9. Pelaksanaan Pengumpulan Data di Lapangan 10. Teknik Pengolahan Data 11. Analisis Data Kualitatif

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. 9. Pelaksanaan Pengumpulan Data di Lapangan

Pada saat melaksanakan penelitian, peneliti melakukan beberapa tahapan dalam proses pengumpulan data. Adapun tahap-tahapnya adalah sebagai berikut: a. Tahap Awal Peneliti diawali dengan meminta surat izin penelitian dari bagian pendidikan FISIP USU yang ditujukan kepada Direktur Eksekutif PKPA untuk melakukan penelitian di Lembaga tersebut. b. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan peneliti melalui teknik observasi langsung serta komunikasi tatap muka face to facecommunication melalui wawancara mendalam antara penulis dengan informan, dengan berpedoman kepada daftar pedoman wawancara. Disamping itu, penulis juga mempersiapkan tape recorder sebagai alat perekam suara dan buku-buku catatan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi kerika proses pengumpulan data dilakukan. Kemudian peneliti juga mengumpulkan data pendukung mengenai PKPA, yang peneliti peroleh dari bagian informasi. Penelitian dilakukan dengan mewawancarai secara mendalam indepth interview. Para informan dalammpenelitian ini merupakan pendamping anak jalanan di SKA-PKPA. Universitas Sumatera Utara

I. 10. Teknik Pengolahan Data

Setelah peneliti berhasil mengumpulkan data dari responden, maka peneliti melakukan proses pengolahan data dari hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan peneliti dengan informan. Pada tahap ini, peneliti menguraikan observasi dan juga hasil wawancara terhadap informan penelitian. Kemudian peneliti menguraikan jawaban-jawaban informan berdasarkan penuturan informan yang sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, serta literature yang berkompeten dengan masalah penelitian.

I. 11. Analisis Data Kualitatif

Disini peneliti mendapatkan 3 tiga orang informan sebagai subjek penelitian. Peneliti menggunakan teknik snowball untuk mengumpulkan informan. Snowball sampling adalah teknik penentuan sample yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama menjadi besar. Dalam penentuan sampel, pertama-taman dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan dua orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mewawancarai orang ke tiga untuk melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya. Data para informan dapat dilihat dari table dibawah ini: Tabel 1 Karakteristik Informan No Nama Informan Jenis Kelamin Umur Jabatan 1 Wina Meriana Parinduri Perempuan 28 thn Pendamping 2 Lasto Laki-laki 24 thn Pendamping 3 Iwan Laki-laki 35 thn Pimpinan SKA-PKPA Universitas Sumatera Utara Berikut adalah hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan:

1. Informan I : Wina Meriana P. wawancara dilakukan pada 29 November 2011

Setelah melakukan observasi dan juga wawancara mendalam, peneliti mengetahui bahwa Wina telah menjadi pendamping anak jalanan kurang lebih 6 enam tahun semenjak tahun 2005 di Sanggar Kreatifitas Anak SKA. Setelah 1 satu tahun menjalani profesi sebagai pendamping anak jalanan, pada tahun 2006 wanita lulusan Unimed ini pernah mendapat pelatihan tentang pendampingan anak jalanan, pelatihan ini diselenggarakan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang fokus terhadap perlindungan anak di Kota Medan, yakni Kelompok Kerja Sosial Perkotaan KKSP dan YAKMI. Wina menjadi seorang pendamping anak jalanan bukanlah sesuatu yang ia sengaja, ketika tahun 2005 melamar pekerjaan di PKPA, Wina tidak menyangka kalau dirinya langsung ditempatkan sebagai pendamping anak jalanan di SKA- PKPA. Dari sinilah berangkat keprihatinan Wina melihat banyak anak-anak jalanan di Kota Medan yang tidak bersekolah dan tidak bisa membaca dengan baik. Naluri Wina yang memiliki basic pendidikan yang dia raih di Universita Negeri Medan UNIMED semakin memantapkan dirinya untuk menjadi pendamping anak jalanan di SKA-PKPA. Alasan ini diketahui peneliti dari jawaban yang disampaikan Wina: Satu sisi aku sukak dengan anak-anak, yang kemudian karena aku basic nya adalah pendidikan. Ini sebenarnya tidak disengaja, ketika Universitas Sumatera Utara pertama kali aku masuk ke PKPA, aku langsung di tempatkan sebagai pendamping di SKA-PKPA, nah semenjak itu aku melihat banyak anak-anak yang tidak bersekolah, kemudian ada anak putus sekolah yang belum bisa membaca dengan baik. Dari sini kemudian aku merasa tertarik, basic aku pendidikan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu mereka. Aku mikirnya, ini kan Kota Medan, masak di Kota yang besar seperti ini ternyata masih banyak anak-anak yang putus sekolah dan yang lebih parah malah tidak bersekolah. Wina dipercaya oleh SKA-PKPA untuk mendampingi anak jalanan di wilayah Pinang Baris. Wanita berusia 28 tahun ini mengaku cukup memahami karakteristik anak jalanan yang menjadi dampingannya. Wina melihat factor pendorong mereka menjadi anak jalanan biasanya karena factor ekonomi dan keluarga yang broken home, ke dua factor ini menurut pengakuan Wina relative seimbang antara factor ekonomi dan broken home. Biasanya diawali dengan keluarga yang berantakan, kemudian keluarga tidak lagi memperhatikan dan memperdulikan si anak, ini lah yang mengawali mereka hidup secara bebas menjadi anak jalanan untuk melakukan kegiatan berjudi, ngelem, mencuri dan sebagainya. Hal tersebut terlihat dari penuturan Wina yang mengatakan: “Karena wilayah dampingan aku di daerah Pinang Baris, jadi aku lebih memahami karakteristik anak jalanan di wilayah dampingan aku saja. Kalau pemahaman aku melihat anak jalanan di daerah sini, mereka menjadi anak jalanan karena ada beberapa factor, biasanya karena factor ekonomi, kemudian keluarga yang broken home. Memang pada umumnya mereka karena factor ekonomi, tetapi sebenarnya untuk wilayah Pinang Baris, relative seimbang antara factor ekonomi dengan factor broken home. Terkadang kalau sudah keluarga nya berantakan, anak sering tidak diperhatikan, kemudian hidup secara bebas, mereka dengan sesuka hati melakukan kegiatan judi, ngelem, mencuri, atau sebagainya. Biasanya ini lah yang menyebabkan kemudian mereka menjadi anak jalanan.” Selama kurun waktu 6 enam tahun Wina menjalani profesi sebagai pendamping anak jalanan, ada 80 delapan puluh anak jalanan di daerah Pinang Universitas Sumatera Utara Baris yang Wina dampingi. Dari jumlah tersebut rata-rata berusia antara 6 tahun sampai dengan 13 tahun. Dari jumlah anak jalanan yang menjadi dampingannya, Wina mengaku tidak semua anak jalanan dampingannya dia ketahui latar belakangnya dengan baik, hanya ada 10 sepuluh anak jalanan saja yang betul-betul dia ketahui. Menurut Wina bukan pekara mudah untuk bisa mengenal dengan baik latar belakang mereka, untuk 1 satu anak jalanan saja Wina membutuhkan waktu hampir 1 satu tahun. Peneliti juga bertanya apakah semua anak jalanan sulit untuk dicari latar belakangnya, Wina menjawab bahwa yang paling susah kalau anak jalanan yang tidak jelas keluarganya, karena menurut Wina tidak ada lagi sumber informasi yang bisa dia dapat. Sementara untuk anak ajalanan yang masih memiliki keluarga, relative lebih mudah menurutnya. Seperti yang dikatakan Wina, “Kalau untuk semuanya, belum la, dari 80 anak yang