BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan sosial budaya, politik, ekonomi, teknologi serta pertumbuhan penduduk yang cukup cepat, langsung atau tidak langsung telah
mempengaruhi tatanan sistem nilai dan budaya suatu bangsa. Arus perkembangan dan pertumbuhan tersebut seolah-olah berjalan dengan mulus dan menjadi
kebanggaan suatu Negara. Kenyataan sebenarnya telah terjadi kesenjangan yang sangat mencolok. Di satu pihak telah terwujud bangunan-bangunan mewah yang
dapat dibanggakan dan menjadi pusat perhatian. Tetapi di pihak lain, tidak jauh dari area tersebut tumbuh perkampungan kumuh yang sangat menyedihkan dan
perlu mendapat perhatian khusus. Dalam perkampungan kumuh di Indonesia hampir 23 jumlah penduduknya adalah anak-anak, mereka pada umumnya
tergolong anak-anak yang rentan permasalahan sosial dan perlu mendapat perlindungan khusus untuk menyelamatkannya Prijono Tjiptoherijanto, 2003;15.
Masalah Anak Jalanan termasuk di Kota Medan adalah persoalan sosial yang belum dapat diatasi oleh pemerintah secara komprehensif. Berbagai
kebijakan dan tindakan telah dilakukan, termasuk anggaran yang dialokasikan setiap tahun dalam APBD untuk penanggulangan masalah tersebut. Namun
persoalan sosial ini masih saja mewarnai kehidupan perkotaan. Jumlah mereka cenderung semakin meningkat setiap tahun. Bahkan, hingga tahun 2010 lalu
Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara mengidentifikasi besaran anak jalanan di seluruh kota di provinsi Sumatera Utara jumlahnya mencapai 2.867 anak. Jumlah
Universitas Sumatera Utara
terbesar ada di 5 kota yaitu: Medan 663 anak, Dairi 530 anak Tapanuli Tengah 225 anak, Nias Selatan 224 anak dan Tanah Karo 157 anak. Sisanya tersebar
di 25 kabupatenkota lainnya. Secara statistik, memang sulit untuk memastikan jumlah yang akurat mengenai populasi anak jalanan tersebut. Namun, tidak dapat
dibantahkan bahwa keberadaan anak jalanan selalu ada seiring pertumbuhan pembangunan kota.
Hampir disemua persimpangan jalan kita bisa menemukan sekumpulan anak jalanan yang sedang melakukan aktifitasnya, dari mulai mengamen, menjual
koran, pedagang asongan, atau sekedar bermain-main ditrotoar jalanan. Menurut hasil Laporan Penelitian ”Kaji ulang situasi anak jalanan Kota Medan dan
Pengembangan Program Aksi” yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKPA tahun 2010, mayoritas anak jalanan adalah laki-laki
sebanyak 79, sementara anak jalanan perempuan 21. Anak-anak tersebut memiliki jam kerja yang panjang rata-rata 5-11 jam 53, bahkan 22 anak
merupakan kelompok anak yang hidup dijalanan dengan waktu dijalan antara 12- 24 jam. Meski anak-anak ini bekerja dijalanan namun sebagiannya masih
berstatus sekolah, sedikitnya ada 48,2 anak yang sekolah. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi anak sehingga bisa
menghabiskan sebagian besar waktunya berada dijalan. Faktor yang mempengaruhi biasanya tidak bersifat tunggal namun saling berhubungan dan
saling berpengaruh antara satu dengan yang lainnya. Faktor ekonomi keluarga yang kurang mampu akan menuntut anak-anak untuk ikut menanggulanginya,
atau paling tidak mengusahakan sendiri kebutuhan dirinya seperti untuk mendapatkan uang sekolah atau uang jajan. Faktor lingkungan, dimana sebagian
Universitas Sumatera Utara
anak-anak tertarik melihat kawannya mendapatkan uang dari kegiatan di jalanan seperti dengan menjadi tukang semir sepatu, pengamen, menjual koran dan
bahkan dengan meminta-minta. Kehidupan anak jalanan sangat penuh resiko dan ancaman keselamatan
baik fisik, mental, sosial dan intelektual anak. ancaman kekerasan dan eksploitasi adalah resiko terbesar yang dihadapi anak-anak setiap harinya. Mereka juga
sangat rentan terlibat tindak kriminal dan perilaku negative lainnya seperti seks bebas, “ngelem” dan meninggalkan dunia sekolah. Banyak orang tua anak yang
melakukan pembiaran terhadap keberadaan anak dijalanan, bahkan sebagian orang tua justru yang mengeksploitasi anak mereka sendiri dijalanan.
Kondisi tersebut semakin hari semakin tidak dapat terkendali, padahal menurut UUD 1945, “anak terlantar dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah
mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada
hakekatnya sama dengan hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan
Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child Konvensi Hak Anak yang diperkuat dengan UU Perlindungan
Anak nomor 23 tahun 2002. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal, yaitu hak sipil dan kemerdekaan civil righ and freedoms, lingkungan
keluarga dan pilihan pemeliharaan family envionment and alternative care, kesehatan dasar dan kesejahteraan basic health and welfare, pendidikan, rekreasi
dan budaya education, laisure and culture activites, dan perlindungan khusus special protection.
