II. TINJAUAN PUSTAKA
A Jagung
Jagung Zea mays L adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rerumputangraminae. Terdapat tiga varietas jagung yang populer di Indonesia
yaitu BISI, Pioneer, dan NK Takdir et al 2007. Pioneer 21 merupakan salah satu varietas yang berpotensi untuk dikembangkan karena telah banyak di tanam oleh
petani di Indonesia. Pioneer 21 adalah kelompok jagung kuning yang merupakan produk jagung hibrida yang telah banyak di tanam oleh petani jagung di Lampung
Timur dan Selatan, dan Tanggamus. Keunggulan dari jagung varietas Pioneer 21 adalah tahan kekeringan dan kondisi cuaca yang tidak normal serta mempunyai
potensi hasil yang cukup tinggi yaitu 13.3 MThektar pipilan kering Anonim
1
, 2008.
Gambar 1 Biji jagung dan bagian-bagiannya Subekti et al 2007.
Biji jagung disebut kariopsis yaitu memiliki dinding ovari atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa membentuk daging buah. Bagian utama biji
jagung terdiri dari tiga, yaitu pericarp, endosperm, dan embrio atau lembaga
Gambar 1. Perikarp merupakan lapisan luar tipis yang dilapisi oleh testa dan
lapisan aleuron serta berfungsi mencegah kerusakan biji dari organisme pengganggu dan kehilangan air. Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji
jagung yaitu 75 dari bobot biji. Fungsi endosperm adalah sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Lembaga merupakan tempat perkecambahan
biji, yang terdiri atas plumula, meristem, skutelum, dan koleoptil Subekti et al, 2007.
Tabel 1 Komposisi gizi jagung kuning secara umum
Kadar Gizi Jagung Kuning
Energi Kal100g 350
Air g100g 14.5
Protein g100g 8.6
Lemak g100g 5.0
Karbohidrat g100g 70.6
Abu g100g 1.3
Karoten πg 150
Retinol ekuifalen πg 26
Serat larut g 0.6
Serat tidak larut g 8.4
Total serat pangan g 9
Sumber: FAO 2005.
Komposisi gizi Tabel 1 terbesar pada jagung adalah karbohidrat yang
terdapat dalam bentuk pati. Sebanyak 86.4 pati terdapat pada bagian endosperm
jagung yang merupakan bagian terbesar pada jagung Tabel 2. Bagian terbesar
pada jagung selain endosperm adalah lembaga, yaitu sekitar 12 dari biji jagung. Lembaga mengandung lemak cukup tinggi, yaitu 33.2. Jagung mengandung
asam lemak jenuh 1.1 – 1.61 dan asam lemak tidak jenuh 2.31 – 5.06 Suarni
dan Widowati 2007. Bagian lain dari jagung adalah kulit dan tip cap.
Tabel 2
Komposisi gizi biji jagung pada masing-masing bagiannya Komponen
Jumlah bk Pati
Protein Lemak
Serat Lain-lain
Endosperm 86.4
8.0 0.8
3.2 0.4
Lembaga 8.0
18.4 33.2
14.0 26.4
Kulit 7.3
3.7 1.0
83.6 4.4
Tip cap 5.3
9.1 3.8
77.7 4.1
Sumber: Johnson 1991.
Protein dalam jagung kuning yang memiliki jumlah terbesar adalah zein prolamin dan glutelin, persentasenya berurutan adalah 5 dan 3.15 dari biji
jagung kuning, sedangkan 0.45 terdiri dari protein lain yaitu globulin, albumin, dan enzim FAO, 1968. Zein memiliki sifat tidak larut dalam air karena protein
tersebut mengandung asam amino hidrofobik yaitu, leusin, prolin, dan alanin. Selain asam amino tersebut zein memiliki komposisi asam amino asam glutamat
yang tinggi, tetapi rendah kandungan lisin, triptofan, histidin, dan metionin. Glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein
larut garam dan alkohol. Komposisi asam amino pada glutelin yang berada dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan zein adalah lisin, arginin, histidin, dan
triptofan, tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah Lasztity 1986. Oleh sebab itu jagung tidak dapat membentuk gluten yang merupakan komponen
penting sebagai pembentuk tekstur yang kenyal dan elastis pada mi. Gluten terbentuk dari gliadin dan glutenin pada kondisi tertentu setelah dicampurkan
dengan air Indreswari, 2005.
B Tepung Jagung
Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung Zea mays LINN yang baik dan bersih. Tahap
awal dalam pembuatan tepung jagung adalah melakukan pemisahan kulit, endosperm, lembaga, dan tip cap. Bagian yang digunakan dalam pembuatan
tepung adalah endosperm, sehingga bagian lain harus dipisahkan. Kulit mengandung serat yang tinggi sehingga dalam pembuatan tepung jagung, kulit
harus dipisahkan dari endosperm karena batas maksimal jumlah serat kasar dalam tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995, adalah 1.5. Lembaga merupakan
bagian dari biji jagung yang mengandung lemak tertinggi Tabel 2, sehingga
harus dipisahkan untuk mencegah tepung cepat rusak karena reaksi oksidasi lemak. Tip cap harus dipisahkan dalam pembuatan tepung karena dapat
menyebabkan adanya butir-butir hitam pada tepung jagung. Adanya butir hitam pada tepung jagung dapat mengkontaminasi produk sehingga dapat menurunkan
kualitas.