menjadi dampingan ku, baru 10 anak yang aku kenal dengan baik latar belakang nya. Untuk 1 anak aja, hampir 1 tahun baru aku bisa kenal mereka dengan baik. Apalagi anak jalanan yang tidak jelas keluarga nya, terpaksa aku harus cari informasi dari lingkungananya. Kalau anak jalanan yang masih bersekolah, keluarganya masih ada, jadi lebih mudah la untuk cari tau latar belakangnya.” Wina punya cara untuk mengetahui latar belakang masing-masing anak jalanan dampingannya. Biasanya yang dilakukannya membangun pertemanan sehingga terbangun rasa saling mempercayai antara pendamping dengan anak jalanan dampingannya. Wina biasa berinteraksi langsung face to face dengan mereka, atau terkadang mencari informasi melalui lingkungannya, dan kalau mereka masih memiliki keluarga dan masih bersekolah, Wina juga berinteraksi dengan keluarga dan guru-guru mereka. Seperti penuturan Wina Universitas Sumatera Utara “Biasanya cara aku cari tahu latar belakangnya, aku membangun kepercayaan antara aku dan mereka, jadi mereka tidak merasa asing dengan aku. Aku tidak langsung menanyakan tentang dirinya, awalnya aku nanyak-nanyak hal yang ringan, misalnya berapa dia dapat hari itu, terus pelan-pelan ngobroli tentang kehidupannya, keluarganya, atau nanyai yang lainnya. Selain ngobrol dengan mereka langsung, kalau lama kelamaan kita sudah kenal baik mereka, dan sudah kenal dengan keluarganya, kita bisa lebih dalam lagi mengorek informasi dengan keluarganya, dan juga lingkungannya. Kalau dia masih sekolah, kadang aku ngobrol dengan guru-gurunya.” Sebagai seorang pendamping, tentunya Wina selalu punya rencana apa yang harus dilakukannya terhadap anak jalanan dampingannya. Wina menuturkan, kalau anak dampingannya yang masih bersekolah formal, dia terus memberikan motifasi untuk terus bersekolah. Sementara untuk anak dampingannya yang tidak bersekolah atau putus sekolah, Wina berusaha bagaimana mereka mau mengikuti program pemerintah untuk Paket A, Paket B dan Paket C. itu merupakan target ideal yang harus di lakukan Wina untuk anak jalanan dampingannya, tetapi Wina juga menyadari hal tersebut tidaklah mudah, mengingat Wina harus mendampingi 80 delapan puluh anak jalanan yang harus dia dampingi. Hal ini diketahui setelah Wina mengatakan: “Kalau target pasti ada la, misalnya kalau dia masih sekolah, bagaimana kita terus memotifasinya untuk tetap sekolah dan memberi mereka keterampilan, kalau yang tidak bersekolah lagi bagaimana kita mengupayakan supaya mereka mau sekolah lagi atau paling tidak mengikuti program Paket A, B dan C. tapi target-target seperti itu rasanya sulit kali kalau melihat sumberdaya pendamping yang aku sendiri harus mendampingi 80 orang anak, ini kan kondisi yang tidak ideal. Tapi paling tidak mereka mau aja maen ke sanggar dan mengikuti kegiatan sanggar, itu sudah lebih dari cukup.” Wina merasa tidak ada persiapan khusus yang dilakukannya, hanya saja penting untuk menentukan siapa anak dampingan yang akan dijumpai hari ini, kemudian harus tau dimana biasanya mereka “mangkal” dan kapan waktu yang Universitas Sumatera Utara tepat untuk mengajak mereka berinteraksi, selebihnya mengalir begitu saja. Tidak ada materi pesan yang harus dipersiapkan Wina, kecuali memang Wina merasa ada hal-hal yang harus dia ketahui dari anak dampingan yang akan dijumpainya. Menurut Wina ada hal-hal yang perlu dihindari ketika berinteraksi dengan mereka, yaitu Wina berusaha menghindari kesan kalau Wina sedang mengorek informasi dari mereka, selanjutnya Wina juga menghindari materi obrolan yang diluar konteks mereka. Berikut penuturan Wina: “Sebenarnya gak ada persiapan khusus, yang penting aku harus tau dulu hari ini kira-kira siapa anak yang akan aku jumpai, kalau sudah tau siapa yang akan aku jumpai, misalnya si A, aku juga harus tau si A biasanya mangkalnya dimana, jam-jam berapa dia bisa di ajak ngobrol, kalau bahan obrolan biasanya spontan aja, mengalir ketika ngobrol. Yang perlu dihindari ketika ngobrol dengan mereka, jangan sampai muncul kesan kalau kita sedang mengorek informasi dari mereka.” Dalam hal isi pesan, sesuai pengetahuan peneliti dari hasil wawancara dengan Wina, tidak ada pesan khusus yang dipersiapkan oleh Wina ketika berinteraksi dengan anak jalanan dampingannya. Berikut penuturan Wina: “Apa ya…kalau tidak ada hal serius yang perlu di obroli, biasanya aku nanyai udah dapat berapa hari ini, terus nanyai kabarnya gimana, kadang mereka cerita kalau tadi ada dimaki sama orang, macam-macam la, seperti kita ngobrol sama kawan. Intinya ngobrol dengan mereka jangan kita arahkan untuk ngobrol di luar konteks mereka, nanti jadinya mereka merasa tidak nyaman ngobrol dengan kita, apalagi kalau anak- anak yang tidak bersekolah, kalau anak jalanan yang masih sekolah masih mudah kita mengarahkan pembicaraan yang sifatnya memberikan pengetahuan atau informasi.” Latar belakang anak jalanan dampingannya menjadi alasan Wina untuk membedakan isi pesan yang mereka diskusikan, misalnya antara anak jalanan yang tidak sekolah dengan anak jalanan yang masih bersekolah. Kalau anak jalanan yang tidak bersekolah Wina lebih kepada mendiskusikan tentang minat dan bakat mereka, sementara untuk anak jalanan yang masih bersekolah, Wina Universitas Sumatera Utara lebih banyak menyampaikan isi pesan yang sifatnya memotivasi mereka untuk terus bersekolah. Jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan menjadi factor pembeda dalam isi pesan yang disampaikan Wina. Hal ini terbukti dari pernyataan Wina yang mengatakan bahwa: “Pastinya berbeda-beda la antara satu anak dengan anak yang lainnya, misalnya kalau si A masih sekolah, biasanya menyampaikan pesan- pesan untuk memotivasi mereka supaya semangat untuk tetap sekolah. Sementara kalau anak jalanan yang tidak lagi sekolah, biasanya ngobroli tentang minat dan bakat mereka. Selain itu, soal usia anak, laki-laki atau perempuan juga menjadi factor pembeda isi pesan antara satu anak dengan anak lainnya.” Dalam berinteraksi, Wina mengaku tidak pernah menggunakan alat atau media untuk menyampaikan pesan yang akan disampaikan kepada anak jalanan dampingannya, Wina hanya melakukannya dengan cara verbal. “Kalau cuma pendampingan biasa secara regular, tidak perlu menggunakan alat atau media khusus ketika ngobrol dengan mereka. Sampaikan aja langsung apa yang mau kita sampaikan. Kecuali dalam sebuah pelatihan atau sedang ngajari sesuatu, itu baru pakai alat.” Selama Wina melakukan interaksi dengan anak jalanan dampingannya, Wina mengaku kerap sekali mendapatkan masalah. Biasanya masalah yang dihadapi Wina adalah waktu kunjungan lapangan, dimana ada kalanya saat Wina berinteraksi, mereka belum mendapat setoran, sehingga mereka tidak mau berlama-lama untuk berinteraksi. Selain soal waktu, yang menjadi hambatan adalah “mood” mereka yang sedang tidak bagus, sehingga susah untuk berinteraksi. Isi pesan yang disampaikan juga bisa menyebabkan masalah, Wina menjelaskan kalau mereka merasa dinasihati, muncul ketidak senangan mereka dan akan meminggalkan kita. Berikut penuturan Wina kepada peneliti: Universitas Sumatera Utara “Pasti ada masalah, biasanya masalah waktu, terkadang kalaupun aku tau kapan waktu senggang mereka, tapi gak bisa jadi jaminan, kalau kebetulan mereka belum dapat setoran, untuk