Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005

2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005

Baju takwä yang digunakan Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005 merupakan salah satu jenis baju krowok yang secara khusus hanya dipakai raja. Baju dengan gaya krowok pada bagian belakang tersebut merupakan ciri busana gaya Surakarta. Mode baju krowok telah berkembang sejak masa pemerintahan Paku Buwono III dan IV. Baju takwä juga sering disebut-sebut sebagai busana yang dahulu dikenakan Sunan Kalijaga, yang semenjak 1945 dikenakan Paku Buwono XII sebagai busana kebesaran raja. Menurut Honggopuro (2002, 69), baju takwä memiliki maksud beriman kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan tesis Ratna Endah Santoso (2010: 217), bahwa dalam mengenakan baju takwä haruslah dekat dengan Tuhan, menerima keadaan, kenyataan,

Gambar: 12 Kalüng ülür (Sumber:

dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)

Winarnokusumo, bagian baju takwä yang menutup kearah kiri dan lancip pada ujung bawahnya, terkait dengan sikap pengendalian diri. Sedangkan bentuk lancipnya, merupakan penggambaran hati yang tajam. Sehingga, ketajaman hati merupakan dasar sikap pengendalian diri tersebut.

Desain baju takwä yang digunakan Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 merupakan representasi gaya busana Paku Buwono IX, yakni baju takwä yang diberi ragam hias

lung 33 . Warna magenta/ungu kemerahan pada baju takwä ditentukan berdasarkan warna favorit mendiang Paku Buwono XII. Selain berdasarkan warna vavorit, warna tersebut merupakan simbolisme harapan bangkitnya kembali keraton Kasunanan Surakarta sebagai pusat kebudayaan. Barangkali hal-hal diatas merupakan bentuk, penghormatan atau rasa bangga atas sosok raja sebelumnya.

Motif bordiran benang emas yang ada pada setiap ujung baju takwa diadopsi dari motif tiang (pilar) sasana sêwäkä. Lung-lungan yang merupakan bentuk ornamen bordir penghias baju takwä adalah jenis ragam hias yang terilhami bentuk tumbuhan ubi jalar. Dalam lingkup masyarakat Jawa, kata lung merupakan sebutan untuk jenis tumbuhan tersebut, hingga kini sebutan lung masih digunakan oleh

33 Lihat lampiran hal 171 gambar 59.

banyak dijumpai dalam kebudayaan tradisi Jawa, hal tersebut didasari dari keberadaan tumbuhan ubi jalar yang banyak tumbuh di lingkungan tanah Jawa. Ubi jalar merupakan salah satu jenis tumbuhan

yang mudah tumbuh dan dapat digunakan sebagai makanan pokok 35 . Seluruh dasar rupa baju takwä diatas, mengacu pada usaha variatifisasi yang didasari asumsi bahwa baju takwä yang digunakan Paku Buwono

XII selalu polos 36 . Sehingga konsep baju takwä Paku Buwono XIII merupakan arahan pada citra eksistensi idividu raja sebagai pewaris tahta kerajaan.

Batik parang garudhä yang dikenakan Paku Buwono XIII pada tahun 2005 merupakan sebuah variasi dari batik parang barong 37 . Hal tersebut terasa kurang tepat apabila dipandang berdasarkan tatanan tradisi keraton kasunanan Surakarta. Menurut budaya tradisinya, batik yang digunakan raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm adalah batik parang barong. Motif batik tersebut merupakan ciri agêman luhür yang menandakan garis keturunan raja-raja Mataram.

34 Menurut wawancara dengan Prof. Dharsono pada 15 Maret 2012, di Wisma Seni TBJT 35 Wawancara dengan bapak Sugeng Tukiyo pada 18 Maret 2012 di rumah beliau.

36 Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012, dan KP. Winarnokusumo pada 3 januari 2012 di keraton Kasunanan Surakarta.