Pembuatan tepung jagung telah dilakukan oleh Putra 2008, dengan menggunakan metode penggilingan kering. Proses penggilingan kering pada
pembuatan tepung jagung dapat menghasilkan tepung sebanyak 2.9 kg dari 10 kg jagung pipil atau rendemen sekitar 29. Tepung jagung yang dibuat dengan
menggunakan metode penggilingan kering dilakukan dengan beberapa tahap yaitu penggilingan awal, pencucian dan perendaman, penggilingan tahap akhir, serta
pengayakan. Penggilingan tahap awal dilakukan dengan menggunakan hammer mill yang akan menghasilkan penggilingan kasar berupa grits, kulit, lembaga dan
tip cap. Pemisahan kulit, lembaga, dan tip cap dilakukan dengan pencucian dan perendaman, grits akan mengandap dan kulit serta lembaga akan mengapung.
Grits jagung dikering anginkan selama 2 jam hingga kadar air + 17 untuk mempermudah ke tahap penggilingan seanjutnya. Kadar air grits yang tinggi dapat
menyebabkan bahan menempel pada disc mill sehingga menimbulkan kemacetan pada alat, sedangkan kadar air yang terlalu rendah akan menyebabkan pertikel
tepung setelah penggilingan lebih besar tidak halus. Penggilingan tahap akhir adalah penggilingan grits jagung dengan menggunakan disc mill penggiling
halus untuk menghasilkan tepung jagung yang lebih kecil ukurannya. Tepung jagung dari penggilingan tahap akhir kemudian diayak dengan menggunakan
pengayak berukuran 100 mesh. Pengayakan ini bertujuan agar ukuran partikel tepung seragam, karena menurut Faridi dan Faubion 1995, perbedaan ukuran
partikel tersebut dapat menyebabkan terbentuknya specks noda berwarna putih karena ukuran partikel yang lebih besar membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk menyerap air, sehingga bagian yang tidak menyerap air tersebut akan membentuk noda berwarna putih.
Komposisi kimia tepung jagung varietas Pioneer 21 berdasarkan hasil penelitian Etikawati 2007 dan jagung kuning secara umum FAO 2005 dapat
dilihat pada Tabel 3. Komposisi terbesar pada tepung jagung adalah karbohidrat,
dimana sebagain besar adalah terdiri dari pati. Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan merupakan sumber karbohidrat bagi
manusia Almatsier 2003. Pati tersusun atas rangkaian unit-unit glukosa yeng terdiri dari fraksi bercabang dan rantai lurus. Fraksi bercabang dari pati adalah
amilopektin dengan ikatan 1,4-D-glukopiranosa dengan rantai cabang pada
1,6-D-glukopiranosa, sedangkan fraksi rantai lurus adalah amilosa dengan ikatan 1,4-D-glukopiranosa Muchtadi dan sugiyono 1998. Komposisi amilosa
dan amilopektin berbeda dalam pati berbagai jenis bahan makanan, tetapi umumnya jumlah amilopektin lebih besar dibandingkan amilosa Almatsier 2003.
Tabel 3 Komposisi kimia tepung jagung dari varietas Pioneer 21 dan tepung
jagung kuning secara umum Komposisi kimia
Varietas Pioneer 21 Jagung kuning
Kadar air 5.46
14 Kadar protein
6.32 6.6
Kadar abu 0.31
0.5 Kadar lemak
1.73 2.8
Kadar karbohidrat 86.18
76.1 Kadar Amilopektin
43.52 -
Kadar Amilosa 23.04
- Kadar karoten ppm
- 1.3
Retinol equivalen ppm -
0.21 Kadar serat larut
- 0.2
Kadar serat tidak larut -
1.5 Total serat pangan
- 1.7
Keterangan: - Tidak tercantum. Sumber: Etikawati 2007 dan FAO 2005.
