Pandangan Hidup Orang Jawa

D. Pandangan Hidup Orang Jawa

Pandangan hidup masyarakat Jawa tak dapat dipisahkan terhadap perkembangandan sistem budayanya. Menurut Dharsono (2007: 29) dalam bukunya Budaya Nusantara bahwa pendapat Neils Mulder yang berkaitan dengan perkembangan dan sistem budaya masyarakat bersifat ajeg atau berkelanjutan. Dharsono menambahkan bahwa hal tersebut selaras dengan kalimat bahasa Jawa yaitu alon-alon waton kêlakon, sitem kebudayaan orang Jawa yang menekankan ketenteraman batin. Pandangan lain Dharsono yaitu, pandangan yang menekankan pada ketenteraman batin, keselarasan dan keseimbangan, dibarengi dengan sikap nerima terhadap segala peristiwa, sambil menenempatkan individu dibawah masyarakat dan masyarakat dibawah alam semesta (hubungan kosmos). Pandangan tersebut memberi gambaran tentang pandangan masyarakat yang mengacu pada keselarasan hubungan yang tak terpisahkan antara dirinya, lingkungan (masyarakat), lingkungan alam semesta, dan hubungannya dengan tuhan. Masyarakat Jawa mempunyai paugêran (aturan adat), yang mengacu pada ajaran budaya yang tertulis maupun tak tertulis.

Falsafah Jawa menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yitu jagad besan (makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos). Makro kosmos adalah jagad besar yang mencakup semua

Gambar: 25 Para abdi dalêm memakai busana Jawi padintênan sowan

keraton (Honggopuro, 2002:81)

(mikrokosmos) individu dengan Tuhannya dan secara horizontal mengatur hubungan atara batin individu (mikrokosmos) dan lingkungan alam semesta (makrokosmos). Pandangan mikro-meta-makrokosmos pandangan tersebut tersirat pada ajaran : alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera), alam sakala niskala (Terindera tetapi tak terindera) alam sakala (alam wadag dunia). (Dharsono,2007:29-32)

Masyarakat Jawa mengenal bilangan-bilangan sakral yang merupakan sebuah penjagaan keseimbangan secara horizontal dan vertikal. Bilangan tersebut adalah 4(5+1), yang dikenal dengan kèblat papat kêlima pancêr , yang juga disebut dengan dunia waktu. Dikenal dengan penggolongan keempat dimensi ruang, berpola empat mata angin dengan satu pusat. Bersama-sama berarti keseluruhan, kesatuan dasar dari pertentangan menuju pengendalian. Bersama berarti keseluruhan adalah kesatuan dasar dari pertentangan menuju pengendalian, artinya bahwa satu-kesatuan yang terjadi karena adanya perbedaan, dan perbedaan merupakan dasar dari kekuatan yang harui diupayakan sebagai satu keseimbangan, keselarasan hidup dengan cara pengendalian diri. Sikap menggabungkan dua menjadi satu seperti itu, di lingkungan masyarakat Jawa disebut dengan sinkretisme. Sikap menggabungkan tersebut dikenal dengan istilah dualisme dwitunggal atau dualisme monoistis (H.Schoerer) dan Loro-Ironing atunggal, rwa binneka,kiwo têngên, Bhinnèka Tunggal Ika (Dharsono, 2007:32-33).

namun dalam pandangan ini memiliki dua ajaran yaitu ajaran Astäginä dan ajaran Astabrätä. Ajaran Astäginä meyakini sifat baru sebagai paduan dua sifat pokok. Hal tersebut disimbolkan dalam warna-warna tertentu yang bersumber dari babad ila-ila, yang menceritakan Begawan abiyasa melihat keraton dan hatinya terpana ketika akan masuk ke dalam keraton, bersamaan dengan munculnya warna putih yang mempunyai bermacam-macam warna. Macam-macam warna yaitu : cêmêng (hitam), abrit (merah), jènè (kuning), pêthak (putih), biru (biru), ijêm (hijau), wungu (violet), dhadu (merah muda). Warna-warna tersebut dalam perspektrum merupakan pancaran dari warna putih atau terang. Alasan inilah maka pada bagian tengah (pancêr) dilambangkan tanpa warna (kosong), dalam ajaran Jawa kosong sebagai sahyang tunggal, dalam theologi Hindu disebut sahyang agung. Dewa-dewa yang menjadi simbol dari empet kiblat/arah, adalah dewa ciptaan sahyang tunggal/ agung yang diberi kuasa sebagai hukum tertinggi dari setiap arah/bagian tugasnya, adalah simbol dari pancaran cahaya Tuhan (Nurasa) seperti Dewa agni yang menguasai api, Dewa bayu menguasai angin dan sebagainya. Sehingga titik centrum mengapa kosong (dilambangkan tidak ada warna), karena kosong (nol=0) melambangkan kemutlakan Tuhan. Pemujaan- Nya selalu didahului dengan menempuh tiap-tiap arah dimulai dengan Timur ke Selatan baru menuju pusat (tengah). Tradisi Jawa dikaitkan dengan hari pasaran, dimulai dari Lêgi (Timur), Paing (Selatan), Pon (Barat), Wagè

dijadikan raja Alèngka. Ketika Wibisana hendak dijadikan raja Alèngka ia sangat sedih memikirkan nasib malang kakaknya maka Rama mengatakan pada dirinya, bahwa Rahwana tidak perlu ditangisi lagi, kere ia meninggal sebagai pahlawan. Rama menyebutkan bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap dan bertindak. Dalam kaitan itulah disebutkan Astäbrätä yang dijelaskan sebagai delapan perbuatan baik yang tentu didasari pengalalaman bahwa istilah brätä sebagai bagian kedua, kata majemuk pada umumnya berartin perbuatan. Misalnya täpäbrätä = perbuatan tapa, akan tetapi dalam kaitannya dengan ungkapan Astabrata dalam Ramayana kakawin ini dapat diartikan sebagai sifat baik. Demikian sifat-sifat baik delapan dewa bersangkutan dinyatakan dengan istilah täpäbrätä. Delapan sifat-sifat baik tersebut :

1. Dewa Indra, watak angkasa. Keluasaan batin dan kemampuan mengendalikan diri

2. Dewa Surya, Watak matahari. Seorang pemimpin mampu mendorong dan menumbuhkan daya hidup rakyatnya.

3. Dewa Anila/Bayu, watak angin. Seorang pemimpin hendaklah selalu dekat dengan rakyatnya,tanpa membeda-bedakan.

4. Dewa Kuwera, watak bintang. Seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi rakyatnya.

menempatkan semua rakyatnya pada derajat dan martabat yang sama dihatinya.

6. Dewa Agni/Brama, watak api. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan hukum dan kebenaran secara tuntas tanpa pandang bulu.

7. Dewa Yama, watak bumi/tanah. Seorang pemimpin hendaknya berwatak murah hati, suka beramal dan memberi, selalu berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.

8. Dewa Candra, watak bulan. Seorang pemimpin hendaknya memberi dorongan dan membangkitkan semangat rakyatnya ketika rakyat sedang kesulitan. (Dharsono, 2007:36-38)