37 Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 dan Gray. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012.

pêngagêm (penata busana) Paku Buwono XIII pada setiap upacara Tingalan Jumênêngandalêm, menyatakan bahwa pada tahun tersebut terjadi suatu kesalahan penggunaan motif batik. Pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 yang bertugas sebagai pêngagêm adalah orang lain. Menurut Hartoyo, penggunaan motif batik parang garudhä pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 merupakan suatu hal yang tidak sesuai dengan tatanan tradisi (paugêran) keraton Surakarta. Namun berbeda dengan pendapat Dharsono, bahwa raja merupakan seorang individu yang secara tradisi ditunjuk sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu penggunaan batik parang garudhä merupakan suatu hal yang sah. Aturan penggunaan jenis motif tertentu hanya berlaku bagi selain raja, karena raja merupakan aturan untuk hirarki dibawahnya. Lain halnya dengan pendapat Sugeng Tukiyo, penggunaan batik parang barong oleh raja merupakan suatu dogma kerajaan mataram sejak dahulu. Penggunaan batik parang barong merupakan suatu aturan yang disepakati secara turun-temurun sejak Panembahan Senopati (abad 16). Seluruh pendapat diatas didasari intepretasi dan pengetahuan masing-masing responden, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan batik parang garudhä, dimaksudkan sebagai upaya legimitasi raja atas sesuatu yang dikuasainya (budaya pêngagêm (penata busana) Paku Buwono XIII pada setiap upacara Tingalan Jumênêngandalêm, menyatakan bahwa pada tahun tersebut terjadi suatu kesalahan penggunaan motif batik. Pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 yang bertugas sebagai pêngagêm adalah orang lain. Menurut Hartoyo, penggunaan motif batik parang garudhä pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 merupakan suatu hal yang tidak sesuai dengan tatanan tradisi (paugêran) keraton Surakarta. Namun berbeda dengan pendapat Dharsono, bahwa raja merupakan seorang individu yang secara tradisi ditunjuk sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu penggunaan batik parang garudhä merupakan suatu hal yang sah. Aturan penggunaan jenis motif tertentu hanya berlaku bagi selain raja, karena raja merupakan aturan untuk hirarki dibawahnya. Lain halnya dengan pendapat Sugeng Tukiyo, penggunaan batik parang barong oleh raja merupakan suatu dogma kerajaan mataram sejak dahulu. Penggunaan batik parang barong merupakan suatu aturan yang disepakati secara turun-temurun sejak Panembahan Senopati (abad 16). Seluruh pendapat diatas didasari intepretasi dan pengetahuan masing-masing responden, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan batik parang garudhä, dimaksudkan sebagai upaya legimitasi raja atas sesuatu yang dikuasainya (budaya

Motif parang garudhä yang terdiri dari dua motif utama merupakan penyatuan konsep motif parang dan motif garudhä. Motif parang adalah representasi lereng tebing pantai selatan, yang dianggap kokoh dan kuat. Sedangkan motif garudhä merupakan perwujudan burung yang disimbolkan sebagai penguasa angkasa. Motif burung ini menurut Dharsono (2007: 108) merupakan penggambaran angin yang bersifat supiyah (baik budi). Motif tambahan yang berupa lung-lungan, gunung, cêplok bunga, adalah lambang kehidupan dunia.

Kulük kanigaran yang dikenakan Paku Buwono XIII merupakan salah satu atribut yang dikhususkan hanya untuk raja. Oleh karena itu kulük merupakan tanda seseorang sebagai penguasa kerajaan. Menurut sejarah yang diungkapkan Wirastodipuro (2003: 29) para raja Mataram sebelum masa pemerintahan Paku Buwono I masih menggunakan tutup kepala berupa makutho. Bersamaan dengan

dihukumnya Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat III 39 yang dibuang ke Ceylon, Srilanka (permulaan abad 18), makutho yang digunakannya hilang, tidak ditemukan kembali. Oleh sebab itu Paku Buwono I membuat gantinya yang berupa kulük.

39 Amangkurat Emas 39 Amangkurat Emas

dengan satu garis dibelakang (limä pancêr) 40 . Dengan pembagian tersebut bilangan sakral kiblat papat lima pancêr terdapat di sisi kanan dan sisi kiri kulük. Kiblat papat limä pancêr dikenal dengan penggolongan keempat dimensi ruang, berpola empat mata angin dengan satu pusat (Dharsono, 2007: 35). Empat mata angin pada kulük kanigaran diwujudkan dengan garis pada sisi kanan/kiri kulük, sedangkan satu pusat diwujudkan dengan satu garis pada sisi tengah bagian depan/belakang kulük. Kiblat papat limä pancêr juga merupakan gambaran dari elemen sifat manusia, yaitu serakah,

dendam, nafsu birahi, sabar, dan tenteram 41 .

Bentuk kulük yang memanjang secara vertikal, dengan bagian atas menyempit seolah menunjukkan bagian tersebut sebagai puncaknya. Bentuk tersebut memiliki keterkaitan dengan konsep tri loka /tri buänä, yaitu penggambaran hubungan antara manusia dan

40 Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, 27 Februari 2012.