ngobrol 15 menit aja mereka susah, alasannya belum dapat setoran ni kak, nanti-nanti aja ya. Itu satu, yang kemudian masalah kalau seandainya mereka lagi gak “mood” susah kali kita mau berinteraksi, apa pun yang kita obrolin mereka cuek aja. Terus, kalau mereka merasa kita nasihati atau kita larang mereka ngelem atau main judi, mereka pergi jauhi kita, pokoknya kalau kita larang apa yang mereka suka, pasti mereka jauhi kita.” Untuk masalah itu semua, Wina memiliki cara untuk mengatasinya. Menurut Wina, melakukan observasi lapangan terlebih dahulu merupakan cara yang tepat. Dari hasil observasi yang dilakukan, Wina jadi tau apa yang harus dilakukannya. “Ya pandai-pandai kita aja la, kalau liat dia lagi gak “mood” ngobrolinya yang sifatnya bisa menghibur mereka, gak yang ngobroli serius. Kalau pas mereka belum dapat setoran, ya lebih bagus gak usah diganggu dulu. Kalau mereka lagi ngelem atau maen judi, ya dibiari aja dulu, ntar kalau mereka udah mulai sadar, pelan-pelan aku nasihati. Mereka ini sangat sensitive, jadi aku juga sebagai pendamping harus sensitive juga terhadap mereka, pelan-pelan kita bisa tau karakter mereka.” Wina merasa, pesan yang selama ini disampaikannya kepada anak jalanan dampingannya bisa mereka terima dengan baik. Tetapi itu semua tergantung situasi ketika Wina menyampaikan pesan kepada mereka. Pengakuan Wina, kalau mereka sedang tidak “mood” apapun yang disampaikannya tidak akan mereka terima dengan baik. Berikut penuturan Wina kepada peneliti: “Tergantung situasi, itu tadi seperti aku bilang tadi, kalau memang mereka gak “mood” apa pun yang kita sampaikan mereka gak mau perduli, Nampak itu bang dari muka nya, trus pandangannya entah kemana-mana, nanti nada suaranya tinggi. Tapi kalau mereka lagi dapat “mood” nya, aku yakin apa yang aku sampaikan ke mereka, mereka dengar dengan baik, misalnya kalau aku tentukan hari rabu maen ke sanggar, mereka pasti datang. Terus kalau aku bilang rajin-rajin kesekolah, mereka jadi rajin. Ya bisa dilihat dari perilaku juga la.” Universitas Sumatera Utara Agar pesan yang disampaikan Wina bisa diterima mereka dengan baik, Wina selalu mempelajari sikap, watak dan kebiasaan mereka masing-masing. Wina juga tidak hanya satu kali menyampaikan pesan kepada mereka, Wina selalu menyampaikan pesan yang sama berulang-ulang. Hal ini sesuai penuturan Wina: “Kalau aku sih pelan-pelan mempelajari sikap, watak, dan kebiasaan mereka masing-masing. Kalau mereka masih punya keluarga, ya aku masuk nya melalui keluarga nya. Yang tepot kalau si anak gak punya keluarga, karena kita hanya terpaku kepada si anak itu aja. Aku pun gak cuma 1 kali menyampaikan sesuatu kepada mereka, kalau hari ini belum lengket di otak mereka, ya lain waktu aku menyampaikan hal yang sama.” Dalam melakukan interaksi, Wina tidak mendominasi pembicaraan. Wina selalu mengedepankan prinsip partisipatif yang selalu mengedepankan persamaan antara pendamping dengan anak dampingannya. “Oh iya, kita kan sifatnya partisipatif ya, artinya kita mengedepankan persamaan, jadi siapa saja berhak menyampaikan pendapatnya. Jadi ketika berinteraksi, mereka juga berhak untuk mengatakan “tidak” atau “iya” atau apalah yang akan mereka katakan.” Menurut Wina, sikap yang harus dibangun oleh pendamping untuk mendampingi anak jalanan adalah penting untuk menumbuhkan sikap pertemanan dan menghindati perbedaan antara pendamping dan anak jalanan. Wina menambahkan pendamping seorang pendamping juga harus peka terhadap persoalan yang mereka hadapi. Berikut penuturan wina kepada peneliti: “Yang penting kita harus bisa menganggap mereka adalah teman mereka, tidak ada perbedaan antara aku sebagai pendamping dengan mereka sebagai anak jalanan yang sedang aku dampingi. Kita harus menjadi bagian dari kehidupan mereka, ketika mereka dijalanan, kita juga harus berada di jalanan bersama mereka, apa yang mereka makan, itu juga yang kita makan. Kalau aku sedang ada masalah, kadang-kadang aku mau cerita dengan mereka, itu tujuannya supaya mereka juga mau terbuka dengan aku. Aku harus peka dengan persoalan yang mereka hadapi, ketika mereka sedang ada masalah, aku harus bisa membantunya. Kalau sudah seperti itu, aku sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Universitas Sumatera Utara Analisis Kasus I Keprihatinan Wina melihat banyak anak jalanan dampingan SKA-PKPA yang tidak pernah merasakan dunia Pendidikan, menarik minat Wina yang memiliki basic pendidikan untuk menjadi pendamping anak jalanan di SKA- PKPA. Wina dipercaya SKA-PKPA untuk mendampingi anak jalanan di wilayah Pinang Baris. Untuk wilayah Pinang Baris, wina menyimpulkan ada 2 dua factor utama yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan, factor yang paling besar adalah factor ekonomi dan factor broken home, kedua factor ini saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Selama kurang lebih 5 lima tahun, Wina telah mendampingi 80 delapan puluh anak jalanan di sekitar Pinang Baris. Ini bukan jumlah yang sedikit bagi seorang pendamping, melihat rumitnya persoalan yang mereka hadapi sehari-hari. Dalam kurun waktu tersebut saja, wina mengaku hanya 10 sepuluh anak yang dia ketahui betul latar belakang anak dampingannya. Untuk 1 satu anak dampingan saja, wina membutuhkan kurang lebih 1 satu tahun. Dalam melakukan pendampingan, hal yang paling utama dilakukan Wina adalah mengetahui latar belakang anak jalanan dampingannya. Proses ini perlahan dilakukan Wina dengan cara membangun kepercayaan antara dirinya dengan anak jalanan dampingannya. Selain itu, wina juga melakukan pendekatan melalui keluarga jika mereka masih memiliki keluarga, atau dengan guru kalau mereka yang masih bersekolah. Dalam melakukan pendampingan berbasis penjangkauan anak-anak di jalanan street based, terlebih dahulu Wina harus menentukan siapa anak jalanan Universitas Sumatera Utara yang akan wina dampingi, kemudian wina harus tau dimana anak tersebut mangkal, selanjutnya Wina juga harus memperhatikan jam berapa anak tersebut dapat dijumpai untuk melakukan interaksi, sementara untuk isi pesan yang akan wina diskusikan, tidak pernah wina persiapkan sebelumnya, karena isi pesan biasanya mengalir begitu saja, kecuali ada hal-hal penting yang memang harus di diskusikan. Bagi seorang pendamping, wina juga memperhatikan apakah anak tersebut sedang dalam keadaan “mood” yang bagus, karena kalau dalam situasi “mood” yang tidak bagus, biasanya anak tersebut sering mengabaikan Wina ketika berinteraksi, hal ini menyebabkan pesan yang disampaikan tidak diterima dengan baik. Selama melakukan interaksi, wina tidak pernah menggunakan media atau alat tertentu, wina hanya munikasi antar pribadi dengan cara face to face secara verbal. Prinsip partisipatif selalu menjadi hal yang terdepan dilakukan Wina, tidak mendominasi dalam berinteraksi dan selalu memberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat. Menurut Wina, seorang pendamping harus bisa menciptakan rasa persamaan antara pendamping dan anak jalanan dampingan. Selain itu harus bisa menunjukan rasa empaty terhadap kondisi yang mereka hadapi dan bisa bersikap jujur untuk menilai semua pendapat yang mereka utarakan, sehingga seorang pendamping memutuskan mana pendapat yang harus didukung dan mana yang tidak.

