Pembahasan Analisis Deskriptif Kesesakan dan Tingkat Stres Pada

4.5.1 Pembahasan Analisis Deskriptif Kesesakan dan Tingkat Stres Pada

Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang. 1 Analisis Deskriptif Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Tingkat Stres adalah tingkatan reaksi individu yang berasal dari tekanan emosional dan kekurangmampuan invidu untuk menyesuaikan diri yang disebabkan karena adanya persepsi ketakutan dan kecemasan sehingga dapat merusak keadaan fisiologis serta menganggu keseimbangan hidup bagi individu. Anoraga, dkk 2010: 10 merumuskan stres sebagai reaksi dari tekanan emosional, juga rangsangan – rangsangan yang merusak keadaan fisiologis individu. Tingkat stres yang dialami seseorang dapat ringan, sedang dan berat. Hal ini sering disebabkan oleh perbedaan masing – masing sumber stres pada setiap orang. Secara rinci tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang digambarkan dalam 4 empat gejala stres yaitu gejala emosional, gejala kognitif, gejala fisik atau badan dan gejala sosial. Gejala emosional ditunjukkan dengan indikator seperti mudah marah atau jengkel, mudah cemas yang ditandai rasa khawatir yang berlebihan, sering kecewa, suasana hati mudah berubah – ubah, mudah tersinggung, sering gugup dan gelisah, sukar mengambil keputusan dan mudah tegang dan takut. Dilihat dari gejala emosional, hasil penelitian menyebutkan bahwa tingkat stres sebagian besar penghuni rumah susun Pekunden Semarang yaitu sebanyak 84 orang penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang. Hal ini berarti meskipun terkadang penghuni rumah susun Pekunden Semarang mengalami stres, namun hal ini tidak akan mengganggu penghuni secara emosional. Meskipun dihadapkan dengan stres namun emosional mereka tidak terganggu. Mereka dapat mengendalikan emosinya dengan baik seperti tidak mudah marah, suasana hati cenderung stabil, tidak mudah tersinggung dan lain sebagainya. Gejala lain yang diungkap adalah gejala kognitif. Gejala kognitif ditunjukkan dengan indikator sulit berkonsentrasi, daya ingat menurun, suka melamun secara berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja bahkan kemampuan untuk melakukan pekerjaan kompleks cenderung menurun. Hasil penelitian menyatakan bahwa secara umum dilihat dari aspek gejala kognitif penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar penghuni rumah susun Pekunden Semarang tidak menunjukkan indikator gejala – gejala kognitif. Gejala yang diungkap selanjutnya adalah gejala fisik atau badan. Gejala fisik atau badan ditandai dengan adanya gangguan tidur, gangguan pencernaan, sakit kepala, selera makan berubah – ubah, tekanan darah tinggi, dada terasa panas atau nyeri, urat bahu dan punggung terasa sakit dan jantung berdebar – debar. Hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan gejala – gejala sebelumnya, yaitu secara umum ditinjau dari gejala fisik atau badan penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang yaitu sebesar 88 orang. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisik sebagian besar penghuni rumah susun Pekunden Semarang tidak terganggu. Sebanyak 88 orang tidak mengalami gangguan tidur, gangguan pencernaan, sakit kepala, tekanan darah tinggi dan gejala fisik lainnya. Gejala yang diungkap terakhir adalah gejala sosial. Gejala sosial ditunjukkan dengan indikator perilaku seperti menutup diri secara berlebihan, menarik diri dari pergaulan, mudah bertengkar dengan orang lain, sering mencari kesalahan orang lain dan suka acuh dan mendiamkan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang ditinjau dari gejala sosial berada dalam kategori sedang yaitu sebanyak 62 orang. Sebagian besar penghuni rumah susun Pekunden Semarang tidak menunjukkan indikator dari gejala sosial. Malah sebaliknya, penghuni rumah susun Pekunden Semarang menunjukkan indikator mudah bergaul, membuka diri dengan lingkungan, mudah bergaul bahkan jarang bertengkar dengan tetangga. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang. Hasil ini jauh berbeda dengan fenomena yang peneliti angkat. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara diperkirakan bahwa tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori tinggi, namun hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang. Tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang kemungkinan dapat disebabkan disaat penelitian berlangsung, subjek penelitian sedang tidak mengalami stres yang tinggi, karena stres itu bersifat temporer yaitu hanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan sesudah terjadi stres individu dapat berfungsi secara optimal kembali Handoyo dalam Mumtahinnah, 2005: 12. Gejala yang paling tinggi yang berada dalam kategori sedang adalah gejala fisik atau badan. Hal ini dapat kemungkinan dapat disebabkan sumber – sumber utama penyebab stres penghunui rumah susun Pekunden Semarang bukan berasal dari dalam lingkungan melainkan dari diri individu itu sendiri. Sedangkan Anoraga 2006: 109 menyebutkan selain perubahan dalam lingkungan, faktor utama yang berkaitan langsung dengan stres adalah diri manusia sendiri. Dalam hubungannya dengan gangguan badan dikatakan bahwa stres mempengaruhi otak, yang kemudian melalui sistem neurohumoral menyebabkan gejala – gejala badaniah yang dipengaruhi oleh hormon adreanalin dan sistem saraf otonom. Adrenalin yang meningkat menimbulkan kadar asam dan lemak bebas dan selanjutnya terjadi kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang bertambah dan keduanya mengakibatkan gangguan pada kerja jantung mudah menimbulkan kematian mendadak serangan jantung. Sarafino dalam Smet, 1994: 115 menyebutkan bahwa tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu, stres juga muncul melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan. Reaksi terhadap stres bervariasi antara satu orang dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini disebabkan oleh variabel dalam kondisi individu itu sendiri seperti umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, faktor – faktor genetik, dll bahkan karakteristik kepribadian introvert-ektrovert, tipe kepribadian bahkan kekebalan dan ketahanan. Kekebalan dan ketahanan erat kaitannya dengan adanya perasaan mampu menghadapi stres tiap orang berbeda – beda. Perasaan mampu diartikan kepercayaan seseorang atau kemampuannya menanggulangi situasi penuh stres merupakan faktor utama dalam menentukan kerasnya tingkat stres Atkinson dkk, 2010: 231. Tidak semua penghuni rumah susun Pekunden Semarang memilki kemampuan untuk menanggulangi situasi penuh stres. Misalnya sebagian penghuni menganggap bahwa tinggal di lingkungan rumah susun merupakan sebuah stressor, namun disisi lain banyak penghuni yang tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu gangguan. Kemungkinan sebagian besar penghuni rumah susun Pekunden Semarang sudah terbiasa tinggal di lingkungan rumah susun dengan kondisi yang sesak dan sudah mempunyai toleransi terhadap kondisi lingkungan hidupnya. Mereka tidak menganggap lingkungannya sebagai stressor. Justru dengan mereka tinggal di rumah susun membuat hubungan mereka dengan tetangga menjadi lebih akrab. Sears 2007: 231 mengungkapkan bahwa kadang – kadang banyak orang terasa menyenangkan tetapi biasanya kehadiran mereka memperkuat situasi sosial. Dengan kata lain, situasi yang pada dasarnya positif akan menjadi semakin positif bila kepadatan meningkat. Dengan adanya interaksi yang intens dengan lingkungan sekitar maka akan tercipta sebuah “dukungan masyarakat”. Atkinson dkk 2010: 232 menyatakan bahwa dukungan masyarakat adalah dukungan emosional dan adanya perhatian orang lain yang dapat membuat orang tahan menghadapi stres. Studi – studi menunjukkan bahwa orang – orang dengan banyak hubungan kemasyarakatan perkawinan, kawan dekat dan kerabat, keanggotaan keagamaan dan perkumpulan kelompok lainnya cenderung dapat hidup lebih lama dan lebih sedikit menjadi mangsa penyakit yang berkaitan dengan stres dibandingkan dengan orang – orang yang mempunyai sedikit dukungan kemasyarakatan Cobb Antonovsky dalam Atkinson dkk, 2010: 232. Selain hal – hal diatas, tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang dimungkinkan dapat disebabkan karena studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti hanya dengan menggunakan wawancara. Peneliti hanya melakukan wawancara dengan 3 tiga penghuni rumah susun sehingga hasil yang didapatkan kurang menggambarkan keadaan subjek penelitian yang sebenarnya. Mungkin saja, pada saat studi pendahuluan subjek merasakan gejala – gejala stres, namun pada dasarnya stres bersifat temporer atau sementara sehingga pada saat penelitian dilakukan gejala – gejala stres tersebut dapat semakin berkurang. 