BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011

BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011

(Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)

Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Seni Jurusan Kriya Seni/Tekstil Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Oleh: TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT C0905025 KRIYA SENI/TEKSTIL FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011

(Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)

Disusun Oleh:

TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT C0905025

Telah disetujuai untuk dihadapkan pada sidang Skripsi oleh:

BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011

(Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)

Disusun Oleh:

TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT C0905025

Telah disetujuai oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 29 Mei 2012

Jabatan

Nama

Tanda Tangan Ketua

Sekretaris

Penguji I

Penguji II

Dra. Sarah Rum Handayani, M.Hum

NIP. 195212081981032001

Ratna Endah Santoso, S.Sn.,M.Sn

NIP. 197610112003122001

Ir. Aji Isworo Josef, M.Sn NIP. 195709261988111001

Drs. Sarwono, M.Sn NIP. 195909091986031002

Nama : Taufiqurrahman Hidayat NIM : C0905025

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi berjudul “Busana Paku Buwono XIII Pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Periode 2005-2011 (Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja) ” adalah benar-benar karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan Skripsi dan gelar yang diperoleh dari Skripsi tersebut.

Surakarta, 1 Mei 2012 Yang membuat pernyataan,

Taufiqurrahman Hidayat

“Bangkit dan bangkit lagi sampai domba menjadi singa” (Taufiqurrahman Hidayat)

“Manusia kadang tersandung kebenaran. Tetapi, kebanyakan dari mereka berdiri dan bergegas seolah-olah tidak terjadi apa- apa”

(Sir Winston Churchill)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, serta hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Laporan Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebaian persyaratan guna melengkapi gelar Sarjana Seni Jurusan Kriya Tekstil.

Selama penyusunan Skripsi ini penulis mengalami rintangan dan hambatan, namun berkat bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, maka penulis dapat melalui hambatan tersebut. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph. D sebagai Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Tiwi Bina Affanti, M.Sn, selaku Ketua Jurusan Kriya Tekstil.

3. Ir. Aji Isworo Josef, M.Sn, selaku koordinator Skripsi Jurusan Kriya Tekstil, sekaligus pembimbing I.

4. Drs. Sarwono, M.Sn, selaku pembimbing II.

5. KP. Winarno Kusumo, selaku narasumber dan informan, yang telah memberikan informasi serta data selama proses penelitian.

6. Joko Purnomo (Mas Kincling), yang telah bersedia memberikan data yang diperlukan selama proses penelitian berupa foto-foto sehingga dengan data tersebut proses analisa mampu tercapai.

7. Hartoyo, yang telah memberikan informasi mengenai busana Sinuwun dan 7. Hartoyo, yang telah memberikan informasi mengenai busana Sinuwun dan

9. GRAy. Kus Murtiah Wirabumi, yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan data serta informasi kepada penulis.

10. Drs. Soegeng Toekiyo, yang telah bersedia memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti bagi penulis, sehingga memudahkan penulis dalam proses penyelesaian Skripsi ini.

11. Prof. Dharsono, yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan data serta informasi penjelasan dan penerangan kepada penulis.

12. Kedua orang tua yang telah berbesar hati dan mengerti watak dan kondisi anaknya, sehingga proses penyelesaian Skripsi ini menjadi lebih ringan tanpa paksaan.

13. Yang tersayang Andika Sivi Tyashapsari, terima kasih telah memberikan dukungan dan hiburan serta segala sesuatu yang mensinergiskan mental dan kondisi penulis.

F. Tingalan Jumenengandalem .............................................. 58

G. Simbol ............................................................................... 61

H. Kerangka Fikir ................................................................... 64

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN ...........................................

A. Lokasi Penelitian ............................................................... 66

B. Jenis Penelitian .................................................................. 67

C. Bentuk Penelitian .............................................................. 67

D. Sumber Data ...................................................................... 69

E. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 70

F. Validitas Data ................................................................... 72

G. Analisis Data .................................................................... 72

BAB IV

BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM

PERIODE 2005-2011 ............................................................

A. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 ...........................

1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 ....................

2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 ......

3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada

Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 .......................... 116

1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 ................... 116

2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 ..... 120

3. Makna Simbolis Paku Buwono XIII pada

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 .... 125

C. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 .......................... 128

1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 ................... 128

2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 .... 130

3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 .... 131

D. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 .......................... 133

1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 ................... 133

2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 .... 135

E. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 .......................... 138

1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 ................... 138

2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 .... 140

3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 .... 141

F. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 .......................... 142

1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 ................... 142

2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 ................................................................. 145

3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 ................................................................. 147

G. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2011 .......................... 149

1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2011 ................................................................. 151

3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada

Upacara Tingalan Jumênêngandalêm

tahun 2011 ................................................................. 152

H. Bagan Verifikasi Data ...................................................... 153

BAB V

PENUTUP .............................................................................. 158

A. Simpulan ........................................................................... 158

B. Saran-Saran ...................................................................... 164

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 165 DAFTAR NARASUMBER .......................................................................... 178 LAMPIRAN ……………….. ......................................................................... 169 GLOSARI ……………...………………………………………...…………... 172

Gambar: 45 Letak bagian busana tahun 2008 .................................................. 133 Gambar: 46 Warna kain pada baju takwä tahun 2008 ..................................... 134 Gambar: 47 Bentuk dan letak busana............................................................... 138 Gambar: 48 Warna kain pada baju takwä ........................................................ 139 Gambar: 49 Bentuk dan letak busana.............................................................. 142 Gambar: 50 Warna kain pada baju takwä tahun 2010 ..................................... 143 Gambar: 51 Perbandingan ukuran dan bentuk motif parang barong .............. 144 Gambar: 52 Bentuk keris ladrang dan cara pemakaiannya ............................. 145 Gambar: 53 Bentuk dan letak rincian busana ................................................. 149 Gambar: 54 Warna kain ................................................................................... 151 Gambar: 55 Bentuk dhampar ........................................................................... 169 Gambar: 56 Paku Buwono XII dengan busana kebesarannya ......................... 169 Gambar: 57 Paku Buwono X dengan busana kebesarannya ............................ 170 Gambar: 58 Paku Buwono XI dengan busana kebesarannya........................... 170 Gambar: 59 Paku Buwono IX dengan busana takwä-nya ................................ 171