41 Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis: Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia, Surakarta 2010), hlm 220.

jagad yaitu, jagad bawah (alam sakala), jagad tengah (alam sakala- niskala), dan jagad atas (alam niskala). Secara vertikal mengatur hubungan batin individu (mikrokosmos) dengan Tuhannya dan secara horizontal mengatur hubungan antara batin individu dengan lingkungan alam semesta (makrokosmos) ( Dharsono, 2007: 29) .

Setagèn yang dikenakan Paku Buwono XIII pada busananya berfungsi sebagai pengikat kain batiknya, yang memiliki teknik pengikatan secara tradisional. Oleh karena itu, penggunaan setagèn didasarkan pada aspek fungsinya. Sehingga, setagen tidak memiliki ragam hias tertentu atau polos.

Sabuk dengan motif tèjä tirtä Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 digunakan sebagai penutup sêtagèn , yang secara khusus dipesan dari Tailand 43 , sehingga berorientasi pada citra eksklusif. Menurut paugêran/tatanan tradisi keraton Surakarta, sabuk bermotif hanya dikenakan oleh raja pada upacara-upacara tradisi (Wirastodipuro, 2003;64). Oleh karena itu, konsep digunakannya sabuk dengan motif tirtä tèja merupakan bentuk pencitraan raja sebagai pemangku adat. Tèjo berarti cahaya, sedangkan tirtä berarti air, sehingga bila disatukan berarti cahaya air.

42 Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, 27 Februari 2012.

hanya dipakai oleh Paku Buwono XIII, yang berdasar pada paugeran /tatanan penggunaan epek menurut tradisi keraton Surakarta. Dènè mênawi sowan datêng kraton, tumprap sêntänä dalêm punäpä

abdi dalêm ingkang sêsêbatan Bupati mangandap, mbotên kêparêng mêngagêm èpèk ingkang blodiran untu walang punapadènè ombak banyu prayoginipun ingkang polos, punäpä, abrit, ijêm, wungu sumänggä (Wirastodipuro, 2003: 69).

Artinya: jika menghadap ke keraton bagi putra sêntana dalêm (putra raja), ataupun abdi dalêm yang disebut bupati dan tingkat dibawahnya tidak boleh menggunakan èpèk yang dibordir untu walang atau ombak banyu , dan sebaiknya menggunakan yang polos atau merah, hijau dan ungu.

Corak untu walang, menurut Winarnokusumo 44 dikaitkan dengan bentuk lancip bergerigi, yang berfungsi sebagai senjata untuk menghalangi. Fungsi ini diterapakan pada bentuk simbolisme corak untu walang tersebut. Sedangkan ornamen lung ditengah-tengahnya, merupakan gambaran pohon ubi jalar, yang diyakini sebagai semangat hidup berkelanjutan dan berkesinambungan.

Penggunaan timang dan lêrêp adalah menurut fungsinya, yaitu sebagai pengunci èpèk. Selain berdasarkan fungsi teknisnya, timang dan lêrêp juga berperan sebagai asessoris. Oleh karena itu, bentuk Penggunaan timang dan lêrêp adalah menurut fungsinya, yaitu sebagai pengunci èpèk. Selain berdasarkan fungsi teknisnya, timang dan lêrêp juga berperan sebagai asessoris. Oleh karena itu, bentuk

Penggunaan keris gayaman didasarkan pada pertimbangan kenyamanan ketika dipakai. Karena bentuk warängkä keris tersebut memiliki bentuk lebih sederhana dibandingkan keris Ladrang 46 . Kepraktisan dalam penggunaan keris gayaman tampaknya menjadi hal mendasar digunakannya keris tersebut. Menurut Sugiyatno 47 , berdasarkan adat tradisi keraton, keris gayaman hanya digunakan untuk upacara-upacara kecil (pisowanan alit) atau padintenan. Pada upacara besar (pisowanan agêng) keris yang digunakan adalah ladrang.

Dilihat dari paugêran /tatanan tradisi keraton Surakarta, sêlop merupakan salah satu kelengkapan berbusana yang hak penggunaannya dalam lingkup keraton Surakarta hanya dimiliki oleh raja. Sêlop hitam dengan corak bordir lung-lungan merupakan gaya yang diadopsi dari sêlop Paku Buwono XII, namun memiliki

45 Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 27 Februari 2011.