2. Informan II : Lasto wawancara dilakukan pada 29 November 2011

Sebagaimana peneliti ketahui, Lasto sudah lebih 2 dua tahun menjadi seorang pendamping anak jalanan di SKA-PKPA. Kesehariannya dihabiskan Universitas Sumatera Utara untuk melakukan pendampingan dibeberapa lokasi sekitar Kota Medan. Antara lain, Simpang Guru Pantimpus dan Pasar Petisah. Pria yang tinggal di Komplek Perumahan Benhill Blok C-4 Tembung ini, belajar menjadi pendamping anak jalanan secara otodidak, tidak ada pelatihan khusus yang didapatnya. Menurut informan, ia banyak belajar dari pimpinan SKA-PKPA yang sudah punya pengalaman banyak tentang pendampingan anak jalanan di Kota Medan. Peneliti mengetahui hal ini dari penuturan informan langsung: “Pelatihan secara khusus belum pernah, tetapi selama ini banyak belajar dari pendamping-pendamping yang lebih senior di sini, seperti bang Iwan pimpinan SKA-PKPA.” Setelah lasto menjadi pendamping anak jalanan, Lasto mendefinisikan sendiri pemahamannya tentang anak jalanan. Berikut penuturannya: “Kalau menurut aku, anak jalanan itu ya anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu di jalan, tidak hanya dia menjadi pengamen atau pengemis, tetapi termasuk anak-anak yang awalnya hanya sekedar bermain dan bergaul di jalanan dan tidak melakukan pekerjaan apa-apa. Tetapi anak-anak seperti ini akhirnya bisa menjadi murni anak jalanan, merek juga perlahan ikut ngelem, berjudi atau aktivitas lainnya.” Berbeda dengan informan sebelumnya, alasan lasto menjadi pendamping dikarenakan ada rasa kebanggaan yang dia dapat ketika dia mampu membantu orang lain, selain itu juga lasto merasa menjadi pendamping akan semakin menambah keluarganya di Kota Medan. Berikut penuturan informan: “Kadang ada semacam kebanggaan sendiri ketika kita mampu membantu orang lain, dan ada kesenangan di dalam diri ku, misalnya aku bisa mengenal dan berinteraksi selain pada mereka aku juga bisa berkenalan dengan keluarga mereka kalau yang punya keluarga. Ya itung- itung nambah keluarga baru.” Universitas Sumatera Utara Selama kurun waktu 2 dua tahun lasto menjadi pendamping, kurang lebih ada sekitar 80 anak jalanan yang didampinginya. Menurut Lasto, factor yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan, biasanya yang terjadi di semua daerah dampingannya adalah factor ekonomi, broken home, dan memang keluarganya hidup dijalanan. Ketika lasto akan melakukan pendampingan, biasanya lasto menjumpai mereka di tempat biasa mereka mangkal, misalnya untuk anak jalanan di daerah Pasar Petisah, mereka biasa mangkal di atas gedung Pasar Petisah yang terdapat ruangan kosong. Sementara untuk anak-anak jalanan di daerah simpang kelambir, mereka biasanya mangkal di rumah kosong. Dari 80 anak jalanan yang didampingi Lasto, tidak semua anak yang informan kenal dengan baik latar belakang nya. Disini informan merasa untuk mengenal 1 satu anak saja, informan membutuhkan waktu sampai 1 satu tahun. Ini disebabkan banyaknya anak dampingan yang harus informan dampingi. Berikut penuturan informan kepada peneliti: “Gak sampai semuanya aku kenal latar belakang mereka, itu pun tidak detail aku kenal mereka satu per satu. Untuk 1 anak saja, sampai sekarang kalau mengenal detail mereka belum bisa. Persoalannya adalah waktu yang sulit kita dapatkan dari mereka, itu tadi kalau mereka belum dapat setoran, untuk ngobrol 15 menit saja sulitnya mintak ampun.” Sebenarnya satu sisi Lasto mendapat kemudahan dalam pendampingan, kaena lasto mendampingi kelompok anak jalanan yang memang selama ini sudah menjadi dampingan SKA-PKPA, sehingga anak jalanan dampingan lasto sudah terbiasa dengan dinamika pendampingan. Untuk masuk ke keluarga dan lingkungan mereka, lasto telah mendapat kemudahan. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Lasto: Universitas Sumatera Utara “Kebetulan aku masuk kedalam sebuah komunitas anak jalanan yang sudah terbentuk, artinya komunitas yang selama ini menjadi dampingan SKA-PKPA, jadi bukan komunitas yang baru, aku cukup dikenalkan pendamping sebelumnya yaitu bang Iwan pimpinan SKA- PKPA kepada mereka, ya setelah itu pelan-pelan aku dalami latar belakang mereka, aku ngobrol kemereka langsung, aku juga sering berkunjung ke keluarga mereka, selain itu aku juga bergaul dengan lingkungannya.” Tidak ada target khusus yang dipersiapkan lasto dalam mendampingi anak jalanan dampingannya. Pengakuan lasto kepada peneliti, bahwa untuk bisa membuat mereka mau mendengar apa yang kita sampaikan saja, itu sudah prestasi yang luar biasa bagi seorang pendamping. Berikut penuturan Lasto kepada peneliti: “Gak ada, yang penting aku dampingi mereka, kalau untuk mendampingi mereka, gak usah muluk-mukul untuk merubah mereka menjadi seperti ini atau menjadi seperti itu, mau saja mereka mendengarkan nasihat kita, itu sudah capaian yang luar biasa. Yang penting untuk saat ini aku bisa membantu mereka, misalnya kalau mereka putus sekolah, aku bantu mereka bagaimana caranya bisa melanjutkan sekolahnya. Karena mereka tidak bisa dipaksa, kalau mereka dipaksa, mereka akan jauh dari kita.” Ketika peneliti menanyakan tentang strategi yang dipersiapkan informan ketika akan melakukan pendampingan di jalanan, informan mengaku tidak ada strategi khusus yang dipersiapkan. Informan cukup menentukan siapa anak yang akan ia dampingi, kemudian mempersiapkan materi apa yang disampaikan, selanjutnya informan harus mengetahui informasi apa yang akan disampaikan, dimana informan bisa menjumpainya, dan kapan waktu yang tepat untuk berinteraksi. Yang dilakukan informan selama ini juga, ketika anak yang akan dijumpai tidak berada ditempat biasa mangkal, informan akan melakukan Universitas Sumatera Utara interaksi dengan kelaurga si anak jika ada, atau lingkungan sekitar si anak. Hal ini seperti yang dikatakan Lasto: “Gak ada persiapan yang khusus, ya sesuai dengan kebutuhan aja, misalnya kalau aku hari ini butuh informasi tentang latar belakang si A, ya aku harus mikir, untuk hari ini latar belakang tentang apanya yang harus aku obrolin dengan nya, karena dengan keterbatasan waktu mereka, jadi tidak bisa sekaligus semua kita obrolin dengan nya, jadi cari informasi yang penting-penting aja dulu, misalnya tentang kehidupannya sebelum di jalanan. Kemudian aku harus tau tempat mangkalnya dimana, jam berapa aku jumpai, terus kalau dia gak ada ditempat aku juga harus tau dimana keluarganya. Ya persiapan-persiapan seperti itu la.” Selama lasto melakukan pendampingan, lasto mengaku tidak ada materi khusus yang ia diskusikan dengan anak dampingannya. Biasanya materi yang mereka diskusikan justru muncul seketika ketika mereka berinteraksi, dan itu semua seputar kehidupan mereka. Lasto jarang sekali mengarahkan sebuah materi ketika berinteraksi, karena menurut lasto, kalau materi yang didiskusikan tidak menarik bagi mereka, mereka akan terus mencari alasan untuk meninggalkan kita. Lebih mudah lasto berinteraksi dengan anak jalanan yang masih bersekolah, karena relatif masih mau mendengarkan nasihat darinya, sementara kalau anak jalanan yang tidak bersekolah, mereka merasa tidak punya masalah dalam hidupnya, jadi