Universitas Sumatera Utara
Lemahnya posisi anak dan tingginya resiko eksploitasi terhadap mereka mendorong dilaksanakannya program pemberdayaan empowerment yaitu
mendorong orang untuk menampilkan dan merasakan hak-hak asasinya. Upaya pemberdayaan ini menjadi agenda LSM-LSM untuk program-program
penanganan anak jalanan dan pekerja anak dewasa ini. Salah satu bentuk program pemberdayaan yang dilakukan LSM adalah dengan mendirikan rumah singgah.
Dimana rumah singgah ini akan berfungsi sebagai tempat tinggal mereka sementara dan sekaligus tempat mereka untuk mendapatkan bimbingan sosial,
pendidikan jalanan, ekonomi jalanan, bimbingan keluarga, kesenian dan advokasi. Kesemuanya ini bertujuan untuk membentuk rasa percaya diri anak. Proses
pemberdayaan yang dilakukan dalam rumah singgah mengutamakan partisipasi aktif orang untuk meraih keberdayaannya sendiri. Agar proses ini terlaksana ada
tiga kondisi yang harus dipenuhi yaitu: pertemanan, kesetaraan dan partisipasi. Prinsip kesetaraan sangat penting karena dengan sendirinya dapat membebaskan
buruh anak dari dominasi orang dewasa. Perwujudan prinsip kesetaraan melalui pertemanan ini terbukti efektif untuk menarik anak-anak agar terlibat dalam
kegiatan ini. Berkaitan dengan program penanganan anak jalanan dan pekerja anak,
Indrasari Tjandraningsih 1998 mengatakan kegiatan pendampingan dengan metode pendekatan Top Down, seperti program-program pemerintah, seringkali
tidak menampakkan hasil nyata. Beberapa kegiatan yang semula dianggap dapat bermanfaat bagi anak jalanan ternyata justru mereka tolak, karena mereka merasa
kurang relevan dengan kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya keterampilan kerja menjahit, bertenun, pertukangan dan lain-lain. Anak-anak yang
Universitas Sumatera Utara
sudah jenuh dengan kehidupan kerja menganggap kegiatan ini tidak menarik, karena itu program-program yang berisi pendidikan formal maupun keterampilan
kurang diminati oleh mereka. Di sini kemudian diketahui kegiatan yang mereka minati yaitu kegiatan yang menyediakan kebutuhan untuk mengekspresikan diri
dan kebutuhan untuk didengar, sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Program-program seperti kesenian, rekreasi, bercerita dan
lain-lain lebih banyak mengundang minat mereka untuk berpartisipasi di dalamnya. Jenis kegiatan kesenian dan berunsur ekspresi kemudian diterapkan
oleh banyak LSM karena telah dapat diidentifikasikan manfaatnya untuk mengukur tingkat keberdayaan kelompok sasaran, terutama dari daya kritis yang
terus berkembang. Berkaitan dengan usia minimal anak bekerja, ada tiga metode pendekatan
yang dianggap sebagai solusi menangani masalah anak jalanan, yaitu: pertama, open house system yaitu rumah singgah yang sifatnya sementara. Di sini anak-
anak dibina, dikenalkan dengan moral yang baik, menjadi anak yang sehat, beriman, disiplin, bersih. Kedua, Rumah singgah, anak yang ingin sekolah
dicarikan sekolah dan dirumah ini ia tinggal hanya singgah, lalu kembali ke orang tuanya. Fungsinya untuk kembali kemasyarakat. Sedangkan yang ketiga,
Boarding house system adalah rumah tunggu sementara, misalnya panti sosial remaja, selama 6 bulan dia diberi makan, diberi tempat tinggal, diberikan latihan
sampai ia mendapat pekerjaan. Secara konsep ketiga metode tersebut cukup ideal, tetapi metode
pendekatan tersebut sampai sekarang belum dapat dilaksanakan dengan baik, masih banyak rumah singgah yang tidak berjalan dengan baik. Kondisi terparah
Universitas Sumatera Utara
rumah singgah yang ada di Kota Medan terutama yang dikelola pemerintah adalah sulit untuk menemukan dimana posisi rumah singgah tersebut, dan kalaupun ada
ditemukan lokasinya tidak ada anak jalanan yang melakukan aktifitas didalamnya. Hal ini disebabkan banyak rumah singgah yang dikelola pemerintah tidak
memiliki perspektif anak, dan banyak sekali rumah singgah yang di bangun pemerintah, tidak memberi kenyamanan sehingga banyak rumah singgah yang
hanya menjadi rumah kosong tanpa penghuni. Yang lebih ironisnya lagi, program pemberdayaan anak jalanan melalui rumah singgah yang dilakukan pemerintah
hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi oknum-oknum pemerintah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Oknum-oknum pemerintah tersebut membuat
sebuah yayasan rumah singgah yang pada kenyataannya adalah fiktif, artinya diatas kertas yayasan tersebut ada, tetapi dilapangan kita sulit untuk menemuinya.