46 Berdasarkan wawancara dengan KGPH. Puger, BA, pada 08 Desember 2011.

motif lung-lungan pada sêlop tersebut memiliki kesamaan dengan motif bordir baju takwä, yang merupakan representasi kekuasaan PB

XIII dalam perlambangannya. Pada tahun 2005 Paku Buwono XIII menggunakan lencana Bintang Sri Kabadyä. Lencana tersebut merupakan penghargaan dari Paku Buwono XII karena jasanya kepada keraton ketika masih

bergelar Kanjêng Gusti Pangèran Haryä 49 . Sangat jelas bahwa, penggunaan bintang Sri Kabadya pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005, dimaksudkan sebagai citra kewibawaan sinuwun.

Perhiasan berupa bros yang dikenakan Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 berbentuk bunga mawar. Penggunaan perhiasan tersebut didasarkan pada selera dan kepantasan dengan baju takwä-nya menurut Paku Buwono XIII, permaisurinya

,dan Bapak Hartoyo sebagai penata busananya 50 . Bros ini dibuat oleh GRAy Kus murtiya Wirabumi, yang memuat gagasan keindahan dan kemuliaan. Penggunaan bros ini sebagai nilai citra Paku Buwono XIII.

48 Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di keraton Surakarta.

49 Berdasarkan wawancara dengan GKR. Galuh Kencana, pada 30 Januari 2012.

50 Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 Januari 2012.

kewibawaan diri sebagai raja 51 . Selain itu, kalung ulür bertuliskan PB

X merupakan tanda keturunan dari anak Kanjeng Ratu Kidul yang didasari kisah Paku Buwono X masih beumur balita sedang menyusul ayahandanya (PB IX) yang sedang bertemu Kanjeng Ratu Kidul didalam ruang songgo buwono. Ketika Paku Buwono X berjalan menaiki tangga, ia hampir terjatuh namun ditolong oleh Kanjeng Ratu Kidul. Saat itu pula, dengan spontan Kanjeng Ratu Kidul berkata

“èh..anakku nggèr”, yang berarti “oh.. anakku” 52 . Semenjak peristiwa tersebut, PB X tidak lagi dianggap sebagai suami Kanjeng Ratu Kidul

namun dianggap sebagai anaknya. Kalung ulür merupakan perhiasan yang juga dikenakan Paku Buwono XII. Menurut Sugeng Tukiyo kalung ulür diadopsi dari kalung tasbih yang digunakan para wali (wali songo). Hal ini merupakan bentuk diversivikasi atribut para wali oleh raja mataram yang berpredikat sebagai wakil Tuhan (kalifatullah). Sugeng menambahkan, kalung ulür Paku Buwono XIII memiliki konsep kulit ular. Hal tersebut nampak pada rangkaian mata rantai yang berbentuk pipih. Konsep ular ini berkaitan dengan hubungan raja dengan Kanjeng Ratu Kidul tersebut. Berbeda dengan pendapat sugiyatno, bahwa

51 Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari

52 Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012

yang dibuat secara sembarangan. Sebagai seorang yang dekat dengan Paku Buwono XII sugiyatno cenderung tidak menginginkan adanya suatu bentuk berbeda dari sebelumnya. Mengingat kalung ulür Paku Buwono XII berbentuk menyerupai pilinan tali, sedangkan kalung Paku Buwono XIII berbentuk rantai. Kesamaan kalung tersebut yakni pada simbol makutho bertuliskan PB X. Jika dirunut kembali pada konsep raja sebagai wakil tuhan yang memiliki hak prerogratif yang penuh maka hal tersebut merupakan suatu yang sah. Sebagai individu, raja berhak mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam berbusana.

Cincin yang digunakan dikedua jari manis Paku Buwono XIII merupakan asessoris tambahan menurut selernya. Pada dasarnya cincin yang digunakan para raja Surakarta terdahulu berfungsi sebagai setempel raja, namun hal tersebut kini telah tidak berfungsi karena raja

pada era kini berpredikat sebagai pemangku adat 53 . Sehingga, cincin tersebut merupakan material yang berfungsi sebagai salah satu nilai kemuliaan dan kewibawaan beliau.

Setiap unsur busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 dapat dipaparkan konsepnya secara menyeluruh. Secara umum konsep busana tahun 2005 tersebut adalah pencitraan individu raja yang diungkapkan melalui peletakan nilai-

53 Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 53 Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012