Pasca wafatnya Paku Buwono XII (2004) tahta kerajaan diwarisi oleh putra tertuanya KGPH. Hangabei, ia dinobatkan sebagai Paku Buwono XIII pada Jumat Kliwon 10 September 2004. Dalam proses realisasi eksistensinya sebagai penerus tahta kerajaan, Paku Buwono XIII memiliki sikap tertentu yang nampak pada atribut kebesarannya yang digunakan setiap upacara terpentingnya, yaitu upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Penelitian ini diarahkan pada makna simbolis busana yang digunakan Paku Buwono XIII pada upacara tersebut selama 7 periode (2005-2011).

Teori pedekatan yang digunakan adalah hermeneutik, dengan bentuk penelitian deskriptif kualitatif. Teori hermeneutik digunakan untuk membedah makna simbolis busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011. Untuk kegiatan analisis diperlukan data yang bersangkutan dengan lingkup busana tradisi keraton Surakarta, sejarah, dan latar belakang kebudayaannya.

Hasil penelitian ini diperoleh bahwa Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-2011 merupakan bentuk simbolis yang mengungkapkan kemuliaan dan pemuliaan seorang raja.Dalam penelitian ini juga ditemukan penggunaan atribut yang selalu berbeda setiap tahunnya, sehingga nampak adanya pergerakan makna simbolis dari tahun- ketahun. Pergerakan makna simbolis tersebut menunjukkan adanya esensi busana Paku Buwono XIII dari tahun 2005-2011 yang sarat dengan eksistensinya sebagai raja keraton Surakarta

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Busana merupakan salah satu aspek terpenting yang mencakup kebutuhan dalam realitas kehidupan manusia. Dalam merealisasikan dirinya, manusia merepresentasikan busana sebagai wujud simbol yang mempunyai fungsi sosial, sehingga memberi identitas dan citra berbeda antara individu satu dengan individu yang lainnya, atau kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Maka busana berpredikat sebagai jembatan penghubung antara latar belakang individu dengan lingkup sosialnya. Misalkan, ketika Paku Buwono XII yang berbusana ala musisi rock saat upacara jumenêngandalêm maka hal tersebut sangat tidak mencerminkan seorang raja di keraton Surakarta. Berbusana dengan gaya musisi rock saat jumenêngandalêm merupakan bentuk pernyataan lain sebagai cara berbusana yang tidak termasuk dalam lingkup kebudayaan keraton Surakarta. F.W. Dilliston mengatakan dalam bukunya The Power Of Symbols, bahwa, busana telah terkait erat dengan jati diri (identitas, kepribadian) nasional, dengan struktur kelas dan kualifikasi profesional, dengan konvensi masa tertentu dan dengan pertunjukan dan perayaan kesenian. Pakaian merupakan simbol berkehidupan manusia yang mempunyai kaitan luas dengan latar belakang kehidupan

salah satu aspek terpenting yang terkait dengan setatus sosial. Hal tersebut sebagai petunjuk tata cara lain seperti kesopanan, kehormatan, unggah unggüh , dan lain sebagainya, sehingga dapat dengan mudah diterapkan dan disesuaikan. Busana yang terkait dengan aspek hirarki sosial tersebut dinyatakan dengan simbol-simbol tertentu yang menunjukkan tinggi rendahnya derajat sosial di keraton Surakarta. Simbol-simbol dalam busana tradisi keraton Surakarta tidak hanya berhenti pada penandaan aspek hirarki sosial, namun simbol-simbol tersebut memiliki latar belakang budaya Jawa, sehingga makna-makna simbol yang dinyatakan dalam gaya busana Surakarta relevan dengan kebudayaannya. Relevansi antara gaya busana dan simbol-simbolnya merupakan kesatuan yang mencerminkan identitas lokal busana Jawa gaya Surakarta.

Gaya busana yang digunakan keraton Surakarta sekitar pertengahan abad ke 18, mengalami revolusi besar. Proses revolusi tersebut terjadi pada sekitar masa kepemimpinan Paku Buwono III dan IV. Gaya busana sebelum masa itu adalah gaya busana yang digunakan sejak keraton Mataram pertama (abad 16) sampai keraton Kartasura. Pasca perpindahan keraton (1745) dari Kartasura ke Surakarta, terjadi pemberontakan oleh KP Mangkubumi. Sehingga pada 1755 keraton dibagi menjadi dua yaitu wilayah Surakarta yang diperintah oleh Paku Buwono III dan wilayah Ngayogyakarta yang diberikan kepada KP Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Semenjak

Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Sebelum Paku Buwono II wafat (20 November 1749), beliau berwasiat kepada putranya (Paku Buwono III), bahwa “Mbèsok mênowo pamanmu Mangkubumi hangêrsaakè agêman, paringänä ” Artinya, kelak apabila pamanmu Mangkubumi menginginkan busana, berikan saja. Semenjak busana Mataram dibawa ke Yogyakarta, Paku Buwono III membuat busana sendiri dengan gaya Surakarta (Honggopuro, 2002:08).

Gaya busana yang tercipta tersebut adalah baju kröwök, (atèlah, bêskap, sikêpan alit, sikêpan agêng, takwä ), udhêng, dan motif-motif batik tertentu, yang hingga kini digunakan dalam setiap upacara tradisi keraton Surakarta. Busana tersebut tidak dikenakan secara sembarangan, namun penggunaannya disesuaikan dengan tatanan budaya dan tradisi yang ada. Aspek hirarki merupakan salah satu dasar tatanan yang berlaku di keraton Surakarta, maka dari itu kedudukan raja merupakan penghormatan tertinggi dalam etika dan berperilaku. Seperti yang dikatakan Darsiti Soeratman, bahwa Bagi raja atau penguasa lainnya, upacara adat, etiket (termasuk didalamnya adalah busana) merupakan alat yang dipakai untuk membuat jarak dengan orang yang lebih rendah derajatnya (Soeratman, 2000:124).