mereka merasa tidak ada yang perlu didiskusikan. Hal ini seperti penuturan Lasto: “Kalau sifatnya mereka sedang dalam kelompoknya, tentunya gak ada materi khusus yang dibahas selama mendampingi mereka, mengalir saja ikuti irama diskusi yang mereka ciptakan sendiri. Karena kalau kita memasukan materi khusus kepada mereka, sementara mereka tidak tertarik, pelan-pelan mereka akan pergi ninggali kita. Tetapi kalau anak jalanan yang masih bersekolah, lebih mau bercerita untuk mendiskusikan sesuatu lebih khusus, misalnya mendiskusikan persoalan yang sedang dia hadapi, atau diskusi soal hoby atau pentingnya pendidikan. Tetapi kalau anak jalanan yang tidak sekolah mereka menganggap tidak punya persoalan dalam menjalani hidup ini, jadi gak ada yang perlu di diskusikan.” Universitas Sumatera Utara Dalam berinteraksi, Lasto selalu memberi kesempatan kepada mereka mengutarakan pendapat ketika berinteraksi. Justru menurut Lasto, ia lebih banyak mendengar. Hal ini seperti yang disampaikan Lasto: “Justru aku biasanya lebih banyak mendengar mereka, karena materi yang diobroli kan munculnya dari mereka, jadi mereka lebih banyak memberi respon dari pada aku.” Perbedaan karakter, watak, persoalan yang dihadapi, latar belakang, dan jenis kelamin mereka akan membedakan materi ketika Lasto berinteraksi dengan mereka. Menurut Lasto, tentu tidak sama materi yang akan didiskusikan antara anak perempuan dengan anak laki-laki. Berikut penuturan Lasto: “Pastinya berbeda-beda la, karena jenis kelamin, karakter, persoalan dan latar belakang mereka kan berbeda-beda juga. Jadi yang didiskusikan juga berbeda-beda. Pasti tidak sama apa yang kita diskusikan antara anak perempuan dengan anak laki-laki.” Didalam interaksi Lasto dengan anak dampingannya, Lasto tidak pernah menggunakan media atau alat ketika menyampaikan materi pesan. Lasto melakukan semuanya langsung secara verbal, karena apa yang didiskusikan lasto dengan anak dampingannya tidak membutuhkan media atau alat. Hal ini seperti yang disampaikan Lasto: “Selama ini gak pernah ada menggunakan media atau alat ketika menyampaikan sesuatu, ngobrol aja langsung dengan mereka. Karena memang selama ini gak ada mendiskusikan sesuatu yang membutuhkan alat.” Selama lasto menjadi pendamping anak jalanan di beberapa lokasi Kota Medan, Lasto kerap mengalami masalah. Masalah utama yang lasto hadapi adalah persoalan waktu. Dimana menurut Lasto, kalau kita tidak bisa menyesuaikan Universitas Sumatera Utara waktu dengan mereka, kita tidak akan bisa berinteraksi dengan mereka. Apalagi pada saat itu mereka belum mendapatkan uang setoran. Masalah lain yang dihadapi Lasto adalah sikap “cuek” mereka. Lasto mengaku anak jalanan yang ia dampingi merasa tidak ada masalah dalam hidupnya, sehingga mereka tidak mau ada orang yang mengurusi mereka. Lasto menambahkan, masalah ini semua terjadi karena ia merasa beum begitu mengenal anak dampingannya, karena ia relatif masih baru menjadi pendamping, sehingga belum memahami antara satu dengan lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan Lasto: “Pasti ada, yang paling sering terjadi persoalan waktu, waktu bagi mereka sangat berharga, kalau kita tidak bisa menyesuaikan waktu dengan mereka, kita gak akan bisa mengajak mereka ngobrol. Biasanya mereka mulai turun kejalanan mulai jam 12 siang, karena kalau pagi mereka masih tidur, jadi kalau mau mengajak mereka ngobrol, biasanya sore hari sekitaran jam 6, karena mereka sudah dapat uang dari hasil ngamen atau mengemis. Kalau mereka belum dapat uang, mereka gak akan mau diajak ngobrol. Selain persoalan waktu, sikap “cuek” mereka menjadi hambatan juga. Mereka merasa tidak punya masalah dalam hidupnya, jadi masa bodoh dengan apa yang kita sampaikan. Kadang mereka anggap kami ini para pendamping, menjadi beban mereka, karena mereka gak sukak diurusi, maunya bebas aja. Mungkin juga masalah ini ada karena aku relatif masih baru mendampingi mereka, sehingga kami belum begitu dekat antara satu dengan lainnya.” Untuk mengatasi masalah tersebut, sejauh ini lasto hanya berupaya membangun rasa saling percaya antara ia dengan anak dampingannya, kemudian menumbuhkan rasa persamaan, selanjutnya selalu mendukung hal-hal positif yang dilakukan mereka. Selanjutnya Lasto terus berupaya menumbuhkan rasa saling keterbukaan. Lasto menambahkan, jika hal tersebut sudah hadir antara ia dengan Universitas Sumatera Utara dampingannya, maka persoalan yang selama ini dihadapinya juga dapat diminimalisir. Hal ini seperti yang disampaikan Lasto: “Aku berusaha membangun kepercayaan antara aku dengan mereka. Karena kalau mereka sudah percaya sama aku, aku yakin masalah-masalah yang aku hadapai bisa jadi lebih ringan. Yang aku ketahui, seorang pendamping itu selain harus membangun kepercayaa dengan mereka, pendamping juga harus bisa menghilangkan perbedaan antara pendamping dengan dampingannya, kemudian saling mendukung dan terbuka satu sama lain. Aku rasa, kalau ini semua sudah ada, mudah- mudahan masalah dalam proses pendampingan juga bisa diminimalisir.” Walaupun dengan segala persoalan yang dihadapi lasto ketika melakukan pendampingan, tetapi Lasto tetap yakin apa yang ia sampaikan ke anak jalanan dampingannya dapat mereka terima dengan baik. Keyakinan lasto ini diakuinya dengan melihat raut wajah dan respon mereka ketika berinteraksi. Selain itu, ada perilaku yang sedikit mengalami perubahan dari sebelumnya. Perubahan perilaku ini dapat diketahui Lasto dari orang-orang disekitar mereka. Berikut penuturan lasto kepada peneliti: “Dari raut wajahnya dan responnya kita bisa tau apakah dia ngerti atau gak apa yang aku sampaikan ke mereka. Terus ada beberapa nasihat yang aku sampaikan ke mereka yang mereka lakukan, misalnya kemaren ada satu anak yang mau berhenti sekolah gara-gara dia sering berantam sama anak-anak di sekolahnya, trus sering cabut sekolah, jadi guru-gurunya sering marahi dia, jadi dia gak betah sekolah lagi. Nah aku nasihati dia supaya merubah sikapnya untuk gak berantam lagi, terus jangan cabut sekolah. Syukurnya sampai sekarang dia gak jadi keluar dari sekolahnya, trus aku tanya ke guru nya, Alhamdulillah ada perubahan sikap yang baik dari nya.” Lasto menyadari bahwa masa pendampingannya yang relatif masih baru, juga mempengaruhi proses interaksi yang dilakukannya selama ini. Lasto merasa, tidak semua apa yang didiskusikannya dengan anak jalanan dampingannya dapat mereka dengar dengan baik. Karena lasto merasa ia belum begitu mengenal anak dampingannya, jadi belum mengetahui betul karakter dan watak mereka. Universitas Sumatera Utara “Aku kan belum begitu lama mengenal mereka, dan belum terlalu memahami watak dan karakter mereka masing-masing, mungkin saja ketika aku ngobrol dengan mereka, mereka lagi dalam persoalan, jadi mereka tidak begitu memperdulikan apa yang aku obrolin dengan mereka. Jadi aku coba cari kesempatan lain untuk menyampaikannya lagi. Mungkin juga tidak langsung melalui mereka, kan mereka masih ada yang memiliki keluarga, jadi melalui keluarga juga aku berinteraksi.” Analisa Kasus 2 Bahagia bisa membantu orang lain merupakan alasan