menjadi 1.49 Tabel 8. HASIL DAN PEMBAHASAN

95 berkorelasi positif dengan viskositas puncak, dimana viskositas puncak berkorelasi positif dengan karakteristik fisik mi yaitu KPAP. Swelling volume SV atau kemampuan pengembangan Gambar 9 terendah adalah perlakuan 120 o C selama 9 jam, sedangkan SV yang memiliki nilai sedang lebih besar dari perlakuan 120 o C selama 9 jam diantaranya adalah perlakuan 100 o C selama 9 jam, perlakuan 110 o C selama 3, 6, dan 9 jam, serta perlakuan 120 o C selama 6 jam. Berdasarkan hasil tersebut maka perlakuan suhu : waktu terpilih berdasarkan SV diantaranya adalah 120:3, 120:6, 110:9, 110:6, 110:3, dan 100:9. Amylose leaching AL atau jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan yang diharapkan adalah yang terendah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya rendahnya AL berhubungan dengan penurunan KPAP dan kelengketan mi jagung yang dihasilkan. Perlakuan suhu : waktu yang memiliki AL terendah dan saling tidak berbeda nyata adalah 120 : 9, 120:6, 110:9, dan 110:6. Berdasarkan tiga parameter tersebut yaitu profil gelatinisasi, kemampuan pengembangan, dan jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan maka dipilih perlakuan 110 o C selama 6 jam merupakan perlakuan terbaik. Pemilihan tersebut berdasarkan suhu dan waktu pemanasan terendah untuk meminimalisasi biaya yang dibutuhkan. Kombinasi perlakuan HMT terbaik T = 110 o C selama t = 6 jam menunjukkan terjadinya perubahan karakteristik fisik tepung jagung diantaranya adalah profil gelatinisasi Gambar 13 yang mengalami perubahan dari tipe B profil gelatinisasi serealia umumnya menjadi tipe C karena memiliki profil gelatinisasi yang mirip dengan pati kacang-kacangan yaitu viskositas konstan selama pemanasan. Perlakuan HMT suhu 110 o C selama 6 jam memberikan pengaruh yang nyata α=0.05 terhadap karakteristik fisik tepung jagung Lampiran 12. Perlakuan HMT tersebut meningkatkan suhu awal gelatinisasi dari 76.37 o C menjadi 83.97 o C, serta menurunkan viskositas puncak dari 1334 cP menjadi 636 cP, breakwown 362 cP menjadi 26.67 cP, setback 863 cP menjadi 161.67 cP, swelling volume 14.4 mlg menjadi 9.73 mlg, dan amylose leaching

2.71 menjadi 1.49 Tabel 8.

96 Tabel 8 Pengaruh perlakuan HMT pada suhu 110 o C selama 6 jam 110:6 terhadap karakteristik fisik tepung jagung Karakteristik Tepung jagung Kontrol HMT 110:6 Profil gelatinisasi: Suhu awal gelatinisasi o C 76.37 + 0.89 b 83.97 + 0.06 a Viskositas puncak cP 1334.00 + 15.59 a 636.00 + 81.41 b Breakdown cP 362.00 + 20.78 a 26.67 + 12.70 b Setback cP 863.00 + 35.80 a 161.67 + 26.56 b Waktu gelatinisasi menit 5.00 + 0.00 b 5.80 + 0.23 a Viskositas akhir cP 1835.33 + 30.60 a 771 + 95.26 b Swelling volume mlg 14.40 + 0.69 a 9.73 + 0.46 b Amilosa leaching 2.71 + 0.13 a 1.49 + 0.04 b Ket: Angka pada baris yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji LSD α = 0.05. Gambar 13 Pengaruh perlakuan proses modifikasi HMT dengan suhu 110 o C selama 6 jam 110:6 terhadap profil gelatinisasi tepung jagung. Grafik dibaca setelah 1 menit pengukuran. Berdasarkan hal tersebut maka perlakuan HMT suhu 110 o C selama 6 jam pada tepung jagung dapat merubah profil gelatinisasi dengan meningkatkan suhu awal gelatinisasi sebesar 9, serta menurunkan viskositas puncak, breakdown, dan setback berurutan sekitar 52, 92.6, dan 81.3. Karakteristik lain yang berubah adalah terjadinya penurunan volume pengembangan swelling volume dan amilosa yang lepas selama pemanasan amylose leaching berurutan yaitu sekitar 32.4 dan 45. Tepung jagung HMT perlakuan terpilih tersebut kemudian akan disubstitusikan dengan tepung jagung sebagai bahan baku 97 pembuatan mi kering jagung. Perlakuan HMT terpilih selanjutnya akan disimbolkan sebagai HMT 110:6 yang menandakan perlakuan HMT pada suhu 110 o C selama 6 jam. Perubahan profil gelatinisasi juga terjadi pada tepung beras yang diberi perlakuan HMT pada suhu 120 o C selama 60 menit menggunakan autoklaf dengan kondisi kadar air 20.6. Perubahan tersebut adalah peningkatan suhu awal gelatinisasi sebesar 16.3, dan penurunan setback sebesar 65.9, sedangkan perubahan viskositas puncak dan breakdown berurutan dari 445 cP dan 131 cP hingga tidak terdeteksi Takahashi et al 2005. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa terjadi kesamaan dengan hasil penelitian ini, bahwa perlakuan HMT dalam bentuk tepung juga dapat mengubah karakteristik fisik tepung, terutama profil gelatinisasi tepung serealia dari tipe B menjadi C yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan viskositas puncak dan breakdown. 3 Pengaruh perlakuan HMT terpilih 110:6 terhadap komposisi kimia tepung jagung Analisis proksimat terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, serta karbohidrat yang dihitung berdasarkan pengurangan kadar air, abu, protein, dan lemak. Berdasarkan uji t Lampiran 13 pada proksimat menunjukkan bahwa hanya kadar air tepung jagung HMT 110:6 yang berbeda nyata dengan tepung jagung kontrol, sedangkan kadar abu protein, lemak, dan karbohidrat tidak berbeda nyata dengan kontrol Tabel 9. Tepung jagung HMT 110:6 mengandung kadar air 6.55 yang lebih rendah dan berbeda nyata Lampiran 13a dari tepung jagung kontrol yaitu 7.49 . Persyaratan kadar air tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 adalah maksimal 10, sehingga dapat dikatakan bahwa tepung jagung HMT telah memenuhi SNI tepung jagung. Pemenuhan persentase kadar air pada tepung jagung HMT 110:6 tersebut dicapai dengan pemanasan suhu 50 o C selama 4 jam. Kadar abu tepung jagung dan tepung jagung HMT berada dibawah 1.5 Tabel 9. Uji t Lampiran 13b menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara tepung jagung kontrol dan HMT 110:6. Persyaratan kadar abu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 adalah maksimal 1.5 . Berdasarkan hal tersebut 98 maka dapat dikatakan bahwa tepung jagung telah memenuhi SNI tepung jagung berdasarkan kadar abu. Tabel 9 Pengaruh perlakuan HMT pada suhu 110 o C selama 6 jam 110:6 terhadap komposisi kimia tepung jagung Kandungan Tepung jagung Kontrol HMT 110:6 Air bb 7.49 + 0.12 a 6.55 + 0.22 b Abu bk 0.53 + 0.13 a 0.61 + 0.06 a Protein bk 7.24 + 0.13 a 7.28 + 0.13 a Lemak bk 1.77 + 0.06 a 1.85 + 0.01 a Karbohidrat bk 90.46 + 0.22 a 90.26 + 0.16 a Pati bk 69.30 + 0.75 a 69.27 + 0.53 a Amilosa bk 18.16 + 0.11 a 17.48 + 0.71 a Amilopektin bk 51.14 + 0.68 a 51.79 + 0.36 a Karoten total bk 14.29 + 1.54 a 8.27 + 0.98 b Beta karoten bk 6.83 + 0.81 a 4.85 + 0.46 b Ket: Angka pada baris yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji LSD α = 0.05. Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin, sehingga dalam pengukuran dilakukan analisis pati dan amilosa, sedangkan kadar amilopektin berdasarkan selisih dari kadar pati dengan amilosa. Uji t Lampiran 13f menunjukkan bahwa kadar pati, amilosa, dan amilopektin pada tepung jagung tidak berbeda nyata setelah perlakuan HMT. Hal tersebut sesuai dengan Collado et al 2001, yang menyatakan bahwa perlakuan HMT tidak mempengaruhi kadar amilosa, tetapi akan lebih mempengaruhi lepasnya amilosa selama pemanasan. Kadar karoten total dan beta karoten tepung jagung mengalami penurunan yang berbeda nyata α = 0.05 dengan tepung jagung tanpa HMT Lampiran 13i, yaitu berurutan dari 14.29 ppm menjadi 8.27 ppm dan 6.83 ppm menjadi 4.85 ppm. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa proses HMT 110:6 dapat menurunkan jumlah karoten total sekitar 42.13 dan beta karoten sekitar 28.99. Menurut Howe dan Tanumihardjo 2006, jagung mengandung beta karoten antara 0.07 ppm hingga 1.46 ppm. Perbedaan kandungan beta karoten tersebut dapat dikarenakan perbedaan varietas jagung yang digunakan. Hal tersebut didukung dengan hasil pengukuran vitamin A retinol equivalen pada 19 varietas jagung rata-rata adalah 6.4 ppm 5 ppm hingga 7.7 ppm, atau setara 99 dengan jumlah karoten total 76.8 ppm 60 ppm hingga 92.4 ppm dan beta karoten 38.4 ppm FAO 1968. Penurunan kandungan karoten total merupakan salah satu akibat dari turunnya kandungan beta karoten. Penurunan kandungan karoten tersebut disebabkan karena proses panas, dimana menurut Worker 1957 yang dikutip Muchtadi 1992 proses pemanasan pada suhu 60 o C belum mengalami kerusakan dan reaksi oksidasi akan berjalan lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Menurut Erawati 2006, pengaruh pemanasan pada kandungan beta karoten cukup besar, dimana beta karoten diperkirakan mengalami penurunan 38.38 pada pemanasan suhu 50 o C selama 4 jam dan 40.5 pada pemanasan 50 o C selama 24 jam. B Penentuan formulasi mi jagung kering Proses pembuatan mi kering jagung berdasarkan Putra 2008, sedangkan formulasi mi kering jagung merupakan persentase substitusi tepung jagung HMT yaitu 0 kontrol, 5, 10, 15, dan 20 Tabel 6. Tahap penelitian ini akan melihat pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap karakteristik fisik mi yaitu waktu optimum pemasakan, kehilangan padatan selama pemasakan KPAP, dan Texture Profile Analysis TPA yang meliputi kekerasan, elastisitas, serta kelengketan, dan uji organoleptik dari 2 formulasi terpilih berdasarkan analisis fisik mi. selain itu juga akan dilihat perubahan karakteristik kimia setelah mi di substitusi dengan tepung jagung HMT. 1 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap karakteristik fisik mi jagung kering a Waktu optimum pemasakan mi jagung kering Metode pemasakan yang digunakan adalah perendaman dalam air yang telah dididihkan. Penggunaan metode perendaman tersebut didasarkan pada tujuan dari pengaplikasian mi kering jagung ini, yaitu untuk menggantikan mi basah yang digunakan oleh pedagang mi ayam. Metode pemasakan mi basah tersebut adalah dengan merendam mi basah dalam air mendidih. Hasil analisis waktu optimum pemasakan menunjukkan bahwa mi jagung HMT memiliki waktu pemasakan 8.5 hingga 13 menit, sedangkan mi jagung tanpa HMT adalah 7 menit 100 Lampiran 14. Waktu pemasakan mi jagung berdasarkan penelitian terdahulu adalah 5 menit dengan cara perebusan Putra, 2008. Berbedanya waktu pemasakan tersebut disebabkan karena perbedaan cara pemasakan yang digunakan. Analisis anova Lampiran 14 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap waktu pemasakan mi kering jagung. Berdasarkan uji lanjut LSD semua perlakuan memiliki waktu pemasakan yang berbeda nyata α = 0.05 dengan formulasi 0 atau kontrol Gambar 13. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi substitusi tepung jagung HMT akan meningkatkan waktu pemasakan. Diperoleh korelasi positif antara persentase tepung jagung HMT 110:6 dengan waktu optimum pemasakan Gambar 14. Gambar 14 Korelasi antara tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 dengan waktu optimum pemasakan menit mi jagung kering. Meningkatnya waktu pemasakan pada mi kering yang disubstitusikan tepung jagung HMT 110:6 disebabkan oleh perbedaan karakteristik gelatinisasi antara tepung jagung kontrol dengan tepung jagung HMT 110:6. Perlakuan HMT menyebabkan peningkatan bagian kristalin, dimana bagian tersebut memiliki struktur yang lebih kuat dan rapat Takahashi et al 2005. Oleh sebab itu tepung jagung setelah perlakuan HMT akan lebih sulit menyerap air dan membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menyerap air. Hal tersebut didukung dengan hasil pengukuran profil gelatinisasi yaitu, proses HMT 110:6 pada y = 0.29x + 6.8 R² = 0.964 2 4 6 8 10 12 14 16 5 10 15 20 W ak tu op tim u m p em as ak an M en it Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 101 tepung jagung menyebabkan pergeseran kurva profil gelatinisasi yang manandakan terjadinya kenaikan suhu gelatinisasi atau tepung jagung HMT 110:6 membutuhkan waktu yang lebih lama untuk tergelatinisasi dibandingkan tepung jagung kontrol. Pernyatan tersebut didukung oleh hasil analisis profil gelatinisasi dengan RVA yang menunjukkan bahwa tepung jagung HMT 110:6 memiliki waktu gelatinisasi yang berbeda nyata dengan tepung jagung kontrol yaitu 5.8 + 0.23 menit untuk tepung jagung HMT dan 5.0 + 0.0 menit untuk tepung jagung kontrol Tabel 8. b Kehilangan padatan selama pemasakan KPAP Kehilangan padatan selama pemasakan KPAP diukur berdasarkan besarnya padatan yang keluar setelah mi kering jagung direndam dalam air yang telah dididihkan sesuai dengan waktu optimum pemasakan. Kehilangan padatan selama pemasakan pada mi jagung HMT 110:6 adalah 7.92 hingga 6.12, sedangkan mi jagung tanpa HMT adalah 8.31 Lampiran 15. Analisis anova Lampiran 15 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh substitusi tepung HMT 110:6 terhadap KPAP mi jagung kering. Uji lanjut LSD menunjukkan hanya KPAP mi kering jagung persentase substitusi tepung jagung HMT 5 saja yang tidak berbeda nyata α = 0.05 dengan mi kering jagung substitusi 0 kontrol. Substitusi 10 dan 15 saling tidak berbeda nyata, sedangkan substitusi 20 berbeda nyata dengan semua formulasi. Berdasarkan hasil tesebut dapat dikatakan bahwa substitusi tepung jagung HMT sebesar 5 belum dapat memperbaiki KPAP mi jagung kering, sedangkan mi jagung kering substitusi 20 memiliki KPAP terendah. Substitusi 10 tidak berbeda nyata dengan 15, sehingga persentase terbaik berdasarkan kehilangan padatan selama pemasakan adalah substitusi tepung jagung HMT 10 dan 20. Hasil penelitian menunjukkan tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 berkolerasi negatif dengan KPAP mi jagung kering yang dihasilkan Gambar 15. Penurunan KPAP tersebut disebabkan karena perlakuan HMT mengubah karakteristik fisik tepung jagung yaitu peningkatan suhu awal gelatinisasi PT dan penurunan viskositas puncak PV, breakdown, setback, kemampuan pengembangan, serta jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan. 102 Berdasarkan hal tersebut maka hasil penelitian memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Beta dan Corke 2001, yaitu KPAP berkorelasi negatif dengan suhu awal gelatinisasi dan berkorelasi positif dengan viskositas puncak, breakdown, dan setback. Gambar 15 Korelasi antara tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 dengan kehilangan padatan selama pemasakan mi jagung kering. c Texture Profile Analysis TPA Analisis tekstur pada mi jagung yang dilakukan adalah kekerasan, elastisitas, dan kelengketan. Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Kekerasan ditentukan dari gaya maksimum nilai puncak pada tekanan pertaman, sehingga semakin besar gaya yang dibutuhkan nilai puncak makin tinggi maka menandakan kekerasan semakin meningkat. Kekerasan mi diukur pada mi jagung kering yang telah direhidrasi sesuai dengan waktu optimum pemasakan. Kekerasan mi kering jagung tanpa HMT adalah 2801,5 gf, nilai tersebut masuk dalam kisaran kekerasan mi kering jagung hasil penelitian putra 2008, yaitu 3135 hingga 2408.83 gf. Mi kering jagung HMT memiliki kekerasan 1954 hingga 2574.88 gf Lampiran 16a. Berdasarkan hasil tersebut kisaran tingkat kekerasan mi jagung kering HMT setelah rehidrasi lebih rendah dari penelitian terdahulu. Analisis anova menunjukkan bahwa terdapat pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap kekerasan mi jagung kering Lampiran 16a. Berdasarkan uji lanjut LSD hanya kekerasan mi kering jagung substitusi tepung jagung HMT 110:6 5 yang tidak berbeda nyata α = 0.05 dengan 0 y = -0.108x + 8.386 R² = 0.985 2 4 6 8 10 5 10 15 20 K eh il an gan p ad at an se lam a p em asak an Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 103 kontrol, dan juga berbeda nyata dengan 10, 15, dan 20. Formulasi 10 tidak berbeda dengan 15, tetapi berbeda dengan 20 Lampiran 16a. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, tingkat kekerasan mi jagung kering setelah rehidrasi dapat diturunkan dengan melakukan substitusi tepung jagung HMT 110:6 diatas 5. Berdasarkan hasil analisis tingkat kekerasan tersebut maka formulasi 10 dan 20 terpilih sebagai formulasi terbaik berdasarkan tingkat kekerasan karena memiliki tingkat kekerasan yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan mi jagung tanpa HMT. Formulasi 15 tidak terpilih karena memiliki tingkat kekerasan yang tidak berbeda nyata dengan 10. Pemilihan dilakukan berdasarkan tingkat kekerasan yang terendah karena berdasarkan penelitian mi jagung terdahulu Putra 2008, mi jagung memiliki tingkat kekerasan yang tinggi yaitu 3135 hingga 2408.83 gf. Pengukuran kekerasan terhadap mi komersial mi telor adalah 243.37 + 72.60 gf, dimana tingkat kekerasan tersebut tidak berbeda nyata dengan mi jagung HMT formulasi 5, 10, dan 15, tetapi berbeda nyata dengan 20 Lampiran 16d. Hasil penelitian menunjukkan tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 berkolerasi negatif dengan tingkat kekerasan mi jagung kering yang dihasilkan Gambar 16. Penurunan tingkat kekerasan tersebut disebabkan karena perlakuan HMT mengubah karakteristik fisik tepung jagung yaitu menurunkan setback atau kemampuan untuk meretrogradasi. Berdasarkan hal tersebut maka, hasil penelitian memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Beta dan Corke 2001, yaitu tingkat kekerasan berkorelasi positif dengan setback. Seperti telah dijelaskan sebelumnya hal tersebut dapat terjadi karena pembentukan ikatan kompleks baru yang terjadi selama proses HMT 110:6 mengurangi jumlah amilosa yang dapat saling berikatan selama proses pendinginan. Pengukuran elastisitas dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan mi matang untuk kembali ke kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama, dimana pengukurannya adalah berdasarkan ketebalan awal mi yang dibandingkan dengan ketebalan mi setelah diberi tekanan pertama. Berdasarkan hal tersebut maka nilai elastisitas akan semakin bagus apabila nilainya mendekati 1 yang artinya mi dapat kembali kekondisi ketebalan awal setelah diberi tekanan. 104 Gambar 16 Korelasi antara tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 dengan tingkat kekerasan gf mi jagung kering. Elastisitas mi jagung HMT memiliki kisaran 0.69 gs hingga 0.76 gs, sedangkan mi jagung tanpa HMT adalah 0.71 gs Gambar 17. Nilai elastisitas mi jagung HMT maupun tanpa HMT lebih tinggi bila dibandingkan elastisitas mi jagung hasil penelitian Putra 2008, yaitu 0.32 gs hingga 0.42 gs. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa sudah terdapat perbaikan tingkat elastisitas mi jagung bila dibandingkan penelitian sebelumnya. Gambar 17 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap elastisitas mi jagung kering setelah direhidrasi. Analisis anova Lampiran 16b menunjukkan tidak ada pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap elastisitas mi kering jagung setelah rehidrasi. Tetapi, berdasarkan uji lanjut LSD bila dibandingkan dengan mi komersial hanya mi kering jagung substitusi 20 yang tidak berbeda nyata y = -42.50x + 2765. R² = 0.965 1000 2000 3000 4000 5 10 15 20 25 K ek er asan gf Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 5 10 15 20 E lastis itas gs Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 105 α = 0.05 dengan mi komersial atau mi telor Lampiran 16d. Berdasarkan hasil tersebut maka, perlakuan substitusi tepung jagung HMT 20 merupakan formulasi terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya karena memiliki nilai elastisitas yang tidak berbeda nyata dengan mi komersial. Kelengketan sering diamati pada produk mi, dimana mi yang memiliki nilai kelengketan yang tinggi kurang disukai karena akan memberikan penampakan yang kurang menarik saat matang. Pengukuran nilai kelengeketan pada mi jagung menunjukkan bahwa mi jagung HMT memiliki tingkat kelengketan -67.07 gf hingga -39.38 gf, sedangkan mi jagung tanpa HMT adalah -66.42 gf Gambar 18. Tingkat kelengketan mi jagung dari penelitian terdahulu adalah -775.18 gf hingga -1057.20 gf Putra 2008. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa telah ada perbaikan terhadap kelengketan mi jagung dengan melakukan substitusi tepung jagung HMT. Gambar 18 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap kelengketan mi jagung kering setelah direhidrasi. . Analisis anova Lampiran 16c menunjukkan bahwa ada pengaruh persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap nilai kelengketan mi kering jagung setelah rehidrasi. Uji lanjut LSD Lampiran 16c menunjukkan bahwa hanya mi jagung formulasi 5 yang tidak berbeda nyata dengan 0. Hasil tersebut menunjukkan kesamaan dengan hasil pengukuran elastisitas yaitu, formulasi tepung jagung HMT 110:6 5 tidak memperbaiki tingkat kelengketan mi jagung kering setelah rehidrasi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat -80 -60 -40 -20 5 10 15 20 K elengk etan gf Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 106 disimpulkan bahwa substitusi tepung jagung HMT 110:6 sebesar 10 dan 20 merupakan perlakuan terbaik untuk memperbaiki tingkat kelengketan mi jagung kering setelah rehidrasi. Penurunan tingkat kelengketan mi jagung kering yang disubstitusi tepung jagung HMT 110:6 disebabkan karena, selama proses HMT dapat menyebabkan amilosa berikatan dengan lemak Miyoshi et al 2002. Penurunan tingkat kelengketan mi pada fenomena amilosa yang membentuk kompleks dengan lemak adalah dengan cara menurunkan jumlah amilosa yang lepas atau berada di permukaan mi setelah rehidrasi Matsuo et al 1986 yang dikutip oleh Kusnandar 1998. Selain itu didukung dengan hasil pengukuran jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang berbeda nyata pada tepung jagung setelah diberi perlakuan HMT 110:6 Tabel 9. 