Yayasan fiktif ini tujuannya untuk menyerap dana APBD yang dialokasikan untuk Program Kesejahteraan Sosial Anak, dalam hal ini adalah Anak Jalanan di Kota
Medan. Hal ini dapat terlihat dari 17 rumah singgah yang dibangun Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, hanya 40 rumah singgah yang relative masih
aktif. Pemerintah Kota Medan sangat menyadari bahwa persoalan ini tidak bisa
diselesaikan sendiri oleh Pemerintah, karena secara de jura dan de facto pemerintah telah berusaha melakukan pencegahan dan pembinaan terhadap anak
jalanan seperti yang sudah dilaksanakan pada tahun 2010 oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan. Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah
melalui rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah pekerja anak di Indonesia pada bulan juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan
Universitas Sumatera Utara
sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses
pembinaan lebih lanjut. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan
membantu mereka. Rumah singgah sebagai salah satu metode pendekatan terhadap anak
jalanan menjalankan berbagai macam program pelayanan untuk anak jalanan. Setiap program yang dilaksanakan haruslah mendatangkan manfaat dan
kebutuhan anak jalanan itu sendiri. Rumah singgah yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini adalah Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas Anak SKA yang
didirikan oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKPA yang beralamat di Jl. Hasan Basri - No.3, Pinang Baris - Medan.
PKPA sebagai salah satu LSM yang konsern terhadap perlindungan anak khususnya di Kota Medan,
melihat semakin hari fenomena anak jalanan di Kota Medan semakin tinggi. Untuk itu sejak tahun 1998 PKPA merasa perlu mendirikan sanggar yang saat itu
masih berbasis rumah singgah bagi anak-anak jalanan di sekitar kawasan Terminal Pinang Baris, dalam perkembangannya terbentuklah SKA. SKA
mengkhususkan kegiatannya pada kegiatan pencegahan, perlindungan dan pengembangan minat dan bakat anak jalanan dan miskin kota. Kegiatan SKA
awalnya berupa pendampingan dan pemberdayaan anak jalanan misalnya belajar membaca, berhitung dan menulis.
Rumah Singgah SKA dipandang cukup berhasil menjalankan fungsinya sebagai tempat mereka untuk mendapatkan Pendidikan dan Keterampilan dimana
selain mereka akan diberi pendidikan dan keterampilan tambahan, para
Universitas Sumatera Utara
pendamping juga terus memberikan motivasi dan sugesti kepada anak-anak untuk tetap bersekolah. Untuk pendampingan bidang Seni dan Musik saat ini di Rumah
Singgah SKA telah terbentuk 3 tiga grup music yang telah melakukan beberapa rekaman lagu-lagu karya mereka. Untuk anak-anak yang mempunyai bakat di
bidang Olahraga juga difasilitasi oleh SKA, saat ini SKA memiliki Sekolah Sepak Bola yang secara rutin dilibatkan dalam turnamen-turnamen sepak bola di
seputaran Kota Medan. Kesemua itu dilakukan untuk meningkatkan derajat anak jalanan yang selama ini dipandang sebagai sampah masyarakat menjadi anak-anak
yang kreatif dan inovatif. Hal ini dapat dilihat dari capaian-capaian yang selama ini dilakukan oleh SKA. Saat ini ada 250 anak jalanan dikawasan Kota Medan
yang menjadi dampingan SKA, dari 250 anak jalanan tersebut, ada …. Anak jalanan yang melakukan aktifitas langsung di SKA.
Mengajak anak jalanan untuk mau melakukan aktifitas bersama di rumah singgah bukanlah sesuatu hal yang mudah. Perlu menyusun suatu strategi
pendekatan yang strategis, yaitu pendekatan berbasis penjangkauan anak-anak di jalanan street base. Model penjangkauan tersebut dilakukan dengan cara turun
kejalanan di tempat-tempat biasa anak jalanan melakukan aktifitasnya di beberapa titik persimpangan di Kota Medan. Dalam proses penjangkauan tersebut,
pendamping melakukan interaksi tatap muka langsung secara terus menerus sehingga terbangun rasa kepercayaan dan kedekatan secara emosional antara
pendamping dengan anak jalanan. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan cara membangun komunikasi antarpribadi yang efektif. Untuk mencapai
komunikasi yang efektif, perlu menyusun strategi komunikasi yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan melihat keberhasilan Rumah Singgah SKA dalam menjangkau anak jalanan di Kota Medan untuk beraktifitas bersama di Rumah Singgah,
menunjukkan bahwa SKA cukup layak dijadikan tempat untuk melihat Strategi Komunikasi yang mereka lakukan terhadap anak jalanan di Kota Medan.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian
mengenai Analisis Strategi Komunikasi Antar Pribadi Yayasan Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak PKPA Dalam Melakukan Pendampingan Anak
Jalanan Street Base Di Kota Medan Studi Kasus Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas Anak SKA binaan PKPA.
I. 2. Perumusan Masalah