Lasto untuk menjadi pendamping anak jalanan di SKA-PKPA. Pekerjaan ini telah dilalui Lasto kurang lebih selama 2 dua tahun. Selama itu pula Lasto telah mendampingi kurang lebih 80 delapan puluh puluh anak jalanan yang tersebar dibeberapa titik persimpangan yang ada di Kota Medan, seperti Simpang Guru Patimpus, Simpang Kelambir, Simpang Pinang Baris, dan Pusat perbelanjaan Pasar Petisah. Dari 80 delapan puluh anak jalanan yang lasto dampingi, tidak semua anak ia kenal dengan baik, apalagi melihat baru 2 dua tahun menjadi pendamping. Tidaklah mudah untuk mendampingi anak jalanan, dengan segala persoalan yang mereka hadapai, ditengah-tengah itu pula Lasto hadir untuk sekedar mendampingi mereka dijalanan. Untuk bisa mendampingi anak jalanan, yang paling penting untuk diketahui adalah latar belakang kehidupan mereka, karakter mereka, watak dan perilaku mereka. Untuk mengetahui itu semua, butuh waktu panjang melakukannya. Ada beberapa hal prinsip yang memang harus dilakukan seorang pendamping, yang pertama pendamping harus bisa menanamkan rasa saling percaya antara pendamping dengan anak jalanan yang didampingi. Yang kedua adalah pendamping harus mampu menjadi bagian dari kehidupan mereka. Ketiga, pendamping harus memiliki rasa empaty terhadap persoalan yang mereka hadapi. Universitas Sumatera Utara Keempat, pendamping harus bisa menunjukan sikap dukungan terhadap hal-hal positif yang mereka lakukan. Dan Kelima, pendamping harus terbuka untuk menerima saran dan masukan yang mereka sampaikan. Ketika ke lima hal tersebut sudah terbangun, maka proses pendampingan akan mampu meminimalisir persoalan-perseoalan yang akan terjadi. Tidak ada target yang dibuat Lasto untuk anak-anak jalanan dampingannya, semua mengalir begitu saja dalam proses pendampingan selama ini. Lasto juga tidak memiliki strategi khusus yang ia lakukan selama melakukan pendampingan. Yang penting menurut Lasto, ketika akan turun kejalanan harus menentukan siapa anak yang akan didampingi. Penentuan siapa anak yang akan didampingi menjadi hal penting, karena dari situ kemudian Lasto menentukan pesan apa yang akan didiskusikan, walau terkadang materi itu datang secara spontan saat berinteraksi. Selanjutnya Lasto juga harus mengetahui dimana si anak akan dijumpai, dan pada saat kapan si anak bisa dijumpai. Beberapa hal tersebut lah yang harus dipersiapkan Lasto sebelum ia turun mendampingi dijalanan. Setiap anak, akan berbeda-beda pula pesan yang akan disampaikan. Semua tergantung latar belakang, watak, prilaku dan jenis kelamin. Tidaklah sama pesan yang disampaikan antara anak perempuan dengan anak laki-laki. Selain itu, isi pesan yang didiskusikan berbeda antara anak jalanan yang bersekolah dengan anak jalanan yang tidak bersekolah. Selama Lasto melakukan interaksi, ia tidak pernah menggunakan media atau alat ketika menyampaikan pesan. Yang Lasto lakukan adalah berkomunikasi langsung face to face. Alasan ini disampaikan Lasto supaya pesan yang Universitas Sumatera Utara disampaikan dapat langsung diterima anak dampingannya. Dalam berinteraksi Lasto juga tidak selalu mendominasi percakapan, justru terkadang Lasto lebih banyak menjadi pendengar. Ini disebabkan karena terkadang materi yang didiskusikan justru keluar dari anak jalanan dampingannya. Karena Lasto relatif masih baru menjadi pendamping, jadi belum terlalu paham soal latar belakang, watak dan prilaku anak dampingannya, dan hubungan secara emosional juga belum begitu terbangun, lasto kerap sekali menjumpai masalah ketika melakukan pendampingan. Biasanya masalah yang dihadapi Lasto adalah masalah waktu. Masalah waktu disini maksudnya ketika lasto hendak berinteraksi dengan mereka, bisa saja mereka belum ada dijalanan, atau mereka belum mendapat uang setoran, sehingga untuk meninta waktu mereka 15 menit saja, sesuatu yang tidak mudah. Belum lagi persoalan sikap mereka yang “cuek” tidak perduli dengan orang lain, sehingga ketika diajak berinteraksi, mereka lebih memilih menghindar. Namun persoalan itu semua sejauh ini lasto masih punya cara-cara lain mengatasinya. Biasa yang dilakukan lasto tidak hanya menjumpai si anak yang akan didampinginya, tetapi bisa melalui keluarga si anak jika masih memiliki keluarga, bisa melalui lingkungan mereka, dan bisa melalui guru jika si anak masih bersekolah. Yang jadi masalah besar, ketika si anak tidak memiliki keluarga dan tidak bersekolah. Pilihannya melakukan pendekatan kelingkungannya. Lasto punya keyakinan bahwa pesan yang selama ini disampaikannya dapat diterima mereka dengan baik, hal ini dapat dilihat dari wajah dan perubahan perilaku yang mereka tunjukan. Namun, terkadang sering juga pesan-pesan yang lasto sampaikan tidak dapat mereka terima. Cara lasto ketika pesan yang ia Universitas Sumatera Utara sampaikan tidak diterima dengan baik, lasto selalu mengulang pesan yang sama berkali-kali, bahkan pesan tersebut disampaikan lasto melalui keluarga, lingkungannya, maupun guru di sekolah mereka.

3. Informan III : Irwan Hadi wawancara dilakukan 29 November 2011

Hasil dari observasi dan wawancara mendalam, peneliti mengatahui bahwa Irwan Hadi atau biasa dipanggil Iwan ini adalah pimpinan SKA-PKPA, selain menjadi pimpinan SKA-PKPA, Iwan juga melakukan pendampingan anak jalanan, baik di sanggar maupun dijalanan langsung. Pada tahun 2000 Iwan mencoba menjadi pendamping anak jalanan dibeberapa titik persimpangan di Kota Medan. Iwan mengaku, alasan ia menjadi pendamping karena merasa tertantang untuk bisa memahami anak jalanan. Tantangan ini lebih kepada soal bagaimana Iwan bisa memahami anak jalanan yang memiliki karakter keras tidak seperti anak-anak normal lainnya. Dalam kurun waktu 11 tahun Iwan menjadi pendamping, Iwan telah mendampingi lebih seratusan anak jalanan di Kota Medan. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 30 tiga puluh anak yang dia dampingi secara intensiv. Dari 30 tiga puluh anak tersebut, tidak semua Iwan mengetahui latar belakang mereka dengan baik, Iwan memperkirakan tidak lebih dari 15 anak. Menurut Iwan, ini semua dikarenakan jumlah anak jalanan tidak sebanding dengan jumlah pendamping, sehingga tidak bisa semua anak didampingi. Berikut penuturan Iwan: “Tidak semuanya, paling Cuma 15 anak. Sebenarnya kalau dilakukan tiap hari harus berinteraksi dengan satu anak, 1 minggu sebenarnya sudah bisa kita mengenal mereka dengan baik. Tapi karena banyaknya anak dampingan kita, jadi butuh waktu lama.” Universitas Sumatera Utara Ketika pertama sekali Iwan menjadi pendamping, yang pertama sekali dikakukannya adalah bagaimana Iwan bisa dianggap sahabat atau teman bagi anak jalanan yang akan didampinginya, tentunya dengan cara perkenalan. Untuk pertama sekali yang perlu dihindari ketika ditengah-tengah mereka, menurut Iwan adalah tidak melarang apa yang mereka lakukan. Iwan mengaku, selama ia berada di tengah-tengah mereka, Iwan selalu menunjukan kesederahaan dan tidak menunjukan suatu kemewahan. Dimana Iwan harus menggunakan pakaian yang kumuh dan tidak menggunakan perhiasan yang menunjukan kemewahan. Hal ini seperti yang disampaikan Iwan kepada peneliti: “Pada saat