Pati merupakan komponen yang penting pada proses pembuatan mi, terutama mi dari bahan baku non gluten jagung. Hal tersebut disebabkan karena
pati merupakan komponen yang membentuk tekstur pada produk mi, oleh sebab itu karakteristik fisik pati penting untuk diketahui. Karakteristik fisik pati pada
produk tepung maupun pati dapat digambarkan dengan melakukan analisis profil gelatinisasi. Profil gelatinisasi menurut Schoch and Maywad 1968 dikutip oleh
Collado et al 2001, dibagi menjadi 4 tipe yaitu A, B, C, dan D. Tipe A memiliki ciri kemampuan mengembang yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya
viskositas puncak bila diukur dengan Rapid Visco Analyzer RVA, contoh tipe A adalah pati kentang, tapioka, dan waxy cereals. Tipe B memiliki ciri kemampuan
mengambang sedang moderate yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak bila diukur dengan RVA dan viskositas turun selama
pemanasan, contoh tipe B adalah pati dari serealia. Tipe C memiliki ciri pengembangan terbatas ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan
viskositas konstan bahkan meningkat selama pemanasan, contoh pati tipe C adalah pati yang dimodifikasi dengan metode ikatan silang dan pati kacang-
kacangan. Tipe D memiliki ciri pengembangan sangat terbatas bahkan tidak dapat mengambang sehingga tidak dapat membentuk viskositas pada pasta, contoh pati
tipe ini adalah pati dengan kandungan amilosa 55. Hingga saat ini belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang
profil gelatinisasi ataupun karakteristik fisik tepung jagung varietas pioneer 21. Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan melakukan karakterisasi sifat fisik
termasuk profil gelatinisasi tepung jagung dari varietas Pioneer 21, sehingga dapat diketahui tipe profil gelatinisasi tepung jagung dari varietas Pioneer 21. Profil
gelatinisasi tepung dari jenis serealia lain yaitu beras, diketahui memiliki profil gelatinsasi tipe B Takahashi et al 2005. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa
tepung jagung memiliki tipe profil gelatinisasi yang sama dengan tepung beras yaitu tipe B. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa contoh tipe profil
gelatinisasi pada pati serealia adalah tipe B. Shimelis et al 2006, menunjukkan bahwa terdapat kesamaan tipe profil gelatinisasi pada pati dengan tepung dari
bahan yang sama. Tipe profil gelatinisasi yang sesuai sebagai bahan baku mi adalah tipe C
Collado et al 2001. Hal tersebut disebabkan karena bahan baku yang memiliki profil gelatinisasi tipe C menggambarkan bahwa bahan baku tersebut memiliki
memiliki kestabilan pasta atau viskositas yang relatif konstan pada kondisi pemanasan dan pengadukan. Sifat tersebut dibutuhkan sebagai bahan baku mi
karena, dengan bahan baku yang memiliki kestabilan viskositas selama pemanasan dapat menghasilkan mi yang memiliki tekstur kompak atau tidak
mudah hancur setelah direhidrasi dan kehilangan padatan selama pemasakan KPAP yang rendah. Pati kacang hijau memiliki profil tipe C, dimana ketika
diaplikasikan pada produk mi, dapat menghasilkan mi dengan tekstur yang kompak dan kehilangan padatan selama pemasakan yang rendah Collado et al
2001. Sehingga dibutuhkan cara untuk merubah karakteristik fisik tepung jagung. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakuakan modifikasi.
Umumnya modifikasi dilakukan dalam bentuk pati, tetapi berdasarkan
pertimbangan harga pati yang relatif mahal maka akan dilakukan modifikasi pati dalam bentuk tepung jagung.
Perbedaan yang dapat terlihat jelas antara jagung dengan jenis serealia lainnya adalah warna kuning pada jagung. Warna kuning pada jagung dikarenakan
kandungan karoten dan beta karoten, jagung kuning umumnya mengandung
karoten 1.3 ppm Tabel 3 dan beta karoten antara 0.7 hingga 1.46 ppm Howe
dan Tanumihardjo, 2006. Jagung dengan varietas yang berbeda memungkinkan untuk memiliki kandungan karoten yang berbeda pula. Pengukuran vitamin A
retinol equivalen pada 19 varietas jagung rata-rata adalah 6.4 ppm 5 ppm hingga 7.7 ppm, atau setara dengan jumlah karoten 72 ppm dan beta karoten
38.4 ppm FAO 1968. Adanya pigmen warna kuning tersebut memberikan nlai tambah lain pada jagung yaitu memiliki aktivitas provitamin A terutama karena
adanya beta karoten. Pigment tersebut memiliki sifat mudah rusak selama pemanasan. Pengeringan pada suhu 50
o
C selama 4 jam dapat menurunkan kadar beta karoten sebesar 38.38, sedangkan kehilangan meningkat menjadi 40.5
pada pengeringan selama 24 jam Erawati 2006. Berdasarkan hal tersebut maka akan dilihat pula pengaruh perlakuan modifikasi pada tepung jagung terhadap
karakteristik kimia tepung jagung.
C Modifikasi Pati Metode HMT Heat Moisture Treatment
Modifikasi pati dengan metode Heat Moisture Treatment HMT merupakan modifikasi yang dilakukan secara fisik dengan menggunakan
kombinasi kadar air dan pemanasan diatas suhu gelatinisasi Purwani et al 2006. Menurut Collado et al 2001, modifikasi pati metode HMT adalah memberikan
perlakuan pada pati diatas suhu gelatinisasinya 80 hingga 120
o
C dengan kondisi kadar air terbatas 35. Salah satu kelebihan modifikasi pati dengan metode
HMT adalah tidak melibatkan reaksi kimia dengan menggunakan reagen tertentu, sehingga tidak akan meninggalkan residu pada hasil pati termodifikasi.