Busana raja merupakan salah satu bentuk produk budaya yang diagungkan di keraton Surakarta. Larangan pemakaian busana tertentu, (saat keraton Surakarta masih berfungsi sebagai pusat pemerintahan) Busana raja merupakan salah satu bentuk produk budaya yang diagungkan di keraton Surakarta. Larangan pemakaian busana tertentu, (saat keraton Surakarta masih berfungsi sebagai pusat pemerintahan)

Raja di keraton Surakarta memiliki peranan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai wakil Tuhan (khälifatulläh, panätägämä), oleh sebab itu raja adalah individu yang dianggap masyarakat Jawa sebagai sosok yang paling diagungkan. Bahkan, pada masa-masa kejayaan keraton Surakarta, raja merupakan motivator kultural, sebagaimana yang dikatakan Dharsono (2007:75) bahwa perekayasaan kultural terhadap batik oleh raja (birokrat kerajaan), mengangkat batik istana sedikit banyak memberikan aspirasi masyarakat dalam memandang dan berwawasan terhadap batik.

Tahun 1945 keraton Surakarta telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sejak saat itu pula keraton Surakarta tidak berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Keraton Surakarta yang masih dapat disaksikan saat ini, fungsinya telah bertransformasi sebagai institusi budaya, oleh karena itu segala bentuk kebudayaan tradisi yang ada harus tetap dijaga dan dilestarikan dengan baik, termasuk busana sebagai produk budayanya.

dinobatkan pada 10 September 2004 sebagai penerus tahta mendiang Paku Buwono XII. Dalam proses realisasi eksistensinya sebagai penerus tahta kerajaan, sangat dimungkinkan bahwa Paku Buwono XIII memiliki sikap tertentu dalam tahtanya. Hal tersebut akan sangat nampak pada atribut kebesarannya yang digunakan dalam upacara terpenting menyangkut kedudukannya sebagai raja, yaitu upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Setiap upacara Tingalan Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII yang selama ini (2005-2011) dilaksanakan masih menjadi perhatian bagi masyarakat luar Surakarta, seperti tamu-tamu yang hadir meliputi para petinggi politik, selebriti, dan wakil negara-negara sahabat. Oleh karena itu, upacara Tingalan Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII sejak tahun 2005 hingga 2011 merupakan tanda bahwa dirinya masih eksis bertahta sebagai raja. Busana Paku Buwono XIII pada upacara terpenting tersebut merupakan objek material yang dapat menunjukkan peranan individunya sebagai pewaris dan penerus tahta, yang semestinya memuat predikat sebagai, pemangku adat, pelestari budaya, motivator budaya, dan sebagainya. Konsep busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan modal simbolisnya. Sehingga makna yang muncul merupakan muatan dari esensi Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011.

Paku Buwono XIII merupakan gelar raja keraton Surakarta pasca mangkatnya Paku Buwono XII. Dalam pandangan masyarakat dan media informasi, gelar Paku Buwono XIII diakui oleh dua orang Pangeran Harya, yaitu KGPH. Hangabei dan KGPH. Tejowulan. Pada penelitian busana Paku Buwono XIII ini terfokus pada Hangabei. Pertimbangan ini dipilih berdasarkan situs keraton Kasunanan Surakarta yang menjadi lokasi Paku Buwono XIII (Hangabei) dalam melaksanakan seluruh kegiatan adatnya. Berbeda dengan Tejowulan yang memiliki keraton sendiri di Jl. Slamet Riyadi, yaitu keraton Wuryaningratan. Pertimbangan tersebut didasari dari eksistensi keraton sendiri yang telah disepakati masyarakat sebagai cagar budaya peninggalan kerajaan Mataram Islam beserta upacara-upacara tradisinya. Karaton Surakarta dalam kondisi terkini menjadi rujukan para wisatawan domestik maupun manca negara.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ?

2. Apakah konsep busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ?

3. Apakah makna simbolis yang terdapat pada busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ?

1. Memaparkan bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011.

2. Menggali konsep busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011.

3. Mengungkap makna simbolis yang terdapat pada busana Paku Buwono

XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011.

E. Manfaat Penelitian

Bila penelitian ini terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan yang direncanakan, maka penulis berharap hasil penelitian nantinya berguna dan bermanfaat. Beberapa hal yang diharapkan diantaranya:

1. Pandangan ilmiah dengan lingkup historis mengenai gagasan busana klasik Jawa gaya Surakarta akan memberi tambahan pengetahuan kepada kalangan mahasiswa Tekstil baik praktis maupun teoritis yang inovatif dan optimal bagi praktek cita, cipta, kerja karya atau penelitian kualitatif dunia tekstil.

2. Sebagai pandangan pada Jurusan Kriya Tekstil mengenai pentingnya riset busana warisan leluhur sebagai peran setrategis

3. Memberi sumbangan pemikiran kepada pihak keraton Surakarta yang berperan sebagai institusi budaya, sehingga berguna bagi pengembangan 3. Memberi sumbangan pemikiran kepada pihak keraton Surakarta yang berperan sebagai institusi budaya, sehingga berguna bagi pengembangan

5. Meningkatkan kepekaan penulis pada bidang busana dalam kaitannya dengan kekayaan budaya tradisi Indonesia.

F. Sistematika Penulisan

Bab I merupakan pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi kajian teori yang meliputi pengertian busana, busana dan lingkup sosial budaya, busana dalam kebudayaan keraton Surakarta, sejarah busana Jawa gaya Surakarta, dan busana keraton Surakarta. Adapun kajian teori diluar lingkup busana mencakup, pandangan hidup orang Jawa, upacara tradisi keraton Surakarta, Tingalan Jumênêngandalêm, landasan teori dan bagan kerangka fikir.