2 Analisis Deskriptif Kesesakan Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Kesesakan adalah perasaan subjektif yang dialami oleh seseorang dalam merespon situasi kepadatan karena sempitnya ruang yang tersedia dan perasaan ini dapat diekspresikan dengan rasa senang maupun tidak senang. Kesesakan ini akan terjadi apabila terdapat hambatan tertentu dalam usaha interaksi sosial dan usaha pencapaian tujuan yaitu ketika individu menerima stimulus yang terus menerus dan tidak mampu untuk mengontrolnya dan mengalami hambatan dalam pemenuhan kebutuhan personalnya. Kesesakan pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang digambarkan dalam 3 tiga aspek. Aspek pertama adalah aspek situasional. Indikator yang digunakan untuk mengungkap aspek situasional adalah banyaknya orang yang saling berdekatan, adanya hambatan dalam tujuan atau pekerjaan karena banyaknya orang disekitar, adanya ruangan yang sempit dimana ada terlalu banyak orang didekat kita, adanya tujuan yang terhalang oleh serombongan orang dan adanya gangguan fisik atau perasaan tidak nyaman karena ruang menjadi berkurang dengan kedatangan tamu atau teman. Ditinjau dari aspek situasional, secara umum kesesakan pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang, yaitu sebanyak 76 orang. Hal ini menunjukkan sebagian besar penghuni rumah susun Pekunden Semarang dapat melakukan pekerjaan mereka dan tanpa adanya hambatan dan gangguan fisik, meski banyak orang disekitar mereka yang mungkin bisa menghambat pekerjaan atau tujuan. Namun adanya banyak orang disekitar mereka tidak dapat menjadi penghalang untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan. Aspek kedua adalah aspek behavioral. Indikator yang digunakan untuk mengungkap aspek behavioral adalah meninggalkan tempat kejadian, reaksi individu yang mengarah pada perilaku agresi, menghindari tatapan mata dan menarik diri dari interaksi sosial. Ditinjau dari aspek behavioral, secara umum kesesakan pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang, yaitu sebanyak 83 orang. Reaksi negatif yang dimunculkan oleh penghuni rumah susun Pekunden Semarang terhadap kondisi lingkungan mereka yang sesak berada dalam kategori sedang. Artinya secara umum penghuni rumah susun Pekunden Semarang tidak memberikan reaksi perilaku yang negatif seperti menarik diri dari interaksi sosial. Mereka tidak menanggapi kondisi lingkungan mereka yang sesak dengan perilaku yang negatif, justru mereka nyaman dengan kondisi lingkungannya yang padat dan sesak. Aspek ketiga adalah aspek emosional. Indikator yang digunakan untuk mengungkap aspek emosional adalah reaksi negatif terhadap orang lain dan reaksi yang berhubungan dengan perasaan yang mengacu pada suasana hati. Ditinjau dari aspek emosional, secara umum kesesakan pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang, yaitu sebanyak 80 orang. Hal ini menunjukkan bahwa penghuni rumah susun Pekunden Semarang mampu mengendalikan emosi yang mereka miliki. Lingkungan yang padat justru membuat mereka terganggu secara emosi. Berdasarkan hasil penelitian, jika ditinjau secara umum kesesakan pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang. Hasil yang didapatkan berbeda dengan fenomena yang peneliti angkat. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara diperkirakan bahwa penghuni rumah susun Pekunden Semarang mempunyai tingkat kesesakan yang tinggi, namun hasil penelitian menunjukkan kesesakan penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang. Artinya sebagian besar penghuni rumah susun Pekunden Semarang tidak begitu merasakan kesesakan di lingkungan mereka tinggal. Kondisi lingkungan yang sesak ternyata tidak menjadi hambatan dan gangguan mereka dalam melakukan aktivitas. Malah sebaliknya, sebagian besar penghuni rumah susun Pekunden Semarang merasa nyaman dengan tempat tinggal mereka. Aspek yang paling tinggi yang berada dalam kategori sedang adalah aspek emosional. Aspek emosional erat kaitannya dengan perasaan seseorang dan biasanya bersifat negatif yang mengacu pada suasana hati biasanya suasana hati yang buruk Gifford, 1987: 167. Aspek situasional dan behavioral mempunyai skor yang lebih rendah jika dibandingkan dengan aspek emosional. Hal ini berarti penghuni rumah susun Pekunden Semarang faktor situasional yaitu banyaknya orang disekitar mereka tidak menjadi penghalang untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan dan tidak memberikan reaksi perilaku yang negatif. Baum dan Fisher dalam Bell, 1976: 215 mengungkapkan bahwa individu – individu yang tinggal di wilayah