Salah satu pesyaratan bahan baku berbahan dasar pati untuk digunakan pada poduk mi, adalah memiliki profil gelatinisasi tipe C Collado et al 2001.
Profil gelatinisasi tipe C dimiliki oleh pati kacang hijau kacang-kacangan yang merupakan salah jenis pati terbaik sebagai bahan baku produk mi, karena dapat
memberikan kekuatan gel yang tinggi dan kehilangan padatan selama pemasakan yang rendah. Hal tersebut dipercaya karena pati kacang hijau memiliki kandungan
amilosa yang tinggi, pengembangan terbatas, dan profil gelatinisasi tipe C Collado et al 2001. Penelitian lain menunjukkan bahwa kacang-kacangan
memiliki profil gelatinisasi tipe C yang ditunjukkan dengan terjadinya kenaikan viskositas pada suhu 95
o
C yang dipertahankan selama 30 menit Hoover dan Ratnayake 2002 bila dilakukan pengukuran profil gelatinisasi.
Kestabilan viskositas selama pemanasan breakdown menggambarkan ketahanan pasta yang terbentuk ketika dipanasakan. Berdasarkan hal tersebut
maka akan mempengaruhi KPAP, elastisitas, dan kelengketan mi yang dihasilkan. Viskositas yang stabil mengindikasikan kekompakan struktur pati yang terbentuk,
sehingga kemungkinan padatan yang keluar selama pemasakan akan semakin rendah. Komponen pati yang kemungkinan akan terlarut atau keluar dari matriks
gel yeng terbentuk selama pemanasan adalah amilosa. Amilosa yang berada di permukaan mi setelah dimasak jumlah amilosa yang keluar dari matriks gel yang
terbentuk setelah pemanasan mempengaruhi kelengketan mi, tetapi dengan terbentuknya kompleks antara amilosa dengan lemak dapat menurunkan
kelengketan mi dengan menurunkan jumlah amilosa pada permukaan mi yang telah direhidrasi Matsuo et al 1986 yang dikutip oleh Kusnandar 1998. Selain itu
tingginya kandungan amilosa pada matriks gel dapat menurunkan kehilangan elastisitas Toyokama et al 1989 yang dikutip oleh Kusnandar 1998. Berdasarkan
hal tersebut maka kestabilan viskositas terhadap panas dan jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan memberikan pengaruh terhadap KPAP, elastisitas, dan
kelengketan mi yang dihasilkan. Kekuatan gel dipengaruhi oleh kandungan amilosa. Kandungan amilosa
yang tinggi akan meningkatkan kekuatan gel. Hal tersebut disebabkan karena gel terbentuk setelah proses pemanasan, sehingga salah satu faktor yang
mempengaruhi adalah retrogradasi. Proses retrogradasi merupakan pembentukkan ikatan kembali antara amilosa dengan amilosa setelah pemanasan atau pada
kondisi pendinginan Winarno 2004. Oleh sebab itu banyaknya kandungan amilosa pada matriks gel akan memperkuat gel yang terbentuk selama
pendinginan. Begitu pula dengan tingkat kekerasan mi, dimana semakin tinggi
kandungan amilosa dan kemampuan meretrogradasi, maka tingkat kekerasan mi yang dihasilkan akan semakin tinggi pula. Selain itu jumlah amilosa yang lepas
selama pemanasan juga dapat mempengaruhi tingkat kekerasan. Pemilihan metode modifikasi pati didasarkan kepada pemenuhan kriteria
proses dan mutu akhir dari produk. Berdasarkan kriteria proses metode modifikasi HMT telah dilaporkan dapat merubah karakteristik fisik pati diantaranya adalah
profil gelatinisasi, kemampuan mengembang, dan jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan. Perlakuan HMT dapat mengubah profil gelatinisasi pati sagu
dari tipe A menjadi tipe C dengan perlakuan HMT Purwani et al 2006, pati ubi sweet potato dari tipe A menjadi tipe C Collado et al 2001, tepung beras pada
kondisi pH 6.3 dari tipe B menjadi tipe C Takahashi et al 2005, dan pati jagung dari tipe B menjadi tipe C Widaningrum dan Purwani 2006. Kemampuan
mengembang pati setelah perlakuan HMT menurun pada pati ubi Collado et al 2001, pati jagung Pukkahuta et al 2007 dan pati ubi jalar Gunaratne dan
Hoover 2002. Jumlah amilosa yang lepas selama pemasakan terjadi penurunan pada pati ubi jalar setelah perlakuan HMT Gunaratne dan Hoover 2002 serta
Jacob dan Delcour 1998. Berdasarkan kriteria mutu akhir dari produk metode modifikasi pati HMT
telah dilaporkan dapat meningkatkan kulitas mi dengan ditunjukkannya perubahan pada kehilangan padatan selama pemasakan, kekenyalan, kelengetan,