kita bertemu dengan mereka, terlebih dahulu kita harus bersahabat dengan mereka, bersahabat dengan cara berkenalan, kemudian tidak melarang apa yang mereka buat, tidak sebagai guru ketika mereka mengetahui sesuatu. Kemudian hidup apa adanya, misalnya anak- anak dengan pakaian kumuh, jadi kita juga harus bisa menjauhkan label- labe kemewahan dari diri kita, misalnya dengan berpakaian, perhiasan, menggunakan handphone saat ketemu mereka, pokoknya yang sederhana aja la. Asal kita mau mendengar apa yang mereka sampaikan kepada kita, diskusi, ngobrol tentang apa yang mereka lakukan, penghasilan mereka berapa, mereka humoris, kita juga ikut humoris, itu semua dapat mencairkan suasana dan membuat kita menjadi bagian keluarga mereka dijalanan. Kita bisa memberikan perhatian kepada mereka, karena selama ini mereka nyaris tidak terperhatikan dan nyaris terabaikan, jadi anggapan mereka, mereka sudah terabaikan, terbuang dari kehdupan yang normal. Tapi ketika kita sudah masuk dalam kehidupannya, siapa pun orang nya, bukan hanya dari kalangan LSM atau pendamping anak jalanan, kawan-kawan mahasiswa juga mampu masuk, asal perhatian kita, totalitas kita dengan mereka itu kita lakukan.” Selama ini untuk mengetahui latar belakang anak jalanan, yang pertama dilakukan Iwan adalah melakukan pertemuan secara intensiv. Menurut Iwan, kalau sering melakukan komunikasi, pasti selalu mendapatkan informasi yang berbeda-beda setiap berkomunikasi. Iwan juga melakukan pengamatan atau Universitas Sumatera Utara observasi di jalanan, dengan melakukan pengamatan, Iwan merasa ia mendapatkan informasi tentang prilaku dan karakter si anak. Selain ke dua hal tersebut, Iwan melakukan home visit artinya Iwan melakukan kunjungan ke rumah untuk bisa berkomunikasi dengan orang tua nya atau dengan keluarga nya. Untuk anak jalanan yang tidak memiliki keluarga, biasanya yang dilakukan Iwan adalah berkomunikasi dengan teman-temannya, lingkungannya, atau orang-orang terdekat dengan si anak. Berikut pengakuan Iwan: “Kalau selama ini untuk mengetahui latar belakang si anak, pertama kita harus melakukan pertemuan secara intensiv, tentunya kalau kita sering melakukan komunkasi, pasti kita selalu mendapatkan informasi yang berbeda-beda setiap pertemuan, baik informasi dari si anak, ataupun dari anak-anak yang lain. Kemudian yang kedua, dari pengamatan kita juga sudah mendapatkan informasi dari karakter si anak, yang ketiga melakukan home visit, artinya kita ketemu dengan orang tuanya, kita ngobrol dengan orang tua nya. Hanya ketiga ini yang bisa dalami anak itu. Kalau dia tidak punya keluarga, ya kita cari informasi dari teman- temannya, dari lingkungannya, ya siapa orang yang paling dekat dengannya la.” Menurut Iwan, target yang ideal untuk anak jalanan adalah bagaimana mereka tidak lagi berada dijalanan. Tetapi itu adalah target yang sangat jauh dan sulit mencapainya. Target yang paling realistis menurut Iwan adalah bagaimana mereka mau mendengarkan nasihat atau bimbingan dari pendamping, itu sudah baik. Hal ini seperti yang disampaikan Iwan: “Kalau target secara jauh sebenarnya, bagaimana mereka tidak lagi dijalanan. Tapi itu kan target yang sangat jauh sekali. Yang lebih realistis target nya bagaimana mereka mau mendengarkan nasihat atau bimbingan dari kita, misalnya untuk menyuruh mereka supaya mandi, tidak ngelem lagi, kalau makan harus cuci tangan, kalau tidak mau cuci tangan, harus menggunakan plastik.” Tidak ada persiapan khusus yang dilakukan Iwan, semua tergantung situasi di jalanan. Kecuali ada kebutuhan khusus yang harus menentukan siapa anak yg Universitas Sumatera Utara akan didampingi pada hari itu, kemudian Iwan juga harus tau dimana biasa si anak “mangkal” dan jam berapa si anak bisa dijumpai. Berikut penuturan Iwan: “Ketika mau melakukan pendamping di lapangan, tidak ada persiapan khusus, karena kita tidak bisa menentukan siapa anak yang mau kita jumpai hari ini, iya kalau anak itu ada, kalau seandainya tidak ada, kan bisa repot. Jadi semuanya tergantung kondisi lapangan. Kecuali memang ada kebutuhan khusus yang memang harus kita tentukan siapa anak yang akan kita dampingi hari ini. nah kalau seperti itu, ya kita harus tau dimana anak itu biasa mangkal, jam berapa dia bisa kita jumpai, ya persiapan seperti itu la.” Selama melakukan komunikasi, biasanya Iwan hanya membicarakan tentang perilaku, misalnya membiasakan mandi, terus kalau makan harus cuci tangan, dan jangan “ngelem” lagi. Selain itu Iwan juga membicarakan aktifitas mereka dijalanan, dan keluh-kesah mereka. “Yang pertama lebih banyak ngobroli soal prilaku, misalnya kalau mereka keliatan jorok, ya nyuruh mereka mandi. Terus menasihati mereka jangan ngelem, kemudian cerita tentang apa yang mereka lakukan satu hari ini, atau tadi ngapain aja, terus biasanya mendengarkan keluh-kesah mereka.” Ketika berinteraksi, Iwan mengaku tidak mendominasi pembicaraan, Iwan lebih banyak mendengar apa yang mereka sampaikan kepadanya. Karena menurut Iwan, selama ini anak-anak jalanan tersebut tidak ada tempat mereka untuk mencurahkan persoalan dan isi hati mereka. Berikut penuturan Iwan kepada peneliti: “Lebih banyak mereka yang ngobrol. Mereka yang lebih dahulu memulai cerita, dan lebih enak kita mendengar apa yang mereka katakan. Karena selama ini mungkin mereka tidak tau harus berkeluh kesah kepada siapa, tidak semua orang bisa mendengarkan curhat mereka, jadi dalam hal ini aku berposisi sebagai pendengar curhat mereka.” Universitas Sumatera Utara Menurut Iwan, pesan yang ia sampaikan antara satu anak dengan anak lainnya berbeda-beda, karena setiap nanak persoalan yang mereka hadapi juga berbeda-beda. Jadi tidak sama pesan yang mereka dapat dari Iwan. Selain itu, selama berkomunikasi Iwan tidak pernah menggunakan media atau alat-alat tertentu yang ia gunakan. Iwan hanya melakukan komunikasi secara verbal, karena Iwan merasa lebih nyaman dan praktis berkomunikasi secara verbal. Selama melakukan komunikasi, Iwan memiliki keyakinan kalau pesan yang selama ini disampaikannya dapat diterima dengan baik oleh anak jalanan dampingannya. Penerimaan tersebut dapat dilihat Iwan secara kongkrit melalui perubahan prilaku mereka. Misalnya kata Iwan, sebelum Iwan melakukan pendampingan, anak-anak tersebut tidak pernah mandi dan gosok gigi, tetapi setelah Iwan selalu menasihati mereka, sekarang mereka lebih kelihatan bersih. Selain itu kata Iwan, untuk kebiasaan mereka “ngelem”, walaupun mereka tetap ngelem, tetapi paling tidak mereka sudah tidak pernah lagi ngelem di depan Iwan. Menurut Iwan, hal-hal tersebut menjadi penilaian Iwan untuk mengatakan bahwa pesan yang selama ini disampaikannya bisa diterima dengan baik oleh anak jalanan dampingannya. Berikut penuturan Iwan: Oia, mereka bisa terima apa pesan atau nasihat yang aku sampaikan. Bukti kongkrit yang aku lihat adalah perubahan prilaku mereka. Mislanya ketika aku bilang kemereka bahwa mandi itu sehat, mereka mandi, gosok gigi. Atau ketika mereka ngelem di depan aku, terus aku nasehati kalau ngelem gak baik, walaupun mereka masih ngelem, paling tidak mereka tidak ngelem di depan aku. Nah