Bab III berisi metodologi penelitian, meliputi lokasi penelitian busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005- 2011. Sesuai permasalahan yang muncul maka bentuk penelitiannya adalah Hermeneutik (penafsiran). Sumber data berasal dari dokumen, arsip, dan informan. Teknik pengumpulan data melalui content analysis, wawancara, perekaman, dan dimantapkan memalui teknik trianggulasi data sebagai validitas datanya. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, sajian data, Bab III berisi metodologi penelitian, meliputi lokasi penelitian busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005- 2011. Sesuai permasalahan yang muncul maka bentuk penelitiannya adalah Hermeneutik (penafsiran). Sumber data berasal dari dokumen, arsip, dan informan. Teknik pengumpulan data melalui content analysis, wawancara, perekaman, dan dimantapkan memalui teknik trianggulasi data sebagai validitas datanya. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, sajian data,

XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011. Bab V berisi kesimpulan dan saran sebagai upaya menjawab tujuan penelitian busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011.

A. Busana

Arti busana yang biasa disamakan dengan pakaian, sebetulnya mempunyai makna yang berbeda. Pengertian yang kurang tepat ini telah populer dikalangan masyarakat sehingga menjadi pemahaman yang ideal. Pemahaman mengenai pengertian busana ini dapat lebih jelas dengan merubah dahulu kata busana tersebut menjadi kata kerja berbusana, dari kata kerja yang terbentuk dari kata busana tersebut dapat diartikan sebagai menggunakan pakaian untuk diri sendiri, dengan perhatian pada efek yang ditimbulkan, dalam hubungannya dengan dandanan dan perhiasan (Barnard, 2006:14) atau dapat pula dikatakan bahwa dalam kata berbusana, nuansa berdandan atau berhias dari proses penggunaan pakaian menjadi muncul. Penjelasan Barnard merupakan rekonstruksi pemahaman masyarakat yang berjalan rancu, sehingga pemahaman yang berkembang justru mengaburkan pengertian pakaian dan busana. Hal tersebut akan lebih jelas ketika fungsi dari kedua pemahaman tersebut dipaparkan. Fungsi pakaian dan busana mempunyai perbedaan mendasar, jika pakaian mempunyai fungsi biologis, yakni sebagai pelindung tubuh sedangkan busana mempunyai fungsi sosial, yakni sebagai bagian dari tata cara berinteraksi atau bergaul dalam lingkup sosial. (Hoed, 2008:161)

(Hoed, 2008: 162) menjelaskan pendapat Peirce bahwa busana adalah representamen dari beberapa kemungkinan obyek yang mewakili pengertian kesantaian, keresmian, religiusitas, sensualitas, komersialisasi, dan banyak lagi, sehingga memperoleh kemungkinan interpretan (penafsiran secara individual, terutama sosial, yang dilatari oleh kebudayaan penafsir). Pendapat Peirce mengenai busana, sebenarnya memberi penjelasan tentang nilai, makna dan citra yang terbangun oleh busana.

Ratih Poeradisastra (2002:08) menjelaskan bahwa busana dapat mengenalkan tentang pribadi seseorang tanpa orang lain mengenalnya, itu karena busana dapat mencerminkan keribadian, pekerjaan, dan status seseorang. Citra seseorang antara lain memang dipengaruhi oleh busananya. Menurut ratih 76% orang menilai seseorang dari penampilan, dan 59% orang berpendapat bahwa busana mencerminkan status sosial. Penelitian penelitian di Amerika membuktikan 55% kesan pertama dipengaruhi oleh penampilan visual. Visual bias berupa, rambut, busan ekspresi dan gerak tubuh. Selain itu 38% dipengaruhi faktor verbal, seperti nada bicara dan suara, dan 7% dipengaruhi isi pembicaraan.

Pakaian merupakan sebuah benda yang digunakan manusia untuk menutup tubuhnya, yang hanya terbatas pada sifat kebendaannya. Jika menelusuri pendapat Beny H. Hoed pada bagian akhir paragraf pertama, halaman 10, maka pakaian lebih mendalamkan artiannya pada sifat bendanya Pakaian merupakan sebuah benda yang digunakan manusia untuk menutup tubuhnya, yang hanya terbatas pada sifat kebendaannya. Jika menelusuri pendapat Beny H. Hoed pada bagian akhir paragraf pertama, halaman 10, maka pakaian lebih mendalamkan artiannya pada sifat bendanya

1. Busana dalam Lingkup Sosial Budaya

Budaya merupakan wujud dari perilaku manusia. Perilaku manusia meliputi olah fikir, cara pandang, kreatifitas, komunikasi/interaksi dll, yang didasari dari sifat budi manusia dan daya sebagai sumber aktifitas manusia oleh ilmu pengetahuan. Perilaku manusia menghasilkan hasil-hasil karya budaya, yang secara aksiologi memberikan nila-nilai tertentu pada hakekat budaya dan pelaku budaya. Budaya mempunyai sistem koherensi sehingga budaya dapat membentuk perilaku, nilai dan pola fikir manusia, begitupula dengan manusia sebagai pelaku budaya dengan segala aktifitasnya menghasilkan sebuah budaya. Hal tersebut diperjelas oleh Budiono Kusumohamidjodjo dalam bukunya Filsafat Kebudayaan, bahwa budaya merupakan hasil kreasi dan perjuangan manusia dalam rangka merealisasikan dirinya. Dalam rangka realisasi diri itu dia berjuang untuk melepaskan diri dari keterbatasan biologis yang dikenakan alam atas dirinya, sembari mencari puncak pembebasan

sadar hendak dia kendalikan juga. (Kusumohamidjojo, 2009: 46) Budaya juga merupakan cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Interaksi kepada lingkungan tampaknya menjadi kunci penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya, sehingga terbentuklah kerjasama antara manusia dan lingkungan, dengan serta merta manusia akan memahami lingkungannya karena manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tertier, dan tentunya didasari oleh ilmu pengetahuan manusianya.