kekompakan tekstur mi. Mi sagu yang di substitusikan dengan pati sagu HMT 50:50 menunjukkan terjadinya penurunan kehilangan padatan selama
pemasakan, peningkatan kekenyalan, menurunkan kelengketan, dan peningkatan kekompakan tekstur mi Purwani et al 2006. Penelitian lain menunjukkan bahwa
mi pati ubi HMT 100 dapat menurunkan kelengketan mi. Penelitian Putra 2008, pada pembuatan mi kering jagung dengan menggunakan teknologi
sheeting menghasilkan kisaran kehilangan padatan selama pemasakan KPAP antara 10 hingga 11. Kehilangan padatan selama pemasakan pada beberapa
produk mi non gluten menurut Purwani et al 2006, adalah 3.21 – 6.19 pada mi
sagu, 1.5 pada mi ubi, 0.2 – 1.2 pada pati kentang, dan 2.93 – 7.68 pada pati
kacang hijau. Berdasarkan lebih tingginya kehilangan padatan selama pemasakan pada mi jagung dibandingkan mi non gluten lainnya, maka diperlukan perbaikan
pada kualitas mi kering jagung terutama dalam hal kehilangan padatan selama pemasakan.
Perubahan sifat fungsional pati setelah modifikasi HMT menurut beberapa penelitian disebabkan karena proses HMT mempengaruhi penyusunan kembali
molekul pati antara amilosa dengan amilopektin, sehingga memperkuat ikatan pati Franco et al, 1995; Gunaratne dan Hoover, 2002 dikutip oleh Shin et al, 2004.
Fenomena lain menurut Jacob dan Delcour 1998, perlakuan HMT pada pati dapat menyebabkan pembentukkan kristal kompleks yang disebabkan karena
terbentuknya ikatan antara amilosa dengan amilosa, amilosa dengan rantai cabang amilopektin, dan amilosa dengan lemak dalam granula pati berdasarkan beberapa
penelitian Donovon et al 1983, Hoover dan Vasantan 1994, serta Hoover dan Manuel 1996.
Perlakuan HMT pada pati tidak hanya merubah sifat fungsional pati tetapi juga dapat meningkatkan jumlah pati resisten. Terbentuknya pati resisten selama
proses HMT disebabkan karena terjadinya pemotongan rantai lurus dari amilopektin dan pembentukkan ikatan amilosa dengan amilosa, amilopektin, atau
lemak sehingga membentuk struktur yang lebih kompak Miyoshi 2002. Pembentukkan ikatan tersebut menyebabkan pati lebih sulit untuk diserang oleh
enzim pencernaan, sehingga terjadi penurunan kemampuan pati untuk dicerna. Adanya pati resisten dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, karena
tingginya kandungan pati resisten menyebabkan lambatnya pelepasan glukosa sebagai akibat dari sulitnya pati untuk dicerna oleh enzim pencernaan karena
terbentuknya kompleks. Kondisi tersebut dibutuhkan oleh penderita diabetes yang memiliki keterbatasan atau pun tidak dapat memproduksi insulin. insulin
merupakan hormon yang bertugas untuk mentransport glukosa ke dalam sel dan mengubah glukosa menjadi glikogen. Oleh sebab itu dalam penelitian ini selain
melihat pengaruh HMT terhadap sifat fisikokimia mi juga akan dilihat pengaruhnya terhadap kadar glukosa darah setelah mengkonsumsi mi dengan
mengukur indeks glikemik.
D Mi Jagung
Penelitian tentang mi jagung telah banyak dilakukan. Mi jagung yang telah dikembangkan adalah mi jagung yang dibuat dari pencapuran pati dan tepung
jagung Soraya 2006 dan mi jagung dari tepung jagung Juniawati 2003; Putra 2008 dengan teknologi sheeting, dan teknologi ekstruksi Hatorangan 2007 dan
Fahmi 2007. Salah satu keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu adalah mi jagung tidak memerlukan penambahan pewarna. Mi terigu dalam pengolahannya
ditambahkan dengan pewarna kuning yaitu tartrazine, sedangkan menurut Asatwan dan Kasih 2008 warna kuning yang dihasilkan dari mi jagung
merupakan warna kuning alami dari karotenoid yang terdapat dalam jagung. Perbedaan antara mi jagung dengan mi terigu adalah komponen
pembentuk tekstur mi. Pembentuk tekstur yang elastis dan kompak pada mi terigu adalah gluten. Adanya gluten pada tepung terigu menyebabkan terbentuknya
tekstur yang elastis dan kompak setelah tepung terigu ditambahkan air, sehingga adonan tersebut dapat dibentuk menjadi lembaran. Hal tersebut tidak dapat terjadi
ketika tepung jagung ditambahkan air, sehingga dibutuhkan bahan atau proses tertentu agar terbentuk adonan yang memiliki tekstur elastis dan kompak.