hal-hal seperti ini adalah bukti kongkrit yang aku lihat. Upaya yang dilakukan Iwan seandainya pesan yang disampaikannya tidak bisa diterima anak dampingannya dengan baik, Iwan tidak merasa lelah untuk terus mengulangi pesan-pesan tersebut. Universitas Sumatera Utara “Ya terus berulang kali untuk mengingatkan mereka, atau terus berinteraksi dengan mereka. Biasanya mereka akan merespon apa yang kita sampaikan setelah mereka memang betul-betul meyakini apa yang kita sampiakan itu adalah benar.” Proses komunikasi yang dilakukan Iwan selama mendampingi anak jalanan dampinginnya, Iwan kerap sekali mengalami masalah. Masalah yang sering Iwan alami adalah ketika si anak sedang dalam keadaan emosi dan pada saat si anak sedang “fly” karena “ngelem”, sehingga sulit sekali diajak berkomunikasi. Persoalan yang juga sering dihadapi Iwan adalah adanya pihak- pihak luar yang dekat dengan mereka. Pihak-pihak ini menurut Iwan sering sekali mempengaruhi si anak untuk tidak mendengarkan atau tidak menerima Iwan sebagai pendamping. Pihak-pihak ini biasanya pereman-pereman di sekitar tempat mereka mangkal. Berikut penuturan Iwan: “Ya selalu, ketika mereka sedang emosi, pada saat mereka lagi “fly”. Sulit jadinya berkomunikasi dengan baik. Dan yang satu lagi ada pihak-pihak lain yang berada diantara mereka dan tidak mengenal kita. Nah, orang-orang seperti ini bisa mengganggu hubungan kita dengan anak dampingan. Misalnya orang ini bisa mempengaruhi anak-anak untuk tidak mendengar atau menerima kita sebagai pendamping. Tetapi kalau orang-orang seperti ini bisa kita rangkul, justru akan bisa membantu kita bersama-sama untuk mendampingi anak jalanan.” Untuk menghadapi persoalan-persoalan tersebut, yang dilakukan Iwan adalah dengan menunjukan upaya-upaya positif dan kongkrit kepada anak-anak yang didampinginya. Upaya yang dimaksud Iwan adalah ketika anak jalanan yang didampinginya sakit, Iwan merujuknya ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat. Ini merupakan salah satu upaya kongkrit yang dilakukan Iwan, sehingga pihak- pihak lain yang selama ini mempengaruhi si anak, bisa melihat upaya positif yang kita lakukan. Dengan Iwan melakukan hal seperti ini, Iwan dapat menunjukan Universitas Sumatera Utara kepeduliannya dengan anak dampingannya, sehingga pihak-pihak tersebut bisa dirangkul dan menjadi faktor pendukung dalam pendampingan. Hal ini seperti yang diungkapkan Iwan kepada peneliti: “Tentunya orang-orang seperti ini harus kita rangkul dengan cara menunjukan hal-hal positif yang kita lakukan kepada anak-anak jalanan dampingan kita, misalnya ada anak sakit, kemudian kita rujuk ke puskesmas atau kerumah sakit, nah hal seperti ini kan upaya yang positif dan kongkrit. Kalau orang-orang seperti ini bisa kita rangkul, justru akan bisa membantu kita bersama-sama untuk mendampingi anak jalanan.” Analisa Kasus 3 Melihat karakter anak jalanan yang liar, keras dan sulit untuk dididik membuat Iwan tertantang untuk menjadi pendamping anak jalanan di SKA- PKPA. Menjadi seorang pendamping telah dijalani Iwan selama kurang lebih 11 tahun semenjak tahun 2000. Selain menjadi pendamping, kini Iwan dipercaya sebagai pimpinan SKA-PKPA. Dalam kurun waktu tersebut, Iwan telah mendampingi anak jalanan di Kota Medan kurang lebih 100 anak yang tersebar dibeberapa titik persimpangan dan pusat kota. Dari jumlah tersebut, hanya 15 orang anak yang ia kenal baik latar belakangnya. Jumlah pendamping tidak sebanding dengan jumlah anak jalanan yang harus didampingi, ini menjadi penyebab mengapa hanya sedikit anak jalanan yang mampu didampingi secara intensiv. Secara umum Iwan menyimpulkan faktor yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan adalah faktor kemiskinan, tetapi masih banyak anak dari keluarga miskin yang belum tentu menjadi anak jalanan. Untuk itu faktor kemiskinan tidak menjadi faktor tunggal, tetapi masih banyak faktor pendukung lainnya, misalnya ketidak nyamanan anak didalam keluarga, orang tua yang tidak Universitas Sumatera Utara pernah perduli dengan anak nya, dan keluarga yang berantakan. Ketika anak sudah tidak lagi diperdulikan dan tidak lagi mendapat kenyamanan di keluarga, anak-anak tersebut akan menjadi liar dan mencari kehidupan lain di jalan. Pertama sekali yang dilakukan Iwan ketika masuk kedalam komunitas anak jalanan yang akan didampinginya adalah dengan berkenalan untuk mulai menjalin persahabatan, kemudian selama di dalam komunitas Iwan tidak melarang apa yang mereka lakukan meski apa yang mereka lakukan adalah salah, selanjutnya Iwan tidak menempatkan dirinya sebagai guru yang seolah-olah mengetahui semua apa yang tidak mereka ketahui. Yang tidak kalah pentingnya lagi memebrikan perhatian kepada mereka, karena anak jalanan butuh perhatian, karena selama ini mereka nyaris tidak terperhatikan dan nyaris terabaikan. Ada dua hal yang dilakukan Iwan untuk mengetahui latar belakang dampingannya. Yang pertama Iwan melakukan pertemuan dan berkomunikasi secara intensiv, karena menurutnya dengan selalu melakukan komunikasi, akan selalu mendapatkan informasi yang berbeda-beda setiap pertemuan. Yang kedua, dari pengamatan Iwan juga sudah mendapatkan informasi dari karakter si anak. Yang ketiga melakukan home visit dengan bertemu orang tuanya di rumah. Tidak ada persiapan khusus yang dilakukan Iwan ketika hendak melakukan pendampingan, karena tergantung kondisi dilapangan. Namun ketika ada kebutuhan khusus, perlu untuk menentukan siapa anak yang akan didampingi, dimana biasa mereka mangkal, jam berapa biasanya mereka bisa dijumpai. Ketika melakukan interaksi Iwan tidak pernah mendominasi percakapan, justru materi pesan yang diskusikan lebih banyak muncul dari anak dampingannya, Iwan hanya lebih banyak sebagai pendengar saja. Pesan yang Universitas Sumatera Utara didiskusikan juga berbeda-beda antara satu anak dengan anak lainnya tergantung persoalan yang mereka hadapi. Kalau pesan yang disampaikan Iwan lebih banyak soal perilaku dan kebiasaan mereka yang tidak baik untuk dilakukan. Dalam berkomunikasi Iwan juga tidak pernah menggunakan media atau alat tertentu, Iwan dan anak jalanan dampingannya hanya berkomunikasi tatap muka langsung dan berkomunikasi secara verbal. Sejauh ini menurut Iwan, pesan yang selalu disampaikannya dapat mereka terima dengan baik. Iwan melihat bukti kongkrit dari apa yang disampaikannya antara lain adalah perubahan perilaku positif dari anak jalanan dampingannya. ketika pesan yang Iwan sampaikan tidak dapat mereka terima dengan baik, Iwan terus berusaha untuk menyampaikannya terus menerus. Selama Iwan melakukan pendampingan, Iwan kerap sekali menjumpai masalah. Maslah ini biasanya diakibatkan adanya pihak lain diluar komunitas mereka. Pihak lain yang dimaksud adalah orang-orang yang ada di lingkungan mereka yang mempengaruhi anak dampingannya dengan menyampaikan hal-hal yang negative tentang maksud dan tujuan Iwan mendampingi mereka. Biasanya ketika Iwan menghadapi persoalan tersebut, solusi yang dilakukannya adalah dengan menunjukan hal-hal positif dan kongkrit kepada lingkungan mereka.

I. 12. Pembahasan Hasil Penelitian