Busana adalah salah satu kebutuhan hidup manusia, yang digunakan sebagai penutup dan pelindung tubuh. Diluar jangkauan kerangka dasar fungsi biologis tersebut busana merupakan sebuah persimbolan atau pertanda yang dapat membedakan dirinya dengan hewan. Pada lingkup sosial ini busana dapat menunjukkan sebuah identitas suatu bangsa maupun individu. Setiap busana yang dikenakan dipandang sebagai tanda. Dalam semiotik struktural (Bartes) busana adalah penanda yang mempunyai pertanda, yakni makna tertentu. Makna ini kemudian berkembang menjadi konotasi berdasarkan latar budaya pemberi konotasi. Jika konotasi berlanjut selama beberapa waktu akan terbentuk mitos yang akan dapat berlanjut menjadi ideologi. Busana merupakan salah satu bagian dari

disetiap masyaraka terdapat tradisi berbusana, karenanya muncul penggunaan jenis busana tertentu yang tetapkan untuk kesempatan acara tertentu. Hal tersebut lebih berkaitan dengan hal interaksi yang sebenarnya sangat bergantung pada jenis busana tertentu. Ketergantungan tersebut merupakan akibat dari sistem tanda yang ada pada busana, sedangkan pertanda atau simbol yang ada pada busana memiliki berbagai macam ideologi yang didasari oleh ruh setiap budaya bangsa manusia, karena setiap kebudayaan suatu bangsa mempunyai

perbedaan

dalam

merealisasikan dirinya.

(Hoed,2008:161-162)

Busana dalam kerangka sosial budaya merupakan bentuk komunikasi. Busana dalam lingkup ini telah sama sekali keluar dari sifatnya yang biologis, namun sifat sosialnya-lah yang lebih terungkap. Di Amerika Serikat pakaian dapat digunakan untuk menampilkan status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar moral, kemampuan atletik, ketertarikan, sistem kepercayaan (politik, filosofi, agama), dan tingkat kepuasan. Busana juga menjadi tanda identifikasi kelompok karena cara berbusana menyatakan kepada orang lain suatu hal mengenai identitas mereka. Dapat diamati dalam sebuah kebudayaan di Irak yang bersinggungan dengan busana, laki-laki Irak yang menggunakan kopiah berwarna putih menandakan bahwa orang Busana dalam kerangka sosial budaya merupakan bentuk komunikasi. Busana dalam lingkup ini telah sama sekali keluar dari sifatnya yang biologis, namun sifat sosialnya-lah yang lebih terungkap. Di Amerika Serikat pakaian dapat digunakan untuk menampilkan status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar moral, kemampuan atletik, ketertarikan, sistem kepercayaan (politik, filosofi, agama), dan tingkat kepuasan. Busana juga menjadi tanda identifikasi kelompok karena cara berbusana menyatakan kepada orang lain suatu hal mengenai identitas mereka. Dapat diamati dalam sebuah kebudayaan di Irak yang bersinggungan dengan busana, laki-laki Irak yang menggunakan kopiah berwarna putih menandakan bahwa orang

Busana yang merupakan bentuk penghubung antara individu dengan latar belakang sosial budayanya adalah olah fikir serta budi daya manusia. Kebudayaan juga merupakan kaitan erat yang yang tak terpisah dengan busana. Manusia dengan busananya membangun nilai-nilai tertentu yang melibatkan konsekuensi sosial dalam pranata kebudayaan. Terbangunnya nilai-nilai tertentu pada busan sangat dipengaruhi sifat subjektifitasnya yang merupakan aspek kuat pengilhaman gaya busana tertentu. Sehingga konsepsi-konsepsi kebudayaan suatu bangsa termuat pada gaya busana yang telah dimiliki suatu bangsa tersebut. Salah satu yang dapat dijadikan penanda untuk bisa berkomunikasi dengan baik adalah atribut atau busana. Dari busana yang dikenakan akan dapat diketahui derajat, pangkat, kedudukan seseorang dalal hierarki. Karenanya, seseorang akan bisa bersikap tepat dan melakukan komunikasi yang efektif dan pantas sesuai etika serta norma yang telah ditetapkan. Seseorang akan tidak ragu-ragu berinteraksi aktif, karena ia dapat memilih tingkat tutur bahasa yang sesuai dengan hierarki lawan bicaranya.

Ajining dhiri säkä lati, ajining rägä säkä busänä, mengajarkan bahwa penghargaan atas diri seseorang berdasarkan aspek lahiriah dan batiniah secara seimbang. Budaya Jawa mengajarkan pedoman- pedoman cara berbusana yang benar sesuai situasi dan kondisi. (Purwadi,2007:01)

Menurut bait yang dikutip mengenai peristiwa Têdhak Loji Pakubuwana VI, ketika melakukan seremonial ini dia berpakaian cara Belanda. Walau pilihan pakaian Raja kemungkinan besar dilakukan meniru sikap Pakubuwana III, tetapi ini, barangkali, menggambarkan adanya suatu kepatutan dengan maksud perjalanan ini suatu pertemuan dengan pejabat-pejabat Belanda. Namun dalam kesempatan-kesempatn lain, Paku Buwono VI memilih gaya busana Jawa.

