Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2006

2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2006

Baju takwä pertama kali dipakai sebagai busana kebesaran raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm sejak masa pemerintahan Paku Buwono XII 70 . PB XII dalam berbusana takwä, selalu polos tanpa ragam hias/oranamen apapun dan biasanya berwarna (tidak hanya hitam), berbahan beludru. Hal seperti itulah yang juga diterapkan pada baju takwä Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006.

70 Raja-raja Surakarta terdahulu tidak menggunakan baju takwa pada upacara Tingalan

Gambar: 16 Bentuk bros Makutho bertulis PB X (Sumber: Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)

Simbol makuthä Garis lengkung bergerigi

Tertulis PB X

Dekorasi lung-lungan

Bentuk rantai berujung lancip

Bapak Hartoyo sebagai penata busananya. Menurut keterangan beliau 71 dalam menentukan pilihan busana Sinuwun berdasarkan angsar yaitu penetapan sesuatu dengan mata batin yang didahului dengan niat lilahdalêm. Setelah ketentuan itu tercapai kemudian dipertimbangkan oleh selera Paku Buwono XIII dan permaisurinya. Pada dasarnya ketentuan warna baju takwä berdasarkan gagasan pribadi Paku Buwono XIII. Aplikasi warna pada jenis busana ini tidak

ada ketentuan/paugêran dalam adat tradisi keraton 72 . Menurut konsep kiblat papat limä pancêr , warna hijau merupakan simbol bumi yaitu pusat (pancêr) dari empat arah. Selain itu merupakan penggambaran subjek nafsu batin manusia yang hendaknya dikendalikan (Dharsono,2007: 33). Ketentuan penggunaan bahan kain bludru didasari dari paugêran yang berlaku menurut tradisi keraton. Menurut adat tradisi keraton Surakarta baju krowok dengan bahan bludru hanya

boleh digunakan oleh raja saja 73 . Hal ini menunjukkan bahwa jenis kain ini, pada masanya memiliki nilai eksklusifitas yang tinggi.

71 Wawancaara pada 8 Januari 2012. 72 Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis:Institut Seni Indonesia Surakarta, 2010), Hlm 226.

tahun 2006 merupakan batik yang hanya boleh digunakan oleh raja 74 . Hal tersebut berdasarkan tatanan tradisi keraton kasunanan Surakarta sejak dahulu. Motif batik parang barong berfungsi sebagai ciri agêman keturunan raja-raja Mataram. Oleh karena itu batik parang barong dianggap sebagai salah satu agêman luhür. Motif batik parang barong biasa digunakan raja pada pasamuan ageng, dan kegiatan

kenegaraan lainnya 75 seperti upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Penggunaan batik parang barong juga dipatuhi oleh raja-raja terdahulu, seperti Paku Buwono XII. Disebut parang karena motif utamanya menyerupai bentuk senjata tajam yaitu parang. Hal tersebut dipahami oleh sebagian orang saja yang menurut Honggopuro (2002, 48), merupakan pengartian dengan cara wantah, yaitu pengartian suatu objek berdasarkan keserupaan dengan objek lainnya. Berdasarkan tesis

kajian motif parang oleh Sarwono (2004) 76 dan Honggopuro (2002:48), parang berasal dari kata pereng yaitu pinggiran tebing yang berbentuk lèrèng (diagonal 45°). Hal tersebut menunjukkan bahwa motif parang terilhami bentuk diagonal tebing/lèrèng. Tebing yang

74 Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 dan Gray. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012.

75 Sarwono, simbolisme motif parang dalam busana wayuang kuli purwa gaya Surakarta, (tesis: Program Pasca sarjana, Institut Seni Surakarta, 2004), hlm 60.

76 Sarwono, Simbolisme Motif Parang Dalam Busana Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta (tesis: 76 Sarwono, Simbolisme Motif Parang Dalam Busana Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta (tesis:

Sebutan Barong seringkali diidentikkan dengan binatang buas singa, yang menurut mitologi Jawa memiliki kekuatan ampuh (Sarwono, 2004: 60). Ukuran gemuk pada motif parang menurut

Dharsono 78 didasarkan pada sebutan barong tersebut. Karena barong (singa) merupakan gambaran dari seekor binatang buas dan kuat Sebutan barong menurut Sarwono memiliki keterkaitan dengan konsep totemisme. Konsep ini memandang bahwa pemberian nama pada sesuatu memberi gambaran akan adanya kekuatan yang dapat dimanfaatkan.

Sarwono (2004:60) menjelaskan, batik parang barong merupakan induk dari pengembangan batik-batik parang. Hal tersebut menurut Honggopuro (2002:50) terkait dengan Panembahan Senopati

77 Laku spiritual.

Ia menempatkan motif tersebut sebagai salah satu agêman luhür, yaitu busana yang hanya boleh digunakan keturunan raja-raja Mataram. Dalam kaitannya dengan hal tersebut Dharsono mengakatakan bahwa yasan merupakan bentuk rekayasa kultural atau legitimasi kerajaan atas motif batik tertentu. Beliau menambahkan, batik parang barong merupakan hasil karya milik rakyat yang kemudian dicap kerajaan sebagai agêman luhür, oleh karena itu dalam nama batik-batik tertentu biasanya ditambahkan kalimat yasan dalêm. Contohnya batik parang barong, yasan dalêm Panembahan Sènopati ing Alogo Khalifätulläh Ngabdurrahman Sayidi Panätägämä .

79 Yasan adalah usaha pengakuan hak milik pihak kerajaan atas sesuatu, contohnya hak pemakaian

Gambar: 17 Batik parang barong PB XII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm. (Sumber:kerajaannusantara.com.repro

foto Taufiqurrahman H 2012) foto Taufiqurrahman H 2012)

atau silver. Bros ini merupakan buatan baru 80 , bukan peninggalan raja- raja sebelumnya, maka asumsinya adalah pengembangan simbol mahkota bertulis PB X seperti pada pengait kalung ulür.

Konsep keseluruhan busana Paku Buwono XIII tahun 2006 adalah penerapan nilai serta citra Paku Buwono XII. Hal ini sangat jelas terlihat pada keserupaan atribut yang dipakai, sehingga menjelaskan adanya pernyataan tak langsung Paku Buwono XIII atas kedudukannya sebagai raja pewaris pemerintahan keraton Surakarta.