kepadatan tinggi akan mengendalikan diri agar mereka dapat mengurangi rasa sesak dan pengaruh – pengaruh negatif dari lingkungan. Adanya pengendalian diri ini membuat para penghuni menjadi terbiasa dengan situasi lingkungannya yang padat. Penghuni rumah susun Pekunden Semarang dapat melakukan aktivitas dengan baik dan merasa nyaman tanpa adanya gangguan dan hambatan akibat kesesakan di lingkungan tempat mereka tinggal. Rasa nyaman dapat timbul karena adanya proses adaptasi yang mereka lakukan. Iskandar 2012: 46 menyatakan bahwa adaptasi adalah suatu pergeseran kuantitatif dalam memberikan penilaian atau respon afeksi sepanjang stimulus yang menerpa dirinya secara terus menerus. Adaptasi erat kaitannya dengan proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Para penghuni sudah cukup lama tinggal di lingkungan rumah susun, bahkan sebagian ada yang sudah tinggal di rumah susun sejak lahir. Hal tersebut tentunya menjadikan para penghuni sudah harus beradaptasi dengan lingkungan rumah susun dalam jangka waktu yang sangat lama. Akibatnya sekarang mereka sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan rumahnya yang padat dan sesak. Selain hal diatas, kondisi sosial rumah susun Pekunden Semarang juga mempengaruhi. Kondisi sosial dapat mempengaruhi apakah seseorang merasakan kesesakan atau tidak. Fisher dalam Bell, 1976: 215 menyatakan bahwa apabila kita berada di sekitar orang – orang yang kita kenal maka kita tidak akan merasa sesak, tetapi sebaliknya apabila kita berada diantara orang - orang dimana kita tidak mengenalnya maka akan timbul sesak pada diri kita. Hasil temuan Evans 2007: 1 yang meneliti tentang kesesakan dan personal space pada 139 penumpang kereta api komuter, menemukan bahwa duduk terlalu dekat dengan penumpang lain dalam suasana yang sesak dan padat secara signifikan memicu timbulnya tiga indikasi stres. Tempat duduk yang padat dan sesak dengan gangguan dari orang – orang asing lebih memicu timbulnya stres daripada diantara orang – orang dengan hubungan interpersonal yang positif Evan, 2007: 3. Jarak rumah yang berdekatan di rumah susun Pekunden Semarang membuat para penghuni saling kenal dan menumbuhkan rasa kekeluargaan diantara mereka. Berdasarkan observasi penulis, interaksi antar warga terjalin dengan sangat baik, yang terlihat dari kebiasaan warga di sore hari yang senang berkumpul dan berbincang – bincang di halaman depan rumah mereka. Meskipun bukan saudara tetapi jarak rumah yang berdekatan membuat sesama penghuni menjadi seperti keluarga. Mereka tidak lagi menganggap tetangganya sebagai orang lain. Hubungan di lingkungan sosial menjadi lebih akrab dan interaksi sosial menjadi intens, akibatnya para penghuni sudah tidak lagi merasakan kesesakan. Epstein dalam Sears 2007: 234 menyatakan bahwa pengaruh negatif dari kepadatan tempat tinggal tidak akan terjadi bila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat kendali tertentu. Dijelaskan oleh Eipstein bahwa sebuah keluarga tidak banyak mengalami kesesakan rumah, mungkin karena mereka mampu mengendalikan rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal berkepadatan tinggi dan sebaliknya apabila kurang mampu mengendalikan lingkungan dan hanya memiliki sedikit motivasi untuk bekerja sama menunjukkan pengaruh negatif tempat tinggal berkepadatan tinggi. Selain faktor diatas, perbedaan jenis kelamin subjek penelitian juga dapat mempengaruhi kesesakan. Karena sebagian besar subjek dalam penelitian ini adalah wanita, maka sangat memungkinkan kesesakan pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang berada dalam kategori sedang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak dipengaruhi oleh kepadatan tinggi dibandingkan wanita Sears, 2007: 237. Dalam penelitian Freedman dkk disimpulkan bahwa pria cenderung memberikan respon yang lebih kompetitif dan hukuman yang lebih berat dalam kondisi kepadatan. Dan sebaliknya wanita kurang kompetitif dan memberikan hukuman yang lebih ringan dalam kondisi kepadatan tinggi. Penelitian lain juga menyimpulkan adanya perbedaan jenis kelamin dalam respon terhadap kesesakan, tetapi pengaruhnya sama sekali tidak konsisten. Stokols dkk dalam Sears, 2007: 238 menyatakan sebagian besar penelitian menunjukkan pria lebih peka terhadap kepadatan dibandingkan wanita dan pria cenderung memberikan respon yang lebih negatif.

4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Kesesakan dengan Tingkat Stres