Berdasarkan Soraya 2006 dan Putra 2008, pembentukkan adonan pada pembuatan mi jagung berasal dari matriks yang terbentuk akibat gelatinisasi pati.
Soraya 2006 melakukan pembuatan mi jagung basah dengan mengukus 70 bagian tepung jagung yang kemudian dicampurkan dengan 30 bagian tepung
jagung tanpa pengukusan. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Putra 2008, melakukan
pembuatan mi jagung kering dengan mencampurkan tepung jagung yang telah tergelatinisasi dan tepung jagung tanpa proses gelatinisasi dengan perbandingan
70:30. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fahmi 2007, telah mendapatkan proses optimasi pembuatan mi basah jagung dengan teknologi ekstruksi yaitu,
dengan jumlah komposisi tepung jagung 60 g dibutuhkan penambahan 70 air, dan suhu pengolahan 90
o
C dengan kecepatan 130 rpm, sedangkan penelitian Hatorangan 2007, menunjukkan bahwa proses produksi mi basah jagung dengan
teknologi ekstruksi terbaik adalah dengan perlakuan tiga kali passing atau tiga kali melewatkan adonan kedalam alat ekstruksi. Penggunaan teknologi dalam produksi
mi di industri besar maupun kecil adalah dengan menggunakan alat sheeting, sehingga penelitian pembuatan mi dengan menggunakan alat sheeting lebih
berpotensi untuk dikembangkan, agar teknologi pembuatan mi jagung dapat diaplikasikan pada industri besar maupun kecil.
Proses pembuatan mi kering jagung dengan menggunakan alat sheeting dilakukan dengan beberapa tahap yaitu, pengukusan 70 bagian tepung jagung,
pencampuran dengan 30 bagian tepung jagung lainnya, pembentukkan lembaran dan pemotongan mi, pengukusan mi, serta pengeringan mi Putra 2008. Proses
pembuatan mi kering jagung diawali dengan mengelatinisasi adonan 1 yaitu campuran dari 70 bagian tepung jagung dengan 1 guar gam, dan 50 air yang
mengadung 1 garam. Adonan 1 dicampurkan dengan adonan 2 30 tepung jagung, kemudian dilakukan pembentukkan lembaran. Mi mentah yang
dihasilkan dikukus, kemudian dikeringkan dengan oven. Penelitian Putra 2008, menghasilkan mi kering jagung yang memiliki
tingkat kesukaan terhadap kekerasan, kekenyalan, dan secara keseluruhan netral dengan karaktersitik fisik mi yang memiliki tingkat kekerasan 2408.4 gf hingga
3135.18 gf, kekenyalan 0.3245 gs hingga 0.4151 gs, kelengketan -1057.20 gf hingga -775.18 gf, dan kehilangan padatan selama pemasakan 9.99 hingga
11.42 . Berdasarkan hal tersebut, diharapkan dengan melakukan substitusi tepung jagung dengan tepung jagung HMT dapat memperbaiki karakteristik
sensori mi jagung menjadi lebih disukai dan memperbaiki karakteristik fisik mi yaitu menurunkan tingkat kekerasan, kelengketan, dan kehilangan padatan selama
pemasakan, serta meningkatkan kekenyalan.
E Indeks Glikemik IG
Indeks glikemik
merupakan pengukuran
kecepatan penyerapan
karbohidrat serta kemampuan karbohidrat untuk menaikkan konsentrasi glukosa darah dalam waktu tertentu. Definisi lain indeks glikemik adalah sebagai respon
glukosa darah terhadap makanan yang mengandung karbohidrat dalam takaran dan waktu tertentu Prijatmoko 2007. Indeks glikemik diukur dengan menghitung
luas kurva kenaikan dan penurunan kadar gula darah setelah mengkonsumsi makanan tertentu yang dibandingkan dengan suatu standar glukosa murni.
Berdasarkan pengukuran nilai IG tersebut, maka makanan dapat dikatagorikan
menurut IG-nya seperti pada Tabel 4. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan
mengetahui nilai IG suatu makanan diantaranya adalah penderita diabetes melitus dapat memilih makanan yang tidak akan menaikan kadar glukosa darah dengan
cepat makanan memiliki IG rendah, sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada kadar yang tetap normal 70-110 mgdl. Menurut the british
diabetic association bagi penderita diabetes, dianjurkan paling sedikit mengkonsumsi 50 dari total asupan nasi berupa makanan yang memiliki indeks
glikemik rendah. Berdasarkan hal tersebut informasi tentang nilai indeks glikemik suatu makanan sangat dibutuhkan oleh penderita diabetes. Oleh sebab itu dalam
penelitian ini juga akan melakukan pengukuran nilai indeks glikemik mi kering jagung.