Tahun-tahun sejak kesediaan Paku Buwono III (dan penolakan Paku Buwono IV) memakai pakaian Belanda, telah diketemukan suatu pilihan lain dalam gaya berpakaian. Tidak lagi alternatif konseptual dalam pakaian Belanda diekspresikan hanya dalam kerangka terbatas jenis-jenis batik sebagaimana dalam 1870-an ketika Mangkunegara I sesuai dengan karakternya berdiri teguh pada perkawinan putra mahkota dan mengenakan kampüh. Tetapi dalam oposisi konstratif terhadap cara Belanda (cärä Walandi) muncul suatu

oleh pilihan pakaian raja, tergantung pada cara, suatu istilah yang dalam penggunaan sehari-hari (baik sekarang maupun dulu, menurut yang mengetahui) hanya mengacu kepada suatu cara atau sikap melakukan sesuatu. Satu orang, misalnya, menyiangi kebunnya, mendengkur di malam hari, atau menyapa tetangganya dengan caranya sendiri, orang lain dengan caranya sendiri pula. Sebagaimana bisa dibayangkan, meskipun mengandung arti yang lugas itu, cara dengan mudah bisa diartikan sebagai gaya dan bahkan sebagai adat. Kecenderungan cara untuk pembekuan arti ini tentu saja, terikat pada suatu sejarah pergeseran epistemologis yang lebih luas dan munculnya suatu bentuk refleksivitas khusus, yang memberikan suatu perasaan adanya budaya. Namun dalam konteks babad-babad Surakarta abad kesembilan belas, istilah cara secara konvensional dalam kombinasi dengan Belanda atau Jawa berarti pakaian. Seakan- akan untuk maksud maksud seremonial, seluruh dunia perbedaan antara cara-cara Belanda dan Jawa diringkas menjadi pilihan pakaian, seakan-akan, apa yang ada dibalik pandangan-pandangan dunia adalah lemari pakaian. Melalui logika dari hal yang konkret, maka akar dari adat Jawa, katakana demikian, adalah pakaian. (Pemberton,1994:82-86)

Kerajaan Surakarta memiliki tradisi pemerintahan yang rumit

spesialisasi yang lebih professional. Teritorial yang meluas pun membuat masalah yang diurus semakin lebar. Pranata pun mencakup bidang ekonomi, sipil, pertahanan hubungan antar wilayah dan lain lain. Dalam sistem hierarki birokrasi yang rumit diperlukan suatu pranata sosial untuk mengatur dan menghindari benturan-benturan kepentingan. Benturan kepentingan ini memungkinkan adanya konflik antara individu maupun golongan yang mempunyai kedudukan, kewajiban, serta hak dan wewenang yang berbeda serta bertingkat. Kebijakan politik dan budaya serta pranata sosial merupakan peraturan dan norma diaplikasikan dalam etika. Hal ini dapat ditemui dalam pengaturan berbusana, bersikap dan berbahasa dengan pilihan kata yang sesuai dengan tingkat tutur yang tepat, ketika berinteraksi dan bersosialisasi dilingkungan keraton. Bentuk aplikasi yang lain adalah atribut-atribut dan corak busana yang dibakukan. (Soedibyo, 2002:110-112) Dari busana yang dikenakan, akan bisa diketahui dengan tepat derajat, pangkat, kedudukan seseorang, dalam hierarki, karenanya seseorang akan bisa bersikap tepat dan melakukan komunikasi yang efektif dan pantas sesuai etika serta norma yang telah ditetapkan. (Soedibyo, 2002:24)

Kebudayaan keraton Surakarta memiliki peraturan etiket berbusana yang disandarkan pada tingkat hierarki politiknya yang Kebudayaan keraton Surakarta memiliki peraturan etiket berbusana yang disandarkan pada tingkat hierarki politiknya yang

Kalinggo Honggopuro menegaskan bahwa dalam pengetrapan berbusana Jawa hendaknya diselaraskan dengan rasa jiwa budaya, karena dalam berbusana Jawa tidak hanya sekedan memakai pakaian, namun terdapat nilai-nilai tatasusila dan kepribadianyang meliputi lahir dan batin manusia. Seperti dalam sabda SISKS Paku Buwono X, “nyandang nganggo iku dadyä saränä amêmangün manungsä njäbä njêro, marmanè pantêsên panganggoniro, trêpan pangêtraping panganggon, cundükna kêlawan kahananing badanirä, kalungguhan miwah kapangkatanirä ”. Artinya, berbusana itu menjadi syarat membangun manusia luar dan dalam (lahir batin), maka sesuaikanlah pakaianmu yang cocok dengan penggunanya, yang serasi dengan tubuhmu, kedudukan dan pangkatmu. Sabda ini menuntut keserasian dalam berbusana Jawa dan ketepatan memilih busana yang sesuai dengan ukuran tubuh maupun kepangkatan yang disandang. (Honggopuro, 2002:62)

Sejarah busana keraton Surakarta berdasarkan tulisan Wirastodipuro (2003), diawali dari adanya gaya busana yang telah sejak dahulu ada. Seperti yang tertulis berikut :

“Busana kêjawèn punikä asêsumbar saking karaton tanah Jawi wiwit kinä-makinä, pramila lajêng sampun kalêbêt dados

kabudayaan Jawi. Miturut sujarah keterangan ingkang mratèlakakên bab agêman nêmbè kawartosakên naliko jaman karaton Kediri. Kitab saking mäncänagari ingkang misuwun dipun

sêbut “Ling Wa Taita”, kariptä dining Chou Ku Fei ing tahun 1178M, ing mriku nyariosakên kanti jangkêp kamanjênganing karaton Kediri. Warganè masyarakat Kediri sami manganggè sinjang ngantos dumugi ngandap jêngku (dhênkul), rambutipun dipun orè. Dènè räjä ngagêm busana saking suträ, sêpatu wacucal, sartä mêngagêm rêrênggan sajing jènè (emas). Rikmanipun kagêlung kaprènahakên saknginggiling mêstaka lan sak piturutipun. Miturut sujarah, tumprapipun karaton Surakarta Hadiningrat, busana Jawi ingkang kalêbêt ingkang tilaran jaman Mäjäpahit, Dêmak, Pajang, Mataram ngantos Kartosuro taksih dipun lêstantunakên pêngagêmanipun ngatos tahun 1755 M. Wasono naliko ingkang Jumênêng nata ing karaton Surakarta PB

III, gandeng kalian madêgipun kasultanan ngayogyakarta (Perjanjian Gianti), hawit saking pinyuwunipun Sri Sultan Hamêngkubuwono I, SISKS PB III hamaringakên supados busänä tilaranipun jaman Mojopahit kalawau dipun anggè hangrênggani karaton kasunanan Ngayogyakarta ingkang sakpunikä dipun wêstani Sogo Upil. Gandhèng kalian PB III lajêng keparing yäsä (nganggit) busana Jawi ènggal ingkang karaton Surakarta Hadiningrat. Busana Jawi anggitan ènggal kalawau awujud atèlah punapadènè bêskap, ingkang ulêsipun cêmêng, ngèmpèri busana

saking kilènan (Barat). ” (Wirastodipuro,2003:03).