2 Pemilihan dua formulasi mi jagung kering terbaik Penentuan dua formulasi terbaik ini didasarkan kepada analisis karaktersistik fisik mi jagung kering yaitu kehilangan padatan selama pemasakan, tingkat kekerasan, dan kelengketan. Parameter elastisitas tidak digunakan untuk menentukan formulasi terpilih karena perlakuan substitusi tepung jagung HMT tidak mempengaruhi kedua parameter tersebut. Hasil analisis kehilangan padatan selama pemasakan KPAP, kekerasan, dan kelengketan menunjukkan persentase substitusi 10 dan 20 merupakan formulasi terbaik. Berdasarkan hal tersebut dipilih mi kering jagung dengan persentase 10 dan 20 yang akan digunakan untuk uji selanjutnya yaitu uji organoleptik. Persentase substitusi 5 tidak terpilih karena formulasi tersebut tidak memperbaiki kehilangan padatan mi kering jagung bila dibandingkan dengan persentase substitusi 0 kontrol, sedangkan persentase 15 tidak terpilih karena memiliki karakteristik fisik yang tidak berbeda nyata dengan 10 pada parameter KPAP Lampiran 15. 3 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terpilih terhadap mutu sensori mi kering jagung Uji organoleptik dilakukan terhadap tiga sampel yaitu mi jagung tanpa HMT dengan mi jagung HMT formulasi 10 dan 20 Gambar 19. Hasil anova menunjukkan terdapat pengaruh persentase substitusi tepung jagung HMT 107 terhadap tingkat kekerasan, elastisitas, dan kelengketan mi jagung Gambar 19. Tingkat kekerasan menurut uji LSD tidak terdapat perbedaan yang nyata α = 0.05 antara formulasi mi jagung 0 dengan 10, sedangkan kedua formulasi itu berbeda nyata dengan formulasi mi jagung 20 Lampiran 17b. Rata-rata skor terhadap tingkat kekerasan mi jagung formulasi 0 dan 10 adalah sedikit keras, sedangkan formulasi 20 adalah tidak keras. Gambar 19 Penampakan mi jagung HMT terpilih formulasi 10 dan 20 dan mi jagung tanpa HMT formulasi 0 pada kondisi sebelum atas dan setelah bawah rehidrasi. Tingkat kekerasan hasil uji organoleptik mi jagung menunjukkan kesamaan dengan hasil analisis TPA, yaitu formulasi mi jagung 20 memiliki tingkat kekerasan terendah yaitu 1954.27 gf Gambar 20. Formulasi mi jagung 10 memiliki tingkat kekerasan yang lebih rendah dibandingkan formulasi 0 berdasarkan analisis TPA, tetapi berdasarkan analisis sensori perbedaan tingkat kekerasan tersebut tidak berbeda nyata. Tingkat elastisitas hasil uji organoleptik mi jagung pada masing-masing formulasi berbeda nya ta α = 0.05 berdasarkan uji LSD Lampiran 17c. Urutan tingkat elastisitas mi jagung dari kenyal hingga tidak kenyal adalah 10, 20, dan 0, dimana formulasi 0 adalah tidak elastis hingga sedikit elastis, serta formulasi 10 dan 20 adalah sedikit elastis hingga elastis moderat. Berdasarkan hasil uji sensori menunjukkan bahwa mi jagung HMT lebih elastis dibandingkan mi jagung tanpa HMT formulasi 0, tetapi bedasarkan analisis elastisitas 108 dengan TPA menunjukkan bahwa tingkat elastisitas ketiga formulasi tersebut tidak bebeda nyata. Gambar 20 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap tingkat kekerasan, elastisitas, dan kelengketan mi kering jagung berdasarkan uji sensori. Perubahan tingkat elastisitas mi kering jagung HMT disebabkan karena terjadi perubahan karakteristik fisik tepung jagung HMT 110:6, yaitu kenaikan suhu awal gelatinisasi PT dan penurunan viskositas puncak PV serta breakdown. Menurut Beta dan Corke 2001, tingkat elastisitas mi pati sorgum berkolerasi positif dengan PT, dan berkolerasi negatif dengan PV dan breakdown. Tetapi tingginya persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 yaitu 20, mengalami penurunan tingkat elastisitas. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya penurunan nilai setback atau kemampuan untuk meretrogradasi pada tepung jagung setelah proses HMT 110:6. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Beta dan Corke 2001, bahwa setback berkolerasi positif dengan elastisitas mi pati sorgum yang dihasilkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingginya tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 belum tentu seiring dengan peningkatan karakteristik fisik mi jagung yang dihasilkan. Semakin tingginya tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 dapat menurunkan tingkat kelengketan, tetapi akan menurunkan tingkat elastisitas kekenyalan dan kekerasan. 1 2 3 4 Kekerasan Elastisitas Kelengketan Rat a- rat a sk or 10 20 109 Tingkat kelengketan mi jagung formulasi 0 berbeda nyata α = 0.05 dengan 10 dan 20, sedangkan formulasi 10 tidak berbeda nyata α = 0.05 dengan 20 Lampiran 17d. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mi jagung tanpa HMT lebih lengket dibandingkan mi jagung HMT. Hasil tersebut sesuai dengan hasil pengukuran kelengketan dengan TPA, bahwa formulasi 10 tidak berbeda nyata dengan 20, tetapi keduanya berbeda nyata dengan 0. Tingkat kelengketan berdasarkan analisis sensori formulasi 0 adalah lengket moderat hingga sangat lengket, formulasi 10 sedikit lengket, sedangkan formulasi 20 sedikit lengket hingga lengket moderat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya penurunan tingkat kelengketan tersebut disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan pada tepung jagung yang telah diberi perlakuan HMT 110:6. Tingginya amilosa yang berada pada permukaan mi dapat meningkatkan kelengketan mi yang dihasilkan Matsuo et al 1986 yang dikutip oleh Kusnandar 1998. Hasil uji anova Lampiran 17e terhadap tingkat kesukaan secara keseluruhan menunjukkan terdapat pengaruh persentase substitusi tepung jagung HMT terhadap tingkat kesukaan secara keseluruhan Gambar 21. Uji LSD menunjukkan bahwa masing-masing formulasi mi jagung memiliki tingkat kesukaan yang berbeda nyata α = 0.05. Urutan formulasi mi jagung yang paling disukai hingga tidak disukai adalah 10, 20, dan 0, dengan tingkat kesukaan pada formulasi 10 adalah agak suka hingga suka, formulasi 20 netral hingga agak suka, dan formulasi 0 agak tidak suka hingga netral. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa formulasi mi jagung 10 adalah formulasi mi yang paling disukai, dengan demikian dapat dikatakan bahwa panelis lebih menyukai mi jagung dengan tingkat kekerasan 2228.92 gf yang dideskripsikan sedikit keras hingga keras moderat, elastisitas 0.70 gs yang dideskripsikan sedikit elastis hingga elastis moderat, dan kelengketan -52.3 gf yang dideskripsikan sedikit lengket. Berdasarkan hasil analisis sensori dan pengukuran analsisi fisik TPA yang paling jelas dapat disimpulkan adalah tentang tingkat kekerasan mi jagung. Kesimpulan tersebut adalah panelis lebih menyukai mi jagung dengan tingkat kekerasan yang sedang, karena formulasi 10 memiliki tingkat kekerasan yang 110 berada diantara formulasi 0 tertinggi dan formulasi 20 terendah berdasarkan hasil analisis TPA Gambar 17. Gambar 21 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 terhadap tingkat kesukaan secara keseluruhan mi kering jagung berdasarkan uji sensori. 4 Perubahan karakteristik fisik dan sensori mi jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT Substitusi tepung jagung HMT pada mi jagung kering dapat merubah karakteristik fisik dan sensori mi jagung Tabel 10, dimana formulasi terpilih adalah mi jagung dengan substitusi tepung jagung HMT sebesar 10. Perubahan pada karakteristik fisik adalah waktu pemasakan, kehilangan pedatan selama pemasakan, kekerasan dan kelengketan hasil TPA, serta elastisitas hasil uji sensori. Waktu pemaskaan mi jagung HMT mengalami peningkatan yaitu dari 7 menit menjadi 9 menit atau terjadi peningkatan sekitar 28.6. Lamanya waktu masak mi jagung HMT tersebut mirip dengan mi sagu yaitu 7 hingga 9 menit dan spageti komerisal yaitu 9 menit Purwani et al 2006. Kehilangan padatan selama pemasakan KPAP mi jagung HMT mengalami penurunan dari 8.31 menjadi 7.27 atau menurun sebesar 12.5. Nilai KPAP mi jagung HMT masih lebih tinggi bila dibandingkan KPAP mi sagu tanpa HMT yaitu 3.21 hingga 6.19 , mi sagu HMT 2.01 hingga 3.84, mi pati ubi 1.5, dan mi pati kentang 0.2 hingga 1.2 Purwani et al 2006, pati jagung 1 2 3 4 5 6 10 20 Rata -rata sk or k esu k aa n k esel u ru h an Persentase substitusi tepung jagung HMT 111 1.62 hingga 1.83 Tam et al 2004, dan mi pati ubi HMT 3 Collado et al 2001. Tetapi KPAP mi jagung HMT lebih rendah bila dibandingkan dengan mi pati kentang 8.8 Chen et al 2003, dan mi pati kacang hijau 2.93 hingga 7.68 Lii dan Chang yang dikutip oleh Purwani et al 2006. KPAP mi komersial menurut Collado et al 2001 adalah 2.5. Tabel 10 Pengaruh tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 sebanyak 10 terhadap komposisi kimia mi kering jagung Karakteristik Tingkat substitusi tepung jagung HMT pada mi jagung 10 Fisik: Waktu pemasakan menit 7.00 + 0.00 b 9.00 + 0.00 a KPAP 8.31 + 0.17 a 7.27 + 0.17 b Kekerasan gf 2801.50 + 84.90 a 2228.92 + 75.96 b Elastisitas gs 0.71 + 0.02 a 0.70 + 0.02 a Kelengketan gf -66.42 + 0.83 a -52.30 + 0.68 b Sensori: Tingkat kekerasan Sedikit keras Sedikit keras Tingkat elastisitas Tidak elastis hingga sedikit elastis Sedikit elastis hingga elastis moderat Tingkat kelengketan Lengket moderat hingga sangat lengket Sedikit lengket Tingkat kesukaan Agak tidak suka hingga netral Agak suka hingga suka Ket: Angka pada baris yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji t α = 0.05. KPAP Kehilangan padatan selama pemasakan. Kekerasan mi jagung HMT mengalami penurunan dari 2801.50 gf hingga 2228.92 gf atau menurun sebesar 20.4 . Tingkat kekerasan mi jagung HMT 2228.92 gf berada pada kisaran mi sagu HMT yaitu berkisar 1621.30 gf hingga 2345.43 gf Purwani et al 2006. Kelengketan mi jagung HMT mengalami penurunan dalam arti titik puncak dibawah kurva yang lebih rendah, yaitu dari -66.42 gf menjadi -52.30 gf. Penurunan tingkat kelengketan tersebut adalah sebesar 21.2. Karakteristik sensori mi jagung HMT mengalami perubahan tingkat elastisitas, kelengketan, dan kesukaan Tabel 10. Tingkat kesukaan secara 112 keseluruhan mi jagung HMT adalah agak suka hingga suka. Berdasarkan hal tersebut maka telah terjadi perbaikan karakteristik sensori dibandingkan penelitian terdahulu. Mi jagung memiliki tingkat kesukaan secara keseluruhan yaitu netral Putra 2008. 5 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT terpilih formulasi 10 terhadap karakteristik kimia mi jagung kering Analisis proksimat terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, serta karbohidrat yang dihitung berdasarkan pengurangan kadar air, abu, protein, dan lemak. Hasil analisis proksimat ditampilkan pada Tabel 11. Analisa kadar air menunjukkan bahwa mi kering jagung dengan penambahan tepung jagung HMT memiliki kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata α = 0.05 dibandingkan mi kering jagung tanpa HMT Lampiran 18a. Hal tersebut disebabkan karena tepung jagung HMT memiliki kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata α=0.05 dibandingkan tepung jagung tanpa HMT Tabel 9, sehingga kemungkinan kadar air mi kering jagung HMT akan lebih rendah karena kadar air bahan baku juga lebih rendah. Persyaratan kadar air mi kering menurut SNI 01-2974-1996 adalah maksimal 8 untuk mutu 1 dan 10 untuk mutu 2. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa mi kering jagung HMT telah memenuhi SNI, sedangkan mi kering jagung tanpa HMT belum memenuhi SNI karena memiliki kadar air 11. Berdasarkan hasil tersebut maka pemenuhan standar SNI pada mi kering jagung tanpa HMT membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama dibandingkan mi kering jagung HMT T=60 o C selama t=70 menit. Hal tersebut disebabkan karena tepung jagung memiliki kadar air yang lebih tinggi dari tepung jagung HMT Tabel 9. Mi kering jagung HMT memiliki kadar air yang memenuhi persyaratan SNI mutu 2. Kadar abu, protein, dan karbohidrat pada mi kering jagung berdasarkan uji t tidak berbeda nyata α = 0.05 dengan mi kering setelah perlakuan HMT Lampiran 18. Kadar abu pada tepung jagung lebih rendah dibandingkan setelah diolah menjadi mi kering Tabel 9, hal tersebut disebabkan karena penambahan garam pada proses pembuatan mi kering jagung. Garam NaCL akan menambah kadar abu karena menurut Sudarmadji et al 2003, abu merupakan zat anorganik 113 mineral seperti Na, K, CL, dll sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu tepung jagung berdasarkan SNI 01-3727-1995 adalah maksimal 1.5, dimana kadar air tepung jagung dan tepung jagung HMT berada dibawah 1.5, sehingga dapat dikatakan bahwa tepung jagung telah memenuhi SNI berdasarkan kadar abu. Tabel 11 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 sebanyak 10 terhadap komposisi kimia mi jagung kering Kandungan Mi kering jagung Kontrol HMT Air bb 11.58 + 0.17 a 9.22 + 0.53 b Abu bk 1.50 + 0.06 a 1.52 + 0.03 a Protein bk 7.47 + 0.06 a 7.31 + 0.18 a Lemak bk 0.22 + 0.02 a 0.28 + 0.02 a Karbohidrat bk 90.82 + 0.11 a 90.90 + 0.19 a Pati bk 64.41 + 0.46 a 65.54 + 1.33 a Amilosa bk 17.94 + 0.91 a 16.49 + 0.6 a Amilopektin bk 46.47 + 0.87 a 49.05 + 1.36 a Karoten total ppm bk 4.32 + 0.81 a 3.46 + 1.15 a Beta karoten total ppm bk 1.16 + 0.18 a 1.00 + 0.16 a Keterangan: Angka pada baris yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji t α = 0.05. Persyaratan proksimat selain kadar air pada mi kering berdasarkan SNI adalah kadar protein, dimana persyaratan kadar protein berdasarkan SNI 01-2974-1996 adalah minimal 11 mutu 1, dan minimal 8 mutu 2. Kadar protein pada mi kering jagung tidak memenuhi SNI karena berada dibawah 8. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan penambahan protein selain dari tepung jagung untuk memenuhi SNI mi kering, salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah dengan menambahkan tepung kedelai. Uji t menunjukkan bahwa kadar pati, amilosa, dan amilopektin pada mi kering jagung tidak berbeda nyata setelah perlakuan HMT. Hal tersebut disebabkan karena perlakuan HMT pada tepung jagung pun tidak mempengaruhi kadar pati, amilosa, dan amilopektin Tabel 9. Hasil tersebut sesuai dengan Collado et al 2001, yang menyatakan bahwa perlakuan HMT tidak mempengaruhi kadar amilosa, tetapi akan lebih mempengaruhi pelepasan amilosa selama gelatinisasi. 114 Uji t menunjukkan bahwa kadar beta karoten mi kering jagung tanpa HMT tidak berbeda nyata α = 0.05 dengan yang diberi perlakuan HMT. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa substitusi tepung jagung HMT sebanyak 10 tidak mempengaruhi kandungan karoten total dan beta karoten mi jagung kering yang dihasilkan. Kadar karoten total dan beta karoten tepung jagung berurutan adalah 14.29 ppm dan 6.83 ppm Tabel 9, sehingga dapat dikatakan kehilangan karoten total dan beta karoten selama proses pembuatan mi jagung kering adalah 69.77 untuk karoten total dan 83.02 untuk beta karoten. Besarnya kehilangan beta karoten tersebut karena proses pemanansan selama proses pembuatan mi jagung kering, yaitu pengkusan 1 pada suhu 90 o C selama 15 menit, pengukusan 2 suhu 95 o C selama 20 menit, dan pengeringan suhu 60 o C selama 75 menit. Menurut Erawati 2006, pengaruh pemanasan pada kandungan beta karoten cukup besar, dimana beta karoten mengalami penurunan 38.38 pada pemanasan suhu 50 o C selama 4 jam dan 40.5 pada pemanasan 50 o C selama 24 jam. Selain itu menurut Worker 1957 yang dikutip oleh Muchtadi 1992 oksidasi terhadap karoten akan dipercepat dengan adanya panas dan sinar. Beta karoten merupakan provitamin A, dimana 1 molekul dapat menghasilkan 2 molekul vitamin A. Menurut Winarno 2004, diperkirakan setiap 6 μg beta karoten mempunyai aktivitas biologis 1 μg retinol atau sering disebut retinol equivalen RE. Vitamin A RE mi kering jagung per 100 g berdasarkan kandungan beta karoten adalah 19.3 RE tanpa HMT dan 16.7 RE HMT. Angka kecukupan gizi AKG vitamin A menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dikutip oleh Almatsier 2003, adalah 700 RE per hari untuk pria umur 20-59 tahun dengan berat badan 62 kg dan tinggi badan 165 cm, sedangkan 600 RE untuk wanita umur 20-59 tahun dengan berat badan 54 kg dan tinggi badan 156 cm. Berdasarkan hal tersebut maka, mi kering jagung takaran saji 100 g dapat memenuhi angka kecukupan gizi vitamin A bagi pria adalah 2.7 tanpa HMT dan 2.4 HMT, sedangkan bagi wanita adalah 3.2 tanpa HMT dan 2.8 HMT. 115 C Pengaruh perlakuan HMT 110:6 terhadap nilai biologis mi jagung kering formulasi 10 Evaluasi nilai gizi dilakukan pada tepung jagung sebelum Kontrol dan setelah perlakuan HMT T = 110 o C selama t = 6 jam serta mi jagung kering tanpa substitusi HMT kontrol dan dengan substitusi HMT 10. Analisis yang dilakukan diantaranya adalah kadar pati resisten, kadar serat pangan, daya cerna pati, dan daya cerna protein, serta pengukuran indeks glikemik yang hanya dilakukan pada mi kering jagung. 1 Pati resisten Pati resisten merupakan fraksi pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan di dalam usus kecil manusia sehat, bila ditinjau dari aspek kesehatan pati resisten dapat dimanfaatkan oleh penderita diabetes karena menyebabkan laju hidrolisis pati yang rendah di dalam pencernaan. Hasil analisis pati resisten ditampilkan pada Gambar 22. Gambar 22 Pengaruh proses HMT suhu 110 o C selama 6 jam pada tepung jagung dan substitusi tepung jagung HMT sebesar 10 pada mi jagung kering terhadap kandungan pati resisten. Uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata α = 0.05 pada tepung jagung dan mi kering jagung setelah diberi perlakuan HMT Lampiran 19. Tepung jagung kontrol mengandung pati reisten sebesar 1.11 + 0.12 dan HMT 110:6 2.28 + 0.17 . mi kering jagung kontrol 1 2 3 4 5 Tepung jagung Mi kering jagung P at i r esis te n Tanpa HMT HMT 116 mengandung pati resisten sebesar 3.5 + 0.16 dan HMT 10 4.17 + 0.1 . Tepung jagung dan mi kering jagung yang diberi perlakuan HMT memiliki kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa HMT. Mi kering jagung HMT memiliki pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan mi kering jagung HMT karena tepung jagung HMT pun mengalami kenaikan kadar pati resisten. Perlakuan HMT dapat meningkatkan kadar pati resisten karena perlakuan HMT menyebabkan terbentuknya ikatan baru yang lebih kompleks antar amilosa, amilosa dengan amilopektin, amilosa dengan lemak, dan amilosa dengan protein. Menurut Marsono et al 2007, ikatan kompleks pati dengan protein bersifat tidak larut dan lebih sulit untuk dicerna oleh enzim pencernaan. Pembentukan ikatan kompleks tersebut menyebabkan bertambahnya bagian kristalin atau struktur yang lebih kuat dan rapat sehingga akan sulit dicerna oleh enzim percernaan. Pati resisten meningkat dari 1.11 menjadi 2.28 setelah perlakuan HMT T=110 o C selama t=6 jam, sedangkan setelah tepung jagung HMT 10 disubstitusi pada mi kering jagung pati resisten meningkat dari 3.5 menjadi 4.17. Berdasarkan hal tersebut kadar pati resisten mi kering jagung HMT substitusi 10 meningkat sebesar 19. Hasil tersebut sesuai dengan Shin et al 2004, yang mengatakan bahwa perlakuan HMT juga dapat meningkatkan jumlah pati resisten. Pati resisten merupakan komponen yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Bila dikonsumsi pati resisten akan masuk ke usus besar dan dapat digunakan sebagai substrat bagi mikroflora usus Bird 1999. Oleh sebab itu pati resisten sering disebut sebagai prebiotik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengkonsumsian pati resisten dapat meningkatkan jumlah mikroflora usus yang berperan positif bagi tubuh, diantaranya adalah Lactobacilli dan Bifidobacteria Kleessen et al yang dikutip oleh Bird 1999. Tingginya mikroflora tersebut berperan positif bagi kesehatan tubuh karena dapat menurunkan pH kolon sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroflora maupun pembentukan senyawa toksik dalam tubuh Bird 1999. Selain itu adanya mikroflora tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan fermentasi dalam kolon dan mempengaruhi peningkatan masa feses dan ekstraksi asam lemak rantai pendek 117 seperti asam butirat, serta pengasaman atau pengkondisian kolon pada pH rendah Bird 1999. Jumlah pengkonsumsian pati reisten agar berpotensi sebagai substrat pertumbuhan mikroflora usus adalah 8-40 g per hari Topping et al 2003. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa batas minimal mengkonsumsi mi kering jagung HMT formulasi 10 agar berpotensi sebagai sumber prebiotik adalah 191 g dengan asumsi mi kering jagung HMT merupakan makanan sumber prebiotik tunggal yang dikonsumsi. 2 Serat pangan Serat pangan merupakan suatu komponen yang berbentuk karbohidrat kompleks dan banyak terdapat pada dinding sel tanaman. Serat pangan dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu serat pangan larut dan tidak larut. Serat pangan larut merupakan serat pangan yang dapat larut dalam air dan dalam saluran pencernaan, contohnya adalah pektin, gum, karagenan, asam laginat, dan agar- agar. Serat pangan tidak larut merupakan serat yang tidak dapat larut dalam air maupun saluran pencernaan, contohnya adalah selulosa, hemisolulosa, dan lignin. Prinsip pengukuran serat pangan ini adalah mengukur residu yang larut dan dan tidak larut setelah diberikan enzim pencernaan, dimana total serat pangan merupakan jumlah dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Tepung jagung dan mi kering jagung HMT memiliki kandungan serat tidak larut dan total serat pangan yang berbeda nyata α = 0.05 berdasarkan uji t Tabel 12, tetapi serat pangan larut tidak berbeda nyata Lampiran 20. Kenaikan serat tidak larut mengindikasikan terjadi kenaikan pati resisten pada tepung jagung HMT, karena pati resisten dapat terukur sebagai serat pangan yang tidak larut. Hal tersebut terbukti dengan meningkatnya kadar pati resisten pada tepung jagung HMT Gambar 22. Kenaikan jumlah total serat pangan pada tepung jagung HMT dikarenakan kenaikan serat pangan tidak larut, dimana total serat merupakan jumlah dari serat larut dan tidak larut. Kenaikan serat pangan tidak larut pada mi kering jagung HMT dikarenakan terjadinya kenaikan serat pangan tidak larut pada tepung jagung HMT. Serat pangan larut pada mi kering jagung meningkat bila dibandingkan 118 bahan baku yaitu tepung jagung, hal tersebut disebabkan karena pada pembuatan mi kering jagung menggunakan penambahan guar gum. Menurut Astawan dan Wresdiyati 2004, gum tergolong dalam serat pangan larut. Oleh sebab itu serat pangan larut terjadi peningkatan setelah diproses menjadi mi kering jagung. Penggunaan guar gum pada pembuatan mi kering jagung memiliki nilai tambah dari sisi kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Noack et al 1998, konsumsi guar gum dapat meningkatkan pertumbuhan Bifidobacteria pada kolon dan menunjukkan pula peningkatan jumlah Lactobacilli pada usus dengan mengkonsumsi sebanyak 10 guar gum. Mikroflora tersebut seperti telah disebutkan diatas dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan. Tabel 12 Pengaruh proses HMT suhu 110 o C selama 6 jam pada tepung jagung dan substitusi tepung jagung HMT sebesar 10 pada mi jagung kering terhadap kandungan serat pangan. Serat pangan Tepung jagung Mi kering jagung Tanpa HMT HMT Tanpa HMT HMT Larut bk 0.42 + 0.11 a 0.40 + 0.05 a 2.28 + 0.06 a 2.50 + 0.51 a Tidak larut bk 1.58 + 0.10 b 1.94 + 0.04 a 4.59 + 0.06 b 5.26 + 0.14 a Total bk 2.00 + 0.15 b 2.34 + 0.08 a 6.87 + 0.00 b 7.76 + 0.37 a Keterangan: Angka pada bentuk sampel yang sama tepung atau mi kering, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji t α = 0.05. Kandungan serat pangan larut, tidak larut, dan total mi komersial menurut Lestari 2006, berurutan adalah 1.6, 3.2, dan 4.5, dimana mi komersial yang digunakan adalah mi telor San Kai nama dagang yang diproduksi oleh San Kai Instant Noodle Factory Jakarta. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa mi kering jagung memiliki kandungan serat pangan larut, tidak larut, maupun total serat yang lebih tinggi dibandingkan mi komersial. 3 Daya cerna pati Daya cerna pati dapat diartikan sebagai kemampuan pati untuk dapat dicerna dan diserap dalam tubuh. Semakin tinggi daya cerna pati menunjukkan semakin tinggi pula pati untuk diubah menjadi glukosa, sehingga semakin tinggi pula kemampuan pati untuk menaikan glukosa darah. Kenaikan kadar glukosa darah menyebabkan kebutuhan insulin untuk mengubah glukosa menjadi energi 119 juga semakin tinggi. Informasi daya cerna protein penting untuk penderita diabetes, karena penderita diabetes memiliki keterbatasan dalam produksi maupun kerja insulin. Daya cerna pati tepung jagung dan mi kering jagung ditampilkan pada Gambar 23. Gambar 23 Pengaruh proses HMT suhu 110 o C selama 6 jam pada tepung jagung dan substitusi tepung jagung HMT sebesar 10 pada mi jagung kering terhadap daya cerna pati. . Uji t menu njukkan adanya perbedaan yang nyata α = 0.05 pada tepung jagung dan mi kering jagung setelah perlakuan HMT Lampiran 21. Tepung jagung setelah diberi perlakuan HMT 110:6 mengalami penurunan daya cerna pati. Begitu pula dengan mi kering jagung setelah diberi perlakuan substitusi tepung jagung HMT sebanyak 10. Penurunan daya cerna pati pada mi kering jagung HMT disebabkan karena tepung jagung HMT juga mengalami penurunan daya cerna pati. Tepung jagung HMT mengalami penurunan daya cerna pati diduga karena pembentukan kompleks antara amilosa, amilosa dengan amilopektin, serta amilosa dengan lemak selama proses HMT. Pembentukan kompleks tersebut menyebabkan pati lebih sulit untuk diserang oleh enzim, sehingga terjadi penurunan daya cerna pati. Hal tersebut sesuai menurut Jacobs dan Delcour 1998, perlakuan HMT meningkatan interaksi antara amilosa dan amilosa dengan amilopektin, serta pembentukan kompleks amilosa dengan lemak. Perlakuan HMT T = 110 o C selama t = 6 menit pada tepung jagung merubah daya cerna pati dari 63.45 menjadi 39.10, sehingga perlakuan HMT dapat menurunkan daya cerna pati sekitar 38. Selain itu substitusi tepung jagung 20 40 60 80 Tepung jagung Mi kering jagung Daya ce rn a p at i Tanpa HMT HMT 120 HMT sebanyak 10 mengubah daya cerna pati dari 25.76 menjadi 22.57, substitusi tepung jagung HMT menurunkan daya cerna pati sekitar 12. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa perlakuan HMT pada pati jagung dapat menurunkan daya cerna pati dari 99.9 menjadi 92, dimana penurunan tersebut adalah sekitar 8 Kishida et al, 2001. 