Tabel 4 Katagori pangan menurut indeks glikemik IG dengan glukosa murni
sebagai standar Katagori pangan
Rentang IG IG rendah
55 IG sedang
55 – 70
IG tinggi 70
Sumber: Eliasson 2004.
Pemecahan dan penyerapan karbohidrat oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah. Kecepatan kadar glukosa darah mencapai puncak
tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam tubuh. Kadar glukosa dalam darah akan dipertahankan oleh tubuh agar tetap pada batas
normal, yaitu 110-70 mgdl. Mekanisme mempertahankan kadar glukosa darah tersebut melibatkan hormon insulin dan glukagon yang dilepaskan oleh pankreas.
Hormon insulin akan dilepaskan oleh penkreas pada kondisi tubuh dengan kadar glukosa darah diatas 110 mgdl. Tugas hormon tersebut adalah mentransport
glukosa ke dalam sel dan menstimulir pengubahan glukosa menjadi glikogen sebagai simpanan dalam hati dan otot. Apabila kadar glukosa darah berada di
bawah 70 mgdl, maka pankreas akan melepaskan hormon glukagon untuk menstimulir pemecahan glikogen menjadi glukosa dan meningkatkan sintesis
glukosa agar kadar glukosa darah naik hingga batas normal. Mekanisme dalam
tubuh tersebut akan lebih jelas pada Gambar 2.
Gambar 2 Mekanisme mempertahankan kadar normal glukosa darah dalam
tubuh Almatsier 2003.
Berdasarkan mekanisme yang digambarkan pada Gambar 2 dapat
dikatakan bahwa akan lebih baik mengonsumsi makanan yang memiliki nilai IG rendah terutama pada penderita diabetes melitus, karena makanan yang memiliki
nilai IG rendah akan meningkatkan kadar glukosa darah secara perlahan sehingga akan membantu mengontrol kadar gulokasa darah dalam tubuh. Powell et al
2002, mengatakan bahwa makanan yang memiliki nilai IG tinggi bila dikonsumsi dalam jumlah besar dapat meningkatkan resiko penyakit diabetes
melitus tipe 2 Non Insulin Dependent Diabetes Malitus = NIDDM dan penyakit kardiovaskular.
Nilai IG suatu makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Rimbawan dan Siagian 2004, yaitu proses pengolahan, kadar serat pangan, kadar
amilosa dan amilopektin, serta kadar lemak dan protein. Proses pengolahan mempengaruhi IG karena proses pengolahan akan mempengaruhi daya cerna dan
daya serap suatu bahan pangan. Semakin tingginya daya cerna dan daya serap
1. Memecah glikogen menjadi
glukosa 2.
Meningkatkan sintesis glukosa
Pankreas melepaskan glukagon
Glukosa darah rendah 110 mgdl
70 mgdl Kisaran glukosa
darah normal 1.
Mentranspor glukosa ke dalam sel
2. Mengubah glukosa menjadi
glikogen Pankreas melepaskan
insulin Glukosa darah tinggi
suatu makanan maka semakin cepat menaikkan kadar gula darah, sehingga semakin tinggi pula nilai IG makanan tersebut. Proses pengolahan yang dapat
mempengaruhi IG diantaranya adalah pengecilan ukuran penepungan dan pemasakan. Penepungan menyebabkan ukuran partikel suatu makanan menjadi
lebih kecil dan memperbesar luas permukan yang dapat diserang oleh enzim, sehingga semakin cepat pencernaan dan penyerapan karbohidrat. Oleh sebab itu
semakin kecil ukuran partikel suatu makanan maka nilai IG makanan tersebut akan semakin tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Liljeberg 1992 dikutip oleh
Rimbawan dan Siagian 2004, menunjukkan bahwa serealia ayang berada dalam bentuk utuh menghasilkan respon glukosa yang lebih rendah dibandingkan pada
serealia yang melalui tahap penggilingan. Pemasakan mempengaruhi IG karena proses pemasakan akan menggelatinisasi pati sehingga lebih mudah dicerna oleh
enzim dalam usus, sehingga dapat mempercepat kenaikan kadar gula darah. Berdasarkan hal tersebut maka makanan yang mengandung pati tergelatinisasi
penuh memiliki nilai IG yang lebih tinggi dibandingkan makanan tersebut dalam bentuk mentah.