Artinya: menurut sejarahnya busana Jawa bersumber dari keraton tanah Jawa sejak jaman kuno, sehingga dengan demikian sudah masuk dalam katagori kebudayaan Jawa. Menurut sejarah, keterangan yang menyebutkan mengenai bab busana baru diketahui ketika jaman keraton Kediri. Buku dari

Kediri. Penduduk Kediri semuanya memakai Sinjang (Jarit) sampai ke lutut, rambutnya dibiarkan terurai. Sedangkan rajanya menggunakan busana berbahan sutera, sepatu kulit, serta memakai perhiasan dari emas. Rambutnya digulung diatas kepala/mahkota dan sejenisnya. Namun demikian kebudayaan itu selalu berjalan selaras dengan kemajuan jaman, maka dari itu kebudayaan busana Jawa juga mengalami perubahan selaras dengan keadaan. Menurut sejarah keraton Surakarta Hadiningrat, busana Jawa yang termasuk peninggalan jaman Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, sampai Kartasura masih masih dilestarikan pemakaiannya sampai tahun 1755 M. Ketika kekuasaan telah dipegang oleh SISKS Paku Buwono III, dan dengan berdirinya kasultanan Jogjakarta (perjanjian Giyanti) dari permintaan Sri Sultan Hamengku Buwono I, SISKS Paku Buwono III mempersilahkan supaya busana tinggalan jaman majapahit tadi dipakai untuk keraton Kasunanan Yogyakarta yang sampai saat itu disebut Sogo Upil. Bersama dengan itu, Paku Buwono III berinisiatif membuat pakaian Jawa baru untuk keraton Surakarta Hadiningrat. Busana Jawa gaya baru tersebut berbentuk

atelah, seperti beskap yang berwarna hitam mirip busana dari barat 1 . Kalinggo Honggopuro (2002:05-06) juga menjelaskan sejarah busana tersebut dengan konflik-konflik yang menyembabkan perubahan/terciptanya busana gaya Surakarta. Berawal dari pemberontakan Sunan Kuning di Kartasura (Gègèr Pêcinan) yang berhasil dicegah dengan bantuan pihak atelah, seperti beskap yang berwarna hitam mirip busana dari barat 1 . Kalinggo Honggopuro (2002:05-06) juga menjelaskan sejarah busana tersebut dengan konflik-konflik yang menyembabkan perubahan/terciptanya busana gaya Surakarta. Berawal dari pemberontakan Sunan Kuning di Kartasura (Gègèr Pêcinan) yang berhasil dicegah dengan bantuan pihak

KP. Mangkubumi kemudian meninggalkan keraton Surakarta dan bermukim di desa Sukowati, Sragen. Ia membentuk bala tentara untuk memerangi Surakarta dan tanah-tanah pesisir yang dikuasai Belanda. Tak hanya itu, KP Mangkubumi juga bergabung dengan Pangeran Sambernyawa atau pangeran Mangkunegaran (Honggopuro, 2002 : 07).

20 November 1749 M Sri Susuhunan Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh puternya, yang memegang tahta pada 15 Desember 1749 M dengan gelar Sampèandalêm Ingkang Sinuhün Kanjêng Susuhunan Sènopati Ing Ngalägä Abdurrähman Sayidin Panätägämä Pakoe Boewono Kaping III . Setelah sekian lama Kompeni Belanda tidak berhasil mematahkan perlawanan KP Mangkubumi. Kemudian pihak Belanda mengadakan perundingan dengan KP Mangkubumi yang berlokasi di desa Giyanti yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua, sebagian dibawah 20 November 1749 M Sri Susuhunan Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh puternya, yang memegang tahta pada 15 Desember 1749 M dengan gelar Sampèandalêm Ingkang Sinuhün Kanjêng Susuhunan Sènopati Ing Ngalägä Abdurrähman Sayidin Panätägämä Pakoe Boewono Kaping III . Setelah sekian lama Kompeni Belanda tidak berhasil mematahkan perlawanan KP Mangkubumi. Kemudian pihak Belanda mengadakan perundingan dengan KP Mangkubumi yang berlokasi di desa Giyanti yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua, sebagian dibawah

Semenjak terbaginya wilayah Mataram tersebut segala isen-isen keprabon berupa pusaka, gamelan, titihan kereta,tandu/joli/krêmun, juga dibagi menjadi dua, juga busana corak Mataram dikehendaki KP Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Mengenai masalah busana tersebut sebelumnya telah diwasiatkan oleh Paku Buwono II kepada putranya Paku Buwono III, sebelum diangkat menjadi raja “mbèsok menäwä pamanmu Mangkubumi hangêrsakakè agêman, paringänä ”. Artinya, apabila pamanmu Mangkubumi menghendaki busana, berikan saja. Sejak itu busana Mataram diboyong (dibawa) ke Yogyakarta. Selanjutnya SISKS Paku Buwono III membuat busana sendiri, yang biasa disebut Gagrak Surakarta (gaya Surakarta). Termasuk dalam kain batik untuk nyampingan coraknya mengalami perubahan sesuai busana yang baru. Sejak adanya penyesuaian dengan busana yang baru, batik Surakarta juga mengalami perkembangan terhadap corak-corak dan motif-motifnya. (Honggopuro, 2002 : 08-09).