4 Daya cerna protein Pengukuran daya cerna protein didasarkan kepada perlakuan panas dapat mengakibatkan pembentukan ikatan antara protein dan karbohidrat sehingga dapat menurunkan daya cerna protein. Perlakuan modifikasi pati umumnya dilakukan pada produk dalam bentuk pati, dimana pati tidak mengandung protein, sedangkan karena pada penelitian ini modifikasi pati dilakukan dalam bentuk tepung, maka dilakukan analisis daya cerna protein. Hasil analisis daya cerna protein ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13 Pengaruh proses HMT suhu 110 o C selama 6 jam pada tepung jagung dan substitusi tepung jagung HMT sebesar 10 pada mi jagung kering terhadap daya cerna protein Bentuk Perlakuan Daya cerna protein Tepung jagung Tanpa HMT 81.44 + 1.44 a HMT 77.46 + 0.93 b Mi kering jagung Tanpa HMT 79.21 + 0.24 a HMT 79.60 + 0.32 a Keterangan: Angka pada bentuk sampel yang sama tepung atau mi kering, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji t α = 0.05. Uji t Lampiran 22 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata α = 0.05 pada daya cerna protein tepung jagung dengan tepung jagung yang diberi perlakuan HMT, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada mi kering jagung. Perlakuan HMT T=90 o C selama t = 6 jam dapat menurunkan daya cerna protein dari 81.44 menjadi 77.46, dimana penurunan tersebut adalah sekitar 4.87. Penelitian lain pun menunjukkan fenomena yang sama yaitu terjadi penurunan daya cerna protein pada pati jagung setelah proses HMT, dimana daya cerna protein menurun dari 95.7 menjadi 89.2 Kishida et al, 2001. Tetapi 121 substitusi tepung jagung HMT sebanyak 10 tidak menurunkan daya cerna protein pada mi kering jagung. Penurunan daya cerna protein disebabkan karena terjadinya rekasi maillard. Rekasi tersebut merupakan interaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin protein. Terbentuknya interaksi tersebut menyebabkan sisi aktif pada protein yang dapat diserang enzim pencernaan tertutup, sehingga protein tidak dapat dicerna dalam tubuh Muchtadi 1989. Oleh sebab itu daya cerna protein mengalami penurunan. Pengukuran daya cerna protein juga dilakukan pada tepung terigu, berdasarkan pengukuran tepung terigu memiliki daya cerna protein yang lebih tinggi dibandingkan tepung jagung yaitu 89.39 + 0.84. Uji t Lampiran 22 menunjukkan bahw a daya cerna protein tepung jagung berbeda nyata α = 0.05 dengan tepung terigu. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan dalam proses pembuatan tepung, dimana menurut Raniawan 2004 proses pembuatan tepung terigu menggunakan prinsip pengilingan dan pemisahan ukuran, sehingga proses panas sangat minimal yaitu karena gesekan pada saat penggilingan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kemungkinan terjadi reaksi maillard yang dapat menyebabkan penurunan daya cerna protein sangat kecil, oleh sebab itu daya cerna tepung terigu lebih tinggi dibandingkan tepung jagung. 5 Indeks Glikemik IG mi jagung Pengukuran indeks glikemik dilakukan dengan menggunakan 8 orang responden dengan takaran konsumsi sampel setara dengan 50g karbohidrat. Tujuan dari pengukuran indeks glikemik ini adalah untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kenaikan glukosa darah selama 2 jam pengukuran, selain itu juga akan dilihat pengaruh konsumsi mi kering jagung bersama kuah sop terhadap kenaikan glukosa darah. Mi kering jagung disajikan setelah dimasak sesuai dengan waktu optimum pemasakan mi kering jagung Gambar 14. Hasil pengukuran indeks glikemik ditampilkan pada Tabel 14. 122 Tabel 14 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT 110:6 sebesar 10 pada mi jagung kering baik dikonsumsi bersama kaldu maupun tidak terhadap Indeks glikemik mi jagung kering Perlakuan Mi kering jagung Indeks glikemik Golongan IG Tanpa kuah Tanpa HMT 57.59 Sedang HMT 51.98 Rendah Plus kuah Tanpa HMT 56.73 Sedang HMT 52.13 Rendah Pengukuran IG pada mi kering jagung menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung HMT 10 dapat menurunkan penggolongan IG mi kering jagung dari sedang menjadi rendah. Penurunan kadar glukosa darah responden akan lebih jelas terlihat pada Gambar 24. Pengkonsumsian tanpa kuah maupun dengan kuah tidak merubah penggolongan indeks glikemik mi kering jagung Tabel 14. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya kandungan karbohidar pada kuah yang digunakan yaitu 0.37 Lampiran 6a. Gambar 24 Pengaruh konsumsi mi kering jagung HMT 110:6 formulasi 10 baik yang dikonsumsi bersama kuah maupun tidak terhadap pola perubahan kadar gula darah setiap 30 menit selama 2 jam. Berdasarkan Gambar 25 terlihat bahwa mi kering jagung HMT dan tanpa HMT memiliki titik yang berdekatan pada menit ke-30, kemudian pada menit berikutnya mi kering jagung HMT memiliki kadar glukosa darah yang lebih rendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mi jagung kering HMT memberikan pengaruh pelepasan glukosa yang lebih lama dibandingkan mi jagung tanpa HMT. -10 10 20 30 40 50 60 70 30 60 90 120 K en aik an k ad ar glu k osa m gd l Waktu Menit Tanpa Kuah Plus kuah Glukosa 123 Rendahnya pelepasan glukosa pada mi kering jagung HMT disebabkan karena lebih tingginya pati resisten mi kering jagung HMT serta didukung dengan rendahnya daya cerna pati mi kering jagung HMT. Menurut Haliza et al 2006, tingginya kandungan pati resisten menyebabkan rendahnya indeks glikemik mi sagu. Hal tersebut terjadi karena pati resisten menyebabkan penurunan daya cerna pati, rendahnya daya cerna pati diartikan sebagai rendahnya kemampuan pati untuk diserang oleh enzim pencernaan atau untuk diubah menjadi glukosa oleh enzim pencernaan. Gambar 25 Pengaruh konsumsi mi kering jagung HMT 110:6 formulasi 10 terhadap pola perubahan kadar gula darah setiap 30 menit selama 2 jam. Menurut Marsono 2007, indeks glikemik mi kering jagung varietas Srikandi putih adalah 82 roti tawar = 100. Karena terdapat perbedaan penggunaan standar maka nilai indeks glikemik tersebut harus dikonvesi terlebih dahulu agar sesuai dengan apabila glukosa digunakan sebagai standar. Menurut Rimbawan dan Siagian 2002, untuk mengkonversi IG glukosa sebagai standar adalah dengan mengalikan nilai IG roti tawar sebagai standar dengan 0.7, sehingga diperoleh IG mi kering jagung varietas Srikandi putih adalah 57.4 glukosa sebagai standar. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa mi kering jagung varietas Pioneer 21 memiliki indeks glikemik yang mirip dengan mi kering jagung varietas Srikandi putih. Indeks glikemik mi dari bahan baku lain dengan glukosa sebagai standar menurut Powell et al 2002, adalah 48 mi instan, 26 mi kacang hijau, dan 61 -10 10 30 50 70 30 60 90 120 K en aik an k ad ar glu k osa m gd l Waktu Menit Tanpa HMT HMT Glukosa 124 mi atau pasta dari beras. Penelitian lain mencantumkan indeks glikemik mi sagu adalah 28 dengan glukosa sebagai standar Haliza et al, 2006. Berdasarkan beberapa hasil tersebut menunjukkan bahwa mi kacang hijau, mi sagu, dan mi instan memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan mi kering jagung jagung varietas Pioneer 21 HMT, tetapi mi atau pasta dari beras memiliki indeks glikemik yang paling tinggi. 125

V. KESIMPULAN DAN SARAN