Serat pangan merupakan komponen makanan karbohidrat kompleks dalam tanaman yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan
manusia Astawan dan Wresdiyati, 2004. Serat pangan terdiri dari komponen serat larut Soluble Dietary FiberSDF dan komponen serat tidak larut Insoluble
Dietary FiberIDF Winarno 2004. Mekanisme serat pangan dalam mempengaruhi IG suatu makanan adalah dengan menurunkan efisiensi
penyerapan karbohidrat, sehingga menghambat peningkatan glukosa darah secara cepat dalam tubuh. Jenis serat pangan dalam mekanisme tersebut adalah SDF,
misalnya pektin, dan guar gum. Hasil tersebut dibuktikan oleh suatu penelitian yang menunjukkan bahwa konsumsi makanan yang diperkaya dengan guar gum
dan pektin dapat menurunkan peningkatan glukosa darah Astawan dan Wresdiyati 2004. Penelitian yang dilakukan oleh Prijatmoko 2007,
menunjukkan bahwa bahan pangan yang mengandung serat lebih tinggi yaitu jagung 1.5 hanya menaikan glukosa darah sebesar 13.4 mgdl, dibandingkan
nasi yang mengandung serat 0.5 dapat menaikan kadar glukosa darah 35.6
mgdl dan kentang yang mengandung serat 0.9 dapat menaikan kadar glukosa darah 18.1 mgdl.
Golongan karbohidrat yang berasal dari tanaman terutama serealia adalah pati, polosakarida, dan selulosa. Pati dalam bahan pangan terdapat dalam dua
bentuk, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki struktur yang tidak bercabang, sedangkan amilopektin memiliki struktur bercabang. Perbedaan bentuk
struktur tersebut yang mempengaruhi nilai IG suatu makanan. Struktur amilosa yang lurus membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga lebih sulit dicerna oleh
enzim, sedangkan amilopektin yang memiliki struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim
Rimbawan dan Siagian, 2004. Oleh sebab itu makanan yang mengandung amilosa lebih tinggi dibandingkan amilopektin akan lebih sulit dicerna, sehingga
memiliki nilai IG yang rendah. Menurut Powell et al 2002, corn muffin yang mengandung rendah amilosa memiliki nilai IG 102, sedangkan corn muffin yang
mengandung tinggi amilosa memiliki nilai IG 49 dengan glukosa sebagai standar. Kadar lemak dan protein mempengaruhi nilai IG suatu makanan karena,
tingginya kedua komponen tersebut dalam bahan pangan akan memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di dalam usus halus juga
akan diperlambat Rimbawan dan Siagian 2004. Berdasarkan hal tersebut, makanan yang memiliki kadar lemak lebih tinggi memiliki nilai IG yang lebih
rendah. Komponen lain yang dapat mempengaruhi nilai IG adalah terbentuknya
pati resisten. Pati resisten merupakan komponen pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan orang sehat Haliza et al 2006. Pembentukkan pati
resisten dapat terjadi dengan berbagai cara, diantaranya adalah selama proses pengolahan Sajilata et al, 2006 dan perlakuan heat moisture treatment HMT
pada pati Miyoshi 2002 dan Shin 2004. Tingginya kandungan pati resisten dapat menurunkan nilai IG. Hal tersebut didukung oleh Haliza et al 2006, yang
menyatakan bahwa tingginya kandungan pati resisten pada mi sagu menyebabkan rendahnya nilai IG mi sagu. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini juga akan
melihat pengaruh perlakuan HMT pada tepung jagung, terhadap kandungan pati resisten tepung jagung dan mi kering jagung serta akan dilihat pula pengaruh
HMT terhadap nilai IG mi kering jagung. Indeks glikemik mi kering jagung dari varietas srikandi putih menurut Marsono et al 2007, adalah 57 glukosa sebagai
standar atau tergolong pada pangan dengan IG sedang Tabel 5.
Tabel 5 Nilai indeks glikemik serealia jagung, beras, dan gandum, mi dari
berbagai jenis bahan baku jagung putih, terigu, kacang hijau, beras, sagu dan pasta spageti
Produk Nilai indeks glikemik
Golongan IG Jagung
59 Sedang
Tepung jagung 68
Sedang Beras
69 Sedang
Gandum 30
Rendah Semolina
55 Sedang
Mi jagung varietas Srikandi putih 57
Sedang Mi instan dari gandum
47 Rendah
Mi kacang hijau 26
Rendah Mi atau pasta beras
61 Sedang
Mi sagu 28
Rendah Spageti dari semolina
59 Sedang
Sumber : Powell et al 2002, Marsono et al 2007, Haliza et al 2006.
Tabel 5 menunjukkan bahwa serealia memiliki nilai indeks glikemik yang
berbeda-beda, tetapi dari beberapa jenis serealia jagung, beras, gandum, dan semolina hanya gandum yang memiliki nilai IG rendah yaitu 30. Mi yang
memiliki nilai IG rendah adalah yang terbuat dari gandum, kacang hijau, dan sagu, sedangkan mi jagung dan spageti memiliki nilai IG sedang. Berdasarkan hal
tersebut diharapkan dengan membuat mi kering dari tepung jagung yang disubstitusi dengan tepung jagung HMT dapat menurunkan nilai IG mi jagung
dari sedang menjadi rendah sehingga sama dengan mi dari gandum mi instan.
III. METODOLOGI PENELITIAN