C. Busana Keraton Surakarta

Busana tradisi keraton Surakarta adalah hasil budi daya dan olah cipta Busana tradisi keraton Surakarta adalah hasil budi daya dan olah cipta

1. Busana Jawi Jangkep

Berbusana dalam pasowanan di keraton Surakarta ada tatanan yang harus diperhatikan. Tatanan tersebut berdasar pada dhawuhdalêm atau perintah raja, yaitu berbusana di dalam keraton harus disesuaikan dengan pangkat yang disandang pemakainya. Untuk busana yang dikenakan oleh kaum laki-laki di dalam keraton ada dua macam, yaitu busana Jawi Jangkêp dan busana Kampuhan atau Dodotan. Yang dimaksud dengan busana Jawi Jangkep adalah busana Jawa yang secara lengkap, yaitu terdiri dari udhêng, baju krowok, sabük, èpèk, kain bathik, sêtagèn, kêris, dan sêlop atau cênèla.

a. Udhêng

Udhêng, di dalam masyarakat umum juga disebut dhèstar atau blangkon . Udhêng ini dikenakan sebagai penutup kepala. Bahan yang digunakan untuk membuat udhêng adalah jenis kain batik atau kain cêlupan (Honggopuro, 2002:64). Menurut bentuknya, udhêng dibagi menjadi dua:

1) Udhêng jèbèhan

Udheng jèbèhan memiliki ciri pada bagian depan tidak ada kuncung-nya (bentuk sudut meruncing). Bagian belakangnya Udheng jèbèhan memiliki ciri pada bagian depan tidak ada kuncung-nya (bentuk sudut meruncing). Bagian belakangnya

Udhêng ini khusus dipakai untuk para putra dan sêntänädalêm , mulai yang berpangkat Pangeran Putra yang bergelar KGPH sampai dengan kerabat yang belum mempunyai kepangkatan atau yang masih Raden Mas (RM).

2) Udhêng cêkok mondholan

Bagian depannya memiliki kuncüng (bentuk sudut meruncing). Bagian belakangnya terdapat benjolan elips, dan diatasnya terdapat bentuk dasi kupu-kupu kecil.

Udhêng ini nama lengkapnya disebut “cêkok mondhol mawi kuncüng ”, diperuntukkan para abdi dalêm dari yang berpangkat Bupati Riyä Nginggil yang bergelar KRHT ke bawah. (Wirastodipuro, 2003:23)

Tatanan penggunaan udhêng ini mulai diberlakukan pada saat Surakarta dalam pemerintahan PakuBuwono IV pada tahun Je 1734 atau 1807 Masehi. Aturan pemakaian udeng ini disesuaikan dengan kedudukan dan pangkat pemakainya (Honggopuro, 2002:64-67).

Gambar: 1 Udhêng cêkokmondholan dan udêng jèbèhan (Wirastodipuro, 2003:23-24)

Udhêng Cêkokmondholan

Udhêng Jèbèhan

diperjelas dalam buku busana keraton Surakarta oleh Mooryati soedibyo sebagai berikut:

1) Kulük

Kulük berbentuk Tugêl Sêmängkä, terbuat dari beludru hitam dipakai oleh abdi dalêm käthib. Kulük Mür dipakai oleh bupati, bupati anom, juga bias dipakai oleh pênèwu mantra ketika menghadap ke keraton atau tugas harian masuk ke keraton. Diluar keraton dipakai kulük hitam.

2) Mathak

Mathak adalah tutup kepala, berbentuk seperti kulük makuthä. Berwarna biru atau putih yang sekaligus membedakan status sosial pemakainya.

Gambar: 3 Bentuk dan bagian kulük (Wirastodipuro, 2003:29)

Baju krowok adalah baju yang bagian belakang sebelah bawah dibuat krowokan melengkung ke atas. Krowokan tersebut dipergunakan untuk penempatan keris supaya tampak rapi, tidak terlipat. Baju krowok di Surakarta ada lima macam jenis, yaitu: Baju Atèlah , Baju Bêskap, Baju Sikêpan, Baju Takwä, dan Baju Langênharjan .

1) Baju Atelah

Baju atèlah adalah baju yang kancingnya dari atas ke bawah persis di tengah-tengah. Di bagian lehernya memakai kênop atau canthèl. Baju atelah ini terdiri dari dua jenis warna, hitam dan putih. Warna hitam dipakai pada saat pasowanan resmi, sedangkan atelah putih dipakai pada saat-saat yang setengah resmi. Aturan tersebut menyesuaikan dengan dhawuhdalêm. Baju atelah ini diperuntukkan para abdi dalèm yang berpangkat bupati dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT) ke bawah. (Honggopuro,2002:68)

Baju Bêskap adalah baju yang kancingnya berada di depan dan berbentuk tangkepan dari kanan ke kiri. Kancing baju tersebut tersusun miring dengan kancing paling atas di bagian dada kiri atas, dan kancing paling bawah di depan perut tengah.

Baju beskap terdiri dari beberapa warna, beskap warna hitam dipakai oleh para putra dan sêntänä dalêm saja. Sedangkan bagi abdi dalêm hanya yang berpangkat Bupati Riyä Nginggil yang bergelar KRHT (Honggopuro,2002:67).

Gambar: 5 Bentuk baju bêskap(Wirastodipuro, 2003:37)

Bentuk baju sikêpan seperti baju atèlah tetapi kancingnya hanya merupakan fantasi. Karena pembuatannya sengaja tidak mengukur kancing yang ditelangkupkan. Jadi baju ini kancingnya terbuka atau “mblêdhèh”. Baju Sikêpan dipakai dengan menggunakan “Rangkèpan” (baju dalam) berupa baju berwarna putih dengan kerah tegak dan kancing atasnya hingga leher. Baju sikêpan yang dipergunakan di dalam keraton warna dasarnya hanya hitam. Sedangkan untuk baju krowok sikêpan yang berwarna selain hitam tidak diperkenankan untuk pasowanan (Honggopuro, 2002:68).