk wilahan keris,

Lêrês dan Lük (Wirastodipuro, 2003:74)

“jêruk pêcêl” sedang kalau agak pipih dinamakan jêruk sambêl. (Honggopuro, 2002:75)

c) Warängkä

Warängkä dalam gaya Surakarta ada dua macam: Ladrangan dan Gayaman, terbuat dari bahan kayu cendana, trêmbalo , atau timoho. Biasanya dipelitur atau disungging alas- alasan ada juga yang bermotif modangan.

d) Pèndhok

Pèndhok berwarna kêthêl disungging dipakai para prajurit- panyuträ, sedang pèndhok-polèng untuk abdidalêm Canthang- Balung atau Kridhastama.

e) Wilahan

Wilahan yaitu bilahan keris yang tajam terbuat dari besi khusus, dengan bentuk jêjêg atau lük. (Honggopuro, 2002:76).

Adapun macam-macam posisi penyengkelitan keris:

i. Sêlop

Sêlop dalam bahasa halusnya disebut cenèla merupakan kelengkapan busana yang berfungsi sebagai alas kaki. Namun demikian dalam tatakrama, jika berada di dalam keraton sêlop dilepas, sedangkan berada diluar keraton dapat dikenakan. (Honggopuro, 2002:76)

Gambar: 23 Berbagai macam posisi penyelipan keris (Soeranto & Mulyani, 2004:37) Gambar: 23 Berbagai macam posisi penyelipan keris (Soeranto & Mulyani, 2004:37)

Busana Jawi selain Jawi Jangkêp yang dikenakan saat pasowanan agêng, juga terdapat busana Jawi Jangkêp Padintênan. Busana Jawi Jangkêp Padintênan adalah busana Jawi Jangkêp untuk Pasowanan keraton yang bukan pasowanan agêng. Dalam pasowanan seperti itu untuk kerabat Kraton dan abdi dalêm memakai busana Jawi Jangkêp Padintênan yaitu dengan bêskap yang bukan berwarna hitam (Honggopuro,2002:84).

Busana Layadan: busana yang dipergunakan untuk berkabung. Kelengkapan busana ini adalah bêskap atau atèlah berwarna hitam, sabuk dan èpèk hitam, serta keris gayaman. Kain batik yang dipakai antara lain slobog, krambil sacuwil, dan jenis batik latar hitam. (Honggopuro,2002:84)

Gambar: 24 Bentuk Sêlop (Dok. Pribadi)